Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 6 : A Choice

"Kita, mau cari tahu soal pelakunya?"

Begitu kata itu diucapkan. Semua langsung mengangguk dengan wajah serius. Bagi mereka, hanya ini satu-satunya jalan agar selamat dari fenomena sadis ini.

Meski kami tidak tahu siapa dan apa yang menanti di depan sana. Namun jelas bahwa kematian tentu saja akan mengiringi langkah kaki menuju kebenaran. Entah akhirnya akan mati atau menemukan endingnya.

Di hari minggu ini. Kami yang harusnya bersantai di rumah masing-masing. Memilih untuk berkumpul di sekolah, atau lebih tepatnya di dalam kelas kami sendiri. Bukan untuk nongkrong semata, tetapi membahas rencana.

Tersisa lima belas orang diantara kami.

"Biar aku jabarkan," ujar Solar yang pergi menuju papan tulis. Ia mengambil spidol dan mulai menulis sesuatu di sana.

"Tanggal 2 Januari, Ying tewas di dalam kelas pada siang hari. Dengan tiga tusukan di perut." Solar menulis itu di papan tulis.

"Dan tanggal 5 Januari, disusul oleh Frostfire yang tewas di rumahnya dalam keadaan mengenaskan. Kemungkinan tewasnya pada malam hari sebelumnya atau tanggal 4 Januari. Dengan darah berceceran, kaki patah, tangan ditusuk, tusukan dari belakang dan pukulan kuat di kepala. Kemungkinan mati karena kehabisan darah."

"Kesamaan mereka adalah tewas tanpa diketahui pelakunya dan dilupakan keesokan harinya." Selesai penjelasan Solar.

"Ada yang aneh. Kenapa harus besok? Bukankah jika tidak ingin ketahuan maka harus dibersihkan saat itu juga?" ujar Sori memberikan pertanyaan.

"Seolah-olah ingin kita melihat terlebih dahulu," lanjut Gentar.

"Lagipula kalau memang 'besok' mereka akan dilupakan oleh orang-orang kota. Kenapa Frostfire baru dilupakan ketika tanggal 6 Januari? Sedangkan dia tewas 4 Januari yang harusnya dilupakan tanggal 5 Januari?" Yaya pun ikut memberikan teori dan opini. Membuat yang lain lagi-lagi harus berpikir sekuat tenaga, memahami situasi saat ini.

"Bukankah berarti bisa saja dia mati tanggal 5 Januari. Tengah malam mungkin?" kata Gopal. Lelaki India itu tampak malas sekali untuk berpikir. Tapi tetap harus ikut demi bertahan hidup.

"Jadi, apa yang membunuh mereka itu manusia atau benar-benar hantu?" Semua mengalihkan pandangannya ke arah Thorn. Lelaki hijau itu tampak gemetar. "Kenapa mereka ingin membunuh kita?"

"Itu jawaban yang belum bisa kita temukan, Thorn." Solar menaruh spidol dan duduk di bangkunya. Begitu lelah berpikir juga.

Diam-diam, aku bisa melihat Gempa yang melirikku dengan pandangan ragu. Mungkin karena pembahasan semalam. Ia tidak enak telah mencurigai teman sekelasnya sendiri.

Tapi tentu saja, kami harus was-was dan mencegah kematian dari arah mana saja.

"Kita tidak memiliki orang yang harus dicurigai. Kita tidak memiliki bukti lain." Begitu kata Glacier. Semuanya setuju, tidak ada yang bisa dicurigai dalam kondisi seperti ini.

"Sekarang tanggal 7," ujar Fang. "Bukankah kita harus waspada? Jarak kematian Ying dan Frostfire adalah dua hingga tiga hari. Dan sekarang, sudah hari dua sejak kematian Frostfire," lanjutnya.

"Kau kenapa menakuti begitu!" Gopal tidak terima. Bisa kulihat tubuhnya gemetaran, namun bukan karena dingin.

Rasa takut menyelimuti kami. Taufan mengeratkan pegangannya pada kursi. Tampak memikirkan banyak hal.

"Yang bisa kita lakukan hanya bersembunyi dengan baik di rumah masing-masing dan mengunci seluruh akses rumah."

Setelah rapat itu, dan hanya itu yang kami dapat. Semuanya bubar dengan rasa takut.

.

.

.

"Halilintar."

Aku berbalik saat seseorang memanggil namaku. Saat kutoleh, rupanya ada Solar.

"Aku ingin bicara," ujarnya. "Berdua saja."

Aku sebenarnya agak keberatan meninggalkan dua adikku. "Sebentar saja kalau begitu. Taufan, Gempa, kalian tunggu di toko itu sebentar ya."

Taufan dan Gempa hanya menurut. Mereka pergi ke toko di seberang jalan. Tampak Taufan yang langsung menunjuk ke arah es krim begitu sampai.

"Ikuti aku," ajak Solar. Ia membawaku ke tempat yang agak sepi. Namun tak jauh dari tempat awal. Lantas kami berdua duduk di tempat duduk yang telah tersedia.

"Apa yang mau kau katakan?"

Solar membuka kacamatanya. Menatapku dengan manik silvernya. "Ini soal yang tadi, si hantu."

"Kenapa?"

"Aku ingin kau membantuku."

Aku mengerutkan kening. "Untuk apa?"

Ia berdehem. "Menurut penalaranku yang jenius dan tampan ini." Aku memutar bola mata saat mendengarnya. "Semua soal hantu ini bisa dijelaskan dengan logika."

"Maksudmu, kejadian ini bukan karena sosok hantu?" Ia mengangguk.

"Orang tua Ying tiba-tiba pindah rumah. Rumah Frostfire kosong, tapi bersih. Itu berarti, kejadian yang kita alami bukan sekadar halu belaka."

"Lantas, kenapa kau memberitahu soal ini kepadaku?" Ucapanku membuat ia cukup tertegun. "Kalau misal ternyata pembunuhan ini dilakukan oleh manusia, harusnya kau juga mencurigaiku."

Ia hanya tertegun sebentar. Lalu menggerakkan jari telunjuknya seolah menolak kata-kataku. "Benar, aku memang harusnya mencurigaimu. Tetapi, aku butuh bantuanmu."

Aku menaikkan sebelah alis. "Bantuan apa?"

"Kalau ini perbuatan manusia. Dia pasti akan segera mengincarku, karena jelas akan bahaya jika aku terus-menerus hidup, dan mengetahui trik pembunuhannya." Setelah ia menjelaskan hal tersebut dengan agak sombong. Aku mengangguk paham.

"Kau ingin aku melindungimu?"

"Tidak!" Tolaknya mentah-mentah. "Aku pasti akan terbunuh, tidak peduli seberapa besar usahaku ingin berlindung."

"Lantas?"

Angin berhembus seketika. Saat tahu-tahu saja ia menepuk pundakku dan berada di sebelahku. Suaranya agak berbisik saat berbicara. "Aku ingin kau melindungi Thorn saat aku mati nanti."

"Kau--"

Begitu melihat wajahnya. Ia tersenyum seolah sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi.

"Kalau kau berjanji akan melindungi Thorn. Aku juga pasti akan membantumu dan menuntunmu menuju pelaku yang sebenarnya." Ia mendorongku dan kemudian berjalan ke arah sebaliknya.

Ia melambaikan tangan.

"Adios."

.

.

.

Kata-kata Solar tadi membuat aku kepikiran. Dia akan jadi target, katanya?

Kenapa dia bisa se-pede itu?

Apa yang membuatnya yakin bahwa nanti dia akan diincar oleh si pembunuh? Apa seperti yang dikatakannya, Solar akan memecahkan sosok pelaku?

"Kak? Mikir apa sampai jidatnya berkerut gitu? Jelek banget."

Taufan tahu-tahu muncul di depan mata. Jantungku terkejut. Hampir kubanting raganya jika tidak ingat bahwa dia harus sehat agar bisa berlari.

"Sana, enggak usah ganggu." Aku mendorong wajah pemuda itu menjauh. Ia cemberut. Lantas kembali pada game mobile nya.

Gempa sedang tidur di kasurnya. Mungkin kelelahan karena membahas hal-hal berat tadi pagi.

Kami bertiga kali ini berkumpul di kamar Gempa. Meski Gempa dan Taufan bisa tidur sendiri di kamar masing-masing. Tentu saja aku kepikiran tentang si pembunuh yang bisa saja memecahkan kaca jendela ketika kami semua terlelap di kamar masing-masing.

"Padahal ini lantai 2. Harusnya kak Hali enggak perlu se-khawatir itu."

Aku melempar bantal ke arah Taufan. "Tidur, besok senin."

"Ahh, apa sih kak Hali. Kalah jadinya." Suara cemprengnya menggema. Ia berbaring lalu berguling-guling di lantai.

Aku menendang punggungnya. "Tidur yang benar, Fan. Jangan banyak tingkah."

"Gamau tidur dekat kak Hali. Mau dekat Gempa aja." Ia tiba-tiba melompat ke kasur tempat Gempa tidur. Membuat Gempa terbangun karena terkejut.

"Gem, aku tidur bareng kamu ya."

Setengah sadar, Gempa hanya mengangguk. "Iya kak."

Setelah itu, mereka peluk-pelukan seperti memeluk guling. Dan Gempa sepertinya tidak menyadari dan mempermasalahkan hal tersebut.

Taufan sudah diam. Dalam sekejap, pemuda ribut itu langsung tertidur dalam dekapan Gempa.

Aku mengambil selimut. Menyelimuti kedua adikku yang tengah tertidur itu.

Dalam diam, aku memandang wajah keduanya. Wajah yang identik satu sama lain. Dan fisik rupa mereka yang tak jauh berbeda pula.

Aku duduk di pinggir kasur. Menatap ke arah ponsel. Lebih tepatnya ke sms ketiga yang kami terima.

Setiap ada yang mati. Akan ada sms baru yang menanyakan hal sama pula. Dan hal itu membuat kami semua was-was juga takut.

Seolah sms ini tidak akan berakhir hingga kami semua mati.

Aku kepikiran soal Solar lagi. Aku berharap dia tidak melakukan hal yang aneh-aneh dan membuat dirinya terbunuh.

Bahkan aku belum menerima soal perjanjian akan melindungi Thorn begitu dirinya tewas. Dia harus melindungi Thorn sendiri. Dia yang harus bertahan hidup.

Dia harus hidup.

"Sial, kepalaku sakit."

.

.

.

Di ruangan yang kosong dan gelap. Sesosok pemuda berdiri sendirian dalam gelap. Tidak bermodalkan senter atau lilin. Hanya diam sembari melihat ke arah jendela.

Tangannya dimasukkan ke saku. Seolah sedang menunggu seseorang.

Beberapa menit. Ia membuka ponsel. Membuka chat room dirinya dan kakak tirinya, Thorn.

Ia sudah memastikan Thorn tertidur lelap sebelum ia pergi. Dengan begitu, takkan ada pertanyan bertubi-tubi yang dilemparkan oleh Thorn untuk dirinya.

Dirinya menghidupkan senter dari ponsel. Menyorot ke arah langit-langit rumah dan lantai. Berjalan-jalan kecil mengecek tiap sisi tempat.

Pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Ia langsung menyorot ke orang tersebut. Tanpa basa-basi, dirinya tersenyum dan terkekeh.

"Walah, sudah datang rupanya."

Ia menurunkan ponselnya. Manik silver itu menatap ke sosok yang berdiri di pintu.

Tangannya bergetar. Jantungnya berdegup kencang. Namun, ia tahan agar suaranya tak ikut bergetar.

"Tak kusangka kau pelakunya. Ada yang mau kau jelaskan sebelum membunuhku?"

Malam itu, Solar sudah menyerahkan nyawanya.

.

.

.

***tbc***

A/n:

Ada yang ngerti dengan hal yang disampaikan Solar tadi?

Memang agak sulit dipahami, sama seperti orangnya.

Saya sedikit suka dengan perkembangan saya dalam menulis cerita misteri kali ini. Biasanya, saya akan berusaha menutupi detail kecil apapun agar susah ditebak.

Tapi di book kali ini. Saya bisa langsung membeberkan semuanya. Bukan dengan pemikiran sebagai author. Tapi sebagai pembaca.

Saya menulis cerita ini sebagai author. Tapi, saya juga membaca cerita ini sebagai seorang pembaca.

Saya berusaha memahami maksudnya. Saya berusaha berada di posisi tiap karakter. Dan tentu saja menjadi karakter yang penuh tanya dan membeberkan segala hal yang dipikirkan.

Tiap clue yang saya beri. Langsung dijabarkan oleh salah satu karakter sebagai 'teori' mereka.

Tetapi sebagai author. Ada beberapa yang harus dibuat seolah-olah "Saya tidak tahu apapun, loh?"

Tenang saja. Book ini harusnya bisa agak manusiawi sedikit.

Ntah ya. Soalnya saya Alien //oh

Begitu saja, see you

[09.01.24]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro