20 | Decision and Bad News
Tadi aku hanya berhalusinasi, bukan?
Pasti tidak. Mana mungkin Kurosaki yang jadi sasaran hantu berikut? Yang ada hantunya takut duluan.
Tangan kananku mendorong koper--- roda pun mencium aspal jalanan--- bercampur kerikil.
Dia akan baik-baik saja. Toh, ada inspektur Mikaze.
Ya, aku yakin. Dengan segenap hatiku.
• • •
Ibu menjemputku di stasiun tujuan. Hanya sendirian, tidak ditemani sanak keluarga lain. Sebenarnya, aku bilang bisa pulang sendirian dengan bus. Namun, ia bersikeras datang menemuiku lebih dulu dan rela menunggu.
"Kau terlihat lebih kurus," tutur Ibu.
Aku menyeringai kaku. "Begitukah? Mungkin karena lelah selagi menjalankan misi."
Meskipun aku tidak ingin Ibu khawatir, tetapi kami memang sudah jarang bertemu. Ibu menatapku lekat-lekat. Otomatis, dahiku berkernyit.
"Ada masalah?" tanyaku meraba-raba wajahku.
"Kau boleh memutuskan untuk tidak pulang lagi ke sana. Menjadi cenayang di kuil kita saja juga tidak apa-apa."
Manikku membola. Sejak awal, Ibu memang kurang menyetujui keinginan Ayah (ditambah permintaan Saotome). Ayah berkata misi ini bisa mengembangkan kemampuanku, maka aku menuruti keinginannya.
"Misiku belum sepenuhnya selesai, Bu."
Ibu menyentuh anting bulir keemasan disertai tatapan sendu. "Lalu apabila misimu sudah selesai, kau takkan kembali ke Tokyo?"
Tidak langsung menjawab, aku hanyut dalam geming. Jawaban dari pertanyaan itu sebenarnya sangat sederhana; iya atau tidak. Namun, sebagian dari diriku berat untuk berkata 'iya'. Setelah banyak kejadian berat yang menimpaku, tetapi banyak pula kejadian indah yang membahagiakan. Meninggalkan semuanya terasa memilukan.
"Apa Ibu sungguh tidak menginginiku ke Tokyo?"
"Ibu ... dengar dari Saotome-san kau dirawat di rumah sakit. Salah satu penghuni mansion-nya memberitahunya."
"Hanya sekali, Bu. Sekarang sudah baik-baik saja," bujukku memasang wajah berseri. "Ibu jangan khawatir."
"[Name], renungkan hal ini baik-baik. Tidak ada salahnya untuk menyerah demi sesuatu yang lebih buruk terjadi."
Manikku terpejam. Menjadikan bahu Ibu sebagai sandaran. Tanpa berucap patah kata apapun. Aku terlalu takut untuk berubah pikiran. Sebagai anak sulung. Sebagai cenayang. Pilihan-pilihan yang mendilemakan.
• • •
[Apa kau sudah tiba di sana?]
Ichinose meneleponku tepat ketika aku baru saja menarik koper ke dalam kuil. Seperti memberi sinyal telepati, waktu panggilannya kepadaku begitu pas.
"Ya, terima kasih. Aku sudah sampai. Ibuku menjemputku begitu aku tiba." Aku menyandarkan tubuhku di dinding. Suasana kuil masih begitu sunyi. Masih sama baik seperti sebelum kepergianku ke Tokyo. Aku akan tinggal di sini lagi untuk sementara waktu.
[Kalau ada masalah, kau bisa selalu cerita kepadaku. Kapan saja.]
Aku terkekeh. "Aku tersanjung. Kudengar kau seorang guru. Woa, Ichinose-sensei benar-benar siap sedia, ya!"
Mungkin aku egois, tetapi hingga kini, aku tidak mengonfirmasi perasaannya. Mungkin karena aku sudah nyaman dengan perlakuan mereka yang menganggapku seperti bagian dari mansion. Meskipun terdengar menggelikan, tapi dianggap ada membuat hatiku terasa menghangat. Tidak peduli masalah dan hantu-hantu yang mengganggu.
Terdapat jeda setelah aku menggodanya. Kuharap dia tidak menyemprotku. Namun, ia hampir tidak pernah terlihat marah--- cenderung menegur seadanya. Singkat, padat, dan jelas. Aku memandangi layar ponselku. Detik demi detik masih berlalu. Ia masih belum mengakhiri panggilannya.
[Tenang saja. Aku selalu bisa menata waktuku dengan baik. Tapi karena jarakmu jauh, sebagai lelaki yang menyukaimu, hanya itu yang bisa kulakukan sekarang.]
Aku berbohong bila wajahku tidak merona. Dia sungguh mempertahankan pernyataannya.
Tuhan, jawaban apa yang harus kukatakan agar melukai hatinya?
* * *
"Kak [Name]!" panggil salah satu gadis menghampiriku.
Aku selalu mengenalnya. Umi, salah satu penerus cenayang dari pihak keluarga ayah. Bisa dibilang, ia sepupuku. Terkadang ia memintaku untuk mengajarinya ini dan itu, tetapi aku terlalu malu. Kemampuanku tidak seberapa dengan cenayang-cenayang lain. Dan, kesempatan Saotome ke Tokyo begitu berharga. Kemampuanku meningkat lebih baik, dengan segala pertimbangan.
"Umi-chan, lama tidak berjumpa," sapaku memeluknya. Tahun ini ia genap berusia dua belas tahun.
"Bagaimana di Tokyo? Menyenangkan?" tanya Umi dengan manik berbinar-binar.
"Terlalu banyak yang terjadi sehingga tidak selamanya menyenangkan," ungkapku mengelus puncak rambutnya.
"Tapi sepertinya Kak [Name] merasa sedih karena pulang ke sini," kata Umi seolah menelaah diriku dalam-dalam dari sepasang irisnya.
Terkekeh pelan, aku memilih berbaring di atas tatami yang lapang, tidak beralas. "Tidak salah. Entah kenapa, hatiku merasa hampa. Padahal di sini lebih tenang dan nyaman."
Tidak dengan benakku. Tidak dengan hatiku. Lama-lama jadi menyebalkan. Tanganku perlahan menggapai-gapai remote televisi. Di saat itu pula, ibu membawa dua gelas ocha yang mengepul di atas nampan.
"Tahun depan aku resmi masuk SMP, loh. Menurut Kak [Name], aku akan lebih cantik mengenakan dasi pita atau sailor?" tanya Umi ikut berbaring di sebelahku.
Alisku berkernyit. "Eh? Kau lebih khawatir jenis dasi seragammu ketimbang jenis sekolah?"
Umi mengerucutkan bibir. "Tidak juga. Tapi seragam juga penting, 'kan? Toh, ayah bilang aku harus masuk sekolah negeri."
Tidak lama lagi musim dingin akan tiba. Manikku menyadari guguran daun momiji memenuhi pekarangan kuil. Sekilas, aku kembali menonton televisi yang menayangkan iklan. Tidak lama, televisi kini menayangkan berita acara harian.
"Apa aku akan dianggap sedang melarikan diri?" gumamku, bertanya lebih kepada diriku sendiri.
"Tidak, Kak. Kakak pantas untuk memutuskan. Menolong banyak orang, itu hebat sekali." Umi berkata tanpa melihatku, mengupas kulit jeruk mandarin.
Aku tersenyum kecil. Umi memang lebih muda lima tahun dariku. Ia bijak lebih cepat daripada diriku semasanya. Mungkin karena kudengar-dengar, dia sering ditunjuk sebagai bagian organisasi kelas. Memegang tanggung jawab lebih daripada teman-temannya.
Ponselku berdering lagi di atas meja. Muncul pop-up pesan masuk.
Mikaze Ai
Kapan kau akan kembali ke Tokyo?
Aku tertegun sejenak. Kukira dia tidak peduli karena aku sudah pergi pagi ini. Atau bahkan tidak tahu. Meski aku tidak yakin hubungan kami dekat sebagai rekan karib, dia tetap saja kuhormati sebagai inspekturku. Jadi, aku segera membalas pesannya.
[Name]
Mungkin dua bulan lagi. Ada apa, ya?
Satu menit. Dua menit. Lima menit. Sepuluh menit. Tiada balasan. Apa aku terlalu menantikan balasan, ya? Tapi jarang-jarang ia akan mengirimi pesan untukku.
Aku tahu Umi menangkap basah diriku yang melirik layar ponsel dan televisi secara bergantian. Beberapa kali. Namun, aku merasa tidak tenang. Seperti merasakan sesuatu yang mengganjal di batin. Entah apa.
"Kak, ada masalah?" tanya Umi.
Aku menggeleng cepat, tidak ingin membiarkan yang lain khawatir akan konflik batinku. "Maaf mengganggumu. Kita ganti saluran televisi yang lain saja, yuk. Acara komedi akan lebih menyenangkan untuk ditonton."
Tiada penolakan dari Umi, aku segera menekan tombol remote. Mencari tayangan yang diingini. Menikmati tontonan dari sepasang netra. Sepersekian waktu berlalu. Berpura-pura untuk tidak peduli.
Hingga setengah jam kemudian pun, inspektur Mikaze tidak membalas.
Aku mulai gusar.
"Umi, maaf, tonton saja sendiri dulu, ya," ucapku mengambil ponselku, beranjak meninggalkan ruang tamu.
Sial. Sinyal ponselku nyaris tidak ada. Mungkin saja ini penyebab pesanku kunjung tidak dibalas. Sepasang kakiku bergerak menuju halaman rumah. Mencari sisa-sisa batang sinyal yang diperlukan.
Kini, ponselku berdering lagi. Tidak apa-apa bila Mikaze bilang hanya sekadar bertanya. Netraku memandang langit senja. Warna jingga mendominasi. Aku bergeming, diam seribu bahasa setelah uring-uringan terlalu lama.
Ini ... tidak mungkin, 'kan?
Mikaze Ai
Aku tidak akan mendesakmu pulang, tetapi ada masalah buruk. Kurosaki baru saja dirawat di rumah sakit. Hari ini, menjelang sore tadi.
Kalau sempat, kau bisa menjenguknya nanti. Begitu dia siuman akan kukabari lagi.
Kakiku seolah goyah untuk menopang tubuh. Mengingat semalam dia masih bisa mengomeliku. Mengacak rambutku. Memaafkan perdebatan sengit di antara kami.
"[Name], kau baik-baik saja?" Ibu menghampiriku.
Saat itu juga, netraku meneteskan air mata begitu saja. Kemudian terisak sejadi-jadinya.
• To be Continued •
A/N:
Maaf ... karena sudah menelantarkan tulisan ini sekitar tiga bulan lebih dua hari (;w;). Teruntuk kalian yang masih terus membaca, aku sangat berterima kasih. Aku akan terus melanjutkan serial ini sampai tamat, meski progresnya lebih lambat daripada dua serial sebelumnya (;w;)
With love,
Agashii-san
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro