Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 14 : Where are you, Yaya?

Meski darah mengaliri sisi kepalanya karena sempat dihantam dengan kunci inggris. Bahkan tubuhnya terasa amat sakit. Gopal tidak menghentikan langkahnya untuk lari meski terseret-seret.

Ia menangis. Buru-buru berlari dengan jantung yang berdebar tak karuan.

Dirinya terperosok, karena rupanya ia keluar dari hutan tersebut. Ia jatuh berputar ke jalan raya.

Sebuah mobil berhenti mendadak karena hampir menabraknya. Membuat Gopal juga tak kalah kaget dengan keadaan ini.

Selagi menoleh was-was ke arah pepohonan. Orang-orang di mobil itu keluar, ternyata mereka adalah sepasang suami istri.

"Astaga, nak. Apa kamu tertabrak? Apa yang terjadi padamu?" Seorang ibu muda berlari terburu-buru menghampiri sosok Gopal yang terluka.

"Aku yakin tidak menabraknya tadi. Hey, nak! Apa yang terjadi?" Turut hadir pria yang merupakan suami wanita itu. Ia berdiri tegak pula, menunggu jawaban si Gopal yang masih berusaha merangkai kata.

Gopal tidak ingin menyebutkan kata pembunuh entah kenapa. Ia takut kedua orang ini akan meninggalkannya jika ia menjawab demikian. Kala itu Gopal menjawab dengan hal lain.

"A-aku tersesat dan jatuh. Tolong, bisakah kalian antarkan aku pulang."

Gopal tak kuasa menangis. Tubuhnya bergetar hebat.

Karena merasa kasihan. Akhirnya sepasang suami istri itu setuju untuk membawa Gopal. Mereka membantu memapah Gopal masuk ke dalam mobil, dan kemudian pergi dari sana.

Gopal masih melirik was-was pada pepohonan. Bisa ia lihat sosok itu hanyaa diam dan menoleh ke arah lain. Lalu pergi begitu saja.

Dirinya langsung pingsan saat itu juga.

.

.

.

Yaya langsung saja berlari saat si pembunuh menoleh ke arahnya. Ia juga mengangkat telepon dari Halilintar.

Pembunuh itu mengejar juga. Membuat Yaya berlari dengan panik.

"Halilintar! Aku sudah tahu pelakunya!"

Hanya dengan melihat postur tubuh, menerka tinggi badan, dan pakaian yang tergantung di tubuhnya. Yaya bisa menebak sosok orang yang menyembunyikan wajahnya di balik masker itu.

"Akh--"

Malang nasibnya, gadis itu justru tersandung dan ponselnya terlempar sebelum sempat mengatakan pelakunya pada Halilintar. Tapi tak masalah, ia harus selamat lebih dulu.

Namun saat baru mengangkat kepala. Sosok itu sudah sampai lebih dulu dan menarik kaki Yaya agar gadis itu tak bisa langsung berdiri.

Kaki gadis itu langsung ia patahkan di tempat. Bersamaan dengan teriakan melengking yang dibumbui rasa sakit.

Sosok itu melayangkan kunci inggris dan menghantam kuat kepala Yaya. Gadis itu tak kuasa menahan sakitnya dan langsung pingsan di tempat.

.

.

.

Aku berlari terburu-buru setelah mendapat panggilan telepon dari Yaya beberapa menit yang lalu. Dengan serta merta aku buru-buru memastikan semua pintu rumahnya terkunci, lalu berlari pergi mencari keberadaan Yaya yang tak kunjung mengangkat telepon.

Dalam penuh keheningan aku kini berlari tergesa-gesa. Sibuk menoleh kanan dan kiri sembari menelepon kembali si gadis yang masih tak juga mengangkat telepon darinya.

Udara dingin menusuk kulit. Aku menggigil karena hanya memakai kaos tipis.

Tanganku kembali menelepon. Hingga tak berselang lama, Yaya mengangkat panggilan itu.

"Halilintar! Aku sudah tahu siapa pelakunya!"

Suara gadis itu terdengar ngos-ngosan tatkala mengangkat telepon.

"Yaya? Apa yang terjadi? Dimana kamu?" desakku. Dari balik telepon, aku bisa mendengar bahwa Yaya tengah berlari terburu-buru.

Tentu saja jantungku langsung berdegup kencang. Aku panik dan berlarian, menerka dimana Yaya tengah berada.

Namun bukannya mendapat jawaban dari Yaya. Justru kudengar suara rintihan, dan tak lagi kudengar suara gadis itu.

Beberapa saat kemudian, saat suara pekikan Yaya diakhiri suara besi. Suasana di telepon langsung sunyi. Dan tak berselang lama, telepon itu dimatikan.

"Sial! Sial!"

Rasa takut menjalar ke seluruh tubuh. Seluruh raga terasa panas dan gemetar. Berputar kuat otakku untuk menerka dimana mereka berada.

"Tak ada angin atau suara lalu lalang mobil."

Aku menoleh setiap sisi jalanan. Rumah-rumah penduduk.

"Hutan. Suara gemerisik itu, rumput."

Aku pun langsung berlari setelah memutuskan dimana Yaya berada.

.

.

.

Suara rintihan itu terasa sakit dan menyesakkan. Meski sempat memberontak, dirinya tak kuasa lagi menahan bobot tubuh lelaki di hadapannya.

Tangan besar yang mencengkram kuat lehernya. Terasa sakit dan tidak bisa menghirup udara sama sekali.

Meski terasa gelap, Yaya sudah tahu siapa pembunuhnya. Yaya tahu siapa pemuda yang menyembunyikan wajahnya di balik masker ini.

Teman sekelas mereka. Yang Yaya tak akan pernah sangka akan menjadi seorang pembunuh.

"K-ke ... na ... pa ..."

Hingga tak ada lagi udara di rongga paru-paru. Gadis itu kini pandangannya telah gelap. Seluruh tubuhnya sudah tak lagi bergerak.

Sosok pembunuh itu berhenti, mengecek denyut nadi yang kini tak lagi terasa.

Turut tubuhnya ia geser ke samping. Melihat kedua tangannya yang berlumuran darah itu gemetar.

Diantara sunyi dan gelapnya malam. Ada sosok pemuda lain yang hanya diam berdiri di sebalik pohon. Menyembunyikan dirinya di balik bayang meski sebenarnya ia tak perlu lakukan itu.

"Kau lihat itu kan?"

Suara si pembunuh itu bergetar. Mengucur kembali air matanya melihat mayat temannya di depan mata.

Tangan kirinya bergerak mengelus pipi sang gadis yang sudah terbujur kaku tak bernyawa. Hanya memandang sunyi ribuan hampa tak bermakna. Nyawa yang mahal itu jatuh tak berharga.

Suara senada permata indah kini hanya membisu pula. Tak akan ada lagi sosok perempuan penyuka merah muda yang cerewet di dalam kelas.

"Kau lihat aku kan ..."

Pembunuh itu hanya menunduk lesu.

"... Ice."

Pemuda yang ada di balik bayang itu hanya menatap bisu dengan manik cyannya. Tidak berkomentar apapun.

Lisannya terkunci rapat. Hanya mampu diam meski di hadapannya ada seorang pembunuh dan mayat.

"Maafkan aku, Ice ..."

Di balik heningnya malam dan bisunya alam. Bibir kering Ice mencoba bersuara.

"Kamu duluan yang melakukannya, tanpa pikir panjang."

.

.

.

Rasanya kedua kakiku akan terlepas dari tempatnya. Napasku sama sekali tak beraturan. Aku berhenti tepat di depan sisi jalan yang dipenuhi pohon. Karena jalan ini adalah jalan yang menuju ke arah rumah Gopal setiap dia pulang, berarti tempat ini kemungkinan yang benar.

Tanpa berpikir panjang lagi, aku buru-buru masuk ke tempat itu dan mencari keberadaan Yaya. Mataku menyorot ke setiap sisi yang ada dan tak kunjung menemukan keberadaan siapapun di kegelapan ini.

"Yaya! Ini aku, Halilintar!" 

Tak ada balasan yang kuinginkan, bahkan suara angin pun tak juga berembus di tempat ini. Segalanya menjadi terasa sunyi dan mencekam. Bahkan suara jantungku yang berdetak keras itu dapat terdengar.

Ku coba tuk telepon lagi Yaya. Setelah itu terdengar suara nada dering ponsel tak jauh dari tempatku berdiri. Aku pun buru-buru mencari asal suara itu. 

Berjalan beberapa meter dari tempatku sebelumnya. Dapat kulihat ponsel yang bercahaya dalam gelapnya malam. Ku raih ponsel bercasing merah muda itu. 

"Dimana--" 

Tubuhku menegang kaku saat melihat sosok tak asing terbaring di atas rerumputan. Hijab merah muda yang tak asing di mataku. Tubuhnya yang tergolek tanpa ada gerakan itu, menandakan sesuatu yang tak baik-baik saja.

Kuberanikan diri maju perlahan untuk melihat sosok itu lebih dekat. Saat kusorot cahaya senter ke wajahnya, napasku terasa tercekat.

Ponsel yang kupegang itu, terlepas dari tangan begitu saja. Kutatap horor si gadis merah muda yang dari tadi kucari, sekarang kutemukan dalam keadaan tak bernyawa.

Tanpa perlu dicek lagi, aku sudah sangat tahu bahwa nyawa gadis ini sudah tak tertolong. Wajahnya yang pucat pasi dan bibirnya yang kering, sisi kepalanya berlumuran darah. 

"Yaya?" Aku bersimpuh di dekatnya. Meraih tangan kecilnya yang pucat. Menarik tubuh tanpa nyawa itu untuk kudekap. Mengusap pelan wajahnya, kurasakan kering dan rapuh.

"Maaf, aku gagal lagi." Tanpa kusadari, air mata itu menetes begitu saja. "Aku tak bisa melindungi siapa-siapa, aku gagal."

Lalu terdengar suara sirene polisi tak lama kemudian.

.

.

.

"Nak, apa kau baik-baik saja?" 

Kata itu berulang-ulang kali kudengar dari si polisi sejak mereka mengangkut mayat Yaya dengan ambulans. Dan juga sejak tadi pula aku hanya diam termenung. Tak bisa berpikir apapun.

Melihat polisi yang datang, itu berarti ada seseorang yang melihat kejadian ini dan melapor ke polisi. Aku menebak itu Gopal. Tapi sepertinya tidak mungkin, orang itu mana mungkin kepikiran untuk melapor polisi. 

Karena belum tentu juga ia bertemu Yaya. Melihatnya meninggalkan Yaya alih-alih ia adalah target sebelumnya. Itu berarti, hanya ada satu jawaban.

Yang melapor ke polisi adalah sang pelaku sendiri. Ia tidak mau aku menyimpan mayat Yaya. Atau menyembunyikan kematian Yaya dari seluruh penduduk kota. Ia ingin seluruh penduduk kota tahu soal kematian ini, dan kemudian bisa berpura-pura lupa akan keberadaan Yaya.

Juga membereskan TKP seolah-olah tidak pernah ada.

Meskipun aku tertangkap basah tengah memeluk mayat seseorang. Aku tidak akan dijadikan tersangka. Besok paginya, mereka akan berpura-pura kejadian ini telah terjadi. Lalu si pembunuh akan melanjutkan pembunuhan selanjutnya setelah memberikan SMS seperti biasanya.

Seperti sebuah permainan yang seru bagi mereka.

"Bisakah kau memberikan pernyataan nak? Pihak kepolisian akan mengurus ini." 

"Mengurus?" Aku mendengkus sembari tertawa mengejek. "Ya, kalian lakukan itu. Selamat membersihkan TKP nya ya." 

Aku menghempas kuat tangan sang polisi yang sedari tadi membujukku untuk bicara. "Persetan dengan semua penduduk kota! Akan kubunuh kalian semua setelah menemukan pelakunya."

Dengan begitu pula aku langsung berlari pergi meninggalkan mereka. Mereka tidak akan mungkin mengejar atau membiarkanku bermalam di kantor polisi untuk diinterogasi. Karena itu hanya akan membuat mereka ketahuan jika mereka sedang berpura-pura. 

Sebelum mereka semua hendak membersihkan dan menghilangkan apapun soal Yaya. Aku akan menyimpan semuanya. Aku yakin, Yaya memiliki banyak berkas lain soal kasus ini. Dan aku harus menyelamatkan semua berkas itu. 

Demi menemukan pelakunya dan hidup. 

Walau kami berlarian seperti tikus percobaan di dalam kotak kaca yang berisi gas racun. Aku akan tetap berlari mendobrak kaca itu hingga aku bisa kabur dan menghentikan permainan gila ini.

Mau seaneh atau semistis apapun itu, aku pasti bisa menemukan alasannya dan menghentikannya.

Mau itu pembunuh ataupun hantu.

Apapun.

Semuanya.

Aku akan menyelamatkan keluargaku yang tersisa, Taufan.

.

.

.

***tbc***

A/n:

Kelar untuk minggu ini. Entah hari senin atau beberapa hari lagi akan saya update book ini.

Makasih buat semuanya yang sabar banget nunggu book ini. Saya kerjakan semuanya di sela-sela kesibukan RL yang benar-benar numpuk. 

Yah dan sepertinya mayat lain lagi di chapter ini haha. Dan Ice?

Sudah temukan clue lain untuk menerka pelakunya?

See you

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro