Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Episode 10

Hira P.O.V

"Aku harus cuci muka tujuh kali salah satunya dengan tanah pulang sekolah nanti," kata Hoshi mengelap pipinya menggunakan lengan seragamnya, tak mau menyentuh pipinya menggunakan tangan, "tangannya habis kena benda kotor gak ya?"

"Kalau enggak pun tetap saja menyebalkan," kataku mendengus.

"Tangannya njiplak dong," Hoshi melihat dirinya di ponsel menggunakan kamera depan, "wajah tampanku benar-benar harus dicuci. Mungkin nanti aku harus beli kembang tujuh rupa untuk mencucinya. Biar kuminta pembantuku mencucinya tujuh hari tujuh malam."

"Nasib kao buruk banget, Shi.. Baru aja kao pulang dari London, hari pertama masuk sekolah kao sudah ketemu guru menyebalkan," aku tertawa, menertawakan kesialan Hoshi, "aku ga bisa bayangin satu tahun kao di sini udah kek apa nasib kao."

"Yang satu itu minta dihajar. Kalau saja bukan perempuan sudah kuhajar habis-habisan," Hoshi mengepalkan tangannya.

"Bagiku semuanya sama saja," kataku dingin, "perkataan balas perkataan, perbuatan balas perbuatan. Tak peduli siapapun itu."

Hoshi mengangguk, menyetujui perkataanku.

Aku menghela nafas, jamkos, kelas berisik dan tak dapat dikondisikan. Aku sebagai ketua kelas juga tak akan dihiraukan. Aku memilih memasang earphone, mendengarkan musik dari ponsel, memejamkan mata, lebih baik aku tidur daripada hanya pusing mendengar keributan kelas.

Duk! Sesuatu menghantam kepalaku, membuatku terbangun.

Kulihat Hoshi tersenyum puas dengan botol dalam genggamannya, "Bangun, udah ganti pelajaran."

"Hm," aku berdehem kesal. Kepalaku yang berharga dipukul Hoshi menggunakan botol. Kebiasaannya sungguh tak berubah sejak dulu.

Aku menatap lurus ke depan, melihat guru yang sedang memperkenalkan diri. Aku sih tidak peduli, toh aku sudah kenal dan hafal guru di sekolah ini.

Aku hendak kembali memejamkan mata namun Hoshi sudah menusuk-nusuk lenganku dengan jarinya.

"Astagaaaaaaa.. Anak ini!" aku kembali membuka mata, menatap tajam Hoshi yang tampangnya flat, datar, kayak triplek, nggak merasa berdosa sama sekali, "Heran aku punya temen kayak gini."

•~•~•~•~•

Author P.O.V

"Zra, gue gak ngerti ni guru maunya apaan," kata Rae menjulurkan bukunya ke arah Azra yang duduk di sampingnya.

"Nona Muda Rae, aku sendiri bingung apa mau guru itu. Di saat guru lain masih sibuk perkenalan beliau malah memberikan tugas akhir tahun di hari pertama sekolah," Azra mendengus, tak melirik sedikitpun ke arah buku tulis Rae, malas menanggapi Rae yang sejak tadi menggerutu tak mengerti.

"Masalahnya di sini dia ngapain nulis gini di buku tulisku?" tanya Rae menjulurkan lebih dekat bukunya ke Azra.

Azra akhirnya dengan malas-malasan menerima buku Rae, membaca tulisan yang ditunjuk Rae.

'Halo, Manis. Boleh aku berkenalan denganmu?'

"PFFFFFFTTTTT...," Azra mati-matian menahan tawa, sekali lagi membaca tulisan yang ada di sana untuk memastikan, namun memang itu yang tertulis di sana, tepat pada detik ke 5, tawanya pecah, membuat seluruh kelas menatapnya. Sedang pergantian pelajaran, tak ada guru di kelas, dia bisa tertawa untuk beberapa saat.

Azra tak peduli dengan tatapan teman-teman sekelasnya, dia masih tertawa sambil memukul meja. Wajahnya memerah hingga telinga, terlihat lucu sekali.

Satu fakta tentang Azra, humornya receh sekali. Jika dia memperhatikan semua lelucon yang dilontarkan banyak orang setiap harinya mungkin otot perutnya akan jadi keras karena tak berhenti tertawa. Itulah kenapa Azra lebih sering memilih untuk tidak peduli.

"Pfffftt... Hahahaha haha..Mpppphh," Rae membekap mulut Azra agar berhenti tertawa, "Hentikan Azra, hentikan."

"Mpphh..mmmmpp..," Azra berusaha melepas bekapan Rae, kehabisan nafas.

"Mpphhh..!" Azra melepas paksa tangan Rae, menghirup udara sebanyak-banyaknya, "Anda mau membunuh saya, Nona Muda Rae?!" Azra menatap tajam Rae.

Yang ditatap hanya nyengir, "Yang penting masih hidup sekarang."

Azra masih menatap tajam Rae, tangannya memperagakan sedang membawa pemukul kasti atau malah cangkul dan memukul kepala Rae dengan itu.

Rae tertawa pelan, kemudian terdiam ketika sudut matanya menangkap seorang guru masuk ke dalam kelas. Dengan segera duduk tegap, bersiap mengikuti pelajaran - yang sebenarnya hanya akan diisi dengan perkenalan dari guru yang mengajar, dan peraturan dalam kelas guru itu.

Azra di samping Rae juga duduk tegap, menghentikan kegiatan tak berfaedahnya.

•~•~•~•~•

Teett.. Teett.. Teett..

Seluruh siswa bersorak riang, bel pulang sekolah telah berbunyi, itu artinya mereka bisa pulang. Tepat ketika para siswa hendak mengangkat tas masing-masing, sebuah pengumuman menghentikan kegiatan mereka, membuat mereka menghela nafas kecewa.

"Halo, permisi semuanya, maaf mengganggu kalian yang hendak pul-" suara Azra menggema di seluruh sekolah.

"Langsung to the point, Zra, susah banget," potong Rae, suaranya juga menggema di seluruh sekolah, "Untuk semua warga sekolah, dimohon untuk berkumpul di lapangan sebelum pulang sekolah. Terima kasih," sambung Rae.

Semua siswa serta para guru berpandangan, bingung, namun seketika senyum-senyum miring mulai terbit di bibir masing-masing dari mereka, menyisakan para siswa kelas X yang masih belum mengerti apapun. Mereka bisa memperkirakan apa yang akan terjadi walau tak terlalu yakin siapa yang akan terlibat.

Suara sepatu beradu dengan lantai keramik terdengar riuh dari arah seluruh kelas dan ruang-ruang guru, riuh rendah percakapan serta bisik-bisik memenuhi seluruh sekolah.

"Kayaknya yang bakal kena kali ini bukan murid deh, kalau murid biasanya langsung mereka kasih tau doang.."

"Iya, aku juga pernah gak sengaja ngebuat masalah sama Arfa, dia cuma senyum dan bilang jangan diulangi ya.. Dan akh senyumnya itu lho.."

"Eh tadi denger gak yang suara cewek yang motong perkataannya Azra? Itu bukannya suaranya Rae yang anak baru itu, ya? Jangan-jangan mereka deket lagi."

"Gak, gak, gak, Azra cuma buat aku seorang."

"Mungkin dia memang deket sama Azra dan temen-temennya.. Gue sekelas sama Rae, dan Azra tadi nyuruh Rae duduk sama dia.."

"Ihh yang bener.. Teganya abang Azrakuhhh.."

"Enak aja, Azra buat gue ya!"

"Terserah kalian mau Azra, gue mah tetep sama Abang Arfakuh selalu.."

"Kalo gue mending sama Hoshi yang anak baru itu.. Ramah banget dong dia sama gue.. Aaa.. Pengen nge-fly.."

Yah, begitulah kira-kira perbincangan unfaedah mereka. Membuat Hira dan La mengkal, mencak-mencak di tengah lapangan - dan sayangnya tak ada yang mengindahkan hal itu. Ngenes mereka. Udah jomblo, ngomong gak ada yang merhatiin. Nasib.

"Tes.. 1.. 2.. 3.. Tes.. Yak," suara Arfa menggema, mikrofon berwarna hitam tergenggam erat di tangannya, sebuah pengeras suara terletak tak jauh dari tempatnya berdiri, membuat suaranya terdengar oleh seluruh orang di lapangan.

"Hir, nih udah," Arfa menyodorkan mikrofon ke arah Hira.

"Heh, kok aku?!" Hira memekik tertahan, "Kao lah yang ngomong! Kau yang punya rencana."

Arfa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Ah.. Iya juga, ya.."

Hira melengos, "Aneh."

"Ah, ribet klean, gua aja, sini," Rae merebut mikrofon di tangan Arfa, "Assalamu'alaikum, semuanyaa..! Apa kabarnya di sore yang indah ini? Sebelumnya izinkan gue perkenalkan diri gue lebih dulu, gue biasa dipanggil Rae, dan gue adalah sahabat Hira, La, Azra, Arfa, serta Hoshi sejak kecil, gue dan Hoshi baru aja pulang dari London sekitar seminggu lalu, jadi buat yang bingung dan bertanya-tanya kenapa gue dan Hoshi deket sama Hira dan yang lain, tolong jangan ngebuat gosip, okey?" Rae bersuara lantang, memperkenalkan lebih dulu dirinya.

Semua manggut-manggut, yang tadi sebelumnya membicarakan Rae hanya bisa nyengir.

"Jadi, di sore ini, gue dan temen-temen gue, bakal nunjukin sesuatu yang err.. Menarik, mungkin? Atau yah, terserah apapun itu. Pasti udah pada ngerti yang sebenernya, jadi sore ini, yang bakal jadi sorotan kita, adalah... BU RATNA! Untuk Bu Ratna, dimohon untuk ke tengah lapangan."

Semua guru - kecuali Tuan Arion - tersenyum lebar, mereka mengerti apa yang sebenarnya. Namun tidak dengan Tuan Arion, dia mengernyit tidak mengerti menatap Arfa dan La yang merupakan ketua dan sekretaris di kelasnya malah berada di tengah lapangan, sambil senyam-senyum cengengesan kayak orang gila lagi.

"Apa yang mereka lakukan?" batin Tuan Arion.

Bug! Seseorang menabrak bahu Tuan Arion, membuat yang ditabrak menoleh.

"Eh, Mas Umar," Tuan Arion mengangguk sopan.

"Eh, maaf ya Mas Arion.. Saya nggak sengaja," kata Pak Umar nyengir menampakkan lesung pipitnya. Guru yang sedang berhadapan ini sepertinya memang keajaiban dunia ke delapan. Masih muda, tampan, berwawasan, humoris, namun sayangnya saat marah tak akan ada yang bisa tahan dengan omelannya. Ditambah fakta yang membuat hati para penggemar salah satu dari mereka hangus terbakar, Pak Umar sudah menikah.

"Ah, tidak apa-apa."

Pak Umar mengangguk sopan, berlalu melewati kerumunan para siswa, merangsek ke barisan depan sambil nyengir.

Tuan Arion masih kebingungan, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, memutuskan bertanya pada siswi yang berada di sampingnya.

"Hei, permisi," Tuan Arion menepuk bahu siswi di sampingnya, membuat gadis itu menoleh ke arah Tuan Arion.

"Oh, Kak Stev, ada apa?" tanya siswi itu tersenyum, Anggun.

"Oh, Anggun.. Apa kau tahu apa yang ketua kelas serta teman-temannya itu lakukan?" Tuan Arion menunjuk ke arah tengah lapangan.

"Eh, Kak Stev belum tahu ya? Hira, La, Arfa, dan Azra itu biasa disebut penguasa sekolah.. Bukan berarti mereka preman sekolah, ya. Tapi mereka itu udah kayak pengadilan gitu di sekolah ini.. Mereka yang ngebuat sekolah ini aman dan nggak ada kasus bullying. Kalau yang dua orang lainnya pasti Kak Stev denger yang dibilang, bukan? Mereka sahabat Hira dan yang lain, itu berarti mereka juga 'penguasa' sekolah.. Kalau soal Bu Ratna, itu berarti dia membuat masalah, atau entahlah, mungkin berlaku kurang sopan atau bagaimana saya kurang tahu, yang pasti ada dua kemungkinan, Bu Ratna dipecat, atau satu lagi itu terserah mereka," ujar Anggun panjang lebar.

"Haa.." Tuan Arion melongo.

Anggun sudah kembali ke posisinya, melihat ke arah tengah lapangan.

Di sana Bu Ratna sudah duduk di sebuah kursi yang dihiasi dengan berbagai pernak-pernik, terlihat indah.

Membuat semua guru dan siswa kelas XI dan XII mengernyit tidak mengerti. Siswa kelas X? Mereka masih melamun menatap pemandangan di depan mereka, benar-benar tak tahu apa yang terjadi.

"Baik, setelahnya, waktu dan tempat kami berikan pada Azra," kata Rae tersenyum simpul.

Azra berjalan perlahan ke arah Bu Ratna yang duduk di kursi yang sekarang lebih mirip singgasana itu. Memasang wajah tampan terbaiknya, tersenyum menampakkan lesung pipitnya, membuat para siswi memekik tertahan. Azra tak peduli terus mendekati Bu Ratna - yang sekarang sedang kebingungan.

"Selamat sore, My Princess..," kata Azra membungkuk hormat, membuat Bu Ratna semakin kebingungan, terdapat semburat merah di pipinya, merona.

"Ah, eh, ada apa, Azra?" tanya Bu Ratna gugup, "Eh ini kenapa jantungku nggak nyantai gini? Aduuh, wajahku pasti memerah," batinnya.

"My Princess, ayolah, jangan membuatku semakin gugup.. Kau bisa menebak apa yang akan aku lakukan, bukan?" Azra masih dengan senyumnya.

"A-ap-"

"My Princess," Azra menghentikan sejenak kata-katanya, melanjutkan dalam hati, "tapi BO'ONG," kemudian berlutut di hadapan Bu Ratna, melanjutkan kata-katanya, "maukah kau jadi pacarku?"

Bu Ratna terkesiap, begitu juga dengan yang lain, terutama para siswi yang merupakan fans Azra, menutup mulutnya masing-masing, kaget, memekik tertahan.

Azra tak peduli, mengangkat satu alisnya, menatap Bu Ratna.

Bu Ratna masih menutup mulutnya, terkaget-kaget, namun patah-patah mengangguk, "I-iya.. Aku.. Mau.."

"TAPI GUE YANG NGGAK MAU!" teriak Azra menggelegar di seluruh lapangan, berdiri dari berlututnya, wajahnya nggak nyantai sama sekali, kembali membuat semua orang terkejut, namun sekejap keterkejutan itu berubah menjadi pekikan bahagia para siswi. Para guru - kecuali Tuan Arion - juga tertawa menepuk dahi. La dan kawan-kawan? Mereka sudah tertawa terpingkal pingkal, berguling-guling di tanah sambil memegangi perut.

Bu Ratna melongo, tatapannya kosong.

Tuan Arion masih menatap tak mengerti ke arah enam orang murid di tengah lapangan, "Apa-apaan mereka?"

"Ah.. Ahaha... Sebentar, saya selaku ketua kelas XI-A, saya menyampaikan mohon maaf kepada Tuan Arion selaku wali kelas saya, karena saya dan teman-teman telah bertindak kurang sopan dan menghargai guru.. Soal hukuman, kami sudah melaksanakannya bersamaan dengan kami melanggar peraturan tersebut. Kami sudah menjadi tontonan seluruh sekolah, jadi saya mohon maaf, Tuan," kata La masih dengan nafas ngos-ngosan sehabis tertawa.

Tuan Arion menggaruk tengkuknya, kemudian mengangguk.

Hira dan Hoshi di tengah lapangan sana mendekati Bu Ratna yang masih termenung, Azra sejak tadi sudah melengos pergi ke dekat La dan Arfa berdiri, duduk sambil memukuli tanah, membuat lubang di sana - menyalurkan seluruh emosinya.

Hira dan Hoshi menatap Bu Ratna dengan tatapan elang mereka, mata hijau dan mata jingga mereka berkilat-kilat penuh amarah. Setelah beberapa detik, Hoshi berteriak, "Perhatian semuanya, saya minta izin untuk nampar guru ini, boleh?!"

Semua terdiam, tepatnya berusaha mencerna apa yang dikatakan Hoshi.

"Beliau menampar kedua pipiku, dan kedua pipi Hira, jika kalian tak percaya, kalian bisa lihat ke pipi kami, terdapat bekas tangannya," teriak Hoshi lagi.

Semua yang tadi terdiam tersenyum miring, mengangguk serempak. Aneh.

Hoshi nyengir, tangannya terangkat, tepat ketika tangannya nyaris mengenai pipi Bu Ratna, dia menghentikan gerakannya, "Kau duluan aja, Hir."

Bibir Hira membentuk senyuman mengerikan, sadis. Dia berlutut lebih dulu, menatap Bu Ratna dari bawah, "Bu Ratna, saya minta izin untuk menampar Anda."

PLAK! PLAK!

Hoshi tak memberi jeda dengan segera maju, ikut menampar pipi Bu Ratna, membuat pipinya memerah, terasa panas dan perih.

PLAK! PLAK!

Hoshi segera menarik tangannya yang berbalut sarung tangan, menggosok-gosoknya ke seragamnya, membuat semua tertawa keras.

"Maaf, Bu, kami hanya membalas apa yang Bu Ratna lakukan tadi. Tolong jangan menangis. Bu Ratna tak akan kehilangan pekerjaan Bu Ratna," Hoshi membungkuk sopan, tak tahan melihat mata Bu Ratna yang berkaca-kaca, menyentuh pipinya yang terasa panas, "kami sungguh minta maaf, kami mohon jangan menangis."

La mendekat ke arah Bu Ratna, mengusap pelan pipi Bu Ratna, mengelap air mata di sana, "Saya mohon Bu Ratna, hentikan tangisan Anda, saya pastikan tak akan ada yang ingat hari ini hanya kejadian memalukan bagi Anda saja, tapi bagi saya juga, tolong berhenti menangis, atau justru saya buat hari ini lebih buruk bagi Anda," kata La dingin. Wajahnya luar biasa, auranya tak terbaca.

Bu Ratna mendongak, menatap mata biru La, matanya masih berkaca-kaca, tapi dia dengan segera mengusap matanya, "Ma..ma..Ma-af..," katanya dengan suara serak.

"Kita harus bicara bertujuh setelah ini, Bu," kata La masih dingin.

Dia kembali ke arah mikrofon, menggenggam mikrofon dengan tangan bergetar, "Semuanya, tolong hentikan tawa kalian, simpan tawa itu untuk beberapa menit lagi.."

Semua terdiam, menatap ke arah La.

"Semuanya, sesuai janji gue ke Bu Ratna, gue ga bakal ngebuat kalian inget hari ini cuma hari memalukan bagi Bu Ratna tapi juga bagi gue. Jadi.. Lo semua pada pengen liat salah satu dari kami yaitu gue, Hira, Arfa, Azra dan sekarang ditambah Rae dan Hoshi, nangis bukan? Kalian mungkin pernah liat gue nangis, tapi belum pernah liat nangisnya Hira atau yang lainnya.. Tapi maaf buat kali ini cuma gue yang janji sama Bu Ratna.. Jadii.. Silahkan kalian lihat ulang gue nangis, dan kali ini, di depan seluruh sekolah, mengorbankan rasa gengsi gue terhadap penampilan gue yang lo semua pada tau lah.. So, silahkan ketawain gue sepuas kalian habis ini.. Hina gue sebagai orang cengeng yang bahkan cuma karena janjinya dia nangis kayak anak batita.."

Semua masih diam, saling pandang, bingung.

"Gue sebenernya anak cengeng, gue susah payah buat bisa enggak nangis di depan orang lain, dan ini semua berkat bantuan dari Hira yang ngebantu gue buat masang topeng wajah datar dan dingin gini. Tapi, kalau gua lepas topeng ini, kalian pasti bakal tau betapa lemahnya diri gue. Bye diri gue yang dikenal sebagai salah satu anak yang nggak pernah nangis karena patah hati, karena dibentak guru, karena nggak dimaafin temen. Gue bakal lampiasin semuanya hari ini."

La mengatur nafasnya, menarik dalam-dalam, mengingat kembali hal-hal yang membuat hatinya tergores.

BUGH! Sebuah pukulan mendarat di lengan kiri La, membuat La yang sebelumnya berdiri tegak limbung, jatuh ke tanah. La menatap tajam siapa yang berani memukul lengan kirinya yang sedang terluka. Hoshi dengan muka flat, datar, kayak triplek menatap La tanpa rasa dosa, semua tertawa melihat itu.

"Ngakak plis aku liat muka Hoshi yang sok polos gak ada dosa.."

La bangkit, dengan muka merah padam, "APAAN SIH LO SHI?!"

"Hah? Emang gue ngapain?" Hoshi masih dengan wajah datar tak berdosanya.

La mendekati Hoshi dengan tangannya yang terkepal kuat, namun ketika dia hendak melangkahkan lagi kakinya, sebuah tangan menjambak rambutnya.

Kress... Bunyi rambut yang digunting terdengar jelas di telinga La.

Membuat La berbalik, melihat Arfa yang cengengesan menggenggam rambut La yang barusan ia gunting. La meraba kepalanya, mendapati poninya yang sebelumnya agak panjang menjadi pendek di sisi kiri.

"ARFAAAAA!!!" suara La berubah cempreng.

"HAHAHAAA.. DARIPADA LO NANGIS MENDING LO MARAH-MARAH KAYAK CEWEK-CEWEK YANG SUKA MUKULIN CENTIL COWOKNYA! HAHAHA SUARA LO CEMPRENG TUH!" teriak Arfa, membuat La mencak-mencak nggak jelas.

Semua tertawa, menertawakan ke'sial'an La.

"Orang sabar di sayang Allah, La..," kata Hira sambil ketawa ngakak.

"Untung sahabat yang gue sayang. Kalau enggak gue ambil pedang golok gue di rumah," kata La dalam hati memasang kembali wajah dingin dan datar miliknya. Haha.. Kesian..

•~•~•~•~•

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro