Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4 | Realization and Apologize

"Selamat tinggal, [Name]-chan." Hijirikawa yang dirasuki membiarkan jari-jarinya tertusuk pecahan kaca.

Yang dilakukannya bisa dikatakan self-harming, bila Hijirikawa yang melakukannya. Akan tetapi, pemilik raga yang sesungguhnya tidak tahu soal itu. Garis-garis kemerahan mulai mengalir di sekitar jemarinya. Menimbulkan robekan yang membuka akses darah yang perlahan menetes di lantai. Aku yang melihatnya saja merasakan nyeri secara mental.

"Hentikan!"

Pintu kamar Hijirikawa terbuka dengan paksa dari luar. Baik aku dan makhluk astral itu sama-sama menoleh, mendapati Kurosaki yang tersengal di depan pintu. Detik berikutnya, Kurosaki langsung berlari dan mencengkram kerah baju Hijirikawa.

"Masato, apa yang kaulakukan?!" Kurosaki mengguncang bahu Hijirikawa beberapa kali.

Aku menggigit bibir bawahku. "Dia... bukan Hijirikawa yang kita kenal. Dia dirasuki...."

"Aku... tidak tahan lagi," ucap Hijirikawa pelan. "Aku ingin mati saja." Tubuh Hijirikawa seolah merapuh begitu saja setelah Kurosaki mengguncang bahunya.

Tepatnya, jiwa makhluk astral itu malah keluar dengan sendirinya. Kini, eksistensinya seutuhnya terlepas dari raga Hijirikawa. Wanita itu memiliki sepasang mata kemerahan dan struktur kulit meretak. Tidak lupa, rambut hitam panjang hingga mata kaki serta jubah putihnya ternodai oleh noda berupa bercak-bercak darah.

"Sial! Kenapa aku bisa keluar?" Wanita astral itu terkejut, melihat dirinya telah terpisah dari Hijirikawa.

"Kau sumber permasalahan dari semua ini. Kalau mau tanding, ayo di luar!" seruku merasa lebih percaya diri.

Kurosaki menolehku sambil mengernyitkan dahi; melihatku berbicara dengan sosok tidak terlihat oleh penglihatannya di sisi meja belajar. Masa bodoh, aku akan memancing wanita itu keluar dari sini secepat mungkin.

Aku menoleh ke arah Kurosaki. "Hentikan pendarahan di tangan Hijirikawa-san. Oh ya, segera hubungi klinik terdekat! Sisanya akan kuselesaikan!" seruku lalu berlari ke luar.

"Selesaikan a---"

Pintu kamar Hijirikawa telah tertutup rapat sebelum aku mengetahui lanjutan ucapan Kurosaki. Namun, tidak masalah. Perkara itu bisa nanti saja dibahas.

"Mau ke mana kau, gadis sial?" umpat hantu itu tidak terima.

Aku menapaki anak tangga. Hantu itu mengejarku dari belakang. Dia semakin cepat dan berhasil menyusulku. Kini, dia ada di hadapanku sebelum aku selesai menuruni anak tangga. Aku mendorong tubuhnya. Hantu itu terguncang secara berguling-guling. Merasa ada kesempatan, aku harus segera mengembalikan jalan yang tepat.

Tanpa kusadari, dari luar terdengar gemuruh guntur yang menaungi angkasa. Kakiku terasa lemas setelah mendengar itu. Kupaksakan naik menuju kamar untuk mengambil kalungku serta senjataku agar hantu itu bisa kembali ke asalnya, tetapi hantu itu bangkit di luar dugaan.

Kesulitan pertama; dia menjambak rambutku. Ya, otomatis juga kujambak balik! Enak saja dia membiarkanku sendirian mengalami kebotakan dini.

"Kau yang harus mati sekarang! Mati! Mati! Mati!" serunya terdengar sangat nyaring tepat di telingaku.

Aku berharap tidak akan mengalami gangguan pendengaran setelah hantu ini kembali ke asalnya.

Kesulitan kedua; tangan kirinya (lagi-lagi) mencekik leherku. Dia mungkin punya cekik fetish atau apapun itu, tapi jelas-jelas ini menyebalkan.

"Tidak setelah kau yang pulang ke asal---" ucapku telah sesekali terbatuk.

Kudengar suara pintu utama telah terbuka dari luar. Muncul seorang pemuda yang tidak kukenali. Berambut gondrong biru terang diikat ponytail, memiliki warna manik serupa, dan kelihatan kalem ketika melihatku.

Persetan ekspresiku, yang jelas dia tidak boleh ada di sini!

"Hei, kau! Segera pergi!" ucapku tidak bisa menahan keseimbangan karena terus ditahan pergerakanku oleh sang hantu.

Sialnya, kakiku terpeleset.

Pemuda itu langsung berlari. Mengambil secarik kertas dari saku celana dan menempelkannya tepat di punggung hantu itu. Setelahnya, dia berhasil menahan tubuhku dengan rengkuhan di pinggang. Hantu itu pun jatuh terduduk. Ia terlihat kesakitan karena sengatan di sekujur tubuhnya, lalu perlahan menghilang begitu saja bagaikan abu.

Semudah itu sosoknya memudar.

"Kau... siapa?" tanyaku tanpa sadar telah duduk, masih ada di dekapannya di sudut anak tangga.

"Kau itu cenayang gadungan?" tuding pemuda itu tidak langsung menjawab pertanyaanku. "Teknisnya, kau harus menyerangnya dengan kemampuan seperti tadi. Hantu tadi jelas-jelas hanya level rendahan karena langsung musnah dalam sekali serangan kertas mantra itu."

Dia... tahu soal itu dari mana?

Aku mengangguk kecil. "Memang benar, tapi itu bukan jalan yang biasa kulakukan. Aku tadi berniat... membuka segel untuk jalur dunia mereka kembali...."

Dia menghela napas. "Dasar amatir."

Aku tidak punya kekuatan untuk membantah kata pemuda itu. Dia benar, mungkin aku benar-benar mati di tangan hantu. Ternyata menghadapi seorang diri belum benar-benar baik untukku.

Mataku tidak lagi sanggup untuk terbuka seutuhnya. Semuanya terlihat begitu gelap ditemani rasa nyeri yang menjalar. Aku belum sempat bertanya identitas pemuda itu, apalagi kesadaranku sepenuhnya pudar; tidak lagi sanggup kupertahankan.

☆ ☆ ☆

Setelah kejadian itu, aku yakin telah pingsan di dekapan pemuda kalem itu. Eksistensiku mulai bangkit kembali ketika bau antiseptik menusuk dan seisi ruangan terlihat berwarna putih.


"[Name]-san, kauingat aku?" tanya Ichinose ada di sampingku.

"Ichinose-san? Kenapa kau bisa ada di sini?" tanyaku setengah terbangun, hendak mengambil posisi duduk.

Ichinose mengambil bantal untuk menyandari tubuhku. "Ada yang sakit?"

Aku menggeleng pelan. "Aku tidak apa-apa. Ah! Hijirikawa-san bagaimana?"

Aku berharap Kurosaki melaksanakan perintahku saat peristiwa itu. Ichinose tidak langsung menjawab pertanyaanku, tepatnya karena tirai putih pembatas yang dibuka dari luar. Menampilkan Kurosaki dan Hijirikawa di sebelah.

"Kalau kau bertanya soal Masato, dia hanya luka ringan. Pendarahan di tangannya sudah disterilisasi, selain itu dia mengalami malnutrisi sehingga perlu istirahat banyak," ucap Kurosaki hendak menaruh kedua tangan di atas kepala, meregangkan sendi-sendinya.

Kutarik napas lega. "Syukurlah."

"[Name], beristirahatlah. Selama aku pergi, tolong berbaikan satu sama lain, ya." Ichinose berdiri lalu melihat aku dan Kurosaki secara bergantian. Detik berikutnya, ia mengambil jaketnya yang terlampir di kursi.

Aku menarik lengan bajunya. "Mau ke mana?"

Ichinose tersenyum. "Aku ada urusan. Maaf tidak bisa berlama-lama."

Aku menggeleng. "Ti-tidak apa. Se-seharusnya aku berterima kasih karena telah menjagaku."

"Ya, tapi kurasa Kurosaki yang harus menerima terima kasih itu karena dia telah menjaga kalian berdua selama kurang lebih tiga hari."

Tiga... hari?

Aku pingsan selama itu?!

Membiarkanku bergeming dengan mulut melongo sepertinya bukan perkara bagi Ichinose. Pemuda itu melambaikan tangan dari kejauhan lalu keluar dari pintu pasien yang terbuka otomatis. Suasana setelah Ichinose pergi benar-benar canggung.

Kalau tidak ada insiden hantu yang mengganggu Hijirikawa, aku pasti yakin akan mengganggapnya seperti orang asing, tetapi kini aku tidak bisa seperti itu. Tirai itu juga masih terbuka sehingga mau tidak mau, aku pasti tetap bisa melihatnya.

Namun, aku telah berjanji bahwa aku akan minta maaf kepadanya. Aku tidak bisa berlama-lama mencari perkara. Berat memang rasanya untuk mengakui kesalahan. Kalau sudah berbaikan, aku yakin hatiku akan terasa lebih lapang. Dan, perasaan itu pasti menenangkan.

Sambil menunduk, aku berkata, "Soal memancing emosimu, maafkan aku...."

"Nggak kedengaran," timpal Kurosaki.

Cih.

Dasar pembohong yang suka mengikis harga diri.

Jarak kami tidak sampai dua meter dan suara kecilku pasti terdengar. Menahan diri untuk tidak mencibir di hadapan Kurosaki, aku memberanikan diri untuk tidak menunduk lagi.

"Maafkan aku. Dan, terima kasih sudah menolong Hijirikawa-san," ucapku sekali lagi lalu membuang muka.

Kurosaki menghampiriku--- walau tidak bisa dikatakan niat juga karena ia hanya menggeserkan diri dengan posisi terduduk ke tempat tidurku. Persetan wajahku yang sebenarnya mulai terasa panas, Kurosaki malah memegang daguku.


"Kumaafkan tidak, ya? Tapi karena kau telah berusaha menjadi anak baik, sini makan apelnya dulu." Kurosaki menyeringai disertai ejekan.

Di meja tepat di samping Hijirikawa, telah beralaskan tikar dan sebuah piring dengan lima potongan apel kelinci.

Aku ingin mencincangnya!

Aku ragu kami bisa pernah akur satu sama lain. Meskipun disengajakan Ichinose dengan kondisi seperti ini. Aku bergeming lalu menepis tangannya yang menyentuh daguku.

"Aku bukan anak-anak! Usiaku sudah delapan belas!" gerutuku berusaha merebut garpu yang telah tertancap apel.

Namun, Kurosaki sengaja mengangkat garpu itu tinggi-tinggi. Dia tidak benar-benar ikhlas memberiku apel itu sejak awal. Seharusnya dari awal aku tahu itu.

Hanya saja, aku tetap menggapai-gapai, tidak mau kalah. Sayangnya, tangan kiriku masih terkait dengan infus sehingga aku kesulitan meraihnya. Ia menundukkan kepalanya. Jarak wajah kami jadi lebih dekat. Terkejut, aku segera menarik diri dengan berakhir tanganku memegang bahunya.

"Y-ya sudah kalau tidak mau kasih," ucapku membuang muka tetapi merasakan bibirku basah.

Apel itu ia berikan, ditambah sebuah senyuman penuh kemenangan yang membuatku kesal sekaligus bingung.

Di belakang Kurosaki, Hijirikawa pun sadar. Sepenuhnya sadar hingga dapat duduk bersandar di tempat tidur. Manikku membelalak.

Sejak kapan dia bangun?!

• To be Continued •

Question 3 ☆
Saat Hijirikawa terbangun, apa yang akan diucapkannya?
A. "Kalian sedang apa?"
B. "Aku ada di mana?"
C. "Maafkan aku!"
D. (Isi sendiri sesuai dengan imajinasi)

see ya on the next part!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro