Bab 12 : Stay Alive, Halilintar
"Jadi maksudmu, ada maksud lain kita dimasukkan ke dalam satu kelas yang sama?"
Yaya mengangguk.
"Aku telah mengecek profil kalian satu-persatu. Dan benar saja, kita semua tidak berasal dari kota ini. Kita semua pindahan dari kota lain." Yaya sendiri menghela napas, terlihat penuh ekspresi kecewa akan teorinya sendiri.
"Dan juga, kita belum mengecek ini," katanya lagi sambil meraih ponsel dan menunjukkan foto mereka sekelas. Di mana diantara mereka mulai terdapat spot kosong. "Tidak ada Supra."
"Dia kan memang mati."
Yaya terkekeh. "Kalau mati, bukannya para guru harusnya lupa?"
Aku membelalakkan mata. Yang dikatakan Yaya ada benarnya. Mayat Supra masih tersimpan aman di dalam rumahku. Para guru masih mengingatnya. Akan tetapi justru fotonya sudah menghilang disebabkan kematiannya.
"Berarti, para penduduk kota tidak melupakan orang-orang yang mati. Mereka hanya berpura-pura pembunuhan itu tidak pernah terjadi."
Kami berdua saling bertatapan. Namun hanya begitu, kami sudah paham.
"Baca ini." Yaya menyodorkan selembar koran lagi. Dilihat dari tahunnya, ini adalah koran setahun yang lalu.
Aku baca kata demi kata yang tertulis di koran. Setelah sambil berpikir mengenai segala teori yang ada. Aku meneguk ludah. "Benar."
Yaya mengambil duduk tepat di sebelahku. Ia menunjuk ke beberapa judul dan ilustrasi. Bahkan menunjuk tanggal yang kemudian disamakan dengan sejarah tahun per tahun.
"Karena mereka sempat meniadakan kelas ini selama setahun akibat tragedi 2 tahun yang lalu. Yang terkena imbasnya adalah para penduduk yang mati satu persatu secara mengenaskan di rumahnya," jelas Yaya lagi.
Aku terdiam sesaat. Lalu mendengkus dan terkekeh. "Kau memang jenius, Yaya."
Meski tak kulihat bagaimana ekspresi gadis itu tatkala ia mulai berangsur mundur, duduknya bergeser.
"Kalau begini, kita tinggal menemukan puzzle terakhir dan menemukan dalang yang sebenarnya," ujarku bersemangat. Aku meraih tangan gadis itu ketika ia hendak berdiri untuk merapikan kertas-kertas. Yaya terperanjat kaget.
"Terima kasih."
"E-eh ... iya?"
Kami berdua sama-sama kaget saat pintu ruang OSIS dibuka dan menampilkan beberapa anak OSIS yang juga kaget karena melihat kami.
"Eh? Yaya dan ... Halilintar? Kalian sedang a--"
Belum sempat menyelesaikan ucapannya. Yaya sudah lebih dulu menutup lagi pintunya. Lalu berlari ke arahku sambil terburu-buru membereskan kertas-kertas tersebut.
Aku membantunya. Sedang ia memasukkan buku itu pada akhirnya ke dalam sebuah kotak kue dan totebag merah muda. Lantas memberikannya padaku.
"Kenapa?"
"Aku tidak bisa mempercayakan diriku sendiri untuk menyimpan semua bukti ini. Aku juga tidak percaya pada semua penduduk dan teman sekelas. Hanya kamu yang kupercaya menyimpan semua ini, dan juga nyawaku." Ia mendorong totebag merah muda ke pelukanku. "Jadi tolong, jaga sekuat tenaga demi hidup kita."
Meski aku sempat tertegun. Akhirnya tetap kuterima totebag merah muda itu. "Baiklah, aku takkan mengecewakanmu."
"Berjanjilah padaku untuk tetap hidup, Halilintar."
"Ya."
.
.
.
Selagi dalam proses mengajar. Kami semua lagi-lagi menerima pesan dari anonim. Dengan isi pesan yang sama.
"Siapa hantunya?"
Aku refleks melihat ke seluruh penjuru ruang kelas. Tidak ada satu pun yang memegang ponsel sebelumnya.
Itu berarti, siapa yang mengirim pesan sialan ini?
Aku mencoba melihat teman sekelasku satu-persatu. Menerka siapa saja yang bisa jadi tersangka rantai pembunuhan ini.
Bahkan kenapa seorang teman, tega membunuh teman-temannya sendiri.
Memangnya kenapa ia harus membunuh teman-temannya? Bukankah kami sekelas adalah orang-orang dengan nasib yang sama, yang ditumbalkan oleh penduduk kota?
Apa sebenarnya maksud pesan anonim yang selalu mempertanyakan soal hantu ini?
Aku menghela napas lelah. Terpikir lagi bagaimana mayat satu-persatu teman kami, kami temukan dalam keadaan mengenaskan.
Dimulai dari Ying. Yang berarti, seluruh orang tahu soal pembunuhan ini.
"Sebentar."
Aku menyadari sesuatu. Tatkala manik ruby ku menoleh ke luar jendela dan melihat kelas-kelas lain. Aku tersadar akan sesuatu yang sebelumnya tidak terpikirkan sama sekali.
"Penduduk kota sialan ini tahu siapa pembunuhnya."
Karena Ying dibunuh di dalam kelas saat proses mengajar. Tidak mungkin tidak ada satupun orang di sekolah yang tidak mengetahui seseorang lewat setelah Ying.
Kota terkutuk.
.
.
.
Gadis keturunan Chinese itu berlari terburu-buru masuk ke dalam kelas. Setelah membuka pintu kelas, ia menghampiri bangku miliknya dan memeriksa laci.
"Ah, ketemu."
Ia mengangkat buku absen ramping berwarna biru itu dengan senyum sumringah. Hampir saja mereka sekelas akan dihukum guru jika lupa membawa absen.
Harusnya Ying tidak lupa. Mungkin karena tadi terburu-buru dikejar waktu, Ying melupakan absennya yang tertinggal.
Kini ia harus kembali. Yaya pasti menunggunya. Mungkin Ying juga harus mampir sebentar ke kantin untuk membeli air mineral.
"Ying!" panggil seseorang. Membuat mau tak mau, Ying harus menoleh.
"Oh, kenapa? Kamu ketinggalan sesuatu juga?"
Tak mendapat jawaban dari teman sekelasnya. Ying berjalan mendekat. "Sakit kah? Ke UKS aja," katanya.
Ying semakin bingung karena pemuda di hadapannya ini hanya diam saja. Ia lalu meraih tangan si pemuda dan menariknya untuk pergi ke lapangan.
"Yaudah ayo ke lapangan, kalau sakit izin aja ke pak guru ya."
"Ying," panggilnya lagi.
Namun ketika Ying menoleh lagi. Sebuah tusukan pisau mendarat tepat di perutnya. Pisau itu dicabut lagi kala Ying masih belum bisa memahami keadaan.
Ying berjalan mundur sambil memegangi perutnya yang mengeluarkan banyak darah.
Ying menatap pemuda itu dengan ekspresi tak percaya sekaligus takut. "Kenapa ... kamu ..."
Pemuda itu maju dan menusuk sekali lagi perut Ying. Ying terhuyung, namun ditahan dan dipeluk. Ketika Ying muntah darah, dan darah itu justru mengotori pakaiannya.
"Maaf, Ying."
Dan ketika tusukan itu sekali lagi diarahkan ke perut Ying. Gadis Chinese itu tak mampu lagi menahan dirinya dan terjatuh ke lantai.
Ying tergeletak sambil sayup-sayup menatap si pemuda, pemuda yang membunuhnya itu justru menangis. Ketika Ying bahkan tak lagi bergerak karena seluruh darahnya keluar dari perutnya yang ditusuk 3 kali.
Ying tewas. Bersamaan dengan foto-fotonya yang menghilang dari semua tempat yang ada di kota.
Seseorang masuk ke kelas. Seorang guru dengan pakaian dinas gurunya. Menyodorkan baju olahraga ganti ke si pemuda yang masih menitikkan air mata.
"Sudahi tangismu, ganti pakaianmu dan berbaurlah."
.
.
.
"Halilintar dan Yaya jadian?"
Rumor aneh itu langsung tersebar satu sekolah. Meski begitu, si pemilik nama yang tengah disebut-sebut tampak tidak begitu peduli.
Yaya bilang jika ada yang bertanya soal isi totebag tersebut, bilang saja isinya adalah kukis buatan Yaya. Karena Yaya memang biasanya membuat kukis, harusnya tidak akan ada yang curiga.
Namun siapa sangka bahwa hal itu membuat rumor jadi lebih jauh.
Saat ini adalah jam pulang. Orang-orang sibuk memperhatikanku yang menenteng totebag merah muda tersebut.
Aku masih membaca chat dari ponsel. Pesan chat dari Yaya. Gadis itu memberi pesan singkat berupa kata semangat dan hal lainnya.
"Aku akan memberitahumu lagi jika aku menemukan sesuatu, jadi tetaplah hidup."
Diakhiri dengan stiker kartun yang berlagak memukul seseorang. Aku hanya bisa terkekeh dan menjawab dengan memberikan emot jempol.
"Cie, lagi chatan sama siapa tuh?" Blaze tiba-tiba muncul. Aku langsung mematikan ponsel dan memasukkannya ke dalam saku.
"Kau belum pulang?"
"Belum." Ia menggeleng. "Em, kukis dari Yaya?" tanyanya sambil menunjuk ke arah totebag merah muda yang tengah kupegang.
"Tahu darimana?" Seingatku, bahkan belum ada yang bertanya soal totebag ini. Apa karena ia berwarna merah muda?
"Wih, bagi dong!"
Aku refleks menarik totebag tersebut karena takut Blaze akan mengetahui isi sebenarnya. Namun sepertinya, Blaze memikirkan hal lain.
"Astaga, se-bucin itu sama pacar barunya," katanya dengan dramatis.
Lewat Sopan dan Gentar yang justru juga tertawa.
"Hiburan sebelum mati," celetuk Fang yang langsung membuat Gopal merengut.
"Hadeh, kapan lah hidup ini akan berakhir indah."
"Lagian satu-satunya perempuan di kelas kita hanya Yaya, mau bagaimana lagi," ujar Sori yang tiba-tiba nimbrung pula. "Nyobain pacaran terakhir kalinya sebelum jadi mayat."
"Jelek banget kata-kata kalian," celetuk Glacier yang merinding. Ia memeluk dirinya sendiri.
"Kenapa Glacier? Mau dipeluk? Sini aku peluk!" Sori melompat ke arah Glacier. Namun Glacier dengan lihat menghindari pelukan tersebut.
"Ih, najis," ungkap Glacier yang kemudian lari duluan.
"Jangan jadi jomok ya kalian." Fang mendorong Sori menjauh.
"Kayaknya udah pada ikhlas buat meninggal ya," tawa Sopan. Yang sontak saja teman-temannya pada memucat. Lantas membubarkan diri.
"Gausah ngobrol sama Sopan."
"Bubar, bubar."
"Ga asik, gausah ditemenin."
Pada akhirnya gerombolan yang tiba-tiba menyatu itu langsung bubar. Aku berjalan lagi dalam sepi, setidaknya tidak ada yang membicarakanku lagi soal totebag merah muda ini.
Aku tiba-tiba merasa kasihan pada diriku sendiri dan teman-teman sekelasku.
Kami semua dipaksa untuk terus maju di jalan yang sama-sama akan membunuh kami. Bahkan penduduk kota tidak akan membantu sama sekali.
Jika dipikirkan pun, sepertinya kami semua tidak bisa keluar dari kota ini hidup-hidup.
Aku membaca isi pesan anonim siang tadi. Menatapnya dalam. Mencoba memahami maksud dari pesan yang terus-menerus masuk ini.
Jika seandainya kami tahu soal si hantu. Apakah permainan ini akan berhenti?
Ketika aku berjalan lagi menuju gerbang, untuk keluar dari sekolah. Dapat kulihat sosok Thorn yang memandang dalam diam Ice yang sedang menyebrang jalan.
Dan seketika, Thorn pula beranjak pergi. Juga Ice yang menghilang dalam kerumunan.
Aku mendengkus, "Sebanyak apalagi kita harus berbohong pada satu sama lain?"
Pundakku terasa berat. Beban yang aku terima seolah adalah nyawa orang lain.
Mengapa dari sekian banyak manusia yang hidup di bumi. Kami harus jadi orang-orang yang berada di situasi seperti ini.
Kematian.
Yang bahkan tidak ada satupun yang peduli.
Terlalu berat.
Hingga rasanya menyerah adalah satu-satunya jalan.
"Taufan ... Gempa ... Tolong aku."
Meski aku kuat. Tolong siapapun, bantu aku bertahan.
"Bertahan hiduplah, Halilintar."
.
.
.
***tbc***
A/n:
Ini nggak ada yang kejang-kejang kan liat scene HaliYa sedikit?
Diem ya, gausah pada cemburu. Hati kalian gausah kyk lemper mudah cemburu sama karakter fiksi.
Dan kali ini terverifikasi bahwa Yaya bukan sosok pembunuh setelah melihat cuplikan kematian Ying.
Jadi setelah Yaya, siapa lagi yang kalian curigai?
Dilihat-lihat dari interaksinya. Ngerasa kasian gak sama karakter-karakternya?
Iya, saya sih engga.
Engga salah lagi maksudnya.
Selamat menikmati dan berteori.
Anyway, see you.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro