Bab 10 : Corpse Supra
Malam ini, di gudang sekolah. Kutemukan supra yang sudah tak bernyawa.
Bau anyir darah yang begitu pekat. Darah yang merembes dari kepala terlihat masih baru. Tubuh yang mulai kaku dan dingin, terduduk tak berdaya di antara kardus-kardus.
Tubuhku terdiam kaku sesaat. Jari-jemari tak sanggup memegang kuat senter. Hingga senter itu jatuh ke lantai.
Lagi-lagi, korban baru.
Terdengar suara tapak kaki yang lari terburu-buru. Begitu ia sampai di belakang tubuh, ia memanggil dengan suara penuh peluh. "Hali, apa kau--astaga ..."
Sosok Blaze yang datang, langsung mundur selangkah karena kaget melihat mayat Supra di depan mata.
"S-Supra. Dia mati?"
Aku maju ke depan dan mengecek nadi di lehernya. Benar saja, itu bahkan tak berdetak lagi.
Blaze langsung mengambil handphone miliknya dan menelepon. Setelah di angkat, dia bersuara lantang dan panik. "Kami menemukannya! Di gudang belakang sekolah!"
Tak berselang lama setelah Blaze menelepon. Bisa didengar banyaknya suara tapak kaki yang mulai datang ke arah kami. Mereka semua--sekelas--datang berbondong-bondong.
Tanpa perlu dilihat pun. Dari napas mereka, mereka terlihat panik dan takut.
"Supra!" Glacier memekik dan mendatangi mayat itu dengan ekspresi takut-takut. Begitu melihat kondisi Supra dan mengecek nadinya. Ia terdiam kaku.
"G-Glacier." Sori menarik tubuh Glacier yang melemas itu untuk mundur menjauhi Supra. Glacier tak berkata apa-apa. Ia hanya menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Dengan kedua bahu yang turut bergetar pula.
Fang hendak menelepon polisi. Namun tak kalah sigap, aku menahan ponselnya. Ia terkesiap, memberikan ekspresi bertanya-tanya.
"Untuk kali ini, jangan dilaporkan ke polisi," kataku.
Mereka semua menatapku dengan pandangan terkejut dan merasa aneh.
"Apa maksudmu, Halilintar?"
Aku menunjuk ke arah mayat Supra. "Aku akan menyimpan mayat itu."
"Sudah gila kah?" celetuk Sopan.
"Cukup Taufan yang gila, kau jangan ikutan gila!" Fang menarik ponselnya dengan kasar. Namun, tangan ku lebih kuat menahan ponsel itu.
"Selama ini mayatnya hilang. Semua ingatan penduduk, jejak, dan segalanya tentang orang yang mati akan hilang. Jadi jika pernyataan kalian tadi pagi benar, bukankah harusnya mayatnya tetap ada?" Aku menatap Fang dengan penuh keyakinan. "Aku akan menyimpan mayat itu dan mengecek apakah dia akan benar-benar hilang besok."
"Kalau begitu, apakah ingatan penduduk akan tetap hilang?" sahut Thorn.
Kami semua saling terdiam.
"Tapi tetap saja, menyimpan mayat seperti itu ..." Gopal merinding.
Aku menoleh ke arah Glacier. "Tidak apa-apa, kan? Glacier." Karena Supra adalah teman dekatnya. Kupikir tak salah jika meminta izin dari sahabat karibnya terlebih dahulu.
Semua tatapan mengarah ke dirinya. Ia menatap dalam diam. Menoleh ke arah mayat Supra. Lalu menyembunyikan wajahnya lagi.
"Terserah. Asal jangan kau apa-apakan."
Aku melepas ponsel Fang. Fang hanya bisa diam dan menatap dengan penuh ketidakpercayaan. "Sinting," ungkapnya.
Sedangkan aku berjalan ke arah mayat Supra. Dan mengecek kematiannya.
Sopan tiba-tiba-tiba saja berdiri di dekatku. "Lihat kepalanya, aku rasa dia mati gara-gara kehabisan darah."
Melihat jejak darahnya. Memang bagian kepala adalah yang paling banyak mengeluarkan darah. Hampir seluruh wajah Supra, ditutupi oleh darah.
"Pasti kepalanya di pukul," kata Gentar. Gentar menunjuk bercak darah di salah satu lantai. "Baru dimasukkan ke dalam gudang."
"Kalian mulai sok-sokan bertingkah seperti detektif," sindir Fang tak senang. Ia sendiri khawatir dan was-was dengan kejadian ini.
"Mama, aku mau pulang." Gopal menangisi dirinya sendiri. Ingin segera pulang, tapi takut untuk pulang sendirian di malam hari seperti ini. Apalagi setelah melihat mayat Supra yang mati dengan mengenaskan.
"Mau kubantu bawa Supra?" Sopan berkata. "Kalau sendirian pasti susah."
"Mau dibawa pakai apa? Karung? Plastik?" Blaze tau-tau memblusuk masuk ke dalam gudang. Dan kembali dengan karung dan plastik hitam.
"Gendong biasa saja. Malam-malam, kota ini tak terlalu ramai."
Thorn sudah mengeluarkan sapu tangan dan tisu. Ia mengusap darah di wajah Supra.
"Jejak darah ini bagaimana? Mau dibiarkan atau dibersihkan?" tanya Sori.
"Bersihkan. Jangan biarkan satu penduduk pun tahu soal hal ini." Begitu aku berkata seperti itu. Tampaknya mereka paham dan langsung berpencar untuk mengambil pel dan sabun.
Kami semua sudah paham harus apa di situasi ini.
.
.
.
Aku menaruh mayat Supra di dalam peti beku. Itu agar dia tidak bau dan membusuk dalam beberapa hari. Aku tidak berpikir bahwa aku akan menyimpan mayat Supra dalam beberapa hari saja.
Aku rasa, hal ini akan jauh lebih panjang dan lebih lama.
Ini menyangkut hidup dan mati. Semuanya sudah disuruh untuk diam. Dan tidak mengatakan apapun soal Supra kepada siapapun.
Hanya kami sekelas yang mengetahui hal ini.
Aku pun menyimpan Supra di gudang bawah tanah. Tempat yang hanya aku dan adik-adikku yang tahu.
Gudang ini jarang dipakai. Karena kami tidak perlu tempat lebih untuk barang-barang. Bahkan barang seperti pemotong rumput dan sejenisnya, biasanya ditaruh Gempa di dekat pintu belakang.
Gudang ini terbengkalai.
Karena itu, tempat ini sangat cocok dipakai untuk menyembunyikan mayat Supra.
Seperti perkataan Gempa sebelumnya. Ia mencurigai teman sekelas kami. Kalau begitu, biarlah aku mempercayai diriku sendiri dan menyimpan mayat Supra sendiri. Meski aku tak yakin apakah akan selamat setelah melakukan hal seperti ini.
Hal-hal mistis seperti para penduduk yang kehilangan ingatannya keesokan hari seperti tidak masuk akal. Apalagi disertai foto dan nama yang juga menghilang dari absen kelas.
Pasti ada sesuatu di balik ini semua.
Setelah menyembunyikan peti beku di balik tumpukan kardus dan plastik. Aku bergegas keluar dari dalam gudang yang dipenuhi debu itu.
Aku mengunci pintu gudang dengan rapat. Kututupi dengan tanah dan pot kembang. Hal seperti ini lebih baik, aku akan mengecek lagi mayat Supra esok hari.
Sekarang aku harus mandi karena baju dipenuhi darah dan jaring laba-laba. Aku tidak ingin Taufan ketakutan saat melihatku dalam keadaan seperti ini.
Keadaannya sedang tidak dalam kondisi normal.
.
.
.
Hari ini, kami bersekolah normal seperti biasa. Seperti tidak terjadi apapun.
Kecuali fakta bahwa satu bunga dan sketsa wajah bertambah lagi di dalam kelas kami. Mengisi kekosongan meja Supra.
Para guru tak lagi bertanya soal bunga-bunga itu. Karena Yaya selalu hanya mengangkat tangan, dan tidak memberikan jawaban apa-apa.
Kami pun hanya bisa diam.
Tapi yang mengejutkan hari ini adalah tentang Supra.
"Supra?"
Absen kelas. Dimana seharusnya nama Supra sudah dilupakan seluruh penduduk. Kini masih tertulis di dalam absen kelas.
Dan masih diingat oleh guru yang mengajar.
"Supra tidak hadir?"
Kami lagi-lagi diam. Satu-satunya orang yang mampu untuk mengangkat tangan saat ini hanyalah Yaya. Gadis itu terlihat sangat pendiam namun tegar sejak kematian Ying kala itu.
"Maaf pak," katanya. "Siapa Supra? Di kelas kita, tidak ada yang namanya Supra."
Kami tidak merencakan ini.
"Apa maksudmu? Saya tidak sedang bermain-main, Yaya." Guru itu menunjuk absen. "Ini adalah absen yang benar."
"Kalau begitu, kemungkinan nama yang bapak sebut sudah tewas."
Di dalam kelas, tidak ada yang berani membuka mulut. Hanya suara Yaya yang terngiang-ngiang di kepala kami. Gadis berhijab penyuka merah muda itu tampak tak goyah mengatakan hal tersebut ke guru.
Sebaliknya, guru itu terlihat goyah.
Suara dari speaker kelas, mengalihkan perhatian kami semua.
"Perhatian untuk seluruh siswa siswi. Diharapkan untuk segera pulang ke rumah masing-masing dan menjaga diri. Saya ulangi."
Pengumuman itu membuat seluruh murid bertanya-tanya. Meski terjadi kehebohan. Para siswa akhirnya tetap dipulangkan.
Desas-desus terdengar ketika kami semua mulai melangkah keluar dari gerbang sekolah. Melalui internet, muncul berita penemuan mayat di jembatan yang tak jauh dari sekolah.
Dan diduga bahwa mayat tersebut adalah seorang murid yang bersekolah di sini.
"Apa itu mayat Supra?" bisik Blaze dengan was-was.
Aku menggeleng. "Pagi ini ku cek, mayatnya masih ada."
Fang menunjukkan ponselnya. "Korbannya perempuan, adik kelas."
"M-mulai merambat ke kelas lain kah?" celetuk Gopal gemetar.
"Kita dengar beritanya besok, kalau beritanya hilang, berarti iya." Setelah Yaya berkata begitu, ucapan itu di tolak oleh Sopan.
"Kita yang hilang ingatan kalau begitu. Soalnya, kejadiannya di kelas lain yang tidak ada hubungannya dengan kita."
"Aku akan mengecek Supra." Setelah berkata begitu, aku langsung meninggalkan mereka dan berlari menuju rumah.
.
.
.
"Masih ada."
Supra masih dalam posisinya. Tidak berubah sama sekali. Mayatnya masih aman.
Tiba-tiba terdengar suara bel. Aku terkesiap. Kututup Supra dan segera keluar dari gudang. Kubersihkan debu yang menempel.
Tak berselang aku akhirnya meraih gerbang dan membuka pintu gerbang. Kulihat sosok Ice yang rupanya datang bertamu.
"Oh, ada apa?"
"Aku boleh masuk?"
Meski sempat ragu. Kubuka lebar gerbang dan membiarkan Ice masuk.
Kujamu ia sampai ke ruang tamu. Ice hanya diam saja, memperhatikan dekor rumah yang begitu pula dipenuhi foto.
"Foto Gempa, hilang ya," celetuk Ice.
Aku menaruh dua gelas teh di atas meja. Menunggu dia duduk.
"Iya, hilang."
Foto-foto Gempa yang terpajang di dinding. Lenyap. Hanya menyisakan background foto tak berarti.
"Foto Supra tidak hilang," kata Ice lagi. Ia sudah duduk dan menyeruput teh.
"Kau tidak pulang ke rumah?" tanyaku begitu melihat ia masih memakai pakaian sekolah.
"Aku sudah pulang."
"Tidak ganti pakaian?"
Ia menggeleng.
"Ada apa kesini?" ujarku to the point.
Ice tampak terdiam sesaat. Ia tersenyum tipis. "Aku tidak datang untuk membunuhmu, kok."
Aku mengernyitkan dahi. Tidak mengerti itu adalah gurauan atau ancaman.
"Aku hanya mencoba membantumu. Meski aku tidak bisa apa-apa juga."
Ice menaruh cangkir yang penuh teh itu di atas meja. Tidak terlihat telah diminum sama sekali.
"Jadi?"
"Kau belum sadar."
"Soal?"
"Aku." Ia berdiri. "Aku mau pulang. Jaga dirimu baik-baik, Halilintar."
Ia beranjak dari sana dan keluar. Aku hanya bisa melihat punggungnya yang menghilang setelah ia keluar dari gerbang.
Sampai kini, aku belum mengetahui apa maksudnya.
.
.
.
***tbc***
A/n:
Mayat Supra disembunyikan. Dan ternyata, para penduduknya ga lupa?
Loh? Loh?
Terus yang ada di jembatan itu mayat siapa? Kok bisa ada yang mati selain mereka sekelas?
Ada yang paham maksud perkataan Ice?
See you next chapter
29.03.2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro