Bonus!🎉 (1)
Ensiklopedia Tokoh
A. Hira
Nama lengkap : Hima Rain Carl
Julukan : Gadis Es
Sifat :
~ Dingin
~ Mudah marah
~ Bijak (sedikit)-sebenernya sok bijak
Fakta unik :
~ Melampiaskan amarah dengan menggigiti es batu
~ Humornya tiarap namun mengekspresikan 'tawa' nya dengan wajah datar dan ujung bibir yang berkedut
~ Lebih suka diam untuk menghindari permasalahan
~ Jika di depan orang lain tidak pernah mengamuk walau marah besar, namun jika di depan sahabatnya dia tak segan memberi pelajaran
B. Hoshi
Nama lengkap : Hoshi Vajra
Julukan : Kalkulator Berjalan, Prince of School
Sifat :
~ Sombong tingkat akut
~ Ramah
~ Dingin pada orang baru(?)
Fakta unik :
~ Suka mukul orang tanpa alasan dan tanpa rasa bersalah
~ Suka cari perhatian
~ Paling suka lihat para sahabatnya sengsara
C. Azra
Nama lengkap : Azeera Raffa Diamond
Julukan : Ensiklopedia Berjalan, Ice Prince of School
Sifat :
~ Tergantung suasana
~ Agak kaku
~ Tingkat kepekaan minim
Fakta unik :
~ Humornya tiarap di lubang kubur, gak lucu pun ketawa
~ Terlalu jenius
~ Suka makan makanan apapun yang ada di meja makannya tanpa peduli milik siapa
D. Arfa
Nama lengkap : Ardian Fattan Damian
Julukan : 'Cute' Prince of School, Badut Tampan
Sifat :
~ Humoris, ceria
~ Gampang ngambek dan susah dibujuk
~ Kreatif
~ Ramah
Fakta unik :
~ Walaupun lagi ngambek dia nggak pernah ngamuk (tepatnya jarang)
~ Suka ngelakuin hal aneh dan kesannya jadi agak trouble maker
~ Suka pinjem motornya La buat kebut-kebutan
E. Rae
Nama lengkap : Rachella Emerald
Julukan : Singa Tidur
Sifat :
~ Moody
~ Ramah
~ 'Sopan'
Fakta unik :
~ Kalau suasana mendukung, sopannya ilang
~ Nggak ada anggun-anggunnya kalau lagi berdua sama La
~ Suka banget 'pinjem' barang-barang milik Hoshi tanpa izin
F. La
Nama lengkap : - (La gamau kasih tau)
Julukan : Kang Rusuh :v
Sifat :
~ Gampang terpancing emosi
~ Nggak malu-malu tapi malu-maluin
~ Keras kepala
Fakta unik :
~ Kadang nangis sendiri diem-diem dan tanpa alasan
~ Humornya udah di lapisan mantel bumi, gak ada lucunya tetep ketawa
~ 'Cinta' banget sama motor ninjanya
~ Kadang ngomongnya ngegas jadi kesannya agak kayak nantang
Author : "Huft, selesai..."
Hira dan yang lainnya : *Rebutan ponsel author*
Hira : *Mencak-mencak sambil nyari es batu*
La : *Banting ponsel author*
Azra : *Ngilang ke kamar sambil ngedumel*
Arfa : *Auto ngambek*
Rae : *Teriak-teriak sambil nunjuk-nunjuk author*
Hoshi : *Tiduran sambil marah-marah dengan nggak etis*
Author : *Tidur dengan santai* "Bodoamat."
•~•~•~•~•
Author P.O.V
Hira meringkuk di sudut kamarnya, pikirannya melayang entah ke mana, membuatnya tak dapat berpikir jernih. Mata hijaunya mengerjap, dia ingin sekali mengamuk karena tidurnya yang terganggu. Suara cakaran dan kucing mengeong di atas kamarnya masih terdengar jelas di telinganya, membuatnya marah sekaligus paranoid.
Selama dua hari ini sudah ada dua induk kucing yang melahirkan di atas atap kamarnya, membuat tidurnya terganggu.
"ARGH PERGI KALO LO KUCING, MUSNAH KALO LO ARWAH PENASARAN!!" teriak Hira frustasi dengan suara serak, menjambak rambut panjangnya masih dalam posisi meringkuk.
Tok, tok, tok! Suara pintu diketuk membuat Hira menghentikan gerakan tangannya yang sibuk menjambak rambut.
"Masuk!" kata Hira masih dengan suara serak.
Seorang perempuan yang sedikit lebih tua dari Hira masuk dengan patah-patah, "Eh.. Non Hira.. Itu, emm.."
"Buruan ngomong!" kata Hira gak nyantai, bangun dari posisi meringkuknya.
"Jangan lupa sholat subuh Non," kata perempuan tadi membungkuk pada Hira.
"Hm."
"Ss..saya permisi, Non," perempuan itu pamit, keluar kamar Hira.
"Kucing Si Alan!" kata Hira mengumpat, kembali menjambak rambutnya frustasi, keluar kamar mendapati ayahnya di depan TV.
"Ayah semalam tidur di sini?" Hira bertanya pada ayahnya.
"Hmm.."
"Ayah dengar suara kucing melahirkan?"
"Enggak," kata Tuan Carl menggeleng.
Tubuh Hira menegang, menggeleng kuat, segera menepis pikiran buruk yang terlintas di kepalanya. Sungguh suara kucing itu membuatnya paranoid.
"Sana sholat," suruh Tuan Carl.
Hira mengangguk kembali ke kamarnya, menyambar handuk dan segera ke kamar mandi.
"Mandi saja sekalian," Hira mendengus, masih kesal dengan induk kucing yang seenak jidat melahirkan di atas atap kamarnya. Dari sekian banyak ruangan di rumahnya kenapa harus di atas kamarnya?
•~•~•~•~•
Hira dengan terburu-buru menelan suapan terakhir sarapannya yang hanya merupakan sereal, meminum air putih dan segera menyambar tas sekolahnya, berpamitan pada ayahnya, dengan terburu-buru - tepatnya dengan penuh amarah - berlari menuju garasi pribadi miliknya ingin segera mengendarai mobilnya.
Masuk ke dalam mobil putih kesayangannya dan segera memanaskannya lebih dulu. Dia menekan tombol remot, membuat pintu garasi terbuka otomatis.
Lima menit memanaskan mobil, ia tanpa ba-bi-bu segera tancap gas, satpam yang tadi malas-malasan membuka gerbang dengan segera membuka gerbang lebar-lebar sekaligus segera menyingkir, takut tertabrak.
Hira menggertakkan giginya, melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, berusaha melampiaskan segala amarah yang ada dalam dirinya - yang sebenarnya sama sekali tak membantu.
Hira menatap tajam ke arah jalanan di depannya, sesekali melirik ke arah kaca spion. Lampu lalu lintas di hadapannya menyala merah, dengan cekatan Hira menginjak rem, membuat mobilnya berhenti, tepat di belakang garis pemberhentian.
Satu detik, sebuah motor ninja berwarna merah berhenti di samping kanan mobil Hira. Pengemudinya yang memakai helm berwarna hitam dan kaca tertutup menjulurkan tangan, mengetuk pelan kaca mobil Hira. Hira yang sedang marah memasang wajah dingin, membuka jendela mobil.
"Maaf saya lupa bawa uang, nggak bisa ngasih recehan," kata Hira menatap dingin orang yang tadi mengetuk jendela mobilnya.
"Kau bilang aku pengamen, Yang?" tanya orang yang tadi mengetuk jendela mobil Hira sembari membuka kaca helm full-facenya, seorang badboy sekolah yang kebetulan satu sekolah dengan Hira nampak nyengir tanpa dosa.
"Yang, yang pala lo peyang?" kata Hira dengan nada datar dan wajah dingin yang masih sama, "Siapa Anda berani memanggil saya demikian?"
Orang itu terkekeh, "Gengsian. Bilang saja kau senang. Kau senang bukan aku panggil kayak gi-"
Hira sudah menginjak pedal gas. Setengah detik lalu lampu telah berganti hijau, dan tanpa buang waktu Hira sudah melajukan mobil putihnya menuju sekolah - tentu dengan wajah dingin, datar seperti triplek.
•~•~•~•~•
La berjalan kaki menuju sekolah sambil menjambak rambutnya frustasi, tak peduli dengan tangannya yang masih terasa nyeri.
Berjalan kaki? Ya, La berangkat sekolah dengan berjalan kaki. Motornya sedang di bengkel, dan itu sungguh membuat La frustasi, menggerutu tak jelas.
"Akh.. Gara-gara pengemudi emak-emak motor gue jadi korban! Lecet-lecet, tangan gue juga jadi luka! Kalau bukan emak-emak udah gue hajar tu kemaren!" kata La mencak-mencak, "Gara-gara motor lecet gue jadi harus berangkat jalan kaki! Untung gue masih inget diri, kalau enggak tu emak-emak udah babak belur!"
Orang-orang menatap La dengan tatapan merendahkan. Suara bisik-bisik juga terdengar jelas di telinga La yang tajam.
"Tu anak ngapain? Tampilannya udah berantakan gitu pasti preman sekolah.."
"Badgirl tuh pasti.."
"Liat tampilannya, pasti troublemaker.."
"Jalan yang cepat Nak, ada kakak SMA yang gila.."
Wajah La yang tadi sudah terlihat tidak senang sekarang berubah menjadi dingin. Auranya yang tadi sudah suram berubah menjadi aura kemarahan yang pekat.
"KALAU MAU NGOMONGIN ORANG, BISIK-BISIK JANGAN SAMPAI ORANGNYA DENGER. SEMUA ORANG PUNYA PERASAAN," kata La lantang penuh penekanan, membuat orang-orang yang sebelumnya membicarakannya segera pergi ketakutan.
La memijit pangkal hidungnya, berusaha menahan kemarahannya, mengingat tangannya yang hingga kini masih belum sembuh total.
La memilih berlari menuju sekolah, sebentar lagi gerbang sekolahnya akan ditutup dan dikunci, tentu ia tak mau terlambat sekaligus berharap dengan berlari dirinya lelah dia tak memiliki tenaga untuk marah-marah apalagi mengamuk.
Sepuluh menit, La sudah sampai di depan gerbang sekolah. Dia dengan segera menerabas gerbang sekolah yang sedang ditutup satpam, menyisakan 30 cm ruang untuk masuk. Dan dengan tubuh kecil La, dia dengan mudah menerabasnya, meninggalkan beberapa siswa yang baru saja sampai dan menghela nafas kecewa.
Pak Aji, satpam sekolah, hanya bisa geleng-geleng melihat tingkah La yang asal menerabas gerbang sekolah. Jika saja La kurang cepat, mungkin tubuhnya bisa terjepit gerbang sekolah.
"Huft, se..la..mat.. Gue..hah..hah.. Selamat gue.. Hah..," La berbicara pada diri sendiri sambil berlari dengan nafas menderu.
Sampai di depan kelas dia dengan segera masuk namun ketika ia melewati pintu dia tersandung sesuatu, membuatnya terjatuh.
"Oh.. Lihat siapa yang datang? Oh.. Lo babunya Arfa, bukan?" tanya orang yang menjegal La dengan nada mengejek.
Wajah La yang sejak tadi di perjalanan sudah dingin menjadi semakin mengerikan karena tatapan dan auranya yang mengerikan.
"Siapa lo?" tanya La dingin, menahan kemarahannya.
"Siapa gue? Seluruh sekolah juga tau siapa gue," kata orang itu tertawa panjang, "lo babunya Arfa, bukan? Kalau gitu lo juga babu gue. Sekarang kerjain PR gue yang belum kelar."
La memperhatikan seluruh kelas, tak ada seorang pun di sana selain La dan seorang gadis berambut sebahu yang sekarang sedang menatapnya dengan merendahkan.
Namun La justru semakin memasang wajah mengerikan, dia bangun dari jatuhnya, "Lo nggak tau siapa gue sebaiknya lo pergi."
"Oh, kata siapa gue gatau siapa lo? Lo babunya Arfa, bukan? Lo sok berkuasa padahal sebenarnya lo cuma babu My Prince Arfa dan bahkan babu teman-temannya," kata orang itu semakin menyebalkan.
La memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya, mengepal, masih memasang wajah dingin. Ini hari Jum'at dan seluruh siswa dipersilahkan menggunakan baju bebas, jadi La memilih mengenakan celana.
"Nah jadi, buruan kerjain nih PR gue!" kata gadis yang tadi menjegal La sambil menyodorkan buku pada La.
La masih membiarkan tangannya dalam saku, enggan menerima buku yang disodorkan gadis di hadapannya.
"Heh, udah buruan!" gadis itu mendorong bukunya kasar ke arah La.
Akhirnya dengan penuh amarah La mengambil buku yang disodorkan padanya, sambil sengaja mencengkeram tangan gadis di hadapannya tanpa peduli bahwa tangannya juga terasa nyeri.
"Sakit! Dasar cewek gila!" pekik gadis di hadapan La sambil menatap tajam La.
La akhirnya melepaskan cengkeramannya, mengambil alih sepenuhnya buku gadis di hadapannya.
"Bagus! Sekarang kerjain!" kata gadis di hadapan La sambil tersenyum puas, mengibaskan rambutnya yang panjang sebahu ke belakang.
La menatap orang di hadapannya dari ujung rambut hingga ujung kaki, "Lo Mei kelas XI H, lo anaknya kepsek dan lo ketua geng Beauty Girls," kata La dingin.
"Nah itu lo tau!" bentak Mei.
"Iya, gue tau. Cuma ngecek aja barangkali lo lupa diri," kata La lagi masih dengan dingin.
"Heh udah gausah banyak bac-"
"Tolong jangan misuhin gue. Gue nggak suka, apalagi dengan nada lo itu," potong La dingin.
Mata Mei melebar berubah semakin tajam, "Yaudah kerjain!"
La membuka buku Mei, berhenti di tengah-tengah, tempat di mana sebuah sticky note bertuliskan PR tertempel, menunjukkannya ke arah Mei.
"Iya! Yang itu! Buruan! Guru keburu masuk!" kata Mei mendesak.
La manggut-manggut, memegang buku itu kuat-kuat.
"Nah jadi-"
SREEEKK!!
"HEH! LO APA-APAAN?!" pekik Mei.
"Sorry, sengaja. Gue gak suka diperintah," jawab La seakan membekukan waktu saking dinginnya nada bicaranya.
"Lalala.. Eh, La.. Lo kenapa di sini? Ini pelajarannya Pak Aryo, praktek woy di lab. Lupa lo? Dasar pelupa! Ketua kelas macem apa lo?!" semprot Arfa yang baru saja sampai di ambang pintu.
La menoleh ke arah Arfa, masih dengan tatapan dinginnya, menjatuhkan sobekan buku yang ada di tangannya, melempar tasnya dari depan kelas ke bangkunya. Melangkah keluar kelas sambil menyisir rambutnya dengan jemari ke belakang, menuju laboratorium Fisika, tempat Pak Aryo melangsungkan pelajaran.
Arfa nyengir cengengesan melihat sahabatnya. Segera melangkah masuk, namun langkahnya terhenti ketika sudut matanya melihat gadis yang sedang terlihat membungkuk mengambil buku PR-nya yang sudah koyak, siapa lagi kalau bukan Mei.
Arfa menatap Mei datar, hilang sudah mood -nya ketika melihat salah satu fans paling menyebalkan sedang ada di hadapannya.
Mei yang sudah bangkit menatap Arfa dengan tatapan berkaca-kaca - yang sebenarnya dibuat-buat.
"My Prince.. Buku aku disobek..," kata Mei dengan suara dibuat-buat agar seperti anak kecil, merengek pada Arfa.
"Se.la.mat," kata Arfa dengan nada datar, penuh penekanan, menandakan kalau ia tak suka dengan rengekan Mei.
"Ish.. Kok gitu sih My Prince.. Aku kan lagi sedih..," Mei masih merengek seperti anak kecil minta dibelikan permen.
"D.L,*" kata Arfa acuh, menuju meja guru, melewati Mei begitu saja, mengambil 2 buah spidol dari atas meja guru.
Mei yang diperlakukan seperti itu semakin berkaca-kaca, air matanya bahkan menetes, "Arfa jahad.. Hiks..hiks..," rengek Mei terisak.
Arfa yang sudah hendak melangkah keluar dengan segera dicekal oleh Mei, "Hiks..hiks.. Arfa.."
"Apa?" tanya Arfa datar.
Tanpa Arfa izinkan Mei memeluk Arfa, membenamkan wajahnya ke dada bidang Arfa.
Mata Arfa membulat, "Shi- Sabar Arfa.. Santai.. Jangan emosi.. Dia cewek Fa.."
Arfa dengan perlahan mundur, melepas pelukan Mei dari tubuhnya, "Sana balik ke habitat lo," kata Arfa masih dengan nada datar, emosinya meningkat.
Mei mendongak, menatap mata Arfa, membuat pandangan mereka bertemu, pandangan yang sangat bertolak belakang. Sebuah pandangan menunjukkan ketertarikan, dan sebuah tatapan yang menunjukkan kebencian.
"K..k..ko..ok.. Gi..gitu..?" tanya Mei masih dengan isak tangisnya.
"Bodoamat," kata Arfa menggerakkan tangannya ke atas, meniru gaya tangan spongebob membentuk pelangi dan dengan segera lewat begitu saja tanpa mempedulikan Mei.
•~•~•~•~•
Azra menekan klakson mobilnya frustasi. Menatap nelangsa kemacetan di hadapannya. Rambutnya yang biasanya tersisirnya rapi, nampak berantakan karena tak sempat disisir.
"Akh telat 10 menit..!" teriak Azra benar-benar frustasi.
Kling, kling, kling! Beberapa notifikasi masuk ke dalam ponselnya, membuat Azra yang sedang sibuk membenturkan kepalanya ke kemudi mobil terhenti.
Azra mengambil ponselnya, mematikan notifikasi ponsel, kembali menaruhnya. Azra menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Mata coklat karamelnya menatap kosong ke arah jalanan macet di hadapannya.
"Si Alan," umpat Azra dalam hati.
•~•~•~•~•
Rae menatap sayu buku paketnya yang basah terkena es jeruk.
"Nah, itu balesan buat lo yang sok kecakepan sama Azra!" bentak seorang gadis berambut panjang mengiba-ngibaskan rambutnya.
Rae yang mendengar bentakan itu mulai kesal, memasang wajah dingin, menatap tajam gadis yang menumpahkan minuman ke arahnya hingga membasahi kemeja dan buku paket yang sedang dibacanya.
"Gue nggak sok kecakepan. Nggak bercermin lo? Lo gak punya cermin? Gue bisa anterin lo beli cermin sekarang juga kalau lo butuh," kata Rae dingin. Aura Rae yang pagi tadi secerah matahari segera berubah menjadi sesuram badai.
"Heh, lo diem! Gak usah sok! Lo anak baru di sini, jadi nggak usah sokab sama si Azra! Azra tuh calon pacar gue! Lo liat kan kemaren, si Azra nolak Bu Ratna? Itu karena dia cintanya sama gue!" kata gadis yang tadi mengibas-ngibaskan rambutnya dengan nada nggak santai.
"Masa," Rae membalas gadis di hadapannya dengan perkataan dinginnya.
"Iyalah! Dasar cewek penggo-"
"Masa bodoh," potong Rae pergi meninggalkan gadis yang ia ketahui bernama Erica itu.
"Heh, lo! Awas aja, lo! Lo nggak tau siapa gue, sahabat gue, Mei, itu anak kepsek! Jangan kaget kalau besok lo gabisa sekolah lagi di sini!" teriak Erica berteriak membuat semua orang yang berada di kantin menatapnya.
Rae menghentikan langkahnya, melepas kemeja yang ia kenakan, menyisakan kaus berwarna biru muda panjang yang sengaja ia kenakan ketika keadaan seperti sekarang.
"Lo mau ngapa-"
BUKK! Sebuah kemeja dengan noda jus jeruk mendarat di wajah Erica yang dilapisi bedak tebal.
Rae menatap dingin Erica yang sekarang menatapnya tajam, "Mau ngelempar kemeja gue ke arah lo."
"ANJ-"
"Bisa nggak usah ngomong kasar? Gue nggak pengen dengernya," kata Rae masih dingin.
Erica menatap Rae tajam, mendekat, tangannya terangkat, terayun ke arah pipi Rae.
PLAK! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Rae, namun Rae sama sekali tak mengaduh, justru melewati Erica, meraih kemejanya yang tergeletak di lantai kantin dan kembali melemparnya ke arah seorang siswa yang berada di atas dinding dekat kantin. Bisa dipastikan itu adalah siswa yang terlambat masuk ke sekolah dan sedang berusaha menerabas dinding belakang sekolah.
Orang yang berada di atas dinding itu menatap tajam ke arah Rae, "Nona Muda Rae, ini saya, Azra. Tidak bisakah Anda menyambut saya dengan lebih baik? Saya susah payah naik ke sini dan Anda justru melempar saya dengan kemeja Anda, begitu?!" semprot orang yang ada di atas dinding itu dengan nada nggak nyantai.
"Mana saya tahu kalau itu Anda Tuan Muda Azra," kata Rae masih semakin dingin, "jangan membuat saya semakin kesal dengan ocehan tak berfaedah Anda itu."
"Anda pikir saya tidak sedang kesal, Nona? Sejak pagi saya sudah sial."
"Saya juga sama sialnya."
"Kalau begitu diamlah, Nona."
"Anda juga diam Tuan."
"KYAAA... MY PRINCE AZRA KEREN BANGET..! SO BADASS!" teriak Erica tiba-tiba dengan suara bernada tinggi, membuat Azra terperanjat dan jatuh dari dinding, terjerambab di semak-semak.
"Si Alan, so badas kepala Anda," kata Azra dingin, menatap Erica dengan tatapan dingin membunuh.
Erica yang ditatap demikian tentu saja syok bukan main, tak bisa berkata-kata.
Azra masih menatap Erica beberapa detik sebelum akhirnya melenggang pergi dari kantin, menuju kelas.
Rae nampak berjalan mengambil kemejanya dan pergi dari kantin, mengikuti Azra.
Erica masih syok diam mematung.
•~•~•~•~•
Hira menaruh kepalanya di atas meja, matanya terasa berat membuatnya tak kuasa menopang lebih lama kepalanya agar tetap tegak. Hira diam mendengarkan gurunya yang berbicara panjang lebar di depan kelas. Hoshi yang duduk berjarak 2 meja dengan Hira tampak serius menatap ke depan. Biasanya jika Hira menaruh kepala di mejanya Hoshi akan memukulnya menggunakan botol minum.
Hira mulai merasakan kelopak matanya semakin berat, menutup perlahan.
"Setidaknya hari ini aku tidak duduk bersamamu, Kalkulator Berjalan," gumam Hira sebelum akhirnya ia tertidur. Dia tak sadar ada seorang gadis yang sedang mengepalkan tangannya sambil memandanginya marah dari luar kelas.
•~•~•~•~•
"Baik Anak-anak, pelajaran kita cukupkan sampai di sini dulu, jangan lupa kerjakan PR-nya," ucap seorang guru dengan lantang kepada para siswanya.
"Terima kasih Pak Aryo..!" seru seluruh siswa dengan semangat - kecuali dua orang yang duduk di sudut ruangan, sengaja memilih bangku paling belakang.
"Kuy kantin!"
"Kuylah..!"
"Eh ngantin yok, gue traktir!"
"Wess.. Banyak duit lo? Ayoklah.."
"Eh traktir gue dong.. Ga ada duit ni gue.."
"Malak gue ceritanya?"
"Yoilahh.. Hehe.. Ya?"
"Ya'in deh.."
Seluruh siswa satu persatu keluar meninggalkan Laboratorium Fisika, menyisakan La dan Arfa yang meletakkan kepala di atas meja dengan frustasi. La di sudut kanan, dan Arfa di sudut kiri. Arfa menghembuskan nafas kasar, sedangkan La mulai membentur-benturkan kepala ke meja.
"ARGH..! Ngajak berantem tu anak," teriak La frustasi, bangkit dari duduknya, beranjak keluar ruangan.
Arfa menatap sekilas ke arah La yang mengilang dibalik pintu, kemudian kembali menghembuskan nafas kasar, ikut bangkit dari duduknya dan mematikan semua lampu dan kipas angin di ruangan itu, menyambar kunci ruangan dan segera meninggalkan laboratorium itu setelah selesai menguncinya.
La berjalan ke sembarang arah sambil mengacak rambut frustasi, terus berjalan tanpa melihat jalan dengan benar, bahkan sesekali menabrak orang lain.
Satu menit, tanpa sadar ia sudah ada di kantin. La melihat sekitarnya yang ramai, menghembuskan nafas lesu untuk kemudian mendatangi ibu kantin, memesan roti bakar.
"Bu, roti bakar rasa coklatnya satu, dibungkus," ucap La sambil sedikit memijat pelipisnya, kepalanya terasa agak sedikit berdenyut.
"Siap, Neng.. Bentar ya," kata ibu kantin mengacungkan jempol, "duduk dulu aja, Neng."
La mengangguk, menatap sekitar, mencari bangku yang kosong.
"Hmm.. Penuh, penuh, penuh, nah situ kosong satu," kata La bergumam sendiri, berjalan menuju bangku kosong yang tak jauh dari tempatnya tadi berdiri.
Tepat ketika La duduk dengan baik, tiga pasang mata menatapnya tajam, salah satunya bahkan seperti hendak mengulitinya saat itu juga.
La melirik ke arah tatapan itu berasal, menatap balik dengan tatapan dingin, "Natapnya biasa aja dong, kayak gak pernah liat manusia aja," kata La dingin.
"Mei, ini anak yang lo bilang nyobek buku lo?!" tanya salah satu dari mereka sengaja bersuara keras.
"Iyalah," kata Mei masih menatap La tajam, "bagusnya gue apain nih anak, Ran?"
"Keluarin aja kenapa sih Mei?!" potong seseorang di sebelahnya, Erica.
"Nggak, nggak seru kalau gitu.. Lebih baik dia jadi babu kita dulu saja," jawab orang yang La ketahui bernama Ran.
"Mau apapun yang kalian lakukan ke gue, gue punya hak untuk menolak," ujar La mengkal sekaligus menolak.
"Kata siapa lo punya hak buat nolak?! Lo kan cuma babunya Azra dan yang lain, dan selama lo jadi babu mereka lo nggak nolak.. Harusnya lo juga gak nolak jadi babu kita dong..," kata Erica mengibas-ngibaskan rambutnya.
"Gue gak pernah jadi babu mereka," La mengangkat bahu, "yang ada mah kadang gue yang memperbudak mereka kalau lagi kumpul-kumpul bareng."
"Oh, jadi lo dibaikin ngelunjak gitu ya? Lo berani banget sampai memperbudak pangeran-pangeran kami!" hardik Mei naik satu oktaf.
"Lo kenapa malah ngegas? Lo nantangin gue hah?!" ucap La yang nadanya naik dua oktaf.
Brak! Mei menggebrak meja, membuat beberapa orang terperanjat kaget dan melihat ke arahnya, kemudian kembali ke aktivitas masing-masing.
"Apa? Mau nantangin seberapa keras nggebrak meja? Okey," La berdiri dari duduknya, menatap Mei dengan tatapan dingin.
BRAK! KRAK! Bunyi gebrakan meja bersamaan dengan suara meja patah terdengar. La menggebrak keras meja di hadapannya, membuat meja kayu itu patah dua.
Semua orang terperanjat kaget, bahkan ada yang sampai terjatuh dari duduknya. La menatap Mei yang terlihat syok dengan tatapan yang lebih baik. Amarahnya seakan sudah tersalur dalam gebrakan meja tadi.
"Mau nantangin apa lagi, anak kepala sekolah?" tanya La mengangkat sebelah alisnya.
Mei yang sudah sadar wajahnya berubah merah padam, "Lo..," jari telunjuk Mei menunjuk ke arah muka La.
"Yea?" La memasukkan tangannya ke kantong celana.
Erica dan Ran tampak mengelus pelan lengan Mei, menenangkan Mei.
"Jangan harap lo tenang di sekolah ini! Kalau lo masih ngelunjak, gue gak akan segan-segan ngeluarin lo dari sekolah ini! Sekolah ini nggak perlu murid berandalan kayak lo!" bentak Mei.
La mengangkat lagi sebelah alisnya lagi, "Berandalan? Maaf, tapi gue bukan berandalan," kata La dengan nada biasa.
PLAK! Sebuah tamparan mendarat di pipi La, membuat pipi kiri La memerah. Namun La sama sekali tak mengaduh, wajahnya yang tadi sudah lebih normal kembali dingin, menatap Mei dengan tatapan menghunus.
"Ngapain nampar?"
"Karena lo ngelunjak!" bentak Mei.
"Oh," La manggut-manggut, masih dengan wajah dingin, "tamparan lo lumayan, tapi masih kurang keras kalau mau buat bengkak.. Ini paling cuma kejiplak doang," kata La dengan dingin.
"Minta ditampar lagi lo?!" nada Mei semakin meninggi.
"Nggak makasih, gue takut tangan lo patah kalau berani nampar gue lag-"
"Neng, ini roti bakarnya," ujar seseorang menepuk bahu La, membuat La menoleh.
"Eh, iya Bu. Berapa Bu?" tanya La dengan nada yang berubah drastis.
"Biasa, Neng," jawab ibu kantin tersenyum seperti biasa saat melayani siswa.
"Oh, ini Bu, makasih Bu," ujar La memberikan satu lembar uang dan menerima roti bakar yang terbungkus rapi dalam bungkusan kertas minyak.
"Iya, Neng," ibu kantin mengangguk, kembali ke tempatnya.
"Nah, semuanya, kembali ke aktivitas masing-masing, lupakan saja yang tadi. Meja kantinnya bakal gue ganti hari ini juga. Tolong jangan bicarakan kejadian ini," ucap La lantang sebelum akhirnya berjalan menuju kelas.
•~•~•~•~•
Bruk! Suara benda jatuh menghantam lantai terdengar di sepanjang lorong kelas.
"Ugh.. Siapa sih yang buang kulit pisang di sini?!" teriak seseorang frustasi, menatap kulit pisang yang merupakan tersangka penyebab dirinya terjatuh.
"..." hening. Jelas tidak akan ada yang menjawab.
Orang itu bangkit dari jatuhnya sambil menggerutu kesal, menyambar kulit pisang itu dan membuangnya ke tempat sampah.
Alis tebalnya berkerut kesal, mata hitamnya yang misterius tampak menatap dunia dengan tatapan yang sulit diartikan. Ya, siapa lagi kalau bukan Arfa?
Arfa kembali melanjutkan jalannya yang tertunda, ketika ia hendak berbelok di ujung lorong, matanya menangkap sosok guru yang untuk sementara waktu akan jadi guru paling menyebalkan baginya, Bu Ratna.
"Sia-pa yang mau ketemu guru menyebalkan itu? Bodoamat gue cari jalan lain aja," gumam Arfa hendak berbalik badan.
Ketika hendak melangkah kembali, sebuah suara membuatnya berhenti, "Pagi, Ardian."
Arfa dengan berat hati kembali membalik tubuhnya, menatap orang yang memanggilnya, "Pagi, Bu," jawabnya datar.
Guru itu terkekeh pelan mendengar nada datar Arfa, "Masih canggung bertemu saya, Ardian?"
"BUKAN CANGGUNG BU, SAYA JUJUR MASIH KESAL PADA ANDA! WALAUPUN SUDAH TERBALAS, ANDA BELUM MINTA MAAF!" batin Arfa berteriak, namun tertutup wajah datarnya.
"Bukan urusan Anda, Nona," jawab Arfa masih datar.
Bu Ratna justru semakin terkekeh, "Kamu takut saya marah, hm?"
"Ngelunjak, Bu ceritanya?!" batin Arfa kesal, "TIDAK, mengapa saya harus takut?" kata Arfa menekankan kata 'tidak' pada kalimatnya.
"Barangkali saja," kata Bu Ratna masih disertai kekehan di ujung kalimatnya, "tapi yang jelas saya sudah memaafkan kalian, ya, jujur saja kecuali dengan tiga orang teman perempuan kalian itu, mereka menyebalkan."
"Temen gue emang nyebelin, tapi yang boleh ngatain mereka cuma orang tertentu! Tolong jangan membuatku semakin kesal!" batin Arfa lagi.
"BODOAMAT BU! BODOAMAT!" kata Arfa ngegas, dia ngambek, beranjak pergi meninggalkan Bu Ratna yang melongo tak mengerti.
Kalian bertanya Bu Ratna kenapa? Dia sekarang sudah resmi jadi salah satu fans tiga pangeran sekolah, dan dengan topeng sebagai guru tentu dengan leluasa dia bisa mendekati tiga pangeran itu. Dia sama sekali tak merasa jera atas kejadian yang menimpanya dua hari lalu. Soal panggilan 'Ardian'? Itu panggilan khusus dari Bu Ratna untuk Arfa.
"Benar-benar tak tahu malu. Nggak beruntung banget gue hari ini ketemu fans yang semacam Mei dan Bu Ratna. Bisa gila gue," kata Arfa dalam hati, menggerutu.
•~•~•~•~•
Hari ini hari yang panjang, waktu seakan bergerak berkali-kali lebih lambat dari biasanya. Satu menit serasa seperti satu jam. Hari yang sangat menyebalkan.
Azra tampak sangat berantakan dengan rambut yang acak-acakan dan baju yang kusut. Wajahnya terlihat tidak baik dengan rahang mengeras dan pandangan mata yang seakan ingin membunuh seseorang. Sibuk melihat sekelilingnya yang mulai ramai.
Rae yang duduk di sebelah Azra tampak hanya berkaos dengan kemeja yang tersampir di pundak dan rambutnya yang nampak diikat asal. Wajahnya sama dengan Azra, tak ada ubahnya, sama mengerikan. Sibuk memainkan ponselnya.
Arfa yang duduk berhadapan dengan Rae tampak memasang wajah datar, itu artinya dia sedang mengkal. Pakaiannya tampak berantakan dengan lengan kemeja yang digulung asal, dua kancing atasnya nampak terbuka, menampakkan kaos putih yang dikenakannya. Sejak tadi ia terus menghembuskan nafas kasar sambil mengacak rambutnya frustasi.
La yang duduk di sebelah Arfa tampak menenggelamkan wajahnya di lipatan lengannya di atas meja. Pakaiannya tak jauh berbeda dengan teman-temannya, berantakan. Jaketnya tampak ia gunakan untuk melapisi tangannya yang ia gunakan untuk bantal, kemeja kusut, kancing terbuka seluruhnya menampakkan kaos hitam kesayangannya yang sering sekali ia kenakan.
Hira dan Hoshi tak tampak di antara mereka. Mungkin masih berada di kelas.
Ini istirahat kedua dan entah mengapa empat orang yang sekarang duduk di satu meja itu bisa bersama di salah satu meja kantin. Awalnya hanya satu orang yang duduk d meja itu, lama kelamaan dua orang lainnya datang dalam keadaan yang sama, disusul satu orang lagi. Ya, sama-sama berantakan.
Lima menit sibuk dengan aktivitas masing-masing, Arfa akhirnya angkat suara, "Daripada kayak gini, pada mau pesen apa? Kuy lah gue yang bayar.."
La yang sebelumnya menaruh kepalanya di meja segera mengangkat wajahnya, "Magelangannya satu, minta nggak pedes, minumnya es jeruk, semuanya lo yang bayar."
"Gue nasi bakarnya satu, minumnya es teh," kata Rae dengan nada dingin.
"Aku mie goreng satu, minumnya teh hangat, jangan lupa yang bay-"
"Yo, lagi pada ngapain ni?" ucap seseorang memotong perkataan Azra, membuat semua yang di meja itu menoleh. Melihat dua orang yang baru saja datang.
"Mau pesen makanan, tumben-tumbenan si Arfa mau traktir," kata La menunjuk Arfa dengan dagu.
"Arfa mau traktir? Wow orang pelit sejagat raya ini ternyata masih inget kalau punya temen," kata Hoshi terkekeh.
Tak! Sebuah jitakan mendarat mulus di dahi Hoshi, "Berisik!" ucap seseorang yang menjitak dahi Hoshi yang tidak lain adalah Hira.
Hoshi mengelus pelan dahinya. Arfa sudah pergi ke ibu kantin untuk memesan makanan.
Hira tanpa basa-basi duduk di sebelah La, meletakkan kepalanya di atas meja, memejamkan mata.
"Kau kenapa, Hir?" tanya Hoshi menyenggol lengan Hira.
"Berisik kao," kata Hira mengangkat kepala, menatap Hoshi dingin, membuat Hoshi terdiam.
Hoshi segera bungkam ketika melihat wajah Hira yang kusut dengan ekspresi mengerikannya itu. Dia baru sadar ada kantung mata di bawah mata Hira.
"Fix dia kurang tidur sama kek gue semalem," kata La melirik Hira sekilas sebelum kembali menenggelamkan wajahnya di lipatan tangan.
"Kalian kenapa? Nyeremin semua wajah kalian. Ntar bisa ada tuyul ngintilin kalian karena ngira sebangsa," kata Hoshi menakut-nakuti.
"Lo diem, omongan lo bisa jadi doa, Shi. Udah cukup gue sial sejak pagi, sekolah jalan kaki, nyaris telat, sampe kelas ketemu fans fanatiknya Arfa. Lo gak usah cari masalah dan gak usah ngebuat gue kena masalah. Gue gak mau main-main sama yang nggak keliatan. Cukup gue stres karena Mei," kata La dingin, masih menenggelamkan wajahnya.
Hoshi diam lagi. Diantara mereka berenam memang Hira yang paling kuat dalam bertarung, itu membuat mereka tak mau bermain-main dengan Hira. Tapi soal kecepatan, La ahlinya. Dengan tubuhnya yang kecil La bisa dengan cepat menggerakkan tubuhnya dan melancarkan serangan. Hoshi tak mau dirinya jadi sasaran. Walau La tak pernah melakukan apapun pada para sahabatnya, tetap saja La mengerikan kalau sedang marah. Dia akan menyakiti diri sendiri. Hoshi tidak mau itu terjadi lagi.
Rae masih sibuk dengan ponselnya, Azra akhirnya memilih nonton anime. Yea dia wibu akut.
Hoshi yang bingung hendak melakukan apa akhirnya hanya bisa ikut memainkan ponselnya.
Beberapa menit kemudian Arfa datang dengan tangan memegang nampan penuh makanan dan ibu kantin di belakangnya yang juga membawa nampan berisi makanan.
La yang mencium aroma makanan segera mengangkat wajahnya, tersenyum sumringah, dengan cepat dia meraih makanannya dan makan dengan lahap seakan dia tak makan dua hari.
Hoshi beralih menatap Rae yang sekarang meletakkan ponselnya, mulai ikut makan, "Rae, kalau kau kenapa?"
"Kurang beruntung aja," kata Rae dingin menatap Hoshi dengan tatapan dingin.
Hoshi manggut-manggut, tak bertanya lebih lanjut, kembali memainkan ponselnya. Dan tanpa sepengetahuan teman-temannya itu, dia memotret keadaan buruk mereka itu, tersenyum cengengesan sendiri.
Hening menyelimuti meja itu, tak ada satu pun yang bicara, menyisakan suara denting sendok yang beradu dengan piring. Semuanya sibuk dengan aktivitas masing-masing. Rae, La, Azra dan Arfa dengan makanannya, Hira dengan tidurnya, dan Hoshi dengan ponselnya.
Hingga isi piring nyaris kosong, La akhirnya angkat suara, tak tahan dengan keheningan yang ada, "Kalian hari ini.. Kurang beruntung sama sepertiku, bukan?"
Semua yang ada di meja itu menoleh ke arah La, bahkan Hira bangun dari 'tidur dalam keadaan sadar'nya.
"Seperti yang lo tau, La. Mei sangat mengganggu bukan? Dia bahkan tanpa izin meluk gue," kata Arfa datar.
"Yea.. Fans fanatik Azra nggak kalah menyebalkan, dia ngatain gue, numpahin es jeruk ke buku paket dan kemeja gue. Untung gue pake ni kaos jadi bisa lepas kemeja," sahut Rae dengan nada dingin.
"Kalau aku? Ayolah, aku terlambat berangkat karena tetanggaku kehilangan kucingnya yang sedang bunting dan aku harus mencarinya! Sampai sekolah aku terlambat dua puluh menit, aku terpaksa memanjat dinding belakang dekat kantin dan aku melihat Rae sedang ribut dengan Tong Kosong Menyebalkan Bin Gila bernama Erica. Si Alan-nya, Erica berteriak dengan mulut toanya, membuatku kaget dan jatuh dari dinding. Si Alan!" kata Azra sambil terus mengumpat berkali-kali.
"Tunggu. Kau bilang kucing itu sedang bunting?! Pagi ini sejak pukul satu dini hari ada suara kucing melahirkan di atap kamarku," kata Hira dingin, mendengus kesal, "tidak hanya hari ini. Kemarin juga ada induk kucing yang melahirkan di atap kamarku."
"Lantas kenapa? Itu bukan urusanku," kata Azra tak kalah dingin.
"Apa lantas kau tak menghargaiku dengan bicara demikian?" balas Hira dengan wajah yang sekarang berubah mengerikan.
"Aku hanya sedang kesal," kata Azra memalingkan wajah, sedikit ketakutan ketika melihat wajah Hira yang mengerikan itu.
"Kau tahu, aku juga kesal. Kita semua kesal, kita semua hari ini juga sama denganmu, kurang beruntung. Jadi tolong tetap hargai orang lain," Hira menatap tajam Azra yang masih memalingkan wajahnya.
"Kata siapa kita sama? Gue nggak kena sial tuh," kata Hoshi cengengesan.
Semua menatap Hoshi dengan tatapan menghunus.
"Oh.. Gitu ya? Gue buat sial mau?" tanya Rae sambil mengepalkan tangan kanannya.
Hoshi langsung diam, menelan ludah ketakutan, sadar dia bicara di saat yang tidak tepat dengan cara bicara yang juga tidak tepat.
•~•~•~•~•
La menghempaskan tubuhnya di sofa ruang TV-nya, menghela nafas kasar. Melempar asal tas ranselnya. Matanya hendak terpejam ketika tiba-tiba perutnya berdemo minta diisi, membuatnya terpaksa bangun dan pergi ke dapur.
La melihat-lihat isi kulkas, menatap menemukan sosis yang tinggal goreng di freezer, tanpa berpikir panjang, dia menyambarnya, mulai menggoreng beberapa.
Selesai dengan masaknya, La mengambil piring dan mengambil nasi dan mulai makan. Baru saja hendak makan, ketika ia hendak memotong sosis gorengnya, dia menyadari sesuatu. Sosis itu sudah mengeras karena terlalu lama di freezer.
"Menyebalkan," kata La menghembuskan nafas kasar, "ini sosis apa batu?"
La meletakkan sosis-sosis itu ke tempat sampah, kembali memencari makanan di kulkas.
•~•~•~•~•
Hira menatap ponselnya dengan tatapan dingin, membaca ulang tulisan yang tertulis di sana.
+62 821 **** ***
Heh, lo gak usah sok kecakepan sama Hoshi! Hoshi tu punya gue!
+62 821 **** ***
Hoshi itu buat gue, bukan buat lo!
+62 821 **** ***
Kalau lo masih sok mau deketin Hoshi gue, gue pastiin gak lama setelah itu, lo gak bisa lagi sekolah tempat lo sok berkuasa itu!
Brak! Sebuah benda pipih menabrak lemari kayu berisi buku di sudut ruangan luas itu. Hira berdiri masih setia dengan tatapan dinginnya, nafasnya naik turun menahan rasa kesal. Suasana hatinya yang sudah tak baik sejak pagi tadi semakin memburuk. Hira tahu persis siapa yang mengiriminya pesan itu.
"Kuntilanak mau mangkal!" maki Hira dalam hati, mengambil ponselnya yang kini remuk dan patah jadi dua, "Si Al..."
•~•~•~•~•
"ARGHH..!" erang Azra kesal, memijat kepalanya yang terasa nyeri akibat jatuh tadi pagi, "Tong Kosong Menyebalkan Bin Gila!" teriak Azra kesal.
Azra masih sibuk mengacak rambutnya frustasi ketika ponselnya yang di saku celananya bergetar, menghentikan kegitannya.
"Ya? Halo?"
"..."
"Kalau nggak penting kau jangan telepon aku, Hoshi."
"..."
"Anda minta saya hajar, Tuan Muda Hoshi?"
Tanpa menunggu jawaban di seberang, Azra sudah mematikan sambungan telepon, menaruh ponselnya di lantai keramik, menendangnya ke arah kolong lemari yang sempit.
1 detik..
2 detik..
3 detik..
4 detik..
5 detik..
"Tunggu.." Azra mengerutkan kening, mencoba berpikir sebentar. Sedetik kemudian matanya membulat, dia turun dari sudut kasur king size nya, mengintip ke kolong lemari, "Si Al!" Azra mengumpat dalam hati melihat ponselnya jauh di dalam kolong lemari. Tangannya tak bisa masuk ke dalam kolong lemari yang sempit membuatnya semakin frustasi.
"Hari yang menyebalkan!" gerutu Azra bangkit, pergi keluar kamar.
•~•~•~•~•
Arfa menatap datar kotak kado yang sekarang ada di pangkuannya. Membaca sekali lagi tulisan yang ada d kertas dalam kotak tersebut.
"Cih, dari Mei," Arfa bangkit dari duduknya, memasukkan semua barang yang sebelumnya ada di dalam kotak itu, menutupnya dengan rapi seperti semula, berjalan ke sudut kamarnya, membuka sebuah tong sampah, melempar kotak itu ke dalamnya.
Kling! Kling! Kling! Kling! Kling!
"Fix, spam chat dari makhluk yang urat malunya sudah putus," wajah Arfa berubah menjadi dingin. Dia menyambar ponselnya, memblokir nomor Mei yang kelima. Kelima? Ya. Mei selalu berusaha menghubungi Arfa bagaimanapun caranya.
"Aku akan segera ganti nomor telepon setelah ini," ujar Arfa bergumam kesal.
Arfa menatap layar ponselnya serius ketika sebuah suara notifikasi ponselnya berubah mengerikan, mengagetkannya. Membuatnya refleks melempar ponselnya keluar jendela, membuat ponsel malang itu jatuh dari lantai dua yang merupakan letak kamarmya.
"Nggak apa, nggak apa.. Aku harus sabar," berkata sambil mengelus dada.
Arfa mendekatkan kepalanya ke dinding, mulai membenturkan kepalanya ke dinding, "Hari yang melelahkan.. Menyebalkan.." ujar Arfa berkomat-kamit tidak jelas.
•~•~•~•~•
Udara dingin menusuk seluruh tubuh Rae, membuatnya terbangun, mengusap wajahnya kasar, membuka mata. Mata lebarnya mengerjap, mendapati hari sudah gelap.
"Jam berapa ini?" gumam Rae dengan suara serak karena bangun tidur. Dia menyambar ponselnya, menyalakannya sebentar, "Setengah delapan malam? Sungguh? Ugh, aku sepertinya melupakan sesuatu," gumam Rae tak jelas sambil memijit pelan pangkal hidungnya.
Kling! Kling! Kling! Suara notifikasi ponsel membuat Rae menghentikan gerakan tangannya yang memijit pangkal hidungnya. Rae dengan segera memeriksanya.
My Family
Ibu
Ibu malam ini datang ke apartemen yang kau sewa. Ayah sudah mengurus apartemenmu. Malam ini kau sudah bisa pulang tanpa harus mengurus apartemenmu itu. Kamarmu sudah dibereskan Bibi. Ibu mau kau sudah siap saat ibu datang.
Ibu
Jika belum siap, awas saja.
1 detik..
2 detik..
3 detik..
Mata Rae terbelalak, mengingat bahwa malam ini dia sudah diwajibkan ayahnya kembali ke rumah setelah sekian lama dia tak pulang. Beberapa hari setelah kembali dari London, Rae memang iseng menyewa apartemen dan tinggal di sana. Ayahnya sama sekali tak melarang, hanya saja hari ini dia sudah harus kembali.
"Gimana hal sepenting ini gue bisa lupa?!" pekik Rae panik, berusaha secepat mungkin berkemas. Namun barus saja berkemas sedikit, ketukan pintu dan suaara ibunya sudah terdengar di depan, membuat Rae terpaksa segera membuka pintu, hanya bisa memasang cengiran terbaiknya.
Terdengar hembusan nafas berat ibunya, "Ibu tahu kau belum selesai berkemas."
Rae hanya bisa nyengir. Setengah jam kemudian, Rae dan ibunya sudah dalam perjalanan ke rumah disertai omelan dari Ibu Rae yang kesal.
Selama perjalanan, Rae tak berhenti mendengar suara ibunya. Tak sampai di sana, saat kakinya baru saja menginjakkan kaki di halaman rumahnya, dia merasakan aura ayahnya yang memancar kuat, membuatnya lagi-lagi hanya bisa nyengir ketika melihat ayahnya berdiri di depan pintu sambil bersidekap dengan wajah kusut.
Jadilah semalaman Rae hanya mendengar siraman rohani dari orang tuanya.
•~•~•~•~•
Arfa menunduk, tak berani mengangkat wajahnya, diam mendengarkan kedua orang tuanya bicara. Sore ini Arfa membuat 'masalah' lagi. Seakan tanpa membuat masalah tubuhnya terasa tak hidup.
Sebenarnya Arfa tak membuat masalah yang serius, dia hanya iseng mencampurkan berbagai cairan di laboratorium pribadinya. Membuat sebuah cairan yang dapat melubangi benda-benda tertentu.
Sialnya tanpa sengaja Arfa menumpahkannya ke lantai, membuat keramik itu berlubang.
"Huft, besok lebih berhati-hati, okey?" kata orang tua Arfa mengakhiri ceramah dadakan mereka.
Arfa mengangguk lemah. Orang tuanya beranjak pergi ke kamar, meninggalkan Arfa yang akhirnya beranjak ke kamarnya, merebahkan diri di kasur.
•~•~•~•~•
"Hah.. Hari yang panjang..," keluh lima orang secara bersamaan di tempat yang berbeda, merebahkan diri masing-masing di kasur masing-masing.
Otak mereka menerawang jauh hingga ke satu pikiran yang sama, "Apa Hoshi sungguh tidak mengalami kesialan? Hoshi... Dia pasti sedang tidur dengan tenang di kasurnya tanpa beban.."
Sekali lagi lima orang itu menghembuskan nafas, beranjak tidur.
•~•~•~•~•
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro