31). Nostalgia (2)
This moment where we become one.
-K.M.
*****
Ditanya seperti itu, pikiran Krisna lantas dipenuhi oleh sejumlah bayangan seolah membuka video arsipan lama. Kenangan tentang Elina lagi-lagi menyeruak di antara memori lain hingga berhasil membuatnya asyik sendiri.
Meskipun demikian, Meira tak lagi memburu-buruinya seperti barusan. Ditilik dari posisi duduknya yang menyamping dengan punggung yang disandarkan ke tembok menjadi caranya untuk mendengarkan dengan sabar.
Mata gadis itu menatap intens. Jika saja Krisna tidak sedang berada dalam proses menggali memori dan terbuai karenanya, dia pasti akan merasa kurang nyaman dengan acara tatap-tatapan seperti ini. Tambahannya, suasana di antara mereka cukup mendukung nuansa romantis; lampu kuning, desain klasik, alunan musik balada, serta area tempat duduk yang didesain mengelompok karena jaraknya yang jauh dengan meja yang lain.
Sejujurnya jika mereka terdistraksi dan mau sekali saja memperhatikan keadaan di sekitar, ada pasangan yang sedang asyik berdekatan di ujung meja yang lain.
"Gue ngenal Elina dari Ferdian yang berawal dari adu debat random. Bisa dibilang, gue sering ngerasa risih setiap Elina ngebucinin Ferdian secara berlebihan."
"Ferdian, ya. Apa Ferdian si anak sultan itu? Yang pernah ke kampus nyari TTM-nya Yoga?"
"Lah, kok tau?" Krisna sukses terbengong-bengong hingga mulutnya mangap untuk yang entah kesekian kalinya. Gadis itu benar-benar seperti roti yang tidak diketahui apa isinya, yang kemudian memberi sensasi kejut saat mencicipinya satu per satu.
"Jangan lupa, semua kejadian itu ada di kampus Trisakti dan gue ini penulis. Apa, sih, yang nggak luput dari perhatian seorang pengarang yang suka mengemas rangkaian emosi dalam tulisan? Gue mungkin terlihat kayak cewek yang selalu dikelilingi banyak cowok trus nggak pernah mengalami masalah dalam cinta--kayak bertepuk sebelah tangan, misalnya--tapi bukan berarti gue nggak peka.
Kalo kasarnya tuh, ya... teori gue banyak, tapi prakteknya masih nol."
"Cih." Krisna refleks mendengkus remeh, tetapi wajahnya langsung tertekuk waktu mendengar sindiran Meira selanjutnya.
"Mendingan gue daripada lo yang praktek sama teori sama-sama nol."
"Ck."
"Okay, back to topic. So, debat random itu, ya, yang bikin lo sama Elina jadi deket?" tebak Meira, disambut anggukan dari Krisna.
"Tepatnya pas liburan panjang sebelum awal masuk kuliah. Hmm... sebenarnya lebih tepat ngomong gini, sih. Kami deket... lebih deket dari seharusnya pas Elina curhat tentang keluarganya."
"Hooo... berujung ke friends with benefit ala-ala?"
"Jangan ngejek gue." Krisna menegur. Lama kelamaan, dia kesal juga sama cibiran Meira yang semakin menyebalkan.
"Gue kasih tau, ya, Krisna Pramudya. Gue nggak tau sejak kapan dan siapa yang ngasih cap FWB ke kalian, tapi kalo mau gue kritik, julukan itu nggak cocok mewakili status kalian. Lo tau nggak, sih, FWB itu apaan?"
"Dari Bahasa Inggris, 'kan? Friends with benefit diterjemahkan menjadi temen yang memberikan manfaat satu sama lain. Kayak simbiosis mutualisme; gue deket sama Elina, sedangkan dia bisa curhat sepuas-puasnya sama gue. Mirip TTM--Teman Tapi Mesra-lah!"
"Kenapa nggak friendzone aja, sih?" Meira malah mengajak debat. "TTM sama FWB itu lebih ke dark side. Masih mending lo ngomongnya di area kampus, kalo di dunia malam, ciah... yang ada lo diketawain!"
"Ogah pake friendzone. Gue nggak se-menyedihkan itu sampai-sampai kesannya kayak sadboy. Gue--"
"Kalo gitu seharusnya ada sesuatu yang lo manfaatin. Nyatanya nggak ada, toh?" ledek Meira. "Yang ada lo dapet hadiah patah hati. Itu sama aja kayak di-friendzone-in, tau! FWB itu dapet plus-plus, trus jauh dari kata belas kasihan."
"Belas kasihan?" ulang Krisna tak mengerti. "Maksudnya?"
"Karena mereka melakukan kontak fisik tanpa adanya status yang jelas. Kayak; lo bisa meluapkan nafsu sepuas hati tanpa perlu melibatkan perasaan. Such like; one stand night. Paham, nggak?"
"Kayak yang dilakuin bule-bule?"
Meira mengangguk. "Gue mah sering diajak FWB-an sama orang-orang random, yang katanya asik karena bisa sebebasnya lepas kalo udah bosen."
"Dan lo pernah?" Nada bicara Krisna meninggi. Kentara sekali pikirannya sudah tercemar oleh hal negatif dan kesan Meira jadi buruk di matanya.
"Kagaklah! Anjir lo, pasti udah mikir gue yang nggak-nggak, ya?"
Krisna sudah siap membalas, tetapi aksinya terhalang oleh hidangan yang dibawakan oleh pramusaji tadi. Asap mengepul di hadapannya, terlihat begitu jelas di bawah lampu kuning yang temaram.
Lantas, usai membiarkan pelayan restoran menata makanan beserta minuman di atas meja, Krisna melanjutkan apa yang ingin dikatakannya, "Kan, katanya asik. Seharusnya nggak boleh lo lewatkan."
"Itu kata mereka, bukan kata gue."
"Dari mana lo tau itu nggak bakal asik?"
"Berbalik ke lo. Emangnya lo uda pernah? Nggak, 'kan? So, apa lo bisa tau bakal asik atau nggak?"
"...."
"Faktanya kita sama." Meira menyeringai sebelum mengalihkan fokus ke makanan yang ada di hadapannya. "Enjoy your meal. Trust me, you will feel like wanna coming back very soon."
Meira mengeluarkan sendok dan garpu dari balutan tisu, juga bersenang hati melakukannya untuk Krisna. Namun, gerakannya terhenti ketika mendengar respons cowok itu selanjutnya.
"Mungkin bisa dicoba." Krisna tiba-tiba menantang. Netra keduanya saling beradu dalam durasi yang cukup lama. "Lo bilang kita sama. Yakin?"
Beruntung keduanya duduk bersebelahan sehingga walau cahaya di sekitar tidak optimal, ekspresi mereka masih terlihat jelas satu sama lain.
"Lo nantangin gue?" Meira bertanya balik. Peralatan makan spontan dia letakkan kembali di atas meja untuk berfokus pada Krisna yang masih terpancang padanya.
"Dipikir-pikir lagi, lo punya banyak pengalaman cinta sampai-sampai berani ngatain cinta gue yang seujung jari kuku. Lo juga udah menjadikan gue sebagai korban survei buat konten video. So...."
"So?"
"Lo bilang kita sama."
"Iya. Trus?" Meira mendorong, mulai risih karena tatapan Krisna yang bisa dibilang agak lain dari biasanya.
"Gue jadi tertarik sama status FWB versi lo. Ketika kita nggak punya perasaan trus deket karena saling memanfaatkan seperti definisi yang lo bilang tadi... bakal gimana jadinya, ya?"
"Sori, tapi gue menolak." Meira menukas dingin ketika mengerti ke mana obrolan ini dibawa. Kentara sekali bagaimana dia tersinggung dengan usulan Krisna. "Lo malah lebih parah dari mereka yang ngedeketin gue."
"Kenapa? Apa kesannya gue menghina?" Krisna malah menyeringai, terlihat menikmati situasi ini. "Atau... malah ada maksud lain?"
"I lost my appetite." Meira menjawab sarkas. "I'll consider it as a misunderstanding situation. Please behave well next time."
"Kenapa tiba-tiba marah?" Berbanding terbalik dengan Meira, Krisna malah bertingkah seolah-olah mereka sedang mengobrol santai. "Setelah ini... apa lo masih kukuh pada pendapat lo tentang persamaan kita berdua?"
"Lo ngetes gue?"
"Iya, dong. Emangnya lo kira apa? Wah, jangan bilang lo sebenarnya mengharap kita bener-bener FWB-an?"
"Udah dibilangin ogah!"
"Idih, makin galak!" Krisna tertawa.
"Biarin!"
"Widihhh... jadi kayak Mak Lampir!"
"Biarin!"
"Makin jelek kalo marah."
"Biarin!" Tingkah Meira seolah diatur seperti robot yang hanya menjawab satu kata itu, membuat Krisna tidak tahan untuk tidak menggodanya dengan kata-kata yang lebih ekstrem.
"Gue cium nih biar makin marah."
"Biarin!" Meira masih menyahut dengan kata dan intonasi nada yang sama, tetapi kali ini ekspresinya berubah pada detik berikutnya. Pipinya bersemu dan tingkahnya persis seperti cewek malu-malu yang perasaannya diciduk oleh cowok yang disukainya.
Krisna ikut membeku, tidak menyangka saja bisa-bisanya Meira menunjukkan ekspresi seperti itu.
"G-gue... l-lo jangan sa-salah paham--hng...." Terlambat. Nyatanya, penyangkalan tersebut malah memberi kesan seperti menjelaskan apa yang belum jelas, yang berasa seperti pengungkapan isi hati.
Krisna tidak tahu mau merespons apa, tetapi entah kenapa, situasi di sekitar yang terlalu memberi privasi lagi-lagi memberi nuansa aneh, seolah menantangnya untuk melakukan sesuatu sebagai pembuktian. Cowok itu memang belum pernah melakukan ini sebelumnya, bahkan tidak mempunyai pengalaman dalam menangani masalah cinta, tetapi melihat bagaimana visual Meira yang tampak dua kali lebih menawan pada malam hari ini, Krisna jadi terdorong untuk melakukan sesuatu.
Sepertinya yang dibilang seseorang benar, bahwa faktor eksternal juga bisa mendorong seseorang untuk melakukan kontak fisik.
Seperti Krisna yang tiba-tiba maju begitu saja, tanpa aba-aba, tetapi masih mempunyai sejumlah akhlak yang tersisa untuk meminta izin lewat tatapan teduhnya.
Jarak antara bibirnya dengan bibir Meira sudah tinggal satu ruas jari, sementara keduanya bisa saling membaui aroma satu sama lain. Krisna lagi-lagi menghirup aroma stroberi, yang memberi kesan manis hingga cowok itu sukses membayangkan perisa yang sama di bibirnya.
Kenapa... kenapa gue jadi pengen banget nyium dia? Plis... gue nggak minum sedikit pun alkohol hari ini. Gue nggak mabuk, loh!
Sepasang netra Meira membulat selebar matanya bisa membuka, tetapi masih ada ekspresi luka yang tercermin di sana dan dia bertindak impulsif dengan membuang wajahnya. "Awas aja lo nyium gue!"
"Lo marah karena ada embel-embel FWB?"
"...."
"Oke, biar gue perjelas. Lo marah karena suka sama gue."
"Heh, bukan itu—–"
"Mau bukti?" Krisna memutar sisi wajah Meira supaya menghadapnya kembali, lalu menipiskan jarak hingga tinggal sedikit lagi sebelum bibir keduanya bertemu. "Kalo nggak ada FWB itu, gimana?"
"Kris—–"
"Iya apa nggak?"
Meira belum kunjung menjawab, tetapi caranya menatap bagian di bawah hidung Krisna menjadi penentu atas jawabannya. Cowok itu kemudian bermaksud menandaskan sisa jarak, tetapi siapa sangka, Meira yang mengambil bagiannya. Rasa itu segera memenuhi keduanya hingga tidak terasa masing-masing sudah jatuh terbuai.
Sepenuhnya.
Jujur, Krisna belum pernah merasakan sensasi ini. Rasanya seperti ada yang membuncah, tetapi di detik yang sama, berasa seperti terbang dibawa ke awan dengan cara yang magis.
Pengalaman ini menyenangkan. Itulah sebabnya mengapa Krisna semakin memperdalam ciumannya, merasakan bagaimana bibir Meira yang turut membalas dengan cara yang tak kalah lembutnya.
Jujur lagi, ini membuat Krisna candu apalagi ketika ciumannya harus lepas karena Meira yang melepas tautan di antara mereka.
"Lo... suka sama gue juga, ya?" Meira bertanya pelan. Kentara sekali dia berhati-hati, seolah berusaha untuk tidak kelihatan terlalu baper.
"Rasanya bakal jadi cowok brengsek kalo bilang iya ketika gue baru aja patah hati dari Elina." Krisna menjawab jujur setelah berpikir sejenak meski kepala keduanya masih terlampau dekat satu sama lain.
"Itu nggak penting bagi gue." Meira lantas menarik tubuhnya, memperlebar jarak.
"Trus yang penting apa? Lo yang menilai cinta gue seukuran ujung jari kuku, jadi bukannya bisa menjadi penjelas bahwa gue nggak bisa mempertahankan perasaan terlalu lama ke Elina?"
"Gue mau negasin. Kita ini nggak lagi FWB-an. Bener, 'kan?" Meira bertanya gusar yang justru membuat Krisna geregetan karena tingkah cewek itu yang menggemaskan.
"Iya. Kita ini CWB."
"Hah?"
"Couple With Benefit."
"KRISNA!" Meira auto ngegas dan mendelik horor, sedangkan Krisna tertawa kencang.
"Yuk, makan."
"HEH, APA—–"
"Ssst! Galak amat jadi ceweknya Krisna. Jangan salah paham dulu sama singkatan itu."
"Jangan salah paham gimana?" Meira jadi misuh-misuh.
"Lah, bener dong? Kita, kan, saling memanfaatkan dengan memberi dan menerima cinta."
"Oh."
"Kenapa? Cieee, langsung merona."
"Ck." Meira buru-buru mengambil sendok dan garpu. Rona merah sudah menjalar hingga ke tengkuk dan daun telinganya, maka dia berpura-pura sibuk dan menghindari tatapan Krisna.
"Jadi pengen cium lagi."
"Krisna!"
Ternyata seorang Kristina Meira bisa juga malu-malu begini ketika biasanya dia malu-maluin.
Bersambung ke Epilog
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro