Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 5 : Close Friend

Lagi-lagi, kami bersekolah seperti biasa pada keesokan harinya seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Dengan bangku Frostfire yang juga menjadi kosong.

Glacier dan Supra sempat mengecek rumah Frostfire tadi pagi. Dan benar saja, garis polisi serta bekas pembunuhan itu telah hilang tanpa bekas.

Bahkan seluruh barang Frostfire di rumah itu, menghilang.

Dan pagi ini, tidak ada yang mengingat Frostfire kecuali kami sekelas.

Yaya menaruh bunga Krisan putih di bangku Frostfire. Berdoa kecil di depan bangku itu dengan wajah yang benar-benar lelah dan sembab.

Belum selesai menangisi kepergian Ying. Kini ada Frostfire yang menyusul kepergian Ying.

Ponsel berdering. Kami semua membuka ponsel dan untuk ke-tiga kalinya mendapat sms yang sama.

'Siapa hantunya?'

"B*jingan!!" Supra melempar ponselnya dengan penuh emosi ke lantai. Napasnya berderu. Ia mengacak-acak rambutnya frustasi.

"Pasti barang bukti di kantor polisi, hilang lagi," ujar Solar.

Tentu saja. Semua barang bukti bahkan mayat dan identitasnya sekalipun menghilang tanpa jejak. Seolah tidak pernah terlahir di dunia. Teka-teki yang tidak pernah kita pahami.

"Melapor ke polisi percuma saja. Mereka pasti akan lupa lagi dengan isi sms ini," kata Fang. Ia menaruh ponselnya di meja. Benar-benar tampak menyerah dengan situasi yang terjadi.

"Sepertinya ... akan ada korban ke-tiga, ya?" Celetukan dari Sopan membuat semuanya menarik napas dengan berat. Bahkan aku sendiri bisa mendengar suara jantungku yang berdetak kencang.

"Tidak bisa begini, kita harus menemukan pelakunya." Aku berdiri. Melihat ke sosok Gempa dan Taufan yang tampak khawatir juga. Aku berlari keluar kelas begitu saja meninggalkan semuanya.

Meski tidak ada jalan. Aku harus mencari jalan itu. Aku tidak ingin ada korban selanjutnya. Memang, bisa saja bukan Gempa atau Taufan. Tapi, tidak ada jaminan bahwa kedua adikku tidak akan kena.

Walau aku berusaha melindungi mereka pun. Akan ada batasan usaha yang bisa aku lakukan.

Dan yang bisa kulakukan untuk meminimalisir hal itu adalah dengan mencari tau siapa pelakunya. Sebelum semuanya semakin terlambat.

Biarpun tidak ada lagi barang bukti yang tersisa. Aku yakin akan ada sesuatu yang ditinggalkan nantinya.

Sesuatu yang membawaku menuju ke sang pelaku yang sebenarnya.

.

.

.

Aku sampai di rumah Frostfire, sendirian. Rumah yang awalnya terdapat kekacauan dan pembunuhan itu. Kini kosong seolah tidak pernah dihuni.

Aku masuk ke dalam. Membuka pintu yang tidak dikunci. Ternyata, pengunci pintunya rusak.

"Rusak?"

Benar. Rusak seperti habis didorong paksa dari luar. Aku memperhatikan engsel pintu, itu baik-baik saja.

Hanya pengunci pintu saja yang agak bengkok. Mungkin karena itu pintunya tidak bisa dikunci.

Apa Frostfire tidak mengunci pintu kemarin?

Kunci pintu itu pasti rusak karena aku mendobrak pintu bersama Glacier saat mengunjungi Frostfire. Dan karena itu Frostfire jadi tidak mengunci pintunya.

"Um?"

Ada jejak lingkaran tepat di balik pintu. Seperti, benda berat yang sengaja ditaruh. Namun agaknya terlihat bergeser dan membuat lantai terlihat agak lecet.

Apa dia menaruh pemberat di belakang pintu? Tapi, kenapa digeser?

Karena kesalahanku dan Glacier. Aku jadi tidak tahu bagaimana cara pembunuh itu masuk ke dalam dan membunuh Frostfire.

Aku melangkah lagi masuk ke dalam rumah. Namun, langkahku terhenti karena dering ponsel yang mengagetkanku.

"Halo?"

"Kak! Kak Hali kemana? Jangan pergi sendirian seperti itu!" ujar Gempa setengah teriak. Aku melihat jam. Sudah habis jam istirahat. Aku pasti akan dihukum jika ketahuan tengah bolos.

"Iya, Gem. Aku akan kembali."

Aku matikan ponsel dan masukkan ke saku. Sejenak mengamati ruangan sebelum akhirnya aku pergi meninggalkan rumah itu.

Ya, rumah itu.

.

.

.

Sudah jam pulang. Tetapi, tidak ada satupun yang beranjak dari tempat duduknya.

Satu kata, kami semua 'takut'.

Kami takut akan mati ketika pulang ke rumah. Kami takut akan dihampiri sang pembunuh saat berada di rumah. Kami takut dilupakan ketika telah tiada.

Kami semua takut akan kematian.

"Percuma saja tetap diam di sini." Aku berdiri dari bangku dan mengajak kedua adikku untuk segera pulang. "Lebih baik pulang kerumah dan kunci pintu. Jangan biarkan siapapun masuk."

"Tapi, Ying saja mati di tengah-tengah keramaian tapi tak ada satupun orang yang tahu," sahut Gopal dengan suara yang bergetar. "Bagaimana mungkin kita bisa selamat jika mengunci diri di rumah masing-masing di malam hari?"

"Jadi, kalian mau menginap di sekolah saja, begitu?" sergakku. Gopal terkejut karena aku melotot marah. Kemudian aku memalingkan wajah. "Sudahlah, rasa takut tak akan membuat kita keluar dari hal seperti ini. Besok kita bicarakan lagi dan cari tahu dengan benar perkara pelaku."

Gempa dan Taufan hanya menurut dan mengikutiku untuk pulang ke rumah. Dan yang lain pun berangsur-angsur untuk pulang. Mau di sekolah atau rumah, tidak ada tempat yang aman.

Sampai pelakunya belum ditemukan. Tidak ada tempat yang aman di kota ini.

.

.

.

"Sebenarnya, aku tahu mereka takut. Tapi ..." Taufan menggantung ucapannya. Ia mengelus tengkuknya. Tidak ingin melanjutkan ucapannya.

"Bermalam bersama di sekolah juga bukan ide yang bagus, Fan," kataku.

"Sejujurnya, aku berpikir begini." Aku dan Taufan melihat ke sosok Gempa yang rautnya begitu ragu. "Aku hanya merasa bahwa pelakunya ada diantara kita sekelas."

"Jangan bercanda, Gempa! Maksudmu, ada psi--umph!"

"Kecilkan suaramu!" ujarku sambil menutup mulut Taufan. Laki-laki itu memukul tanganku dan segera aku melepaskannya.

"Kita bicarakan di rumah saja."

Kami bertiga mempercepat jalan untuk sampai ke rumah. Suasana sudah mulai menggelap. Tidak aman bagi kami untuk terus bernaung di luar pada sore hari.

Begitu sampai. Aku langsung mengunci pagar rumah dan pintu masuk. Aku menyuruh adik-adikku untuk membersihkan diri dulu sebelum makan malam.

Aku mengecek semua pintu dan jendela, memastikan semuanya terkunci rapat tanpa celah. Bahkan loteng dan ruang bawah tanah. Sebisa mungkin, kami tidak ingin ada satupun celah yang membuat kami terkena bahaya.

Sebagai jaga-jaga. Aku menyimpan semua kunci rumah sendiri di saku. Siapa tahu Gempa atau Taufan tidak sengaja membuka pintu untuk orang asing. Lebih baik mereka memanggilku dahulu untuk sekadar membuka pintu atau jendela.

Diantara mereka, hanya aku yang memiliki skill karate. Dibanding Gempa dan Taufan. Aku lebih bisa untuk melawan musuh dan menghindarkan kami dari bahaya.

"Jadi?"

Kami bertiga berkumpul di kamar Taufan. Taufan tengah mengemil keripik. Dan Gempa yang baru datang membawa tiga gelas es teh. Aku duduk di kursi meja belajar milik Taufan.

"Mau bahas yang tadi, ya?" tanya Taufan.

Aku dan Gempa saling bertatapan sejenak. Sepertinya aku dan Gempa memiliki pemikiran yang sama.

"Begini Fan, Gem. Meskipun sms dan kejadian ini lebih masuk akal jika dikaitkan dengan 'hantu'. Namun aku tidak merasa bahwa pembunuhan ini dilakukan oleh hantu." Aku menjelaskan hal tersebut kepada mereka berdua. Meski salah satunya terlihat cukup kebingungan. "Aku minta kalian berhati-hati."

"Bukan hantu? Tapi kenapa bisa penduduk kota kehilangan ingatannya soal mereka yang sudah tewas?" tanya Taufan lagi. Benar saja, hal itu memang tidak masuk akal.

"Aku masih belum tahu bagaimana cara melakukan itu."

Gempa tampak murung. "Mungkin ini terdengar jahat, tapi entah kenapa aku mencurigai salah seorang diantara kita."

"Cukup, Gem. Tidak mungkin teman kita adalah pembunuh itu," tolak Taufan mentah-mentah. Ia sangat menolak untuk percaya pada stigma itu. Tidak ada bukti kuat bahwa salah satu diantara mereka adalah sang pelaku.

"Kalau dilihat-lihat. Ying itu orangnya punya refleks yang cepat. Dia pasti akan langsung menghindar begitu ada orang asing yang hendak membekap mulutnya." Gempa mencoba menjelaskan alasan mengapa ia mencurigai kelas mereka. "Dan Frostfire yang ditusuk dari belakang? Tidak masuk akal jika pelaku mendobrak pintu dan Frostfire malah membelakangi pelaku?"

Perkataan dan penjelasan Gempa membuat kami berdua terdiam. Seolah tidak ada alasan atau bantahan yang bisa digunakan untuk mengelak.

Yang dikatakan Gempa semuanya, itu benar.

"Jadi aku pikir. Ying dan Frostfire pasti dihampiri oleh orang yang mereka kenal. Sehingga mereka menurunkan kewaspadaan dan akhirnya terbunuh." Akhir kata dari Gempa membuatku meneguk ludah. Tidak terpikirkan olehku ada cara seperti itu.

"Tapi, bagaimana kalau itu orang dari kelas lain? Makanya mereka kenal." Taufan masih mencoba mengelak.

"Ying itu ada di pihak siswa teladan. Dan Frostfire itu di pihak siswa bermasalah. Jika mereka kenal satu orang yang sama kecuali dari kelas kita. Itu terasa agak mustahil."

Taufan menyerah bertanya. Kini ia memainkan jarinya yang ia garuk.

"Kita simpulkan saja seperti itu dulu untuk berjaga-jaga. Berarti, kita jangan terlalu percaya dengan siapapun dulu."

Aku memegang pundak Gempa dan Taufan. "Kalian berdua harus selalu waspada dan berhati-hati ketika aku tak ada. Paham?"

Meski ragu. Keduanya mengangguk.

"Paham, kak Hali."

.

.

.

***tbc***

A/n:

Kepikiran gak dengan penjelasan Gempa barusan?

Sebenarnya, saya menaruh clue ketika Halilintar pergi ke rumah Frostfire untuk mengecek. Tipis-tipis sih.

Semoga kalian tak paham //ha ha

See you

[08.01.24]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro