Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 2

---------------------------------------------------
Ketika nanti hikmah mengambil takhta, maka kita akan mencintai segala hal yang kita benci saat ini.
---------------------------------------------------

Mengenakan kaus berwarna hitam, jin abu pekat, serta sepatu converse yang senada dengan celana, Azel sudah siap bertemu Alva. Ia baru sampai di Mal Karawaci lima menit yang lalu menggunakan kendaraan online.

Ia melangkahkan kakinya masuk dan berjalan-jalan sebentar. Kemarin, melalui jejaring sosial, Alva berkata, “Kita ketemuan di Mal Karawaci aja, gua langsung ke sana pas pulang kuliah. Kisaran jam satu atau setengah dua.” Dan sekarang jam baru menunjukkan angka dua belas.

Kakinya bergerak tiada henti, membawa Azel menyusuri lorong yang kanan dan kirinya dipenuhi oleh ruko-ruko. “Gak jauh beda sama BIP,” gumamnya.

Tak lama, gawai Azel bergetar. Ternyata Alva yang menghubungi, dengan segera ia mengusap ibu jari untuk menerima panggilan darinya.

Lo udah di tempat?

Belum sempurna Azel menempelkan gawainya di telinga, Alva sudah berbicara. Posisi Azel saat ini berada di tempat steik dekat area timezone, di mana banyak suara bising yang mengganggu fokus indra pendengarannya. Tak ingin menjelajah lebih jauh, ia pun memutuskan untuk beristirahat di sana. Setidaknya kakinya dapat beristirahat untuk sejenak.

“Hah? Lo ngomong apa? Gua gabisa denger!”

Lo udah di tempat?” Alva mengulangi perkataannya sedikit lebih keras. “Gua baru balik, nih! Kira-kira setengah jam baru sampai,” lanjutnya.

“Iya, gua udah di tempat. Baru saja sampai,” jawabnya. “Oke, kalau gitu gua tunggu lo di tempat ... bermain? Yang ada rollercoaster-nya.”

Tak ada jawaban dari Alva. Entah karena ia sengaja tidak menjawabnya, atau karena suara rollercoaster yang melintas berbaur dengan suara Azel ketika berbicara.

“Woi! Gua nunggu lu di —”

Iya, iya! Di timezone, 'kan? Ya udah, tunggu, ya!” Alva memotong perkataan Azel dan langsung memutus telepon sepihak.

Katanya, dalam waktu tiga puluh menit, Alva akan sampai. Azel tidak mungkin duduk selama itu di sana bila tak memesan apa pun. Terlebih lagi sedari tadi pelayan di sana terus-menerus mendatangi mejanya untuk menanyakan pesanan.

Buku menu yang sudah diterima sejak Azel sampai di restoran, baru dibuka sekarang ini. Matanya menjelajahi tiap-tiap kata yang terbentuk menjadi sebuah nama makanan kebarat-baratan. Butuh waktu tiga menit untuknya dalam menentukan pilihan. Dengan segera ia mengangkat sebelah tangan, bermaksud memanggil pelayan.

“Iya, Mas, ada yang dapat saya bantu?”

“Saya pesan barbeque steak buff dan avocado juice.” Azel menutup menu di hadapannya.

“Untuk barbeque steak buff tingkat kematangannya ingin seperti apa?” tanya pelayan tersebut. “Medium rare, medium, medium well, atau well done?”

Mendengar pertanyaan pelayan selanjutnya, Azel sedikit memutar otak. Biasanya, kalau makan steik seperti ini, Bunda yang selalu menjawab tiap-tiap pertanyaan pelayan. Ayah, Azel, dan Agas, hanya perlu memilih ingin steik yang mana untuk dimakan.

Medium well saja, Mbak.”

Pelayan itu nampak mencoret-coret sebuah kertas kecil dengan pulpennya. “Baiklah, barbeque steak buff dengan tingkat kematangan medium well, serta satu avocado juice. Silakan ditunggu sebentar, ya, Mas.”

***

Hot-plate yang ada di meja Azel kini sudah bersih tak bersisa. Begitu pula dengan gelas besar di sisinya. Ia langsung beranjak ke kasir, membayarkan sejumlah uang, dan pergi meninggalkan tempat tersebut.

Azel terhenti di hadapan arena panjat tebing, ia memutuskan kalau tempat ini akan strategis bila dijadikan media pertemuan. Selain rollercoaster yang bergerak liar di atas sana, tembok panjat tebing juga dapat dilihat dari segala sudut ketika memasuki arena bermain.

Gawainya menyala. Itu karena Alva menghubungi.

Gua di sini, posisi lo di mana?

Azel mengedarkan pandangannya ke sekitar. “Di bawah panjat tebing.” Akan tetapi, ia tidak mendapati sosok Alva yang sedang berkeliaran bingung.

Oke-oke sebentar!” Kali ini Alva tidak memutus telepon, dibiarkan tersambung olehnya. “Gua di sini, lo mana?

Azel tak heran bila Alva sulit menemuinya. Hari ini adalah Sabtu, tentu banyak orang yang akan menghabiskan weekend-nya di tempat seperti ini. Ditambah lagi, sudah hampir empat tahun keduanya tidak bersua.

“Gua di sini, di bawah panjat tebing. Pakai baju hitam sama celana abu gelap.” Azel menjelaskan, pandangannya tetap berkelana mencari orang kebingungan dengan gawai yang menempel di telinga.

Pake converse abu?

Azel mengangguk, tapi di detik berikutnya ia menyadari kebodohan yang dilakukan. “Iya! Lo di mana?”

Belum mendapat jawaban pasti dari seberang sana, Alva lagi-lagi memutus telepon. Kini Azel yang kebingungan mencari kawan lama di tengah hamparan manusia.

“Woi, Zel!” Seseorang merangkul bahunya. “Tinggian?” lanjutnya, diikuti tawa meledek.

Azel menoleh sigap. “Sialan lo, Va! Baru ketemu udah ngagetin. Ngeledek lagi!” Ia ikut larut dalam tawa.

Setelah Alva melepas rangkulannya—yang Azel tahu dengan jelas alasan ia melakukan hal itu—ia langsung berkata, “Eh! Nonton, yuk? Katanya ada film bagus yang baru keluar.”

Azel menatap teman sebangkunya dulu. Benar-benar perubahan yang signifikan. Tak ingin terlalu satu dengan dunia khayal, Azel langsung mengangguk setuju.

Setelah mengantre beberapa saat, dua buah tiket sudah berada di genggaman keduanya. Ketika pemberitahuan khas bioskop terdengar, mereka langsung melenggang masuk, dan menikmati jalannya cerita.

***

Satu persatu penikmat film mulai berhamburan di depan pintu keluar. Alva terlihat sangat gembira dengan cara bagaimana sang sutradara menguasai film tersebut.

“Gila! Gua gak sabar tahun depan!” serunya enerjik. “Gak sia-sia gua nonton ini film.”

Mulutnya terus berceloteh mengenai film yang tadi ditayangkan. Alva belum puas bila terlihat excited seperti itu seorang diri.

Fix, nanti gua bakal tonton sekuelnya!”

Kali kelima Alva mengucap kalimat dengan makna yang sama. Azel yang membisu di sebelahnya hanya tersenyum. Entah ke mana arah tujuan keduanya, yang pasti, Azel juga merasa euforia dari tubuh Alva terpancar pada dirinya.

“Sekarang mau ke mana?” tanya Alva, nampaknya sudah lelah berpidato ria. “Gua laper. Makan, yuk?”

Jujur, Azel belum merasa lapar lagi setelah makan steik tadi siang. Akan tetapi, ia sungkan untuk menolak permintaan temannya itu.

“Boleh.”

Lagi-lagi Alva merangkul bahu Azel, membuatnya terkejut bukan main. “Nah, gitu, dong! Kita ke Hanamasa, yuk?”

Yang diajak hanya mengangguk spontan. Ia tak menjawab, hanya mengikuti ke mana si pengendali gerak membawanya.

Sebuah rasa menyerang hatinya secara paksa. Membuat pipi Azel merona tak tahu tempat.

Rasanya, Azel jatuh hati.

Entah itu cinta atau bukan, tapi hatinya berperang dingin meneriaki tingkah Alva.

Menurutnya, ini adalah hal yang salah.

Mencintai sesama adalah dosa besar, sebesar apa pun rasa yang dipupuk, semua tetaplah kesalahan.

Tapi, pikirnya, ini sudah ditakdirkan.

Manusia hanyalah lakon drama yang memainkan naskah ciptaan Tuhan. Salah atau benar, Tuhan yang mengatur. Lantas, bila hal ini salah, mengapa Tuhan menitah hatinya untuk jatuh?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro