Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Episode 9 ~ Spesial Episode 🎺🎺

"Honey, kenapa gak di makan?" ucap Arfa menatap lekat mata coklat milik Bu Ratna yang ada di hadapannya.

Jika orang lain melihatnya maka tatapan itu seperti menyiratkan rasa khawatir, padahal sebenarnya mata itu mengatakan, "Bersenang-senanglah sekarang, tepat sore ini di tengah lapangan kau akan mendapatkan balasan karena telah membuat masalah dengan kami."

Azra yang duduk di sebelah Bu Ratna menoleh ke arah guru itu, "Kau sungguhan sakit, My Princess?"

Bu Ratna menggeleng, tersadar dari lamunannya. Otaknya tak bisa berpikir sejak kejadian tadi di ruang guru.

"Saya tidak-"

"Permisi..," seorang siswi kelas XI-H berdiri di samping meja tempat tiga prince of school duduk.

Arfa menoleh, tersenyum, "Ada apa?"

"Err.. Boleh bicara sebentar dengan salah satu dari kalian?"

Arfa mengerutkan kening, diam sejenak, mencerna permintaan teman seangkatannya itu, mengangguk, berdiri.

"Aku harus pergi sebentar, Honey, maaf," kata Arfa pada Bu Ratna, memasang wajah tampannya itu.

Bu Ratna hanya diam saja.

Arfa beranjak pergi, diikuti siswi seangkatannya yang kini matanya berbinar.

Sudut mata La melihat Arfa pergi dari meja kantin dengan segera bergerak. Mengikuti diam-diam kawannya itu.

Hira dan Rae yang tadi duduk bersama La hanya diam. Sibuk dengan tugas masing-masing, merekam Azra dan Hoshi yang masih sibuk dengan Bu Ratna.

La sengaja membagi tugas pada dua kawannya itu agar setiap rekaman bisa terfokus pada satu orang. La merekam Arfa, Rae merekam Azra, Hira merekam Hoshi.

•~•~•~•~•

Arfa P.O.V

Aku dengan segera pergi meninggalkan Bu Ratna dengan dua kawanku. Setelah semua ini selesai aku harus berterima kasih pada teman seangkatanku yang tadi mendatangi meja tempatku duduk. Dia menyelamatkan image-ku sebelum aku menghajar wajah sok polos milik Bu Ratna. Jujur aku lelah berakting.

Aku berbelok di ujung lorong, berhenti di sana, membalik tubuhku menghadap teman seangkatanku tadi.

"Ada apa?" tanyaku ramah.

"Ah.. Eh, begini Fa, eh, Bu Ratna itu.." dia menggigit bibir.

Aku dengan segera menaruh telunjukku di bibirku, menyuruh dia menghentikan kata-katanya.

Aku mendekatkan mulutku ke telinganya, berbisik, "Ssstt.. Gue bakal kasih tahu sebuah rahasia, Bu Ratna membuat masalah dengan kami.. Jadi, lo pasti tahu apa yang sebenarnya terjadi, bukan?"

Matanya melebar, mulutnya menyungging senyum, mengangguk, "Apa aku boleh memberi tahu yang lainnya?"

"Lo harus. Lo harus ngasih tahu semua orang sekolah biar mereka berkumpul di lapangan sekolah setelah bel pulang bunyi. Akan ada pertunjukan," kataku menyeringai, "lo mau bantu kami memberi pelajaran kepada guru yang tidak menghargai muridnya, bukan?"

Dia mengangguk.

"Namamu siapa?" tanyaku, bagaimanapun aku harus berterima kasih padanya nanti.

"Yerin," katanya.

"Okey, Yerin, segera sana."

Aku pergi meninggalkan Yerin - yang sedang sibuk mencubit pipinya memastikan kejadian tadi bukan mimpi.

Aku bukan playboy, satu sekolah juga tahu aku murid baik-baik. Aku memang ramah pada semua orang yang baik padaku, tak peduli laki-laki atau perempuan asal mereka juga baik padaku.

Aku dengan segera kembali ke kantin, dengan sengaja berhenti di depan La - yang sedang merekamku, memasang wajah tampan di depan kamera, tersenyum miring.

La mengacungkan jempol padaku.

•~•~•~•~•

Author P.O.V

La membalas senyum miring Arfa dengan mengacungkan jempol. Mengikuti Arfa lagi dengan jarak yang cukup jauh.

"Hahaha, gue udah gak sabar nunggu pulang sekolah," kata La dalam hati, susah payah menahan diri agar tak tertawa. Dia bisa disangka gila.

Tiba di kantin La kembali duduk di bangku panjang tempat sebelumnya dia duduk, hanya berjarak satu meja dengan meja Arfa, Azra dan Hoshi.

Matanya melirik Hira dan Rae yang senyam-senyum menatap tiga kawannya yang sedang beraksi 'menaklukan' Bu Ratna.

La yang sudah mulai bosan menunggu sejak tadi, memilih menerbangkan sebuah benda terbang tak terlihat berbentuk koin untuk merekam Arfa. Kini dia memilih tidur, lelah dirinya menahan tawa melihat tingkah konyol teman-temannya itu.

Dia melipat tangannya di atas meja, menenggelamkan wajahnya di sana, tidur.

La P.O.V

Bletak!

"Sakit, woy! Sapa, HAH?!" aku mengusap kepalaku jengkel, "Cari masalah aja. Siapa sih yang mukul kepala gue."

Bletak!

Mataku terbuka, melotot. Menoleh ke sampingku melihat Hira yang terlihat tersenyum puas.

"Enak ya lo nyantai banget. Rekaman lo gimana?" Hira balik menatapku dengan tatapan kesal.

"Hah? Oh.. Udah gue kirim benda terbang gue biar gue bisa tidur."

"Kok gue ga dibagi?" sahut Rae merangkul bahuku.

"Ah iya udah nih syuh-syuh ganggu gue tidur lo Hir," kataku mengambil 2 benda berbentuk koin di saku jaket, memberikannya pada Rae dan Hira.

Hira menyeringai, "Makasih."

"Hm."

Aku kembali menenggelamkan wajahku pada lipatan tanganku. Baru saja mataku hendak terpejam..

Teeett.. Teeett... Teeett..

"Fix, ngajak berantem si Hira," kata hatiku jengkel, "eh tunggu, Hira lebih hebat dari gue ya? Yawda deh ga jadi hajar."

Aku mengangkat kepalaku, wajahku tertekuk kesal.

Hira hanya menatapku sambil nyengir, "Sorry, sengaja."

Aku hanya bisa mendengus. Kalau aku hajar malah aku yang akan babak belur.

Aku menghampiri Arfa - yang sedang sibuk menelan cepat-cepat minumannya, "Woy, sekretaris, data yang diminta Tuan Arion mana?"

Arfa menjawab lewat tatapan mata, "Ntar gue harus urusin guru gataw cara menghargai ini dulu."

Aku mengangguk, melambaikan tangan, "Dale una lección, Arfa!* Jangan lupa juga tugas dari Tuan Arion."

Arfa mengangguk, tertawa, mengangkat kepalan tangannya ke udara, diikuti Hoshi dan Azra. Bu Ratna? Dia hanya diam menunduk, wajahnya merah padam. Aku tak tahu itu karena malu dengan tiga orang kawanku atau karena masih marah padaku.

Aku beranjak pergi, dari kantin, menuju kelas sambil menyungging senyum. Berbelok di ujung lorong hendak mampir sebentar ke ruang guru. Tadi saat seharusnya aku bertemu dengan Tuan Arion beliau malah kerasukan.

Aku mengetuk ruang guru pelan, "Habis ini juga pelajaran Tuan Arion. Sekalian saja," gumamku pelan.

Beberapa suara menyahut, menyuruhku masuk. Aku memutar kenop pintu.

"Oh, La.. Cari Pak Stevan ya?" tanya seorang guru bertanya langsung ketika aku sudah masuk.

Aku mengangguk, "Hehe.. Iya, Bu. Permisi," ujarku membungkuk sopan menuju ruang khusus tempat Tuan Arion berada.

Aku lagi-lagi mengetuk pintu pelan, hingga pintu itu terbuka, menampakkan guru yang aku cari.

"Kenapa kau baru datang sekarang? Saya menyuruhmu datang saat jam istirahat," cercanya langsung.

"Eh.. Saya tadi sudah ke sini, Tuan Arion.. Tapi Anda malah kerasukan jadi.. Eh, setelah setan yang merasuki Anda keluar Anda tak sadarkan diri, jadi saya pergi ke kantin," ujarku berusaha menjelaskan.

Tuan Arion memutar bola matanya malas, "Ya sudah, nanti saja. Lagipula tidak penting."

Aku membulatkan mata, menatap Tuan Arion, "Mohon maaf, Tuan Arion, tapi jika tidak penting mengapa Anda memanggil saya?"

"Bukan apa-apa. Nanti sore saya tunggu kamu di parkiran," katanya dengan menatapku serius.

"Sabar, La.. Inget, orang tampan mah BEBAS!" kata hatiku menenangkan.

Aku mengangguk, "Baik, Tuan. Saya permisi lebih dulu ke kelas, Tuan."

"Hm."

Aku segera berlari menuju kelas, membuat dasiku berkibar-kibar.

Di tangga menuju lantai dua aku menabrak dada bidang milik seseorang, membuatku kehilangan keseimbangan. Aku dengan cepat salto ke belakang, kembali ke lantai satu, menggerutu.

Orang yang tadi kutabrak juga kehilangan keseimbangan, jatuh terduduk. Aku menatapnya tajam, menyebalkan.

Dia malah memasang senyum sok tampan.

"Astaghfirullah.. Sabar, La.. Sabar!" aku segera naik lagi, "Sorry," ucapku ketika lewat didekatnya.

Tepat ketika sampai di ambang pintu, aku menghela nafas, kulihat teman-temanku sedang sibuk dengan urusan masing-masing. Ada yang naik meja sambil nyanyi nggak jelas, ada yang lagi kejar-kejaran sambil bawa kemoceng, ada yang lagi mesra-mesraan di pojok kelas, kelasku sudah seperti kapal pecah.

Aku menepuk dahi, memilih memasang wajah datar.

"Beresin kekacauan ini, sekarang," kataku dingin, "atau aku buat tangan kalian patah."

Semua terdiam, menoleh ke arahku, bergidik ngeri, dengan segera membereskan semua kekacauan yang mereka buat.

"Hehe sorry ya kalo ga diancem kalian pasti ga jalan," aku nyengir lebar.

Seluruh siswa telah selesai membereskan kekacauan di kelas, menatapku dengan tatapan lembut.

"Mimpi apa gue tadi pas tidur di kantin sampe pada bisa natap gue kayak gini?" kataku dalam hati.

"Nggak apa, La," kata Anggun tersenyum padaku.

"Justru kamu malah ngebuat kita nggak dapet hukuman dari Kak Stevan, coba kalau kamu tadi terlambat dateng dan nggak ngancem kami, pasti kita udah kena hukum," kata yang lainnya menyahut.

"Yoi tuh bener."

"Thanks Bu Ketua."

"Oh, okey. Makasih udah ga marah sama gue. Oiya, walau gue orangnya sadis, jangan takut berteman sama gue, ya. Gue baik asal pada baik sama gue," kataku masih nyengir lebar.

"Oke siap Bu Ketua..!" kata seluruh murid sambil kembali ke tempat duduknya masing-masing.

"Data yang diminta Tuan Arion mana?" tanyaku masih berdiri di depan kelas.

"Udah semua kok, La. Tuh udah kami taruh di mejanya Arfa," kata Anggun - yang merupakan wakil ketua kelas.

"Oh, okey. Lah Arfanya mana?"

Semua murid saling pandang, mengangkat bahu.

"Ya sud-"

"Hellow semuanya..! Kangen gue gak?" suara lantang Arfa memotong perkataanku.

"Panjang umur lo Fa," kataku menepuk bahunya.

Dia hanya nyengir, berdiri di sampingku, "Maaf di sini gue mau kasih tau kalian, ntar sore jangan pada pulang dulu ya. Ntar sore pulang sekolah kalian ngumpul dulu di lapangan. Ntar ada sesuatu yang menarik," katanya lantang tapi tetap santai.

Semua berpandangan, tak mengerti, tapi akhirnya mengangguk.

Aku dan Arfa saling pandang, tertawa.

"Ini bakal seru, La," katanya sambil menuju bangkunya, aku mengikuti dari belakang.

"Yoi lah. Jadi Bu Ratna sama siapa?" tanyaku dengan berbisik.

"Kayaknya Azra. Dia lebih respon kalo sama Azra."

"PPPFFFTT.. Sama Azra? Ntar pasti syok berat tuh guru," kataku menahan tawa.

"Iyalah. Kalau sama gue mending kan? Ga bakal syok dia," kata Arfa senyum sok tampan.

"Iya, gak syok. Langsung stroke! Orang lu orangnya ramah tiba-tiba dingin, ngebentak, ngehajar orang. Pasti pada ga nyangka. Dia udah langsung stroke," kataku nyengir.

Arfa diam, mencerna perkataanku, tertawa.

•~•~•~•~•

"La, data lo mana?" tanya Arfa ketika Tuan Arion telah membubarkan kelas.

"Hah? Oiya, kelupaan. Gimana dong, Fa?" tanyaku panik.

"Lah, ya buruan tulis, masih ada 10 menit lagi. Buruan," katanya melirik jam di tangannya.

"Pinjem," kataku sambil merebut bolpoin di tangan Arfa secara paksa. Menulis cepat data yang di minta Tuan Arion - kecuali nama lengkap.

Arfa di sebelahku menggerutu, hendak merebut balik bolpoin miliknya tapi kutepis berkali-kali.

"Heh balikin bolpoin gue! Gue juga harus nulis!" katanya sambil terus berusaha merebut kembali bolpoinnya.

"Lo kalo nulis cepet, Fa! Bentar doang!" kataku terus menulis.

"Iye dah. Buruan."

2 menit, aku sudah selesai menulis, mengembalikan bolpoin Arfa sekaligus memberikan kertas pada Arfa.

"Ini jam berapa?" tanyaku sambil melipat tangan di atas meja, menenggelamkan wajahku di sana.

"Lo punya jam tangan buat apa kalo ga di gunakan seperti yang semestinya?" tanya Arfa masih sibuk dengan kertas-kertasnya. Menghitung jumlah kertas, menyamakannya dengan jumlah siswa.

Aku mendengus, melihat jam yang bertengger manis di tangan kananku, "Hmm.. Jam 12.25. Oiya belom makan siang gue."

Aku berdiri, "Fa, gue ke kantin, nitip gak?"

"Hm? Oh, nasi goreng aja. Yang super pedes."

Aku mengacungkan jempol, segera pergi ke kantin.

Tiba di kantin, semua meja kosong, hanya menyisakan 6 orang laki-laki - sepertinya kakak kelas - di meja pojok kantin, tertawa tak jelas.

Aku dengan cepat mendatangi ibu kantin, memesan 1 nasi goreng pesanan Arfa dan mengambil 1 bungkus roti isi rasa coklat keju dan 1 bungkus rasa coklat pisang. Menyerahkan uang dan duduk di salah satu kursi kantin, menunggu nasi goreng milik Arfa selesai dibuat.

Aku membuka satu bungkus roti, berdoa sebentar, melahapnya sambil mengotak-atik ponselku dengan tangan kiri.

Bosan bermain ponsel, aku memasukkannya ke dalam saku jaket, mengambil satu buah koin dari sana, melemparnya ke udara dan menangkapnya lagi. Terus begitu hingga seseorang menghampiriku, membuatku menghentikan kegiatanku.

"Halo..," ujar orang itu.

"Hai," jawabku sekenannya.

Aku melirik sekilas, ternyata salah satu dari 6 laki-laki yang ada di pojok kantin tadi. "Biar kutebak, pasti dia dapat dare untuk nyapa gue," batinku.

"Boleh gue duduk di sini?" tanya laki-laki itu.

Aku hanya mengangguk, "Hm, bukan nyapa ternyata, mungkin dia dapet dare buat duduk sama gue. Oh, atau ngobrol sama gue selama gue di sini."

Aku kembali melempar-lempar koin di tanganku, sama sekali tak mengindahkan keberadaan manusia yang sekarang duduk bersebrangan denganku.

"Kenalin gue-"

"Kak Jovian kelas XII-G," kataku melirik wajahnya. Dia ketua OSIS. Tentu saja aku tahu dia.

"Kok tahu?" tanyanya sedikit kaget.

Aku berhenti melempar koin, kali ini memilih untuk bicara dengan sopan dengan lawan bicaraku.

"Kakak ketua OSIS, itu cukup untuk membuatku tahu nama dan kelas Kakak," kataku tersenyum tipis, "Hira pernah memberi tahu sedikit tentang Kakak," kataku membuka bungkus roti kedua.

"Owh.. Nama lo, La, kan?" tanyanya.

Aku mengangguk, "He-em," mengunyah roti.

"La, lo kenal guru ini, nggak?" kata Kak Jovian menyodorkan ponselnya, menampakkan sebuah foto.

Aku melirik sekilas foto itu kemudian cepat-cepat melihat ke arah lain. Aku bosan melihat guru itu, Bu Ratna.

"Iya, tadi pagi ketemu. Memang kenapa, Kak?" tanyaku.

"Tadi pagi habis upacara gue ditampar dong sama dia," kata Kak Jovian terdengar seperti mengadu, "padahal gue nggak ngapa-ngapain."

"Lah, Kak, terus gue harus bilang 'WOW' gitu? Gue harus ngapain, Kak?!" hatiku berteriak parau, "Terus, saya harus apa, Kak?" tanyaku.

"Ya.. Gak harus ngapa-ngapain, gue cuma cerita. Barangkali aja lo juga punya pengalaman buruk waktu tadi pertama ketemu guru itu," Kak Jovian mengangkat bahu, terkekeh pelan, "oiya, sama gue pakai lo-gue aja. Panggil gue langsung aja, Jovian."

Aku mengangguk, "Oh, oke. Soal pengalaman buruk mah enggak, cuma sedikit menyebalkan aja. Yang ada dia yang bakal dapet pengalaman buruk."

"Maksud lo?" Kak - aku sebut saja langsung Jovian seperti keinginannya - mengangkat alis.

"Soalnya dia ngebuat gue dan sahabat-sahabat gue marah, jadi-"

"Oh, oh, gue ngerti, lo dan sahabat-sahabat lo bakal ngasih tu guru pelajaran kayak waktu ngasih pelajaran ke guru ketertiban yang waktu itu nyari-nyari kesalahannya si Hira padahal Hira ga salah apa-apa kan?" potong Jovian dengan menggebu-gebu dalam satu tarikan nafas.

Aku mengangguk, tersenyum miring, "Yo'ilah.. Tapi kali ini lebih menarik."

"Lebih menarik? Berarti bukan cuma dipecat?" tanya Jovian mengangkat sebelah alisnya.

Aku masih tersenyum miring, "Lo liat aja ntar pulang sekolah, ajak temen-temen kelas atau kalau perlu seluruh orang sekolah yang lo kenal, suruh mereka kumpul di lapangan habis pulang sekolah. Jangan langsung pulang. Ada sesuatu yang bakal menarik."

"Lo mau apain Bu Ratna?"

"Hehe.. Gue sendiri gak tau persis, yang jelas biar dia lebih menghargai orang lain. Gak asal hakim sendiri, dan sebagainya," kataku nyengir.

"Lah, kok nggak tau?" Jovian menepuk dahi.

"Soalnya gue cuma bantuin rencananya si Arfa doang," kataku mengangkat bahu.

Jovian ber-'oh' ria, manggut-manggut.

Ibu kantin sudah melambaikan tangannya padaku, "Neng, ini nasi gorengnya udah."

Aku segera berdiri, melirik jam di tangan yang menunjukkan pukul 12.35, "Kak, eh maksud gue, Jov, gue balik ya, Arfa udah kelaperan pasti. Bentar lagi juga udah masuk. Ntar kalo dia ga sempat makan gue yang repot."

Aku sudah berjalan dua langkah menuju ibu kantin ketika lengan kiriku dicekal.

"Astaghfirullah perasaan gue aja atau emang orang-orang di sini hobi nahan atau narik orang di bagian lengan? Sakit woy ampun," kata hatiku kesal. Aku berbalik, menghadap orang yang mencekal lenganku, Jovian.

Aku melepas cengkeraman tangan Jovian, sekaligus memelintir tangannya kesal, membuatnya mengerang kesakitan dan teman-temannya mendatangi kami.

"Argh, sakit..!"

Aku melepas pelintiranku, "Maaf, lo megang bagian yang harusnya lo gak pegang. Gue ngerasa kesakitan."

"Gue kan gak kenceng megangnya..," katanya meringis masih merasa kesakitan.

Aku menghela nafas, melepas jaket, "Mau nggak kenceng sekalipun kalo luka yang lo pegang ya sakit!"

Mulut Jovian terbuka, melihat lenganku yang berbalut perban - yang kini berwarna merah akibat terkena campuran obat dan darah.

"Nah, jadi, maaf atas tangan lo yang gue pelintir, gue kesel. Jadi refleks gak sengaja," kataku kembali memasang jaket.

Teman-teman Jovian serempak menepuk dahi, "Lo cari masalah Jovian. Besok kita tanding basket," ucap salah satu dari mereka.

"Ya gue kan ga tau kalo dia luka."

Aku nyengir, "Hehe.. Maaf Kakak-Kakak.. Ga sengaja."

Semua teman Jovian menatapku dengan tatapan, "Biarin aja emang suka gitu dia hobi narik orang. Biarin rasain akibatnya."

"Oiya, ini temen-temen gue, ini Jou dan Jay, mereka kembar, terus ini Kalvin, ini Reo, dan ini... Ah gue lupa namanya," kata Jovian dengan diakhiri tawa.

"Sok lupa, lo!" kata orang yang ditunjuk Jovian tadi, memukul bahu temannya, "Gue Zee," sambungnya sambil mengulurkan tangan padaku.

"Maaf, Kak, ga usah jabat tangan ya? Tanganku juga luka, lihat?" kataku menunjukkan kedua tanganku yang juga berbalut perban.

Mulut keenam laki-laki itu menganga.

"Aku harus pergi, maaf," kataku akhirnya beranjak pergi, mulai bingung harus merespon bagaimana perkataan enam kakak kelasku itu.

"Maaf, tadi diajak ngobrol sama kakak kelas," kataku menerima nasi goreng dari ibu kantin.

"Gapapa, Neng."

Aku berlari menuju kelas, sesekali menubruk orang-orang, aku tak peduli, tetap berlari, tiba-tiba saja aku malas melakukan apapun bahkan untuk sekedar mengatakan 'maaf', aku ingin segera sampai kelas dan menghabiskan waktu istirahat untuk tidur. Luka di tangan, lengan, dan kakiku kembali terasa perih. Mungkin karena aku kembali mengingatnya.

Tiba di ambang pintu kelas, aku melihat Arfa menaruh kepalanya di meja, tidur. Aku menghampirinya, memberi nasi goreng pesanannya.

Dia membuka bungkus nasi gorengnya, berdoa dan mulai melahap makanannya sambil sesekali ber-'hah' kepedasan.

Aku memilih menenggelamkan wajahku di lipatan tangan di atas meja, tidur.

•~•~•~•~•

Author P.O.V

Hira dan Hoshi saling tatap dengan tatapan membunuh, satu kata dalam otak mereka, MENYEBALKAN.

"Kao membuat masalah, Hoshi," kata Hira dengan wajah merah padam, mata hijaunya berkilat-kilat mengerikan.

"Kau yang membuat masalah, kawan," balas Hoshi, wajahnya juga merah padam, mata jingganya sama mengerikannya dengan Hira, tangannya mengepal menahan amarah.

"Siapa yang membuatku harus mengulang seluruh laporan, Hoshi? KAU!" bentak Hira.

"Lantas siapa yang membuatku harus berhadapan dengan preman sekolah tadi, Hira? KAU!" Hoshi balas membentak.

"Kalau begitu ayo kita selesaikan saja dengan 'kepala dingin', Hoshi," kata Hira dingin.

"Kenapa tidak, Hira? Ayo," balas Hoshi, dia berdiri dari duduknya, melemaskan otot-ototnya.

"Semoga ada yang bisa melerai kita," kata Hira memasang kuda-kuda.

"Semoga kau dan aku masih bisa selamat," Hoshi ikut memasang kuda-kuda.

Bugh!

"Wow, pukulanmu luar biasa, Hira," Hoshi menyeka darah di ujung bibir.

Buagh!

"Pukulanmu tak buruk juga Hoshi, akhirnya lawan yang sepadan," Hira menyeka pelipisnya yang berdarah.

BUGH!

BUAGH!

BRUK!

BRAK!

PRANG!

BUGH, BUGH, BUGH!

BUAGH!

"Kau sudah lebih kuat dari yang dulu, ya Hoshi?"

"Aku salut padamu Hira, kau sudah lebih cepat menghindari serangan, ya?"

PLAK, PLAK! Seseorang menampar pipi kanan dan kiri Hira.

PLAK, PLAK! Tamparan mendarat di pipi kanan dan kiri Hoshi.

"Hentikan perkelahian game tak bermutu kalian! Guru sedang rapat di ruangan sebelah, tolong jangan berisik!" teriak orang yang tadi menampar Hira dan Hoshi.

Game? Iya dari tadi Hira dan Hoshi main game. Buat gebuk-gebukan di dunia asli? No thanks dah.. Hira tipe yang lebih suka mancing emosi dulu baru hajar.

Hira dan Hoshi menoleh ke sumber suara, dan menatap tajam.

"Guru ini..," hati Hira mendidih, membuat wajahnya merah padam, "Kupastikan sore ini kau dihajar enam orang sekaligus, Wahai Guru Tak Tahu Sopan Santun!!"

"Wah, guru ini, dia benar-benar cari masalah..," Hoshi mengepalkan tinjunya, "kemampuan Hira yang biasanya dikeluarkan untuk berkelahi denganku saja baru 1 dari 10 kekuatan yang dimiliki Hira, bagaimana jika Hira sudah terlanjur marah seperti ini?"

•~•~•~•~•

*Dale una lección, Arfa! = Beri dia pelajaran, Arfa!

Hai..! Jangan lupa vote dan komentarnya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro