Lima
Arena permainan begitu ramai akan anak-anak. Banyak orang tua yang membawa anak-anak mereka ke tempat ini karena memiliki aneka ragam permainan. Anak-anak pun akan lupa waktu jika sudah datang, rasanya tak ingin pulang. Namun, tidak hanya anak berusia 10 tahun ke bawah yang bermain di sini. Ada pula dari kalangan remaja bahkan mahasiswa menghilangkan penatnya di tempat ini. Karena untuk menghilangkan gelisah, tidak melulu harus ke pantai, keliling dunia, atau semacamnya. Bahkan dengan melakukan berbagai macam permainan otak lebih terasa menyenangkan.
Ibu dua anak ini sedang mengamati anaknya yang asik bermain Transformer. Ia tidak menyangka di usianya yang masih 28 tahun dirinya sudah memiliki dua orang anak. Mungkin terlihat biasa bagi ibu-ibu lainnya, tapi tidak dengannya. Dulunya, ia ingin menikah di usia 26 tahun karena ingin fokus dengan karirnya sebagai pembaca berita. Tapi siapa sangka, jodoh menjemputnya lebih awal.
Park Hyun Bin, seorang pilot muda nan gagah, yang dikenalkan oleh teman SMA, tiba-tiba menawarkan diri untuk menjadi pendampingnya. Bukan Jennie, jika ia dengan mudahnya menerima tawaran itu. Jennie melakukan segala upaya untuk menilai, pantaskah lelaki berdarah Korea itu menjadi pendamping hidupnya.
Jennie melakukan penilaian secara fisik dan mental. Melihat seberapa tangguh lelaki kulit gelap—untuk ukuran orang Korea—tersebut. Jangan sampai dirinya lebih handal bermain jurus daripada suaminya kelak. Ternyata, di luar dugaan, Hyun Bin mampu melewati segala tes yang dilakukan Jennie, hingga tidak ada alasan baginya untuk menolak pernikahan. Jennie menikah empat tahun lebih awal dari targetnya. Ya, Jennie menikah di usia 22 tahun.
"Ma, aku bosan," sapa Chan yang lelah bermain.
"Aku mau makan ice cream dong, Ma," tambah Chen yang disetujui anggukan Chan.
"Kalian ingin memakannya? Mari kita serbu penjualnya," ajak Jennie ceria.
Chan dan Chen segera berlari menuju tempat ice cream dijual. Agar tidak kehilangan kedua anaknya, Jennie pun mengejar mereka sambil tertawa. Mereka bertiga berlari seperti sekelompok teman yang seumuran.
Bruk!!
Kesalahan kedua yang sama dilakukan Jennie hari ini. Dia menabrak seorang lelaki yang mengenakan setelas jas dengan begitu rapi. Jennie menatap lelaki itu lekat, matanya tidak berkedip walau sekejap. Lelaki berkacamata hitam itu membuatnya terhenti dari mengejar anaknya.
Sama dengan Jennie, lelaki berjas itu pun melihat Jennie, dengan tatapan yang berbeda. Tatapannya datar, tapi terkesan sinis. Seakan sangat kesal dengan kesalahan Jennie yang menabraknya.
"Kamu ...." Suara Jennie terputus dengan sorot mata yang terus meyakinkan.
Lelaki tersebut pergi begitu saja, tidak peduli dengan suara Jennie yang seakan mengenalnya. Bukan hal yang penting untuk mengonfirmasi siapa dirinya pada perempuan itu.
"Ken—" Jennie menghentikan nama itu, mendesah pelan.
Jennie melihat lelaki yang telah pergi jauh, hilang dari pandangannya. Apa ia salah melihat? Sudah terlalu lama mereka tidak bertemu, sangat lama. Tidak mungkin jika harus bertemu di tempat ramai seperti ini. Akan tetapi, lelaki itu seorang diri. Apa ia masih belum menikah? Jennie membuang jauh-jauh pikiran yang merusak otaknya. Itu bukan hal yang yang harus dipikirkannya. Semua telah berlalu bertahun-tahun silam. Kini dia sudah memiliki kehidupan yang jauh lebih baik.
***
"Nak, kamu akhirnya tiba? Kenapa lama sekali? Hidangannya mulai dingin," tanya seorang perempuan berumur empat puluhan.
"Maafkan aku, Ma. Tadi seseorang tidak sengaja menabrakku," jelasnya.
"Kamu terluka?"
"Jelas tidak, Ma. Aku hanya bertabrakan tubuh dengannya. Mama tidak perlu sekhawatir itu," jelasnya singkat sambil memegang pundak mamanya.
"Jelas Mama khawatir, kamu putra Mama."
"Hai, Adik, bagaimana kepindahanmu tadi? Lancar?" tanyanya pada lelaki muda yang duduk di depannya.
"Lancar. Kak Melika membantuku."
"Dia seorang kakak ipar yang baik, bukan?" tanyanya melihat ke arah Melika yang tersenyum. Tidak ada tanggapan apapun dari lelaki muda tersebut yang ternyata adalah Gavin.
Mereka menyantap makanan yang terhidang dengan mewah. Jarang sekali mereka memiliki waktu untuk bersama seperti ini. Mungkin terakhir kali adalah satu tahun yang lalu? Saat mamanya, Stella, ulang tahun.
"Aku masih tidak mengerti, apa yang membuatmu memilih untuk pindah? Adakah perempuan yang kamu sukai di daerah itu?" godanya.
"Tidak seperti itu, Kak. Hanya saja lokasinya lebih dekat dengan kampusku. Aku lebih mudah mengaksesnya," alasan Gavin.
"Sungguh? Jadi tidak ada perempuan yang kamu sukai?"
"Kenzo, berhenti menggoda adikmu!" tegur Stella.
"Maaf, maaf. Aku tidak bermaksud menggodanya, Ma. Aku hanya heran. Dia memiliki paras yang tentu menggoda, tapi masih tidak memiliki kekasih. Apakah ada seseorang yang selama ini menyelinap dalam hatimu tapi tidak bisa kamu dapatkan?"
Pertanyaan itu sedikit menohok Gavin. Membuat makanan seperti lengket di kerongkongan, tidak bisa ditelan. Kenzo pasti punya jawaban atas pertanyaan itu, tapi pura-pura bertanya.
"Apa kamu menemukannya?" tanya Kenzo lagi.
"Siapa yang Kakak maksud?" tanya Gavin seraya mendongakkan kepalanya.
"Gadis kecil itu. Aku rasa kamu masih mencarinya," jawab Kenzo santai, tetap memasukkan makanan ke mulutnya.
"Kenapa kamu diam, Gavin? Kamu menemukannya? Kamu melihatnya? Bertemu dengannya? Atau kalian sudah berteman akrab sekarang?" lanjut Kenzo dengan sedikit penekanan di akhir pertanyaan.
Gavin tetap memilih diam, tidak menjawab satu pertanyaan pun.
"Lupakan dia! Jangan pernah berharap untuk dapat menemukannya! Berhentilah dengan harapan tidak jelas itu!"
"Kenapa kalian membuat suasana begitu tegang? Apa ini menyenangkan setelah sekian lama kita tidak berkumpul?" tanya Stella geram.
"Apa Mama pernah bertemu dengannya?" tanya Kenzo menatap Stella.
"Kenzo! Hentikan omong kosongmu!!" ucap Sandy, membanting sendok garpunya.
"Aku hanya bertanya, Pa. Apa yang salah? Setelah dia menerima semua yang kita berikan, dia menghilang begitu saja. Bagaimana jika dia membeberkan semua yang terjadi? Pemilihan sebentar lagi, Pa. Aku tidak mau hancur karena perempuan itu."
"Berhenti membicarakan keluarga itu. Mamamu sudah mengurus semuanya. Mereka tidak akan pernah berani lagi menunjukkan wajahnya di depan kita. Apalagi untuk membicarakan kejadian itu," tukas Sandy. Nafsu makannya hilang karena pembahasan yang dibawa Kenzo. Ia lekas meneguk air minum untuk meredamkan emosi.
Kenzo tersenyum miring, melanjutkan santapannya. Lalu yang kulihat tadi siapa? tanyanya menyeringai.
Pertanyaan itu hanya dilontarkan dalam hatinya. Ia tahu jika mengeluarkan pertanyaan itu sekarang juga, Sandy akan sangat marah. Ia harus mencari tahu sendiri tentang perempuan itu. Kenzo menatap Gavin yang duduk di depannya tenang menyantap makanan. Tentu ia akan menyelidiki adiknya itu. Kenzo yakin, Gavin mengetahui sesuatu.
👣👣👣
Annyeong, chingu-deul 👋🏻👋🏻👋🏻
Yang mau baca kelanjutannya bisa langsung ke akun Karyakarsa KiMLatte ya...
Udah tamat di sana 🔥
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro