Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Episode 4

Author P.O.V

"Apa La jadi gila?" tanya Arfa dengan muka tidak berdosa.

Plak! Seseorang menampar pipinya keras, "Ingin sekali kusumpal mulutmu itu dengan kaus kaki," ujar orang itu, mata hijaunya menatap tajam.

"Santai napa? Main tampar aja lo Hir," Arfa mengangkat bahu, tidak peduli, mengelus pelan pipinya yang memerah.

"Sekali lagi kau bicara aneh-aneh, jangan harap bisa selamat, kau mengerti?" ujar Hira menarik kerah baju Arfa, menekankan kata-kata ancamannya.

Arfa menelan ludahnya susah payah, "B..ba..baik.."

"Bagus jika kau mengerti," Hira melepaskan tangannya, wajahnya masih terlihat mengkal, merah padam.

Entah apa yang ada di pikiran Hoshi, tangannya terangkat, menepuk-nepuk kepala Hira. Hira menatap Hoshi dengan tatapan aneh sekaligus horor.

"Tangan kao kenapa, huh?!" tanya Hira ketus.

Hoshi tak menjawab, matanya kosong menatap lurus, membuat semuanya menatap aneh anak itu. Yang ditatap tetap diam.

"Shi, apa lo ga waras? Lo nepuk kepala Hira!" ujar Arfa menepuk-nepuk pipi Hoshi, membuat yang ditepuk tersadar.

Hoshi buru-buru menarik tangannya yang sejak tadi menepuk-nepuk kepala Hira, beralih menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Eh, apa itu tadi?"

Hira hanya memutar bola matanya malas, kembali menatap ke arah La yang sejak tadi belum sadarkan diri.

Rae tertawa pelan, tapi sesaat kemudian dia kembali termenung menatap La, hatinya gelisah memikirkan temannya itu.

Semuanya kembali hening, hanya suara nafas teratur La dan suara jam dinding yang terdengar di ruangan itu.

"Aku harus pulang," kata Azra akhirnya membuat suara, memecah keheningan yang sudah terjadi sejak 15 menit lalu, "ini sudah sore."

Arfa mengangguk, "Gue juga harus pulang."

"Kalian pulanglah, aku yang jaga La di sini," ujar Hoshi pelan, membuat mata Rae terbelalak.

"Enak saja orang sepertimu menjaganya, tidak bisa!" ujar Rae berseru tidak terima.

"Orang sepertiku bagaimana?" tanya Hoshi menaikkan satu alisnya.

"Aku juga akan menjaganya, kau pulanglah, Rae," Hira melambaikan tangannya, membuat Rae mengangguk.

Azra melangkah ke arah pintu, diikuti Arfa dan Rae, punggung mereka dengan segera lenyap dibalik pintu, menyisakan keheningan di ruangan 5×5 itu.

Hira mengacak-acak rambut panjangnya gusar, membuat rambutnya yang sebelumnya tersisir rapi menjadi berantakan. Hira menghembuskan nafas kasar, menutup wajahnya dengan telapak tangan.

Hoshi menyandarkan punggungnya ke salah satu sisi dinding ruangan, menatap keluar jendela, melihat matahari yang siap tenggelam, memancarkan cahaya jingga yang menyinari matanya dan tubuh La yang terbaring.

Hoshi dan Hira sibuk dalam pikiran mereka masing-masing, saling diam.

Ketika matahari benar-benar sudah tenggelam, Hoshi melangkah ke arah saklar lampu, mengetuknya pelan, menyalakan lampu, membuat ruangan itu begitu terang.

"Kenapa dinyalain?! Silau," ujar sebuah suara.

Hira dan Hoshi terkesiap, refleks menoleh ke arah ranjang La, mendapati tangan La yang kini menutup kedua matanya, silau.

"Lampunya silau. Kenapa dinyalain. Lo gak denger gue bilang apa?" ujar La sekali lagi.

"Kao sudah sadar?" Hira mendekati ranjang La, "La?"

"Ugh, kurasa begitu," La mengerjapkan mata berkali-kali, berusaha menyesuaikan dengan keadaan sekitar.

"Bagus, aku nyaris ingin menghajar dinding sepertimu karena frustasi," Hira mendengus, mata hijaunya menyorotkan perasaan lega, "kau membuat kami semua CEMAS," sambung Hira dengan menekankan kata terakhirnya.

"Memangnya sejak kapan lo bisa cemas?" La terkekeh geli, "Lo tuh ice-girl yang pernah gue kenal, sejak kapan bisa cemas?"

"Baru sadar kau sudah buat masalah," ujar Hoshi menggelengkan kepalanya, "kau ini benar-benar."

"Bukan aku jika tidak membuat masalah, bukan?" kata mengusap rambut hitamnya yang kelewat pendek dan lebih mirip rambut laki-laki itu, "Aku benar, bukan?"

"Nggak," Hoshi menggeleng, "nggak salah emang."

"Ada dinding yang bisa kuhajar lagi?" tanya La membuat Hira dan Hoshi menatap tajam ke arahnya secara bersamaan.

"Ti.dak," ujar Hoshi penuh penekanan, mata jingganya berkilat-kilat mengerikan.

"Sekali kau berani, ponsel kesayanganmu itu tidak selamat," ancam Hira membuat La langsung diam, menutup bibir merah muda miliknya rapat-rapat.

"Anak baik," ucap Hira kemudian memencet bel yang tak jauh dari ranjang La.

Tak lama seorang wanita dengan baju serba putih masuk ke dalam ruangan itu, tersenyum ramah, "Anda sudah sadar, Nona? Mari saya periksa sebentar."

La hanya mengangguk, membiarkan wanita yang tak lain adalah dokter itu memeriksa dengan cepat keadaannya.

"Apa dia mengalami kelainan jiwa, Dok? Dia suka sekali menghajar dinding, membuat tangannya bengkak, membiarkan kakinya berdarah," Hoshi menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "dia sepertinya suka menyakiti diri sendiri saat marah. Apa dia memiliki kelainan jiwa, Dok?"

"Lo doain gue sakit jiwa, Shi?" tanya La menatap tajam ke arah Hoshi, sedangkan yang ditatap hanya mengangkat sekilas bahunya, menatap serius dokter yang kini sudah selesai memeriksa La, menunggu jawaban.

"Saat kau marah besar, aku yakin kau juga melakukan hal serupa, walaupun tidak sama persis," Hira segera bersuara sebelum Dokter yang memeriksa La itu sempat bersuara, menatap Hoshi dengan tatapan mengancam.

"Baik-baik, aku mengerti, Hira, tidak akan," ucap Hoshi cepat ketika melihat raut wajah Hira.

Dokter yang melihat itu hanya tersenyum, dia tidak perlu menjawab pertanyaan Hoshi, "Nona La, Anda harus beristirahat cukup, -"

"Dok, saya mau pulang, saya istirahat di rumah saja," ujar La cepat, memotong perkataan Dokter di hadapannya.

"Anda harus dirawat di sini untuk beberapa hari ke depan, Nona," ucap dokter itu tersenyum, berusaha tidak membuat pasiennya itu melakukan hal yang memperburuk keadaannya.

"Tapi saya ingin pulang, Dok," mata biru La seketika berubah menjadi puppy-eyes, "saya mohon.. Saya janji tidak akan melakukan hal-hal yang membuat kondisi saya lebih buruk.. Saya tidak akan melakukan hal yang kemarin saya lakukan, Dok.. Saya mohon.."

Hira menghela nafas kasar, "La, beberapa hari saja, La.."

"Tidak, Hira, gue mau pulang."

"La, tolong jangan keras kepala, ini untuk kesehatanmu," kata Hoshi akhirnya angkat suara.

"Pulang atau hajar dinding," ucap La mengancam.

"Hajar dinding, relakan ponselmu," kata Hira tidak mau kalah argumen dengan La.

"Dok, saya mohon, Dok.. Izinkan saya pulang ya?" kata La beralih menatap dokter yang sejak tadi terlihat menimang-nimang permintaan La.

Dokter itu menghela nafas panjang, "Baiklah, Anda bisa pulang, Non-"

"Bagus, sekarang mari kita pulang~~" ujar La dengan nada gembira.

Hira dan Hoshi hanya bisa menatap mengkal dokter yang kini dengan patah-patah pamit pada La - yang sama sekali tidak mempedulikannya.

•~•~•~•~•

Dua buah mobil sedan hitam menepi, berhenti tepat di seberang sebuah rumah yang tak lain adalah rumah La.

"Rumah yang nyaman tempatku berteriak seperti monster..," ujar La merentangkan tangannya tepat ketika ia turun dari mobil membuat Hira yang mendengar itu hanya bisa tersenyum kecut.

"Lo yakin gapapa tinggal sendirian di rumah dalam keadaan lo gini, La?" tanya Rae menepuk bahu La.

"Yo'i, nyantai aja. Gue udah biasa sendiri," ujar La mengangguk.

"Sudah terlalu lama sendiri.. Sudah terlalu lama aku asik sendiri~" sebuah suara membuat La menoleh, menatap seseorang bermata hitam yang tak lain adalah Arfa, dan berkata lewat tatapan mata, "Lo diem bisa?"

Yang ditatap hanya nyengir kuda, menutup pintu mobil yang sejak tadi tak kunjung ia tutup.

La dengan cepat membuka gerbang lebar-lebar, menyuruh Azra dan Hira yang berada di kursi kemudi memasukkan kedua mobil sedan itu ke dalam.

La melangkah masuk diikuti Rae, Arfa dan tentu saja Hira, Azra, dan Hoshi yang masih di dalam mobil.

La P.O.V

Aku melangkah tenang menyusuri halaman rumahku, mata biruku tak berhenti melirik ke segala arah. Aku merindukan rumah ini - ya walaupun aku sering merasa bosan, di sinilah tempatku merasa nyaman.

Aku memutar kenop pintu, melangkahkan kaki kananku, masuk ke dalam rumah, mempersilahkan teman-temanku masuk.

"Gue balikin ni koper ke kamar dulu. Oh iya, by the way siapa yang kemarin bawa ni koper ke rumah sakit?" kataku tepat ketika semua temanku telah masuk ke dalam rumah.

"Aku yang membawanya ke rumah sakit," ujar Hira mengangkat tangan kanannya, "maaf karena lancang membuka lemarimu, La."

Aku mengangkat bahu, tak keberatan, "Toh masih sodara juga, Hir. Lagian nyantai aja sama aku mah. Kalian sahabatku, jadi.... Ya sudah santai saja. Toh di dalam lemariku tidak ada rahasia."

Hoshi menatapku tak mengerti, "Lo bilang soda-"

"Ya.. Gue sama Hira masih sepupu," kataku sambil lalu, meninggalkan Hoshi dan yang lainnya - yang kini sedang memborbardir Hira dengan pertanyaan sebejibun.

Kuputar kenop pintu kamarku, melenggang tenang masuk ke dalamnya, melirik sekilas salah satu sisi dinding kamar yang sempat aku pukuli habis-habisan kemarin, membuatku tersenyum tipis, bercak darah di sana sudah hilang. Aku yakin kalau Hira - atau siapapun - telah membayar seseorang untuk mengelupas dan mengecat ulang dinding itu.

Aku menaruh koperku sembarang di samping tempat tidur, melangkah ke kamar mandi dan membersihkan tubuhku yang berkeringat - meronta-ronta kepanasan.

Aku baru ingat besok hari pertama masuk sekolah setelah libur kenaikan kelas.

•~•~•~•~•

Hai...! Gimana episode kali ini? Aneh? Kependekan? Kurang seru?
Pokoknya author minta maaf ya kalau kurang seru.. Kasih tau aja mana yang harus diperbaiki..

Oh iya, maaf kalau ada typo bertebaran..
Harap maklum karena ini cerita pertama author..
Oh iya kalau nemu typo tolong segera kasih tau author di komentar..

Tolong berikan vote dan komentar kalian ya, dan jangan lupa untuk sekalian follow akun wattpad author..

Kalau ada saran buat nama tokoh plis tulis ya di komentar.. Soalnya author sering bingung buat nama.. 😶

Terima kasih banyak😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro