1). Fight For Everything
The moment I chose you, the moment I claimed you as mine. -K.P.
*****
Krisna Pramudya mungkin termasuk dari segelintir siswa yang terlambat mendapat pengalaman cinta pertama dari teman-teman seusianya.
Pasalnya, bukannya dia tidak menarik di mata para gadis, bukan pula tidak diizinkan oleh orang tua untuk berpacaran, melainkan karena dia merasa belum se-butuh itu.
Makanya, ketika dia tercebur ke dalam lautan cinta untuk pertama kali di usianya yang mendekati kepala dua, ternyata itu belum cukup untuk sehaluan dengan mentalnya atau dengan kata lain, jiwa psikologisnya belum sedewasa itu dalam menyikapi masalah asmara.
Prinsipnya kurang lebih dia samakan seperti saat meraih prestasi. Ibarat kata; mana bisa terima, kan, kalau sudah belajar keras sampai begadang, tahu-tahunya mendapatkan nilai yang tidak sesuai dengan harapan?
Krisna pantang menyia-nyiakan sesuatu hal, apa pun itu. Pokoknya, semua jerih payahnya harus terbayarkan. Oleh karenanya, bisa jadi, inilah yang menjadi pemantik utama mengapa ketika Elina mengeluarkan ultimatum untuk berpisah ke jalur masing-masing, Krisna langsung tidak terima.
"Gue rasa hubungan ini nggak benar." Elina mengulang setelah jeda yang agak lama. Mungkin merasa perlu karena Krisna belum kunjung merespons meski tatapannya seperti mau mengajak gelut.
"Nggak benar gimana?" tanya Krisna sembari mengatur napasnya yang mulai tidak teratur karena mendapat gejolak di dalam dada.
Rasanya seperti mendapat serangan plot twist dalam cerita. Bagaimana tidak? Menurutnya, hubungan mereka sudah seperti simbiosis mutualisme yang saling melengkapi dan membutuhkan.
"Gue saranin kita berhenti sebelum semuanya jadi tambah parah." Alih-alih menjawab pertanyaan Krisna, kata-kata Elina selanjutnya terdengar seperti ultimatum susulan yang tidak bisa diganggu gugat.
Krisna auto mangap, terlebih saat mendapati gadis itu berbalik untuk meninggalkannya. Karena tidak puas sekaligus clueless, cowok bertubuh atletis itu menahan Elina pergi.
Maunya seperti adegan drama yang aksi romantisnya bikin baper sampai ke tulang karena dia sengaja menarik lengannya dengan kekuatan penuh. Mana tahu, kan, Krisna bisa menjatuhkan Elina ke dalam pelukan atau boleh juga jatuh ke tanah sekalian supaya bisa ikut jatuh di atasnya.
Namun, namanya juga ekspektasi yang tidak pernah manut sama realita karena yang terjadi adalah Elina terdorong sampai menabrak orang lain.
Gadis itu meringis keras, bersamaan dengan gadis lain yang menjadi korban.
"AW!"
"HEH, KALO MAU NGEDRAMA, JANGAN DI SINI, DONG! GANGGUIN ORANG YANG MAU LEWAT AJA!"
Jika saja Krisna tidak berada dalam situasi genting, dia pasti tidak akan melepaskan cewek barbar itu. Lagi pula, dia juga sedang malu karena ketahuan sedang ngedrama.
Elina menghadiahi cewek barbar dengan tatapan menilai. Ditilik dari caranya menyorot, dia bukannya tidak terima karena gertakan tadi, melainkan karena si empunya mempunyai visual yang cantik.
Merasa kalah saing, tetapi seperti biasa, Elina tidak sudi mengakui. Maka, dia hanya bisa menggiring langkah cewek barbar hingga menjauh dan membelok ke koridor lain dengan manik matanya yang besar.
"Ck, cantik-cantik malah barbar. Poinnya berkurang. Gue lebih cantik, titik!"
Tuh, kan.
Di balik visualnya yang rupawan, karakter Elina cenderung kekanakan dan anti tersaingi. Makanya, bukan tanpa alasan Krisna mengemukakan argumen tentang keduanya saling melengkapi dan membutuhkan.
Entah bagaimana awalnya, tetapi segalanya bermula dari penghiburan Krisna sampai mereka nyaman dan bersandar satu sama lain, lantas kedekatan itu jadi tak ada bedanya dengan hubungan friends with benefit.
Atau TTM—–Teman Tapi Mesra? Entahlah, Krisna juga tidak bisa membedakan. Yang pasti, hubungan ini bukan friendzone karena Elina juga memberikan feedback yang mana segera menjelaskan bahwa level mereka lebih intim dari itu.
"Woya jelas, lo lebih cantik dari dia." Krisna spontan merespons dan seperti yang sudah-sudah, Elina tersenyum lebar mendengar itu.
Meskipun demikian, tak lama berselang, senyuman Elina luruh dan ekspresinya segera berubah menjadi datar. "Lo nggak perlu repot-repot ke UPH buat ngantar-jemput gue lagi."
UPH adalah singkatan dari Universitas Pelita Harapan.
"Kenapa tiba-tiba—–"
"Oke, gue jelasin. Tadinya, gue kira penjelasan ini nggak perlu karena lo tetap bakal tau pada akhirnya." Elina berdeham sekali sebelum menatap Krisna lebih serius untuk berujar, "Gue bakal pindah kampus."
"Hah?"
"Ini bakal jadi dua kali lebih ribet daripada gue menentang keluarga buat masuk dunia hiburan," tutur Elina lugas, berhasil membuat Krisna terkesima oleh kata-katanya yang sarat akan keyakinan hakiki, yang mana sangat jarang dia tunjukkan.
Terlebih ternyata... ini ada kaitannya dengan keluarga, yang mana menjadi awal kedekatan duo Krisna dan Elina.
"Gue bakal nerima perjodohan itu."
Seperti ada kilat yang menyambar sewaktu mendengar Elina mengeluarkan pernyataan itu. Pasalnya, topik itu bukannya tidak pernah dibahas—–berkali-kali, malah, dan sudah terlampau sering pula gadis itu menolak perjodohannya.
Lantas, sekarang... mengapa?
Saking syoknya, Krisna tidak bisa berkata apa-apa, tetapi bukan berarti matanya tidak bisa mewakilkan isi hatinya. Sepasang netra itu mulai menghasilkan luapan emosi berupa efek merah pada bagian putihnya, seolah-olah mendadak terkena serangan konjungtivitis.
"Trus... gue bakal dipindahin ke Kampus Trisakti." Elina melanjutkan sebelum buru-buru menambahkan, "For your information, gue dipindahin karena ada dia. Maksud gue... cowok yang dijodohin Papa."
"Gue nggak akan nanya siapa dia karena gue nggak mau tau." Krisna berujar sinis. Sejumlah mahasiswa berlalu-lalang di sekitar mereka, tetapi tidak ada yang berhenti untuk menonton. Gimana, ya. Selain UPH menganut liberal arts yang mana salah satu ajaran dasarnya mengajarkan mahasiswa untuk berpikir dan berperilaku mandiri, mereka juga sedang berada di jam-jam produktif kuliah.
"Yang gue mau tau adalah," lanjut Krisna. Suaranya terdengar teredam di antara giginya yang menggertak. "Kenapa lo bisa manut gitu aja sama keluarga yang lo akui benci-sebencinya selama bertahun-tahun? Jujur, gue lebih kepo sama jawabannya ketimbang calon yang lo sebut tadi—–ahhh... kayaknya kata 'calon' terlalu bagus karena semestinya... julukan itu cocok buat gue. Ya, 'kan?"
"Udah gue bilangin bakal ribet, Krisna. Jadi, plis... gue sebenarnya nggak mau nyakitin lo lebih dalem lagi."
"Dengan lo clueless begini udah cukup bikin gue sakit, Elina."
"Hubungan kita nggak mungkin berakhir baik, Kris. Kita sama-sama sadar kalau hubungan ini hanya berlandaskan saling membutuhkan, bukan saling cinta dalam artian—–"
"Definisi cinta adalah saling membutuhkan."
"Gue nggak mengira lo bakal baper," kata Elina dengan nada menutup pembicaraan. "Tapi berhubung kita nggak pernah mengesahkan hubungan ini, jadi gue nggak merasa jahat dengan menyelesaikan secara sepihak. Bener, 'kan? So... gue duluan, ya."
"Elina! ELINA! ELINA!"
Percuma. Gadis berambut lurus itu tidak berniat untuk menghentikan langkah, begitu pula dengan Krisna yang alih-alih mengejar, masih berdiri di tempat.
Tepatnya, dia mulai mengakui bahwa apa yang dikatakan Elina benar adanya, tentang hubungan mereka yang belum berstatus alias belum ada kejelasan. Kemudian, yang melengkapi rasa sakitnya adalah; ternyata hanya dia yang baper.
Lantas, sekarang... apa yang akan Krisna pilih? Melepas Elina seperti burung merpati yang dibiarkan terbang semerdekanya ataukah... tetap menahannya dalam sangkar?
Ditilik dari ekspresi Krisna, sepertinya dia tidak bisa menahan diri untuk mengabaikan opsi kedua.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro