Tiga
Kamar berukuran lima kali enam meter persegi itu tampak begitu sunyi, seperti tidak berpenghuni. Lampu tidak menyala. Hanya cahaya bulan yang menemani. Tubuh kurus terduduk di kursi yang menghadap ke jendela. Jendelanya masih terbuka, memberi izin pada semilir angin malam yang ingin menyapa. Sesekali gorden dibawa terbang karenanya. Tempat tidur terlihat begitu rapi. Tidak ada satu barang pun yang tergeletak tidak pada tempatnya.
Tangan lembutnya masih bermain di atas kanvas. Tidak banyak warna yang ia mainkan malam ini. Hanya menggunakan tiga warna; hijau, kuning, dan hitam. Tiga warna yang membuat kanvas itu menjadi begitu indah dengan permainan kuasnya. Dia memang sangat mahir dalam hal ini. Hasilnya begitu abstrak, tapi membuat mata yang memandang tidak akan jenuh. Mata yang tidak mengerti seni pun akan bersinar melihatnya.
Klik!
Lampu dinyalakan, mengalihkan pandangannya ke arah pintu yang terbuka.
"Tidak baik bekerja dalam gelap," ucap Jennie lembut.
"Aku tidak bekerja," jawabnya dengan terus memainkan kuas.
"Mungkin bagimu itu bukan pekerjaan. Tapi, intinya tidak baik melakukan segala sesuatu dalam kegelapan. Tidak baik bagi matamu."
"Aku menikmatinya."
"Kamu kalau dibilangin selalu saja menyahut. Kakak bilang hal ini untuk kamu. Untuk kesehatan kamu. Kakak tidak mau kamu sakit suatu hari nanti."
"Aku tidak akan sakit."
Hal itu benar adanya. Tammy jarang sekali sakit. Sakit terparah yang pernah dialaminya hanyalah demam biasa yang dapat sembuh dalam waktu sehari. Sepertinya penyakit enggan memasuki tubuh perempuan dingin itu.
"Penyakitnya takut sama kamu. Takut kamu cuekin, makanya dia tidak pernah mampir di tubuhmu," celetuk Jennie, kesal dengan jawaban-jawaban singkat adiknya.
"Tante, aku hari ini dibeliin mainan baru sama Mama. Ada robot Optimus Prime. Keren banget, kan, Tante?" sapa Chan yang berlari ke kamar Tammy diikuti Chen.
"Aku dibeliin robot Bumble Bee yang bisa berubah jadi mobil, Tante," tambah Chen, tidak mau kalah dengan abangnya.
Mereka membawa masing-masing robot baru milik mereka. Chan dan Chen memang begitu menyukai robot. Jika sedang jalan-jalan, mereka akan selalu melirik robot dan minta untuk dibelikan. Meskipun sebenarnya mereka sudah ada robot itu, hanya saja berbeda ukuran besar-kecilnya.
"Waaah bertambah lagi, dong, koleksian kalian?" tanggap Tammy begitu hangat.
Tammy segera meletakkan kuasnya di atas meja dan menyapa kedua anak kecil yang sudah duduk di tempat tidurnya.
Inilah sisi lain Tammy. Ia akan hangat dan tampak berbeda hanya di depan kedua keponakannya yang begitu lucu. Tidak sekalipun ia menunjukkan sisi dinginnya di depan kedua bocah itu. Mungkin karena hal inilah, Chan dan Chen senang bermain dengannya.
"Tante mau bermain dengan kami?" tanya Chan.
"Tentu. Apa yang akan kita mainkan?" jawabnya semangat.
Chan dan Chen berebut perhatian Tammy. Masing-masing dari mereka ingin robotnya yang dimainkan Tammy. Dan Tammy memilih keduanya dimainkan secara bersamaan. Tammy tidak segan untuk menampakkan tawanya di depan mereka. Bertingkah konyol dan begitu kekanakan akan sangat membuat dua keponakannya bahagia.
Jennie yang melihat hal itu merasa sangat senang. Meski dengan dirinya Tammy tidak demikian, tapi tetap saja Tammy bisa merasakan kebahagiaan bersama anak-anaknya. Terkadang Jennie merasa bahwa Tammy seperti menganggap Chan dan Chen adalah anaknya sendiri. Tammy terlalu memanjakan mereka. Apapun pinta mereka tidak ada satu pun yang tidak dipenuhi. Dan mungkin karena alasan itu pula Chan dan Chen lebih senang dengan Tammy daripada Jennie.
"Apa kamu sudah mendengar kabar, Tam?" tanya Jennie.
Tammy hanya mendongak, tanpa menjawab. Ini pertanda bahwa ia tidak mengerti maksud Jennie.
"Kita akan kedatangan tetangga baru. Posisinya tepat di depan rumah kita. Kamu tahu, kan, rumah itu sudah sangat lama tidak berpenghuni. Mungkin sekitar enam tahun?"
"Aku tidak peduli."
"Kamu harus peduli. Ini tetangga baru kita. Kamu harus bertegur sapa dengannya. Kakak dengar dia satu kampus denganmu."
"Tasya?"
"Bukan, dong, Tam. Kalau itu Tasya, Kakak tidak akan sampaikan padamu. Lagian kenapa dia harus pindah ke depan rumah kita? Rumahnya di ujung sana, kok. Kata ibu-ibu komplek, anaknya ganteng, Tam. Kamu tidak niat gebet gitu?"
"Kurangi gosip, entar Kakak nampung dosa," timpal Tammy sekenanya.
"Kakak tidak bilang hal buruk, kenapa harus dosa? Kakak bilang dia itu tampan, Tam. T-a-m-p-a-n. Semua ibu-ibu ingin menjodohkan anaknya dengan dia."
"Silahkan."
"Kamu gimana, sih? Kamu itu punya kesempatan lebih besar. Kamu satu kampus dengan dia. Jadi, kamu bisa dengan mudahnya untuk dapatin dia." Jennie tidak menyerah begitu saja.
"Tidak niat."
"Tam—"
Tammy memilih keluar dari kamarnya, meninggalkan sang kakak yang terlalu sering membicarakan lelaki tampan untuknya. Jennie memang tidak berhenti untuk mencari pasangan untuk Tammy. Karena menurut Jennie, mungkin adiknya akan berubah dengan adanya pasangan. Bukankah jatuh cinta akan membuatmu lebih bahagia dan terbuka?
Namun ternyata, memang tidak berlaku apapun bagi Tammy. Tidak satu pun lelaki yang dikenalkan padanya digubris. Bahkan lelaki itu semua protes pada Jennie dan kesal terhadapnya, kenapa dikenalkan pada perempuan sedingin Tammy.
***
Tumpukan kardus sudah tersusun rapi di depan pintu kamar. Siap diangkut keesokan harinya. Ia terduduk menatap bulan di langit malam untuk melepas lelahnya setelah membereskan semua keperluan. Akhirnya hal yang dinantikannya akan segera tiba. Sungguh tidak sabar menunggu hari esok.
"Kamu sudah siap?" Suara itu terdengar dari daun pintu.
"Sudah, Kak. Aku akan berangkat besok."
"Kamu yakin mau pindah, Gave?"
"Aku yakin, Kak."
"Aku akan begitu kesepian tanpamu. Kenapa kamu harus pindah? Apa rumah ini tidak nyaman untuk kamu tempati? Atau kamu tidak nyaman dengan kamarmu? Kita bisa merenovasinya. Kamu tidak perlu pindah." Perempuan bersurai panjang tersebut mendekati meja belajar Gavin, dan memperhatikan tangan Gavin yang cekatan memasukkan beberapa barang dalam kotak.
"Kak Melika tenang aja, aku akan sering pulang, kok. Lagian aku pindah rumah yang tetap satu kota dengan rumah kita. Aku tidak pindah ke luar negeri, Kak," ucapnya menghibur sang kakak ipar.
Melika adalah istri dari Kenzo—Kakak Gavin—yang dipersunting lima tahun lalu. Namun sayang, selama lima tahun pernikahan, mereka belum dikaruniai buah hati. Beruntung ada Gavin yang selalu menghiburnya. Mereka sering bercengkrama dan berbagi cerita. Maklum saja, Kenzo jarang berada di rumah. Ia seorang politisi yang sibuk dengan partai. Ditambah lagi, dalam waktu dekat ia ingin mencalonkan diri menjadi Walikota. Sehingga ia terlalu disibukkan dengan strategi dan perencanaan-perencanaan yang harus matang untuk kemenangannya.
Bisa dikatakan, keluarga Gavin memang para politisi. Papanya, Sandy, dulunya adalah seorang Gubernur dan hingga kini masih menjadi ketua di partai yang digaunginya. Juga kakaknya, Kenzo, yang berada dalam partai yang sama dengan sang Papa. Sedikit berbeda, Stella—mama Gavin—bukanlah seorang politisi. Stella dulunya seorang reporter yang kini menjadi direktur penyiaran di salah satu stasiun televisi. Dan Gavin? Entah dari mana ia menuruni bakat musiknya.
"Apa kak Kenzo belum pulang?"
"Mungkin malam ini dia akan pulang larut. Dan besok pun sepertinya dia tidak akan bisa ikut mengantarmu pindahan. Tapi, kamu tenang aja, Kakak besok akan mengantarmu."
"Hanya Kakak?" tanya Gavin, sedikit terpancar kekecewaan di wajahnya.
"Apa kamu berharap Mama juga akan mengantarmu?"
"Ah, tidak," tepis Gavin cepat. Senyum pun segera ia kembangkan, "aku hanya bertanya saja. Walau hanya Kakak yang mengantarku, aku sudah sangat senang."
Gavin tersenyum melihat kakak iparnya yang periang, tapi kesepian. Gavin sedikit merasa bersalah pada Melika. Dengan kepergiannya tidak akan ada lagi teman bicara Melika di rumah ini. Mamanya orang yang juga sibuk. Padahal dulu Stella bukanlah orang yang 'pekerja'. Stella lebih memprioritaskan anak-anak dan keluarga daripada pekerjaan. Tapi setelah kejadian itu, semuanya berubah. Tidak ada lagi Stella yang peduli pada anak. Tidak ada lagi Kenzo yang selalu menemaninya bermain. Tidak ada lagi Sandy yang akan mengajaknya jalan-jalan di akhir pekan. Semua berubah dalam satu hari itu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro