Bab 4 : Message About Frostfire
Kaki Glacier langsung melemas dan jatuh terduduk. Sosok di depan kami yang ternyata adalah orang yang kami cari itu--Frostfire--kaget dengan Glacier yang tiba-tiba jatuh terduduk.
"Eh? Glacy? Hali?" Ia masuk ke dalam rumah dan menghampiri kami berdua dengan tatapan terkejut dan bingung. "Aku pikir ada perampok di rumahku tadi."
Frostfire memegang bahu Glacier yang sibuk menetralkan napas. Setelah tenang, pemuda bernetra biru emas itu berdiri dan menatap Frostfire.
"Kau baik-baik saja?" tanya Glacier tiba-tiba. Frostfire memiringkan kepala, tampak bingung dengan pertanyaan dari Glacier.
"Aku baik-baik saja kok, kenapa?"
Aku mendengkus, mengusap rambut ke belakang, lalu berjalan ke sisi kanan Frostfire. "Sekelas khawatir."
"Loh, kenapa?"
"Kau tidak ada kabar. Kami cuma kepikiran gara-gara kejadian Ying tempo hari," ujarku yang kemudian agak memalingkan wajah. Frostfire yang menyadari kesalahannya pun terkekeh kaku. Ia mengelus lengan Glacier untuk menenangkan sohibnya itu.
"Sorry, aku ga bermaksud buat menghilang kok." Ia menunjukkan kresek berisi obat yang baru ia beli di apotek terdekat. "Aku agak ngerasa tidak enak badan, makanya tidak sekolah."
"Harusnya kau bilang padaku," sungut Glacier. "Supra pasti akan memarahimu nanti."
Frostfire hanya menanggapi dengan kekehan saja.
Tak berselang lama. Ponselku berdering. Aku mengambil ponsel di saku dan melihat nama si penelepon. Tertera 'Gempa'.
Aku mengangkat telepon itu. "Halo, iya Gem?"
"Kak Hali dimana? Frostfire nya ketemu?" Suara di ujung telepon tampak terdengar berbisik. Sepertinya menelepon secara diam-diam.
"Sudah, aku dan Glacier akan segera kembali ke sekolah."
"Ah, oke kak. Hati-hati."
Aku memutus panggilan. Segera menoleh ke arah Glacier dan Frostfire yang rupanya saling mengobrol.
"Glac, kita harus segera kembali ke sekolah. Biarkan Frostfire beristirahat." Mendengar itu, Glacier mengerutkan wajahnya. Tampak agak ragu untuk meninggalkan Frostfire sendiri di rumahnya.
"Pergi aja. Jangan khawatir, nanti aku kunci semua pintu kok." Frostfire nyengir, menampakkan semua gigi. Tak lupa jempol yang begitu antusias di depan mata Glacier.
"Besok pagi, aku dan Supra akan menjemputmu. Pastikan kau sembuh," ingat Glacier. Ia menunjuk Frostfire dengan jari telunjuknya. Mengancam pemuda bernetra cyan maroon itu agar patuh.
"Baik yang mulia."
Aku akhirnya membawa Glacier keluar. Di depan pintu, Frostfire melambaikan tangan.
"Kunci semua pintu," ingatku lagi kepada bocah itu. Ia memberikan hormat.
Aku dan Glacier akhirnya meninggalkan Frostfire di rumahnya dan pergi kembali ke sekolah.
.
.
.
"Untunglah."
Kami sekelas berkumpul bersama-sama di kelas. Pintu ditutup, jendela juga di tutup. Kami berdiskusi di kelas dengan Gempa--sebagai ketua kelas--yang berdiri di dekat meja guru.
Aku diam-diam melirik ke arah meja Ying. Dua hari lalu, meja itu masih ada pemiliknya. Kemudian tiba-tiba saja tewas dan jejak kehidupannya hilang seolah tak pernah lahir.
Dan pelaku yang tidak bisa kami temukan.
"Untuk saat ini, Frostfire aman." Begitu kata Gempa. Seolah-olah akan ada incaran selanjutnya diantara kami.
"Kenapa kalian bertingkah seolah kita juga akan mati?" ujar Supra.
"Benar. Ini sudah dua hari dan tidak ada apa-apa, bukan?" Sopan pun ikut andil berbicara. "Bisa jadi memang ingatan kita yang salah."
"Kau bisa bicara begitu?" Yaya menggeram. Ia sampai berdiri dan menghentak meja dengan begitu keras. "Ying itu ada!" sergaknya.
"Ahaha, maaf nona. Saya hanya memberikan pendapat." Sopan terkekeh tanpa merasa bersalah. Fang menenangkan Yaya, menyuruhnya untuk duduk kembali.
"Anggaplah kita yang lupa. Tapi bagaimana menjelaskan tentang kita sekelas yang mengetahui nama tersebut. Bangku kosong di depan itu dan foto kelas bagian Ying yang kosong?" Solar memberikan teorinya sebagai maniak ranking. Membuat satu kelas langsung berpikir keras.
"Tapi kenapa langsung mengecap bahwa akan ada korban kedua setelah Ying?" kata Supra lagi.
"Diam! Bacot banget dari tadi!" Begitu kata itu keluar dari mulutku. Sekelas terdiam. Namun ada beberapa yang tampaknya tak senang dengan perbuatanku.
"Aku jadi takut ...," gumam Thorn.
"Jangan takut, Thorn!" Taufan menyemangati. Ditambahi anggukan oleh Blaze dengan ekspresi semangat.
Sori bersenandung kecil. "Daripada bertengkar, lebih baik kita cari siapa pelakunya." Ia menggoyangkan kedua kakinya yang terangkat. "Dan berhati-hati karena bisa saja pelakunya mengincar kita karena berusaha mencari tahu kebenaran."
"Yang ini lebih masuk akal," ungkap Gentar. Kepala laki-laki itu menunduk ke bawah. Mungkin agaknya merasa pusing dengan semua hal ini.
.
.
.
Aku menaruh mie tersebut ke dalam rebusan air yang telah mendidih. Sembari menunggu matang, ku tuang bumbu ke dalam piring.
Aku duduk sejenak di kursi meja makan selagi menunggu mie.
Kala itu, aku termenung lagi. Teringat soal Ying lagi. Meski aku tidak terlalu dekat dengannya. Tetap saja dia adalah teman sekelas.
Kehilangannya seolah menjadi perkara yang tak wajar. Yaya akhir-akhir ini menjadi amat pendiam dan sedikit mudah emosi. Mungkin disebabkan kehilangan orang terdekat. Dia terus-menerus murung dan kehilangan cahayanya.
Bahkan tidak bisa melakukan penghormatan kepada Ying untuk terakhir kalinya. Aku rasa Yaya benar-benar merasa stress.
Mungkin wajar jika kami semua mendadak takut. Tidak ada yang tahu siapa pelakunya dan mengapa ia mengincar Ying.
Setahuku, Ying bukanlah gadis bermasalah yang bisa menyebabkan dirinya terbunuh seperti itu.
Mau mencari tahu soal pelaku pun sia-sia. Mayat hilang. Barang bukti juga tidak ada. Kami cuma bisa mengandalkan ingatan. Dan yang kami ingat cuma Ying yang tewas dan hasil pengecekan polisi yang mengatakan bahwa Ying tewas tanpa melawan. Bisa jadi karena obat bius.
"Kak Hali?"
"Eh, iya?"
Muncul Gempa yang melihat ke arahku. Ia menunjuk ke mie rebusan yang airnya mendidih sampai keluar. "Mie kakak tuh."
"Astaga." Aku buru-buru mematikan kompor dan mengangkat rebusan mie. Setelah meniriskannya, aku memasukkannya dalam piring yang telah dimasukkan bumbu terlebih dahulu.
Aku membawa mie itu ke meja makan dan mengaduknya menggunakan sendok dan garpu. Terasa agak lembek, mungkin terlalu lama direbus.
"Kenapa masak mie sih kak?" ujar Gempa yang menaruh bahan-bahan masakan di atas meja dapur. Ia menarik kedua lengan bajunya dan memakai celemek. "Aku baru mau masak."
"Lagi enggak mood makan," jawabku dengan suara yang kecil.
Gempa hanya bisa menghela napas setelahnya.
"Jangan terlalu dipikirkan kak, kita gak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Nanti kakak sakit kalau kebanyakan stress." Aku hanya bisa melihat punggung Gempa. Bocah itu memberi nasihat. Aku hanya bisa terdiam bisu.
"Kak Taufan begitu saja sudah membuat khawatir," ujarnya lagi.
Akhir-akhir ini Taufan memang suka bermimpi buruk. Aku dan Gempa jadi sering terbangun di tengah malam karena teriakannya. Menemukan dia panik sendirian di tengah malam, membuat perasaan jadi cukup tak enak.
Memarahinya karena seperti itu pun percuma. Karena rautnya menunjukkan bahwa ia sedang tak berpura-pura.
Tiap ditanya habis bermimpi apa. Taufan cuma menjawab kalau mimpinya buruk. Dan ia takkan menjelaskan isi mimpinya.
"Aku juga mimpi buruk akhir-akhir ini," akui Gempa. Ia tengah memotong sayuran dan memasukkannya ke dalam rebusan air. "Tapi mimpi itu cuma sebatas aku sendirian di sekolah sambil melihat pesan 'itu' di ponselku."
"Pesan 'itu'?"
"Iya, yang sudah dua kali kita dapatkan itu." Gempa menghidupkan kompor dan berbalik melihat ke arahku. "Dan cuma itu sih."
"Begitu."
"Walah! Kak Hali sama Gempa lagi ngumpul di dapur rupanya!" Taufan muncul dari lantai atas. "Makan malam ya--eh! Kok kak Hali makan mie? Minta dong!"
"Kamu makan sup saja sana biar tidak kurus."
"Cicip dikit doang!"
"Enggak! Sana jauh-jauh!"
.
.
.
Harusnya pagi ini jadi acuan kami untuk berhenti berfikir negatif. Namun kami salah, ternyata, sms itu tidak pernah bermain-main.
Ponsel itu berdering pagi tadi. Namun memberikan sms yang berbeda dari biasanya.
'Frostfire telah tewas'.
Dan kenyataan di pagi ini bahwa Frostfire benar-benar telah tewas di rumahnya. Menghantui kami sepenuhnya.
"Minggir anak-anak, jangan lihat ke dalam." Polisi mendorong kami sekelas untuk menjauhi TKP. Bukan mengapa, tapi di kondisinya terlalu mengenaskan.
Aku sempat melihat mayat Frostfire. Terduduk di depan pintu kamar dengan darah yang mengotori hampir semua dinding dan lantai rumahnya. Kakinya patah, tangannya mengeluarkan banyak darah. Bahkan rumahnya sangat berantakan.
Kondisi yang lebih parah dari Ying kemarin.
Kami semua langsung berlari ke rumah Frostfire setelah mendapat sms tersebut. Yang mana tentu saja semua telah terlambat.
Frostfire telah dipastikan tewas dengan kondisi seperti itu.
Pak polisi menanyai alibi kami lagi setelah pertama kali untuk Ying. Yang tentu saja alibi kami adalah sama. Sedang berada di kelas. Kecuali Glacier dan Supra yang menuju rumah Glacier untuk menjemputnya.
Spekulasi dari polisi lagi-lagi telah keluar. Frostfire tewas karena tusukan di belakang punggung dan pukulan yang keras di kepalanya. Frostfire sempat melakukan perlawanan karena ada bekas lebam biru di kepalan tangannya. Yang bisa jadi sempat memukul pelaku, entah kena atau tidak.
Kemungkinan kakinya patah karena mencoba melawan. Dan tangannya ditusuk saat mencoba meninju.
Dan darah di lantai serta dinding itu seolah menjawab seberapa besar usaha Frostfire untuk melawan.
Tapi, pukulannya meleset?
"Sial!"
Glacier dan Supra tampak tidak terima. Glacier meraung-raung, ditahan Supra yang cuma bisa terdiam sambil menggigit bibirnya sendiri.
Yang bisa kami lakukan pun cuma terdiam. Kami tidak bisa saling menyemangati.
Kami terlalu larut dalam perasaan.
Hingga lupa bahwa Frostfire akan dilupakan keesokan harinya.
.
.
.
***tbc***
A/n:
Sorry kemarin tdk update
Btw, sudah ada korban kedua. Bagaimana menurut kalian?
Karena tokoh utama di ff kali ini adalah Halilintar. Yah... Tidak ada maksud apa-apa sih.
Fanfic ini kemungkinan bisa lebih dari 20 bab. Tapi saya berharap ga bakal sebanyak itu. Tapi ya gimana, ini sudah bab ke-4 dan belum ngejelasin apa-apa.
Kalau kalian tanya inspirasi. Tentu saja dari drakor night has come, webtoon killstagram, dan anime another.
Apa hubungan ketiga ini? Mereka punya karakter 'hantu' dalam ceritanya. Dan kisahnya pun tentang pembunuhan.
Mungkin ketiga inspirasi tersebut bisa jadi acuan kalian buat menebak siapa sosok 'pelaku' di dalam cerita ini.
Itu saja, see you in another chapter
[07.01.24]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro