Bab 1 : Halilintar
Aku berlari terengah-engah tanpa arah di jalanan yang bersemak. Kakiku tanpa alas terus menapak tanpa henti meski pegal melanda. Meski terasa perih dan pedih, tiada niatku untuk sekadar berhenti dan mengecek luka di kaki.
Bagiku, kehidupan ku bertaruh pada kemampuanku untuk bertahan dan berlari. Meski entah ada apa di ujung sana. Walau ada jurang yang menanti.
Langit semakin menggelap. Aku kehilangan cahaya untuk melihat jalanan. Namun tak kubiarkan langkahku berhenti di saat ini.
Hanya karena sebuah kematian yang tidak mereka ketahui. Mereka semua harus menanggung akibat dari kematian seseorang.
Siapa yang tahu bahwa jaman sekarang, kutukan itu masih berlaku.
Aku hanyalah orang yang tak tahu apa-apa. Yang terseret ke dalam permainan yang gila ini.
Orang-orang yang ingin kulindungi pun. Mati dengan cara yang mengenaskan.
Seolah tiada ampun bagi kami yang menutup mata dan telinga. Sebuah karma dari dosa setinggi langit yang dihempaskan karena tiada rasa kemanusiaan.
Lalu, apa ini juga bagian dari kemanusiaan?
Manusia keji tak tahu diri yang membunuh tanpa empati. Demi mendapatkan hal yang mereka inginkan. Orang berotak bodoh yang tak bisa berpikir dengan benar.
Meski begitu, semua sudah terlambat.
Sangat terlambat.
"Akh!"
Aku terjatuh, terpeleset karena sebuah kulit pisang yang tercecer di jalanan.
Sial, siapa yang memakan pisang tanpa membuang kulitnya di tempat sampah?
Lupakan hal itu. Sekarang, pergelangan kakiku terkilir. Dan aku tidak bisa berdiri dengan benar. Acap kali berusaha berdiri, lagi-lagi ambruk ke tanah. Sehingga yang bisa kulakukan kini hanya menyeret tubuh untuk tetap lari.
Kesalahan berfikir. Pembunuh itu sudah menyusul. Bahkan aroma darah itu menguar di sekitar. Seolah memberi tanda bahwa orang ini benar-benar seorang pembunuh.
Seolah ini adalah acara detektif di televisi. Saat aku berbalik untuk melihat wajahnya, hanya hitam legam yang bisa terlihat.
Pakaian sekolah yang basah oleh keringat dan darah orang lain. Dan sebuah pisau yang dipegang erat di tangan kiri. Napasnya yang terengah dengan berat dan tatapan matanya yang menatap sayu ke diriku. Berbagai makna yang tidak bisa terjelaskan.
Adakah dirinya merasa menyesal? Atau merasa bersalah?
Bahkan tangannya bergetar hebat. Menunggu detik-detik ia akan menghujamku dengan pisau dapur. Aku hanya bisa menutup mata dengan lengan.
"Hali?"
Suara yang familiar menganggu indraku.
"Hali? Bangun!"
"Hah!"
Aku bangun dengan kaget. Bulir-bulir keringat jatuh. Cahaya terang dari balik jendela membuatku mengernyit. Sosok Ice di depan mataku, membuatku meringis nyeri.
"Kaget," ujarnya.
"Oh, kau rupanya."
Aku dan Ice sedang berada di perpustakaan. Memulangkan buku-buku yang kami pinjam untuk belajar sejarah. Sebenarnya, Ice tidak mau. Namun karena satu kelas melarikan diri. Aku hanya bisa meminta bantuan Ice yang kala itu sedang tertidur pulas.
"Aku tinggal sebentar rupanya tertidur pulas. Kenapa? Mimpi buruk?" tanyanya dengan khawatir.
Aku cuma bisa menggelengkan kepala saja. Tidak mau bercurhat ria dengan manusia es batu yang tidak peduli apa-apa.
Ice cuma mengangkat bahu rupanya. Lalu menaruh sehelai kertas ke dalam kotak perpus.
"Aduh, aku capek banget. Gara-gara kau," keluh Ice. Ia langsung nyelonong pergi dari perpustakaan tanpa menungguku lagi. Menghilang begitu saja di antara siswa-siswi lain yang berlalu lalang di koridor.
"Wah, ada kak Hali." Thorn muncul entah dari mana. Membuatku kaget dengan kepalanya yang tiba-tiba timbul dari sebelah rak buku. "Sendirian?"
"Iya."
Thorn hanya membuat huruf 'o' di mulutnya dan mengangguk kecil. Lantas mengitariku yang sedang memakai sepatu untuk kembali ke kelas.
"Mau ke kelas? Bareng ya!" Begitu diriku mengangguk, ia langsung bersorak ria dan mengikuti ku dari belakang seperti anak ayam.
"Hali! Hali! Kak Hali! Katanya kak Hali takut hantu ya?" Pertanyaan yang antara bertanya atau mengejek itu menusuk kalbu.
"Diam," tukasku. Aku mendorong wajah bulat itu menjauh. Terlihat sekali berniat jahil. Ia pasti mengetahui fakta ini dari Taufan. Sialan bocah itu, akan kupukul dia nanti.
"Kami nanti malam akan bermain uji nyali. Kak Hali mau ikut?" tawar bocah hijau itu. Tentu saja, aku akan menolaknya.
"Kalau menolak, berarti kak Hali pengecut!"
"Hei! Siapa bilang aku menolak?"
Terdengar tawa dari Thorn. Sepertinya aku terkena jebakannya. "Baiklah, sampai bertemu nanti malam ya~"
Sial, aku akan memukul kepalanya nanti.
.
.
.
"Permainan?"
Pertanyaan itu meluncur dari mulutku begitu saja. Mereka ini banyak sekali tingkahnya. Nanti dirasuki setan, baru tahu.
"Cuma sekadar uji nyali itu tidak seru, tahu!" Jawaban dari Taufan membuatku ingin memukul kepalanya.
"Kekanakan sekali," ujar Glacier.
Aku pikir. Hanya akan ada sedikit orang malam ini. Siapa sangka bahwa trio troublemaker ini berhasil membawa 17 orang ke dalam permainan bodoh ini.
Bahkan Yaya dan Ying mengikuti ajakan mereka. Entah hal licik apa yang mereka punya untuk menjebak duo Y itu.
"Aku dengar, di sekolah ini pernah terjadi pembunuhan loh. Katanya, hantunya masih ada diantara para siswa karena dia tidak tahu kalau dia sudah mati." Blaze menjelaskan. Membuat beberapa orang bergidik ngeri.
"Bualan. Itu kan cuma rumor," tepis Fang. Ia menolak percaya dengan hal-hal mistis tanpa dasar seperti itu.
Sungguh tidak masuk akal ketika hantu yang sudah mati itu tidak menyadari dirinya mati. Bahkan berbaur tanpa kita sadari.
"Terdengar seru. Kapan kita mulai gamenya?" sahut Frostfire dengan semangat. Membuat Glacier di sebelahnya pun jadi geleng-geleng kepala.
"Hei! Kenapa anak-anak sekolah masih di sini ketika malam?" Teriakan melengking sang satpam membuat kami semua lari kocar-kacir karena tidak ingin tertangkap. Berkat satpam itu, kami tidak jadi bermain permainan bodoh itu.
Terima kasih pak satpam. Akan kukenang jasamu.
.
.
.
Aku menekuk alis. Tiba-tiba lupa dengan mimpi buruk yang kualami tempo hari. Sepertinya, memang mimpi itu tidak bisa diingat selama berhari-hari.
Aku sangat benci dengan mimpi buruk. Mereka hanya menganggu ketika sedang tertidur untuk istirahat. Memangnya, tidak ada hal lain yang bisa dijadikan mimpi?
Aku menghela napas, membuat Gempa menoleh dengan raut khawatir. "Kenapa? Kayaknya ada masalah?"
"Hanya mimpi buruk."
"Mau cerita?" tawarnya.
Sebenarnya, aku memang ingin bercerita. Masalahnya, aku lupa dengan mimpi yang kualami. Yang kutahu, itu mimpi yang amat sangat buruk.
"Bukan apa-apa."
Gempa tidak pula memaksaku untuk bercerita. Justru memberikan senyum semangatnya kepadaku. Membuatku cukup merasa tenang.
"Taufan juga bermimpi buruk tempo hari. Tapi dia tidak mau bercerita." Aku langsung membelalak. "Dia bangun tidur sambil berteriak, kupikir ada apa. Tapi tiba-tiba memelukku dan tidur lagi."
"Kapan?"
"Tadi pagi, kenapa?"
Aku tidak mendengar ketika Taufan berteriak pagi ini. Apa mungkin itu terjadi ketika aku sedang mandi?
"Aku kaget karena dipeluk. Tapi melihat dia tenang setelah itu, membuatku tenang juga," ujar Gempa sambil mengelus dadanya. Begitu kaget tampaknya melihat Taufan yang bertingkah tiba-tiba.
"Sekarang dia di mana?"
Gempa berpikir sebentar. "Bermain game di kamarnya." Gempa melihatku berdiri. "Mau menemuinya? Khawatir ya?"
"Cih, enggak."
Gempa hanya terkekeh saja. Lalu membiarkanku pergi.
Aku berjalan ke depan kamar Taufan. Bocah itu dari dulu entah kenapa memang menyebalkan. Tapi mendengar dia menangis hari ini, membuat perasaanku cukup tak enak juga.
Aku membuka pintu kamar Taufan yang memang tidak pernah ia kunci. Katanya sih, takut aku dan Gempa khawatir. Padahal tidak ada yang perlu kami khawatirkan soal bocah biru ini.
Meski pintu berderit. Sosok pemuda di kasurnya itu tidak menyadari bahwa aku telah melangkah masuk dalam kamarnya.
Ia fokus bermain game mobile di handphonenya dengan suara yang keras. Namun, wajahnya terlihat lempeng saja. Seperti kata Gempa tadi, matanya memang sembab dan terlihat kumal.
Bahkan rambutnya berantakan.
"Taufan," panggilku.
Dia langsung terkejut. Begitu melihatku, ia memberikan wajah senang. "Kak Hali bikin kaget saja."
Aku duduk di sebelahnya, di atas kasur. Ia mematikan handphone, menyudahi permainannya.
"Kau gapapa?"
"Apanya?" Lihat wajah itu, mencoba mengelak lagi. Tiada hari bagi Taufan tanpa mengelak. Ia selalu bersikap baik-baik saja meski terlihat jelas binar di matanya itu meredup.
"Gak tidur lagi?" Mendengar itu, Taufan sedikit mengundur. "Gak ah, capek tidur mulu."
Taufan menggaruk kasur. Mungkin merasa canggung dengan percakapan seperti ini. "Kak Hali dengar dari Gempa ya?"
"Iya."
Ia menggaruk kepalanya. Sedikit gelisah. "Itu bukan apa-apa kok," kicaunya.
"Kau itu mudah tantrum, bikin orang khawatir." Aku menjitak kepalanya dengan kesal. Ia meringis, memegangi jidatnya.
"Siapa yang tahu kau akan kejang-kejang begitu tak sengaja menginjak kupu-kupu di bawah kakimu." Ucapanku begitu menohok di benaknya. Hingga ia terdiam dan merengut dengan jelek.
"Yah, itu ..."
"Mau tidur? Aku bakal diam di sini."
Meski wajahnya yang kusut itu terlihat enggan. Pada akhirnya dirinya memang kurang tidur dan ingin tidur. Mimpi buruk membuatnya begitu tak nyaman.
Dia berbaring. Menghadap ke dinding. Mungkin merasa malu diperlalukan seperti anak kecil.
"Kak Hali," panggilnya.
"Hm?"
"Jangan pergi ya walau aku sudah tidur."
Seperti sebuah wasiat. Aku menepuk bahunya dengan pelan. Memberitahu bahwa aku masih setia di sisinya.
"Tidurlah."
Suasana sunyi langsung melanda. Taufan diam. Hanya terdengar deru napasnya saat tertidur. Terlihat tenang dan damai.
Aku hanya bisa mengelus bahunya. Membuat ia merasakan bahwa aku masih di sisinya. Dan memegang tangannya.
Taufan dan Gempa adalah adik kandung yang harus aku jaga. Meski memang rasanya berat menjadi yang tertua. Siapa sangka bahwa memiliki adik pun sungguh berkah luar biasa.
Kekurangan mereka yang harus aku tutupi dengan perjuangan. Dan hal-hal yang harus dipertahankan.
"Mimpi indah, Taufan."
.
.
.
***tbc***
A/n:
Bab awal, diawali dengan sosok Halilintar sebagai tokoh utama dan juga seorang kakak sulung.
Disini, mereka cuma bertiga saudara ya. Halilintar, Taufan dan Gempa. Sementara yang lainnya itu beda-beda keluarga.
Saya bakal menggunakan POV Halilintar untuk seterusnya. Siap-siap betapa frustasi Halilintar ketika salah satu adiknya ada yang... terbunuh?
I don't know.
Memang pov halilintar paling cocok untuk masalah pembunuhan seperti ini. Dia adalah karakter yang sempurna. Hahaha.
Selamat membaca.
[02.01.24]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro