Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10). Another Side of You

You're so driving me crazy. -K.P.

*****

"Nggak usah ngegas. Aku nggak budek."

"Hehe. Hampir lupa. Kebiasaan manggil 'Meira', sih." lanjut Cecil sementara Meira merotasi netranya.

"Ah, tapi... nggak nyangka juga dia satu jurusan sama kamu. I mean, pas tau mereka kuliah di Trisakti aja udah bikin takjub. Yekan?"

"Trisakti bukan satu-satunya kampus wow." Meira merespons pongah, menunjukkan seolah-olah Cecil mengungkapkan sesuatu yang berlebihan.

"Faktanya emang iya."

"Bagi lo iya, tapi belum tentu bagi orang lain. Kalo kata Abah, makna baik buruknya sesuatu hal selalu sepaket dengan relatif. Itulah sebabnya, menilai cantik-gantengnya seseorang nggak pernah bisa sama satu sama lain."

"Kalo orang lain nggak ngerti arti 'abah' yang sesungguhnya, mungkin bakal disangka pacar lo kali, ya."

"Hush! Pamali, tau, nyebut Abah dengan sebutan itu!"

"Astaghfirullah, Meira! Aku, kan, cuman bercanda. Kadang nggak habis pikir sama karaktermu, deh! Kolot, iya! Jago debat, iya! Nyelekit, iya! Galak, iya! Meski terkadang punya wibawa keibuan karena suka ceramah, tetep aja.... Ya ampun. Kamu juga sering tersinggung untuk sesuatu hal yang nggak tau tempat dan situasi."

"Tapi persahabatan kita awet."

"Iya. Mungkin aku adalah satu dari puluhan temen yang bisa mengerti dirimu. Coba hitung, deh, berapa temen yang memilih mundur setelah tau gimana karaktermu."

"Who cares? Mereka bukan perhiasan yang harus dikoleksi. Lagian seperti yang sering kubilang; satu temen udah lebih dari cukup."

"Nggak bisa menang kalo debat sama kamu, Meira." Terdengar decakan sesaat sebelum Cecil melanjutkan, "Ah, jadi... gimana rencanamu soal konten kita? Serius udah punya ide?"

"Udah."

"Ya, gimana?"

"Nanti aja, belum boleh spill."

"Ish."

"Kan kata Abah, belum boleh--"

"Iya, iya. Aku udah paham."

"Ck."

*****

Elina mengempaskan diri sepenuhnya ke atas kasur usai menelantarkan tasnya begitu saja di lantai.

Dari helaan napas panjangnya, sepertinya dia melewati hari yang terlalu berat hari ini dan faktanya memang demikian.

Berawal dari keputusan sepihaknya dengan Krisna yang sejujurnya bukan seratus persen keinginannya. Dia hanya sempat berharap, andai saja cowok itu tidak terlalu melibatkan perasaannya, andai saja cowok itu bisa menahan rasa suka itu, andai saja....

"Nona." Terdengar suara lirih usai ketukan tiga kali pada permukaan pintu, lalu ada kepala yang menyembul di baliknya dengan kecanggungan yang kentara.

"Ya?" Elina menjawab malas-malasan tanpa berniat menoleh. Tanpa mengecek pun, dia sudah tahu siapa dan apa maksud kedatangannya.

Kamar Elina luas. Desainnya persis kamar impian yang diidam-idamkan hampir semua insan yang berjenis kelamin perempuan; serba pink dengan kelambu yang menutup bagian atas kasur, serta perabot sejenis yang benar-benar mencerminkan kamar tuan putri.

Meskipun demikian, sayangnya, Elina tidak betah berada di sana yang mana disebut sebagai kediaman keluarga Fredella.

"Nona dipanggil Bapak ke ruangannya."

Alih-alih menjawab, Elina menggerakkan tangannya sebagai isyarat jika dia mendengarkan. Sang asisten rumah tangga pun pamit dengan gaya sedikit membungkuk.

Meski melangkah dengan setengah hati, tetap saja dia akhirnya sampai di ambang pintu di mana letak ruangan papinya berada. Setelah menghela napas super panjang, gadis itu pun masuk.

"Duduk." Adalah sapaan sang ayah--Edwin--usai mendengar bunyi pintu terbuka.

Elina menurut, tak kunjung bersuara hingga Edwin duduk di sofa, di hadapan gadis bungsunya.

"Bagus akhirnya kamu menurut sama Papi. Pertahankan itu sampai akhir."

"Hanya itu yang mau Papi sampaikan?" tanya Elina balik dengan nada dingin. Kentara sekali dari bahasa tubuhnya, dia tidak betah berlama-lama di ruangan yang sama dengan Edwin.

"Elina." Ucapan itu melembut, seolah-olah berharap panggilan itu bisa sedikit banyak meredakan emosi Elina, tetapi sayang, gadis itu sudah kepalang kecewa.

"Pi. Selama ini aku nggak pernah minta yang aneh-aneh. Aku selalu menurut apa maunya Papi. Nggak ada sekali pun aku membangkang. Papi tau sendiri di antara tiga anak, aku yang paling disayang. Tapi apa? Kenapa impian aku yang satu ini nggak bisa dipenuhi? Dunia artis nggak segelap seperti yang Papi pikirkan, kok."

"Papi nggak pernah bilang alasan melarang kamu gara-gara khawatir sama sisi gelap dunia hiburan."

"Trus apa?" Elina menyugar rambut depannya dengan sekali sapuan. Sepertinya itu sudah menjadi kebiasaannya setiap kali meluapkan rasa frustasinya.

"Nikahnya bakal lama, Elina."

"Ya Tuhan, Papi! Jadi itu alasan utama Papi ngelarang aku jadi selebriti? Hanya itu?"

"Iyalah! Apa lagi memangnya?" Edwin balik bertanya dengan nada heran. "Ya makanya, Papi jodohin sama Andre biar kamu cepetan nikah. Masa gitu aja nggak ngerti?"

"Ya ampun, Papi...." Elina berkali-kali melengos, seolah mendapat plot twist bertubi-tubi dari drama yang ditontonnya. Tidak disangkanya, hanya sesederhana itu intensi papinya.

"Tapi aku belum mau menikah, Pi." Elina akhirnya berujar lagi setelah jeda beberapa saat. "Aku masih muda. Aku mau ngejar impianku."

"Impian apa saja selain artis, titik."

"Kalo jadi model, Pi?"

"Nggak."

"PAPI!"

"Nggak, ya, nggak. Udah bagus kalo kamu dengerin Papi pindah kampus dan satu jurusan sama Andre biar dia bisa jagain dan bantuin kamu selama kuliah."

"PAPI!" Elina lagi-lagi berseru. Kali ini dibarengi dengan erangan. "Plis...."

"Kata-kata Papi masih sama seperti sebelumnya; nikah sama Andre dan kamu boleh meraih impian jadi artis. Papi bakal bantu cari relasi."

"Papi, aku masih muda."

"Begitu terus nggak bakal selesai, dong, masalahnya! Banyak, kok, yang menikah di usia muda. Intinya, Andre udah cocok sama kamu. Anaknya juga baik, idaman banget. Papi bisa merasakan ketulusan dia ke kamu. Kamu aja yang nggak nyadar-nyadar."

"Dia terlalu baik buat aku."

"Elina!" tegur Edwin. "Apa-apaan kamu? Enak saja menjelek-jelekkan diri sendiri! Kamu itu anak pebisnis Delli and Della Group. Jangan sembarangan merendahkan diri sendiri! Angkat kepalamu dan tunjukin branding sebagai anak Papi!"

"Aku nggak ada perasaan sama dia, Pi! Gimana bisa Papi expect menikah tanpa rasa?"

"Bisa. Buktinya Papi sama Mami menikah."

"Bener dan bukti dari Papi-Mami malah semakin menguatkan keinginan untuk tidak menikah sama yang nggak aku cintai."

"Elina. Kamu masih kepincut sama Krisna?" Nada bicara Edwin naik satu oktaf. Pria itu juga tidak sadar telah bangkit dari duduknya untuk menuding anaknya dengan emosi. "Udah Papi bilangin dari awal, jangan bergaul sama Muslim itu! Dia pasti jampi-jampi kamu, ya? Kasih ramuan apa dia?"

"Kenapa? Hanya karena beda agama, aku harus jauhi dia? Denger, ya, Pi! Justru aku bisa healing berkat dia! Dia yang bikin aku bisa menerima semua takdir yang--"

"Takdir apa, Elina? Bukannya kamu seharusnya bersyukur punya keluarga yang--"

"Bersyukur apa?" Elina juga menaikkan nadanya dan berdiri meski teknisnya, tinggi badannya masih kalah dari sang ayah. "Bersyukur karena aku punya keluarga yang otoriter? Bersyukur karena berasal dari latar belakang yang kaya raya? Atau... bersyukur karena punya ayah dan ibu yang sibuk dengan kepentingannya?"

"Elina!"

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro