SUNSHOWER
Sial banget gue. Tugas maket gue yang harus dikumpulin hari ini sebelum jam empat, basah kena air hujan. Udah gue bela-belain naik grab biar tugas gue nggak berantakan, eh, ini malah tiba-tiba hujan turun pas gue udah sampai kampus. Mana hujannya di cuaca yang terang-benderang begini.
"Sial." Sebuah umpatan terdengar cukup jelas ditelingaku. Aku menoleh ke kanan dan mendapati seorang laki-laki dengan rambut masai yang setengah basah tengah duduk bersandar di ujung bench yang sama denganku di teras Gedung C yang sudah mulai sepi ini. Wajahnya tampak kesal.
"Apa lo liatin gue?" sentak gue pada cewek yang dengan nggak sopannya lihat gue. Gue langsung pasang wajah galak ke cewek kecil di sebelah gue dan dia malah balas gue dengan ekspresi datar, kemudian balik asyik ke buku yang lagi dibacanya.
"Ck. Monyet mau kawin aja pake acara hujan ginian," rutuk laki-laki itu kembali membuatku mengernyit. Ah, iya. Banyak orang menyebut hujan di saat matahari cerah seperti ini dengan hujan monyet.
"Atau karena ada orang yang sedang meninggal?" Cewek kecil di sebelah gue bergumam. Gue nengok ke arahnya. Ini cewek lagi ngomong sama gue ya?
"Ada mitos yang menyebutkan bahwa hujan turun di saat cuaca cerah menandakan ada orang yang meninggal," jelasku kemudian.
Cewek kecil di sebelah gue ngomong tapi matanya nggak lepas dari buku yang dia baca. Sebenarnya dia lagi ngomong sama siapa, sih? Beneran ngomong sama gue atau ngomong sendiri? Hiii. Gue jadi ngeri.
Laki-laki di sebelahku tiba-tiba bergidik. Entah karena kalimatku barusan atau hal lain. Yang jelas, ekspresi yang kutangkap melalui ekor mataku, laki-laki itu sedang menatapku dengan terheran-heran.
"Ada mitos yang lebih lucu lagi." Lagi-lagi cewek kecil itu bersuara. Tapi, ya gitu. Matanya tetep nggak lepas dari bukunya.
"Maksud lo? Lo lagi ngomong sama gue?" tanya laki-laki itu yang kubalas hanya dengan anggukan lalu kembali menoleh padanya.
"Orang Jawa percaya, air hujan yang turun di saat seperti ini, bukan air hujan sembarang. Melainkan air yang berasal dari keringat dan ketuban genderuwo betina yang sedang melahirkan." Eh, busyet. Cewek kecil ini...
Rasanya tawaku akan meledak melihat kedua bibir laki-laki itu kini sempurna membentuk huruf 'o'. Lucu. Satu kikikan lepas dari mulutku.
"Lo ngetawain gue?" Gue nggak terima cewek kecil itu ngetawain gue gara-gara bicara soal genderuwo. Dia nggak tahu apa kalau gue paling takut sama setan satu itu. Di rumah gue dulu pernah ada si Mr. G ini dan paling suka gangguin orang seisi rumah. Apalagi kalau dia kencing sembarang. Sumpah, baunya pesing banget meski udah dibersihin berkali-kali.
Aku kembali membalas ucapan laki-laki itu dengan kuluman senyum. Jika dilihat dari gesture tubuhnya, laki-laki itu agaknya takut dengan setan. Terbukti saat tadi aku menyebut soal genderuwo, air mukanya berubah sedikit pucat. Heran. Laki-laki, kok, penakut.
"Derajat manusia itu lebih tinggi dari jin. Harusnya bangsa jin yang takut pada manusia, bukan sebaliknya. Termasuk kamu nggak perlu takut soal setan-persetanan," kata cewek kecil ini yang terdengar sebagai nasehat di telinga gue. Ternyata selain nggak sopan, cewek ini songong juga. Kenal aja nggak, sok-sokan nasehatin gue. Gue pites juga ini bocah.
"Nggak usah sok kenal sok deket lo sama gue. Pake acara nasehatin segala," sanggah laki-laki itu sambil membuang muka.
"Kamu beneran takut setan, ya?" Nah, diperjelas lagi sama dia kalau gue takut. Salah gue kalau gue takut? Ah, tapi gengsi, dong. Masa' gue harus akuin takut di depan cewek kecil songong itu.
"Gue nggak takut." Dia menyangkal. Jelas terlihat dari ekspresi wajahnya yang sok berani itu. Aku hanya mengangkat bahu dan kembali mengalihkan pandangan ke depan. Hujan sudah berhenti. Fenomena sunshower biasanya tidak terlalu lama. Hanya turun dalam hitungan beberapa menit.
Gue lirik cewek kecil songong itu. Dia sedang masukin buku yang tadi dia baca ke tas ransel di sebelah kakinya, lalu berdiri sambil menggendong ransel yang isinya gue nggak tahu apa, tapi kelihatan berat banget. Dia noleh lagi ke gue.
"Aku pergi duluan," pamitku pada laki-laki itu. Kulirik jam tanganku. Sudah hampir pukul empat sore dan aku harus segera bertemu dengan dosen pembimbingku. Sebelum benar-benar pergi, kulirik lagi ke sebelah kanan laki-laki itu. Ada sesuatu yang menganggu penglihatanku dari tadi yang sebenarnya enggan membuatku menoleh ke arahnya.
"Dia berdiri di sebelahmu. Perempuan berwajah pucat itu..." bisik si cewek kecil songong tepat di telinga kiri gue. Sekilas gue bisa nyium aroma mint dari rambutnya. Kalau di film-film gitu, adegan kayak gini harusnya jadi adegan yang romantis, kan? Tapi, nggak dengan apa yang cewek kecil songong itu bisikan. Bikin tengkuk gue tiba-tiba merinding disko.
Aku langsung menegakkan tubuhku begitu selesai mengatakan hal yang sejak tadi ingin kukatakan pada laki-laki ini. Dia mungkin tidak tahu, jika pojokan bench yang dia duduki itu ada penunggunya. Aku pun langsung berbalik dan menjauh laki-laki itu hingga aku mendengar satu teriakan.
"Woiii, cewek songong! Lo jangan nakutin gue!"
👻 End 👻
Ending-nya horor ye? Nggak sengaja 😅
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro