Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 3 : Lost

Suasana jadi lumayan sepi dan sunyi ketika bel istirahat tiba. Seperti mencoba menerka apakah ini nyata atau hanya sebuah mimpi. Yang pada akhirnya harus mereka terima bahwa semua ini memang sebuah kenyataan yang tidak bisa mereka elak.

Aku hanya memandangi mereka semua dalam bisu. Tidak mampu berkata-kata tentang apa yang terjadi saat ini. 

Meski sempat terjadi keributan ketika jawaban yang tidak diduga-duga itu meluncur dari mulut wali kelas. Pada akhirnya berhasil di tentram kan lagi.

Beberapa memilih untuk mendinginkan kepala dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Aku melihat Yaya kembali ke kelas dengan sebuah pot kembang kecil. Dan bunga Krisan berwarna putih yang ditaruh di dalam pot kecil langsung tersebut.

Ia menaruhnya tepat di meja dimana Ying berada. Meja yang kosong di paling depan itu. Kursi yang masuk ke dalam meja, seolah-olah tidak ada siapapun yang boleh memakai bangku tersebut. Dan sebuah bunga Krisan putih yang biasa digunakan untuk penghormatan kepada seseorang yang telah meninggal dunia.

Yaya sepertinya telah menerima dan meyakini bahwa Ying telah benar-benar tiada.

Aku bisa melihat bengkak di bawah matanya. Habis menangis lama rupanya. Ia pasti menangis sepanjang malam karena tidak terima Ying tewas dan menghilang begitu saja.

"Apa yang kau lakukan, Yaya?" Gopal mendekati Yaya dengan tampang gusar. Menatap aneh ke arah bunga Krisan putih itu.

Melihat Yaya tidak menjawab. Gopal bertanya sekali lagi. "Apa maksudmu menaruh Krisan putih di meja Ying, Yaya?"

Yaya tampaknya enggan menjawab. Belum sempat Gopal bertanya untuk yang ketiga kalinya. Yaya menjawab dengan suara yang lantang, hingga seisi kelas menoleh ke arah mereka berdua.

"Aku tahu! Aku tahu bahwa bisa saja Ying masih hidup! Tapi ..." Ucapannya terputus oleh dirinya yang tiba-tiba tercekat. Lalu tanpa sadar mengeluarkan air mata lagi. "Kau lihat saja sendiri ..."

Yaya menunjukkan sehelai foto yang menampakkan dirinya sedang berpose sambil tersenyum. Ada spot kosong di sebelahnya, tangan Yaya menggantung di udara.

"Wajah Ying menghilang."

Satu kelas terkejut. Dan beberapa orang mulai membuka ponsel mereka untuk mengecek apa wajah Ying benar-benar menghilang.

Fang merebut foto di tangan Yaya dengan kasar. Bergantian melihat dengan Gopal yang wajahnya sama-sama menatap horor.

"K-kukira ... ini cuma prank." Frostfire terduduk lemas di bangkunya begitu benar-benar melihat wajah Ying menghilang dari foto mereka.

Blaze berlari ke meja guru dan mengecek absen kelas yang terdapat wajah-wajah mereka. Namun benar saja, foto dan nama Ying tidak ada di sana.

"Sial."

Supra dan Glacier ikut mengecek. Dan mereka termangu begitu benar-benar melihat posisi foto Ying menjadi kosong.

"Nggak masuk akal," gumamku. Aku mengacak rambut frustasi.

"Polisi," celetuk Solar. "Bukannya polisi mencari tahu soal kasus Ying juga? Dan mayatnya ada di rumah sakit, kan?"

"Kita harus mengecek ke rumah sakit?" tanya Thorn.

"Benar juga," sahut Sopan dengan ekspresi berpikir. Jarinya bergerak-gerak di dagu. "Tidak masuk akal jika keberadaan Ying menghilang, lalu hanya kita yang tahu."

"Bagaimana dengan orang tua Ying? Harusnya mereka pasti tahu!" Gempa ikut berkomentar. Membuat mereka semua merasa mendapatkan pencerahan.

"Bagaimana? Mau dibagi saja?" tanya Fang. Gopal tahu-tahu sudah merinding karena takut disuruh mencari mayat Ying.

"Aku akan bertanya pada orang tuanya." Yaya tampak berapi-api lagi. Demi menemukan sahabat karibnya yang menghilang tanpa jejak dalam semalam.

.

.

.

Semua sudah membagi tim beberapa orang untuk pergi ke tiga lokasi berbeda. Tidak semua ikut, sisanya terlalu takut dan kembali ke rumah begitu jam pulang berdenting.

Aku mengikuti Solar dan Thorn ke kantor polisi. Tidak jauh dari sekolah kami berada. Begitu kami datang, kami disuruh untuk berkonsultasi kepada salah satu polisi yang berada di mejanya.

"Ada masalah apa? Kalian tampaknya baru pulang sekolah, ya?"

Thorn melihat petugas itu. Lantas berbisik, "Dia pegawai yang memasang palang pembatas di depan pintu kelas kemarin."

"Maaf, tapi kami mau bertanya soal kemajuan kasus pembunuhan Ying kemarin siang," ujar Solar.

"Ada kasus pembunuhan?" Mendengar jawaban itu. Tanganku langsung terkepal dan bergetar. Entah kenapa rasanya begitu menyebalkan hingga kepalaku terasa sakit dan nyeri mendengarnya.

"Kasus yang tim anda tangani kemarin. Siswi di kelas kami. Sekolah itu." Solar sampai menunjukkan logo sekolah di seragamnya. Meski begitu, raut wajah petugas tersebut mengatakan bahwa ia tidak tahu apa-apa.

Solar tidak mampu berkata-kata apa-apa lagi. Thorn menepuk pundaknya, berusaha memberi kekuatan.

"Sia-sia saja," celetukku. "Jika dilanjutkan, sepertinya mereka akan menganggap kita gila."

Terdengar dering notif ponsel. Kami bertiga mengecek ponsel masing-masing.

Di grup chat, dari tim yang mengecek orang tua Ying mengatakan bahwa orang tua Ying sedang tidak ada di rumah.

Dan pesan selanjutnya dari tim yang mengecek ke rumah sakit, membuat rahang kami hampir jatuh jika saja kami lupa untuk menutup mulut.

'Mayatnya menghilang.'

.

.

.

Frustasi? Marah? Takut dan putus asa? Tentu saja.

Ying menghilang begitu saja tanpa jejak. Bahkan tidak ada seorang pun yang tahu kecuali kami sekelas.

Entah ini prank atau bagaimana. Mungkin masih di anggap seperti itu. Namun, bagaimana jika hal seperti ini terus berlanjut?

Sebenarnya, kami bahkan tidak berpikir bahwa akan ada korban lain selain Ying.

Dering notif ponsel membuat kami membuka ponsel itu kembali setelah meratap sebentar. Dan lagi-lagi, sebuah pesan yang sama sebelum Ying tewas hari itu.

'Siapa hantunya?'

"Br*ngs*k! Permainan apa ini?" Aku meninju dinding di sebelahku dengan keras. Membuat Thorn dan Solar kaget.

"Lebih baik kita pulang. Sekarang tidak aman, sudah malam." Solar melihat langit dan kami secara bergantian. "Aku tidak merasa bahwa pesan ini hanya permainan."

"Maksudnya ... akan ada yang mati lagi?" Ucapan Thorn membuat aku dan Solar mematung seperti batu. Kami menjadi kaku. Bahkan bernapas pun terasa agak sulit.

Muncul pikiran-pikiran liar yang tidak bisa diatasi begitu saja.

"Sudahlah, pulang saja." Aku mengusir mereka berdua. Solar menarik tangan Thorn, membawanya pergi.

Aku mendengkus kasar. Menjambak rambutku sendiri karena terasa pening.

Bukan, bukan karena aku takut akan apa yang nantinya menimpaku. Tapi, karena adik-adikku.

Gempa dan Taufan.

Pikiran liar tentang itu terus-menerus bermunculan. Seolah-olah bisa saja suatu saat nanti, kami juga akan kena.

Pelaku nya belum ditemukan. Dan sms tersebut kembali. Bukan tidak mungkin bahwa akan ada target kedua. Bahkan sejatinya, tidak akan ada orang selain mereka yang akan membantu.

Bagaimana mungkin ketika bahkan mereka akan lupa dengan apa yang terjadi.

Aku berbalik badan dan berjalan untuk kembali ke rumah. Tidak bisa, aku harus menenangkan pikiranku.

Aku akan terus berharap bahwa Taufan dan Gempa akan baik-baik saja.

.

.

.

Sudah hari kedua sejak Ying menghilang dan tidak diingat oleh siapapun selain kami. Dan kami masih bersekolah dengan normal seperti biasanya.

Beberapa guru kadang bertanya soal bunga Krisan putih yang ada di atas meja Ying. Namun, sekelas menjawab dengan kompak bahwa bunga itu harus dibiarkan tetap ada di sana.

Dan tidak boleh di ganggu.

Sebenarnya, ada hal yang kurang hari ini.

"Frostfire tidak masuk?"

Frostfire tidak masuk kelas tanpa kabar. Glacier sudah menghubunginya, namun tidak kunjung di balas. Ia pikir, Frostfire bangun siang seperti biasa. Makanya Glacier pergi ke sekolah.

Supra juga menelepon Frostfire. Namun, tak ada jawaban.

Tentu saja mulai muncul pikiran aneh-aneh.

"Aku akan mengecek ke rumah dia." Glacier tiba-tiba saja berdiri dan berlari keluar kelas, mengabaikan guru yang sedang mengajar.

"Hei!"

Aku mengangkat tangan. "Maaf bu, saya dan Glacier izin mengecek Frostfire di rumahnya."

Dan begitu saja, aku lari tanpa mendengar akan diizinkan atau tidak.

.

.

.

Kami berdua ngos-ngosan di depan kos-kosan Frostfire. Kosan kecil yang menampung satu orang tiap kos nya. Terkesan sederhana namun lumayan mewah untuk seukuran anak sekolahan.

Glacier mengetuk pintu rumah Frostfire dengan terburu-buru.

"Frostfire! Kau di dalam?" teriaknya. Ia mengetuk lagi tapi tetap tidak ada jawaban.

Kami berdua saling menatap. Memberi kode untuk mendobrak pintunya.

"Satu, dua, tiga!"

Kami menghantam kuat pintu hingga pintu tersebut akhirnya terbuka. Aku bisa merasakan bahu yang nyeri. Namun  Glacier langsung lari masuk ke dalam kosan lebih jauh.

"Frostfire! Frostfire! Kau dimana?"

Ia mengecek ruang tengah, kamar hingga dapur dan toilet. Tapi, ia tidak menemukan apa-apa. Ia tidak menemukan keberadaan Frostfire yang ia cari.

Terlihat raut gelisah di wajah papan Glacier.

Saat kami sedang sibuk mencari. Tiba-tiba muncul seseorang dari luar, yang membuat aku dan Glacier langsung menoleh dengan terkejut.

Seorang pemuda  berdiri di depan pintu yang kami dobrak itu. Suaranya, sepenuhnya membuat kami membelalak.

"Kalian ngapain?"

.

.

.

***tbc***

A/n:

Tidak sempat upload karena belum diketik. Semoga chapter ini masih bagus dan terasa aman-aman saja.

Nah, Ying menghilang. Identitas bahkan mayatnya. Seolah tidak pernah ada.

Hanya ada ingatan.

Btw, sudah mencurigai seseorang?

Selamat membaca

[05.01.24]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro