Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 11 : Yaya's Teori

Dalam perjalanan ke sekolah. Aku menghela napas penuh rasa lelah. Jalanku terasa lambat, namun kupaksakan untuk berjalan lebih cepat.

Cahaya matahari pagi ini terasa membakar kulit. Aku sibuk berjalan mendekati bayangan pohon-pohon agar terhindar dari sengatan matahari hari ini.

Selagi merapati jalan di depan yang kini tanpa dihadiri pepohononan. Membuatku menghela napas panjang lagi karena harus merasakan panas yang menusuk.

Baru berjalan satu langkah, seseorang menyodorkan payung dan membuatku tidak merasa panas.

Saat aku menoleh ke samping, tampak Thorn tengah memegang payung itu sambil tersenyum.

"Panas banget ya, kita sama-sama saja ke sekolahnya," ajak Thorn.

Aku mendengkus sejenak. Lucu rasanya ketika tidak hujan namun malah memakai payung berdua. Sekarang kami berdua malah ditatapi orang-orang, namun Thorn tampak tak peduli.

Kami berdua mulai berjalan beriringan menuju sekolah. Sesekali Thorn bersenandung kecil. Beruntung dia tak terlalu frustasi akan keadaan Solar.

Mungkin saja keadaan memaksanya untuk tetap waras. Sama sepertiku.

Tiba-tiba saja terbesit di kepalaku untuk bertanya.

"Thorn," panggilku. Ia menyahut, melirik dengan manik zamrudnya yang sehijau daun.

"Ice itu ... sifatnya seperti apa?"

Thorn tampak sedikit tertegun. Bukannya menjawab, ia justru bertanya balik. "Kenapa memangnya, ada sesuatu yang terjadi?"

Dari raut wajahnya, aku bisa menerka jika pemuda hijau ini tengah menyembunyikan sesuatu. Ia berkali-kali menghindari tatapan mataku. Dan pula tersenyum kikuk saat aku tak kunjung menjawab.

"Em, Halilintar?" panggilnya.

"Aku hanya ingin tahu."

Sekolah sudah tampak di depan mata. Namun terik matahari tak kunjung reda. Membuat rasa panas yang justru bertambah saat Thorn berpikir lama untuk menjawab sebuah pertanyaan kecil.

"Orangnya suka tidur dan malas," jawab Thorn setelah aku menunggu jawabannya bermenit-menit yang lalu.

Tak puas dengan jawabannya, aku hanya mendengkus. Lalu berjalan lebih cepat darinya untuk sampai ke gerbang sekolah.

Tidak ada apapun yang ingin kutanyakan padanya lagi. Aku pun tak menoleh sama sekali saat meninggalkannya. Dan Thorn tidak pula meneriakkan namaku.

Mungkin tidak harusnya aku bersikap semena-mena pada teman sekelas yang harusnya jadi sekutu yang kuat. Tetapi melihat Thorn yang seolah sedang menyembunyikan sesuatu, membuatku mau tak mau harus turut waspada dengan semua tingkahnya.

Kematian Ying, Frostfire, Gempa dan Supra. Serta Solar yang sedang koma.

Kenapa dari kelima target. Hanya Solar yang koma?

Apa benar sang pelaku melarikan diri hanya karena aku datang. Kenapa dia begitu pengecut? Sedangkan dirinya berani menghadapi Gempa yang datang seorang diri untuk menggantikan kematian Taufan.

Apa Thorn--

"Halilintar!"

Aku tersentak kaget. Saat kutoleh ke kiri, rupanya ada Yaya yang menatap heran pula ke arahku.

"Kau melamun, aku memanggilmu dari tadi."

Aku menggaruk kepalaku meski tidak terasa gatal. Lantas berujar, "Ah, sorry. Ga fokus."

Tatapan Yaya jadi agak teduh. "Kamu gapapa?"

"Ya."

Gadis itu malah berjalan di sisi kiriku. Sehingga kami berjalan beriringan.

Kulihat dari gerak-geriknya. Tampaknya ia ingin membicarakan sesuatu. Tetapi entah kenapa masih saja sibuk menoleh ke kiri dan ke kanan.

"Kenapa? Kau begitu gugup," kataku. Ia reflek menoleh dengan ekspresi kaget.

"Apa kelihatan begitu?"

Aku mengangguk.

Ia menepuk jidatnya. Ekspresinya merasa tidak baik.

Aku bingung, kenapa dia begitu susah untuk langsung saja berbicara?

"Halilintar, apa kau benar-benar sedang baik-baik saja saat ini? Maksudku, suasana hatimu? Moodmu? Atau mungkin pikiranmu?" Ia berkata seperti itu dengan terburu-buru. Manik hazelnya menunggu jawabanku dengan bergetar.

Dahiku berkerut. "Kenapa? Aku baik-baik saja."

Ia tiba-tiba saja memegang tangan kiriku dengan kedua tangannya. Dan langsung menarikku sambil berlari entah kemana.

"Ikut aku!" katanya.

Yang bisa kulakukan hanya pasrah dan menurutinya untuk pergi ke tempat yang ia hendak tuju.

.

.

.

Aku bisa mendengar bunyi lonceng masuk. Tetapi meski begitu, tampaknya Yaya tidak ada keinginan untuk segera kembali ke kelas saat ini.

"Maaf menarikmu secara tiba-tiba begini. Sebenarnya, ada yang harus kudiskusikan padamu," ujarnya dengan serius. "Dan karena aku hanya punya waktu bertemu denganmu saat sekolah, aku harus melakukan ini."

Firasatku mengatakan bahwa gadis merah muda ini akan mengatakan hal yang sama, seperti penjelasan Solar kala itu. Sebelum akhirnya Solar koma akibat serangan di malam hari.

Sejujurnya, aku merasakan akan terjadi hal buruk.

"Yaya, aku rasa apapun yang mau kau katakan. Lebih baik jangan percaya padaku." Aku mendorongnya untuk jauh. Wajahnya berubah menjadi raut kecewa.

"Kau tidak bisa mempercayaiku, bagaimana kalau si pembunuh itu adalah aku?"

Ia memasang ekspresi kaget. Lalu berubah marah. Ia mendekatiku dan memukul-mukulku. Meski sebenarnya tidak terasa sakit sama sekali, terlihat dari ekspresinya bahwa ia kesal.

"Jangan bilang begitu, memangnya kau juga percaya aku adalah pembunuhnya?"

Aku menilai Yaya dari atas sampai bawah. Meski Yaya kuat, ia tidak memenuhi kualifikasi sebagai seorang pembunuh. Apalagi membunuh sahabat karibnya sendiri.

Yaya adalah wanita berhati lembut yang bahkan tak tega menginjak seekor semut. Bagaimana bisa orang seperti itu membunuh teman-temannya dengan sadis.

Bahkan tubuh mungilnya tidak sanggup untuk membopong para mayat. Atau setidaknya membawa lari Taufan untuk diculik sementara.

"Entahlah."

Ia memutar bola matanya.

"Dengar, Halilintar. Aku memutuskan untuk mempercayaimu. Jadi jangan menghancurkan ekspetasiku terhadapmu. Setidaknya, aku percaya bahwa teori-teoriku benar."

Aku terkekeh. "Apa yang membuatmu yakin bahwa aku bukan seorang pembunuh?"

"Oke, dengar. Dari semua orang yang ada di kelas, kau satu-satunya yang punya alibi di semua TKP." Ia menunjuk-nunjuk udara. "Saat kematian Ying, kau ada di lapangan sampai kita semua ke kelas dan menemukan mayat Ying."

Ia mengingat-ingat lagi.

"Bagaimana dengan kejadian ketika Frostfire mati?" tanyaku.

"Kau berada di rumah bukan? Mengobrol bersama saudaramu? Aku sempat melihat status watsap Taufan malam sebelumnya. Lalu Solar, kamu yang menyelamatkannya. Dan Gempa ..."

Ia terhenti saat mengatakan itu. Manik hazelnya menatapku iba. Ia tersenyum tipis. "Intinya aku mempercayaimu."

"Banyak yang punya alibi serupa. Kenapa kamu tahu detail tentangku?"

Ia tiba-tiba gugup. "I-itu--"

"Hei kalian! Ngapain berduaan disana? Kelas sudah dimulai dan kalian malah pacaran disini!" Datang seorang pria paruh baya memakai batik yang marah-marah ke kami sambil membawa pentungan.

Bukannya lari, Yaya justru menghampiri guru itu dan menjelaskan beberapa hal. Setelah guru itu menoleh ke arahku berkali-kali. Ia akhirnya pergi dari sana.

Yaya kembali sambil menghela napas. "Ayo pindah, tidak baik juga berbicara soal pembunuhan di tempat terbuka seperti ini," ajaknya.

Gadis itu hanya berjalan lebih dulu. Sementara aku mengekorinya bak anak ayam.

Aku mengamati sosoknya. Gadis dengan tinggi tak lebih dari 160 centi. Memakai hijab putih yang senada dengan seragam. Cardigan merah muda serta jepit aksesoris berwarna sama yang jadi ciri khasnya.

Cara jalannya yang tegap dan berpostur bagus. Bahkan berjalan tanpa menoleh ke belakang sama sekali. Seolah percaya diri dengan semua bakat dan kemampuannya.

Kepercayaannya yang dilimpahkan padaku seolah jadi pertanda bahwa ia tak selalu sekuat besi baja. Wanita setegar dirinya harus bertahan hidup diantara gilanya kematian yang terus-menerus menghantui.

Tak bisa dibayangkan seberapa berusaha ia memilih seseorang yang bisa ia andalkan dan jadi patokan agar tak hilang tumpuan. Dan akhirnya diantara semua hal tersebut, ia memilihku untuk membantunya meniti hidup di atas seutas tali.

Yang bisa putus kapan saja jika kepercayaannya jatuh ke tempat yang salah.

"Disini lebih aman, duduklah."

Pada akhirnya ia justru membawaku ke ruang kerja OSIS. Di tempat ini, sedang tidak ada seorang pun selain aku dan dirinya. Tampaknya mereka semua tengah mengikuti pelajaran.

"Tidak ada tugas OSIS hari ini. Ruang ini sedang tidak dipakai, kita bisa berbincang soal itu disini." Ia datang lagi setelah menyuguhkan teh hangat. "Minumlah."

"Terima kasih."

Aku menatap pantulan dari teh. Beserta uap yang keluar.

"Begini, Halilintar. Aku tahu keadaanmu sedang tidak dalam kondisi yang baik. Tapi demi hidup, aku harus memberitahumu soal ini."

"Pasti ada sesuatu yang kau mau, bukan?" tanyaku sambil menyeruput teh tersebut.

"Iya," jawabnya tanpa basa-basi. "Aku ingin kau melindungiku."

"Begitu ya. Jadi, teori apa yang kau temukan?"

"Soal itu ..." Ia beranjak mengambil beberapa buku tebal dari loker. Lalu menaruhnya di hadapanku. "Biar aku jelaskan satu-persatu."

"Seperti yang pernah kita sekelas teorikan sebelumnya, pembunuhnya adalah manusia, dan dia adalah teman sekelas kita. " Ia mengambil foto-foto yang sudah agak jadul. Dan memberikannya padaku. "Itu adalah foto alumni-alumni sebelumnya yang pernah berada di kelas kita."

Aku mengernyitkan dahi. Dari lima lembar foto yang diberikan. Tiap foto tak lebih dari lima anak. Dan mereka berdiri saling berjarak seolah sedang berfoto ramai.

"Kita tahu bahwa setiap yang mati, foto tentangnya akan menghilang. Dan aku berpikir seperti itu ketika melihat foto-foto ini." Ia menunjuk ke lima lembar foto yang tengah aku lihat. "Bukan cuma kita, alumni sebelum kita juga merasakan hal yang sama."

"Jadi maksudmu, permainan bodoh ini terjadi setiap tahun?" tanyaku tak percaya.

"Ya." Ia menyodorkan satu foto lagi. Namun kali ini, foto itu siswanya masih ramai. Hanya ada beberapa spot kosong saja. "Ini juga dari kelas yang sama, tetapi mereka lebih banyak. Aku bertanya-tanya soal itu dan akhirnya mencari tahu."

"Dan, apa kau menemukannya?"

"Ya!" Ia mengeluarkan potongan-potongan berita dari koran yang sudah agak lepek. "Mereka masuk koran sebagai tragedi. Disini diberitakan bahwa mereka semua saling bunuh tanpa diketahui penyebabnya. Dan sebenarnya yang tersisa hidup hanya satu orang ini."

Yaya menunjuk ke foto satu orang laki-laki.

"Mereka adalah alumni 2 tahun sebelum kita. Makanya setelah kejadian itu, alumni sebelum kita tidak ada. Barulah ada kita lagi." Yaya menyusun kembali koran-korannya.

"Dan kejadian tersebut berlanjut ke kita."

Kami berdua sama-sama bernapas berat. Aku sakit kepala saat memikirkan soal ini. Namun hebatnya Yaya sudah menemukan soal hal ini lebih dulu.

"Dan kamu tahu apa yang lebih mengejutkan?"

Aku menatap matanya. Ia tampak begitu serius.

"Kita semua di kelas adalah anak pindahan dari sekolah lain. Kita semua, bukan berasal dari kota ini."

"Dengan artian, kota ini sedang menjadikan kita tumbal."

Sial.

.

.

.

***tbc***

A/n:

Halo! Udah lama banget nungguin book ini update? Sorry banget ya. Sibuk banget.

Udah lupa sama alurnya karena kelamaan? Oke, biar sy kasih cuplikan ulang.

Berawal dari SMS anonim. Ying mati di kelas, dilanjutkan kematian Frostfire di rumahnya setelah Halilintar dan Glacier datang menjenguk.

Solar sehabis minta tolong ke Halilintar, malah diserang malam hari dan beruntung diselamatkan Halilintar. Namun, Solar koma.

Taufan diculik pas demam. Dan Gempa disuruh bundir kalau gamau Taufan kenapa-napa. Jadinya, Gempa mati habis bundir.

Taufan jadi gila.

Supra mati setelah lari buat nengokin cewek kelas lain yang teriak-teriak bikin kehebohan. Matinya di gudang. Sedangkan si cewek mati besoknya, ditemukan di kolong jembatan.

Mayat Supra disimpan Halilintar. Terus Ice datang, ngomong sesuatu dan pergi gitu aja.

Dan di chapter kali ini. Halilintar ngobrol sama dua orang, Thorn dan Yaya.

Gimana menurut pendapat kalian? Apa kalian memindahkan rasa curiga kalian lagi?

Kemaren ada tuh yang mencurigai Yaya kan. Gimana menurutmu? Apa pandanganmu berubah lagi?

Untuk jadwal update. Aku bakal update kayaknya 2 kali seminggu. Hari apa aja? Nanti aku informasikan lagi deh.

Itu aja. See you.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro