Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Episode 7

"Ah.. Itu.."

"Cepat katakan," ujar Azra dingin, kesal menunggu Tuan Arion selesai bicara.

"Bersikaplah sopan, Tuan Muda Azra," kata La juga dingin.

Azra mendengus, tak peduli, "Peduli amir."

La memutar bola matanya malas, sama kesalnya, "Anda bisa lanjutkan, Tuan Arion."

Tuan Arion mengangguk, "Bantu aku menyingkirkan 'sesuatu' itu. Kalian berbeda dengan orang lain, hubungan kalian kuat, salah satu dari kalian juga merupakan keturunan Raja dan Ratu dalam legenda itu."

Hening.

"Bagaimana dia bisa mengatakan hal itu? Dia guru baru di sini. Kenal kami saja tidak, bagaimana dia bisa bilang bahwa salah satu dari kami keturunan Raja dan Ratu itu? Dan.. Hey itu legenda, apa masalahnya?!" batin La.

"Siapa dia?! Guru ini mencurigakan," ujar Azra dalam hati, melirik tajam ke arah Tuan Arion itu.

"Dia ini.. Apa-apaan?!" pikir Hira.

"Kata-katanya.. Dia tak tahu jika itu membuat kami mencurigainya? Dia sungguh cari masalah. Guru ini..," kata Arfa dalam hati, wajahnya berubah serius, melirik Tuan Arion.

Rae? Dia memejamkan matanya, entah melakukan apa. Namun wajahnya terlihat khawatir.

"Anda pasti salah, Tuan Arion. Siapa Anda bisa-bisanya berkata seperti itu, hm?" kata La berusaha menahan gejolak di hatinya yang mengatakan bahwa ada sesuatu yang aneh di sini.

"Siapa Anda sebenarnya? Ini Tuan Arion atau bukan?" tanya Rae tiba-tiba membuka mata, membuat semua yang di situ menatapnya, tak terkecuali Tuan Arion - yang ternyum iblis, terlihat mengerikan.

"Siapa Anda, Tuan Arion atau bukan?!" suara Rae naik satu oktaf.

Tuan Arion tak menjawab, masih dengan senyum iblisnya.

"Tuan Arion atau bukan, HAH!" Rae membentak, bahkan membuat Hoshi - yang selama beberapa tahun terakhir paling dekat dengan Rae karena mereka mengikuti pertukaran pelajar bersama ke London - terkejut.

Tuan Arion tertawa panjang, suaranya bukan lagi suara Tuan Arion, suaranya terdengar berbeda.

"Fix, dia kerasukan pasti," kata La dalam hati.

"Anak-anak pintar, ya? Hm? Sangat pintar!" kata sesuatu yang ada di dalam tubuh Tuan Arion.

"Heh, demit, keluar lo!" kata La menatap tajam ke arah Tuan Arion. Yang lain yang tadi menatap Rae beranjak menatap La.

"Keluar? Kenapa? Raga ini nyaman ditempati," ujar sesuatu yang ada di dalam tubuh Tuan Arion, tersenyum iblis.

"OH, NANTANGIN, HA?!" suara La naik dua oktaf, dia sedang kesal, malah di suguhi orang kerasukan.

"Stop, La, lo tenangin diri dulu, biar gue yang urus nih setan," kata Rae menepuk bahu La, matanya menyiratkan kekhawatiran.

"Dich, masih bocah."

"Jangan meremehkanku, Setan," ujar Rae, rahangnya mengeras, mulutnya mulai berkomat-kamit.

Sesuatu yang ada di dalam tubuh Tuan Arion bereaksi, dia mulai menggeliat, tubuhnya luruh ke lantai menggeliat seperti cacing. Dia kepanasan.

"Hhh.. Hentikan, Bocah.."

"Keluar dari tubuhnya, jangan ganggu. Kita tinggal di bumi yang sama, jangan saling mengganggu," kata La menyuruh sesuatu yang ada dalam tubuh Tuan Arion keluar.

"Tidak akan."

"Kubilang keluar. Tak perlu repot-repot menyuruh kami percaya pada legenda konyolmu itu. Keluar dari tubuh Tuan Arion," desis La gemas.

"Argh, tidak, tidak mau. Argh!"

"Keluar kubilang.. Atau aku perlu ikut 'mengusirmu secara paksa' hm?" kata La menaikkan satu alisnya.

Rae terus berkomat-kamit, membuat sesuatu yang ada di dalam tubuh Tuan Arion - yaitu setan - merasa kepanasan, tersiksa.

"Akh.. Hentikan Bocah!" desis setan yang merasuki tubuh Tuan Arion.

"Keluar, gue bilang KELUAR! Pulang sana!" bentak La, tangannya menjambak keras rambut Tuan Arion, membuat wajahnya menghadap ke arah wajah La.

Hira, Arfa, dan Azra hanya diam, menonton. Di luar guru-guru sudah kebingungan, ini kenapa malah anak didiknya teriak-teriak di dalam ruang guru?

La mulai ikut berkomat-kamit, tak peduli erangan dan seruan setan yang merasuki tubuh Tuan Arion.

"Akh baiklah, baiklah, ARGH!"

Tubuh Tuan Arion melemas, terbaring tak sadarkan diri.

La tersenyum puas.

"Huft pergi juga tuh. Suruhan ya tuh Rae?" tanya La.

Rae mengangguk pelan, "Kayaknya iya. Tuh jin laki-laki. Gamungkin kalo dia suka sama Tuan Arion, bukan? Kalo sampe terjadi setannya gila. Masa' gay."

La tertawa terbahak-bahak, "Astaghfirullah.. Humorku tiarap..! HAHAHA!"

"Diem lo, tuh guru-guru pada pengen ngamuk karena lo sama Rae tadi teriak-teriak. Disangka lu ma Rae ngebentak guru. Ga waras sih klean," kata Hoshi menoyor kepala La dan Rae. Yang ditoyor malah sibuk ketawa.

Rae cengengesan, "Ya gapapalah itu tadi kan darurat.. Lagian kalean jadi liat gue ngebentak sesuatu kan? Kaged kan lo pada.. Haha!"

La malah lebih parah, tawanya tak berhenti malah bertambah keras, "HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAA..! TOLONGIN GUE ASTAGHFIRULLAH.. HUMOR GUE ANJLOKK!"

Tok, tok, tok!

Sunyi seketika. Tawa La terhenti.

"Nona Muda La, Nona Muda Rae, jika aku sampai ikut mendapat masalah, aku akan hajar kalian...," batin Azra.

"Kayaknya harus gue pukul pake panci dulu nih orang biar ga berlebihan dalam berekspresi," kata Arfa dalam hati.

"Mengapa anak ini begitu hobi buat masalah, sih? Dan ini.. NGAPA RAE IKUT-IKUTAN?!" pikir Hoshi dan Hira, menepuk dahi.

La dan Rae saling tatap.

"Rae, ini fix ntar sore pulsek kita dihajar empat orang sekaligus!" kata La lewat tatapan mata.

"Tau gue, yang tiga orang gamasalah, lah Hira?" jawab Rae lewat tatapan mata, serius.

"Kenapa kalian teriak-teriak di dalam?!" teriak salah satu guru.

"Mampus!" gumam Azra masih terdengar di seluruh ruangan.

"Mampus! Tuan Arion belom sadar lagi! Ini gimana?" ujar Hoshi panik, membuat semua keheranan.

"Belom minum obat tuh pasti. Kumat kan dia," celetuk La, walau dia sama paniknya.

"Kenapa diam saja?! Buka pintunya!" ujar guru yang tadi mengetuk pintu, dia berseru tak sabaran.

"Lo pada tenang aja, gue ada solusinya kok," kata Arfa santai membuat semua orang di ruangan itu menatapnya.

Arfa memutar kenop pintu, membuka pintu itu lebar-lebar, menampakkan sosok guru dibalik pintu itu, peci miring, mata tajam, jenggot panjang lebat, tubuh tinggi gagah.

"Ampun! Guru agama! Dapet siraman rohani ini mah!" kata La dalam hati, menepuk dahinya pelan.

"Apa yang kalian lakukan di sini, HAH?!" tanya guru itu dengan suara berat yang lantang, menggelegar, mirip bentakan.

"Eh? Ehehehe.. Assalamu'alaikum, Pak Umar.. Maaf ya Pak, ini tadi Tuan Arion kesurupan jadi saya dan Rae tadi teriak-teriak ngusir setannya Pak. Tadi Rae sempat ngebentak setannya buat mastiin dan saya ngebentak setannya nyuruh keluar..," kata La menjelaskan langsung.

"Oh ya? Apa buktinya.. Dan.. Astaghfirullah, Pak Stevan kalian apakan?!" sahut seorang guru perempuan, panik hendak masuk ke dalam ruangan.

"Wait, enak saja Anda main masuk. Kami belum selesai menjelaskan semuanya, Nona! Dan, siapa Anda mau main masuk ke dalam ruangan guru saya?" kata hati Arfa, dia menghalangi guru itu sehingga tak dapat masuk ke dalam ruangan, "Saya tahu Anda guru, Ibu Ratna," Arfa melirik sekilas name-tag milik guru itu, "namun Anda tetap harus menghargai murid Anda. Biarkan kami menjelaskan semuanya," ucap Arfa tegas - ini kejadian langka, jarang terjadi.

Gerakan Bu Ratna terhenti, "Siapa namamu, hah? Berani kamu melawan saya!"

"Ampun yak, baru kali ini ketemu guru gabener kayak gini!" batin Hira dalam hati, "Bisa-bisanya beliau diterima di sekolah ini."

"Saya Ardian Fattan Damian murid kelas XI-A, primadona sekolah yang dijuluki prince of school oleh para penggemar saya. Jadi, apa ada masalah, Bu?" tanya Arfa tersenyum miring.

"Kamu!" suara guru itu naik satu oktaf.

"Ya, Bu? Ibu naksir saya?" tanya Arfa memancing.

"Kamu, saya pastikan kamu akan mendapat surat peringatan dari sekolah!" kata guru itu dengan wajah merah padam.

"Oh ya? Jika Ibu tidak mendengarkan penjelasan saya dan teman-teman saya, jangankan hanya surat peringatan, Anda bisa banget kok mendapat surat pemecatan dari pihak sekolah!" ujar Arfa masih dengan senyum miringnya.

"Arfa, hentikan! Dia guru di sekolah ini! Jaga adabmu!" ucap Pak Umar yang tadi diam.

"Saya tahu beliau guru, tapi guru yang tak mendengarkan penjelasan dari muridnya dan menghakimi tanpa mengerti permasalahan bukankah itu lebih buruk dari yang saya lakukan sekarang?" kata Arfa menatap Pak Umar dengan tatapan datar. Matanya yang hitam dan misterius itu menyimpan banyak rahasia.

"Cukup, Arfa," Hira melangkah maju, menepuk bahu Arfa.

"Suficiente, Arfa. Permíteme manejar esto*," ucap La ikut maju. Arfa sahabatnya, tak akan dia biarkan Arfa berdiri sendiri apalagi itu untuk membela dirinya.

Wajah Arfa sudah memanas, merah menahan amarah. Dia hanya mengangguk ketika mendengar kata-kata Hira dan La, menyerahkan urusan ini pada La dan Hira, dia menyerahkan ponselnya pada La, berkata lewat tatapan mata, "Aku merekam kau dan Rea tadi."

La mengangguk mengerti, "Pak Umar, Bu Ratna, saya mohon maaf atas apa yang dilakukan Arfa. Dan saya mohon maaf atas kejadian saat kami berada di ruangan ini. Saya mengatakan hal yang sebenarnya, jika Anda tidak percaya, saya memiliki buktinya, semoga Anda bisa memutuskan dengan lebih baik setelah melihat buktinya."

La memutar video yang tadi sempat Arfa rekam di ponselnya, menunjukkannya pada Pak Umar.

Bu Ratna? Dia masih tidak percaya, hanya diam sambil menatap tajam ke arah La dan teman-temannya.

La yang jengah dengan tatapan itu hanya bisa memasang wajah datar, "Sabar La.. Jangan ngamuk di sini.. Ntar beresin guru ini kalau urusan yang soal Tuan Arion udah kelar aja.. Habisi tanpa sisa..," batin La berusaha menahan hawa nafsu ingin memukuli guru yang ada di hadapannya.

"Ah, ternyata memang benar, Bapak minta maaf, La, Rae, Arfa, dan Azra juga Hoshi..," kata Pak Umar tersenyum membungkuk hormat. Usia Pak Umar sebenarnya hanya beberapa tahun di atas Hira dan kawan-kawan, maka dari itu beliau tetap membungkuk sopan.

Bu Ratna yang masih merupakan guru baru sama seperti Tuan Arion dan tak mengetahui seluk-beluk pemilik dan penguasa sekolah mengangkat suara, "Pak, mengapa Anda membungkuk pada anak-anak?"

"Hahaha.. Anda akan tahu sebentar lagi Bu Ratna.. Oh, tunggu, tadi Arfa bilang apa pada Anda? Surat pemecatan? Saya hanya dapat mendoakan Anda selamat dari surat itu. Ah, Bapak pamit harus mengajar, saya tidak akan ikut campur lagi sekali lagi Bapak minta maaf pada kalian," pamit Pak Umar pada Hira dan yang lainnya, diiringi anggukan kepala oleh enam anak didiknya itu.

Bu Ratna masih terdiam, tak mengerti.

•~•~•~•~•

*Suficiente, Arfa. Permíteme manejar esto. = Cukup, Arfa. Biarkan aku yang menangani ini.

Hai..! Jangan lupa vote dan komennya reader! Double update hari ini!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro