Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4 | Rumaisha

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

***

Tidak seperti hari-hari sebelumnya, kali ini Rumaisha berjalan sendirian tanpa ditemani oleh Gilang. Pria itu sedang sibuk mengolah nilai anak didiknya di sekolah sehingga tidak bisa menemani. Rumaisha hanya mengiyakan saja, toh sebelum mengenal Gilang, gadis itu sudah sering jalan sendirian, meski kadang Ratu atau Laura ikut jika tidak sibuk.

Walaupun ia sudah bertekad untuk tidak bermain hati—padahal ia ketar-ketir menghadapi hatinya yang berdebar keras—tetap saja ada perasaan yang kurang ketika pria itu tidak datang. Karena kehadiran Gilang mengubah dirinya yang pendiam menjadi sedikit lebih cerewet ketika mereka bersama.

Nada dering pada ponselnya terdengar, membuat Rumaisha yang tadi sempat melamun kembali kea lam sadar. Ia mengangkat panggilan tersebut.

"Halo. Ada Ra—"

"MAAAI! LO ADA DI MANAAA?"

Rumaisha menjauhkan sedikit ponsel dari telinganya begitu teriakan nyaring Ratu ditelepon yang bisa saja kalau dibiarkan dekat, berefek pada gendang telinganya yang pecah.

Hiperbola kamu, Mai!

"Lagi jalan, Ra. Ada telpon?"

"GUE PUTUS, MAAAI! HIKS. NGGAK MAU TAU POKOKNYA LO KE KOSAN GUE SEKARANG."

Tut.

Sambungan diputus seketika membuat Rumaisha berdecak kesal. Seenak udel si Ratu ini menyuruhnya ke kos mentang-mentang ia pengangguran.

Memang Ratu ini sudah bekerja walau hanya menjadi resepsionis di salah satu perusahaan. Cukup bagus bagi Ratu meski hanya menjadi resepsionis dan keluarganya juga tidak mempermasalahkan itu.

"Mendapat pekerjaan bagus pasti dimulai dari tingkat yang rendah. Seperti resepsionis, misal. Siapa tahu beberapa tahun yang akan datang, gue bisa jadi manajer. Memang membutuhkan usaha ekstra. Kecuali kalau gue itu kayak lo, yang begitu gue lulus bisa langsung jadi direktur di perusahaan keluarga Hartono."

Perkataan Ratu saat itu memang ada benarnya. Namun Rumaisha harus menggeram kesal ketika keluarga papa angkatnya kembali diungkit.

"Dapat dipastikan hal itu nggak akan pernah terjadi karena toh buktinya gue udah bukan lagi bagian dari Hartono."

Setelahnya mereka sempat berdebat kecil, seperti layaknya persahabatan pada umumnya. Ratu memang kadang kurang peka kalau ia begitu membenci keluarga Hartono, sehingga jika tanpa sengaja gadis itu menyinggungnya dalam pembahasan mereka, tetap saja bisa menyebabkan pertengkaran kecil.

Rumaisha membuka pintu kamar kos Ratu dengan kunci duplikat yang Ratu kasih kepadanya sejak hubungan mereka berubah dari teman menjadi sahabat. Walau begitu ia tetap tahu etika bertamu, yaitu mengetuk pintu terlebih dahulu. Kalau dalam situasinya saat ini yaitu hanya memberi tahu pada Ratu jika dirinya sudah datang.

Tanpa ba-bi-bu, Ratu langsung berlari memeluknya kencang sambil menangis.

"BRENGSEK, DION! DASAR LAKI-LAKI NGGAK BISA YANG NGGAK BISA JAUH DARI NAFSU!"

Berbagai makian Rumaisha coba dengar ketika sahabatnya itu menggiring ke kasur. Meluapkan semua kekesalannya.

"Gue kira, orang ganteng kayak dia tulus pacaran sama gue yang cantik-cantik miskin."

Emang dasar Ratu, lagi marah saja masih sempat narsis.

"Iya terus? Dia ternyata nggak tulus? Mau tubuh lo doang?"

"IYA, MAI!" Dengan semangat membara Ratu menyahut. "Awalnya di kening dan pipi. Kedua hal itu masih bisa gue tolerir waktu di awal pacaran. Gue pikir itu hal yang lumrah. Ternyata tadi dia datang ke rumah, Mai. Hiks. Gue ... untung ada Tuhan, Mai. Tuhan masih hiks baik sama gue. Berduaan di kosan, dengan kondisi dia yang memaksa untuk mencium bibir dan melecehkan lebih jauh, gue berhasil teriak sehingga tadi anak kos lain pada datengin Dion."

Rumaisha yang mendengar Ratu bercerita sambil menangis sedikit prihatin. Ia pun juga merasakan emosinya memuncak mendengar cerita sahabatnya.

Hingga sampai satu jam kemudian, Ratu akhirnya jatuh tertidur dengan wajah sembab dan lelah karena sedari tadi meluapkan amarah sambil menangis.

Gadis yang kini tengah mengusap lembut rambut legam Ratu sedikit memikirkan cerita sahabatnya tadi.

Bagaimana kalau ternyata Gilang juga sama seperti Dion? Ngakunya serius, namun ternyata sebelum ke tingkat lebih lanjut pria itu hanya menginginkan tubuhnya?

***

Sebelum pulang dari kosan Ratu, Rumaisha sempat menyiapkan bubur serta air hangat dan buah-buahan segar untuknya. Ia juga menulis secarik kertas mengenai kepamitannya karena meskipun Laura gila kerja untuk menghidupi kebutuhan mereka, Laura tetap khawatir jika anaknya belum ada di rumah waktu isya.

Beda cerita jika dengan Gilang, pria itu pasti minta izin dulu jika hendak membawa keluar Rumai hingga malam. Karena urusan dengan Ratu hari ini kan termasuk dadakan dan ia belum sempat kabari mama angkatnya.

Ia berjalan dengan pikiran kosong.

Kakinya memang melangkah, menapaki jalan menuju rumahnya. Namun pikirannya tidak bisa berpikir jernih karena asumsinya sehabis mendengar cerita Ratu tadi.

Pria dan nafsunya.

"Mai! Rumai!"

Ia merasa namanya dipanggil oleh seseorang. Tapi ia pikir mungkin saja ada pula pejalan kaki yang namanya bernama Rumai, sehingga yang dimaksud bukanlah dirinya.

"Rumaisha, yang pakai sweater kuning!"

Eh, bukankah itu dirinya? Ia saat ini memang memakai kaos putih lengan pendek yang dilapisi sweater kuning. Mau tidak mau Rumaisha menoleh dengan sedikit malu karena dipanggil dengan seperti itu.

Ia tidak percaya ketika matanya beradu pandang dengan seorang gadis bercadar, yang sudah dapat dipastikan itu adalah Aisyah. Ia sedang bersandar di depan mobil berwarna hitam.

Aisyah dari balik cadarnya terkekeh ketika ia berhasil membuat Rumaisha menghampirinya dengan wajah sedikit ditekuk.

"Harus banget manggil dengan embel-embel 'yang pakai sweater kuning', Ai?"

"Habis tadi dipanggil nggak nengok."

"Bisa jadi kan yang namanya Rumaisha di sini bukan aku saja, Ai. Ada banyak pedestrian yang lewat dan tidak menutup kemungkinan jika ada yang nama atau nama panggilannya 'Mai' atau 'Rumai'."

"Hahaha, pemikiran kamu ini ada-ada aja. Eh iya lupa. Assalamu'alaikum, Rumaisha. Alhamdulillah Allah mempertemukan kita lagi," kata Aisyah menjabat tangannya.

Rumaisha sedikit kikuk menjawab salam Aisyah. "Wa'alaikumsalam. Iya ummm ... alhamdulillah."

"Kamu lagi apa di sekitar sini, Mai? Malam-malam nggak baik loh bagi seorang perempuan berada di luar kalau nggak ada yang nemenin."

"Ah, udah biasa kok," elak Rumaisha. "Lagian kamu juga di sini sendirian. Kamu di pondok kan seharusnya?"

Aisyah mengangguk. "Aku ada kajian ditemenin calon ipar. Karena dia sendirian di rumah, jadilah aku disuruh nginap. Sekarang lagi nungguin dia belanja tapi aku malas banget. Daripada di mobil, masih parno sama film hantu yang ada setan di dalam mobil, aku jadi nunggu di luar."

Rumaisha tertawa mendengarnya.

"Jadi kamu tadi ke sini sama calon kakak iparmu? Nggak sama Habibah atau bang siapa itu namanya?"

"Bang Azzam?"

"Nah, iya. Bang Azzam."

"Si abang nganter aku tadi pas berangkat kajian, kalau calon kakak iparku yang ternyata tinggal di sini tiba-tiba nyusul. Aku aja baru tau kalau dia anak sini. Akhirnya abis kajian abang pulang sendirian ke pondok. Kalau Habibah lagi sakit."

Rumaisha tampak melongo mendengar penjelasan lebar Aisyah. Ia pikir Aisyah adalah tipe orang pendiam dan tidak cerewet.

"Eh? Kenapa, Mai? Maaf ya aku cerewet, hehe. Kalau di awal kan aku masih pendiam karena masih sedikit canggung. Sekarang kan kita berasa akrab dan udah kenal lama, makanya 'kecerewetan'ku keluar sendirinya."

Tawa keluar pada akhirnya. Rumaisha tidak habis pikir bahwa ternyata Aisyah dan segala kecerewetannya adalah hal yang lucu.

Ia pikir perempuan yang bercadar adalah orang yang anggun, sedikit pendiam, karena menjaga lidah supaya tidak berkata hal-hal yang tidak bermanfaat atau buruk. Ya, biasanya kan orang-orang jenis ini dipikiran Mai adalah orang yang alim banget.

Menunggu calon kakak ipar Ai yang ternyata sering dipanggil Mba Kinan terasa cukup lama sehingga keduanya memutuskan untuk larut dalam obrolan panjang.

"Oh, ya. Menurut kamu, Ai, apa memang benar ya laki-laki itu kalau berhubungan dengan perempuan umm maaf, nafsunya semakin di depan?"

Aisyah terkekeh kecil. "Kayak iklan motor aja 'semakin di depan'.

"Ish, aku serius, Ai," kata Mai sedikit merajuk.

"Kamu tahu ayat yang berbunyi 'laa taqrobuzzinaa innahu kaana faahisyah'?"

Ia menggeleng.

"Dalam surat Al-Isra ayat 32, sudah jelas maksud Allah kepada hamba-hambaNya, 'janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya itu adalah perbuatan keji'. Mendekati saja tidak boleh apalagi melakukannya," jelas Aisyah sembari tersenyum. "Kalau mereka sudah menikah, maka apa yang terjadi selanjutnya menjadi ibadah. Namun jika laki-laki dan perempuan itu belum menikah, maka jangan salahkan ketika peluang awal perempuan itu membolehkan hanya sekedar gandeng tangan atau kecupan di kening, berlanjut di bibir dan naudzubillah ke bagian tubuh lainnya. Hingga terjadilah sesuatu itu yang bernama 'zina'. Setan setelahnya akan tertawa bahagia karena berhasil memperdaya anak adam yang dimabuk cinta tanpa ikatan sah."

Hatinya seolah tertampar mendengar penuturan Aisyah. Padahal di depan gadis itu, ia bertanya seolah hanya pertanyaan iseng yang diambil dari cerita Ratu. Namun jawaban gadis itu bukan hanya menjadi jawaban atas apa yang terjadi pada sahabatnya, tapi juga membuat akal sehatnya berpikir akan hubungan yang ia jalani saat ini dengan Gilang.

"Ketika islam datang, ia memperlakukan kaum hawa dengan begitu istimewa. Mereka yang belum mengenal islam secara kaffah akan menganggap perintahNya ribet dan seolah mengekang kebebasan. Namun justru itulah cara Allah mencintai, melindungi, dan mengangkat derajat kita—para perempuan," nasihat Aisyah. "Jadi cukuplah menjaga diri sesuai syari'at. Jangan berikan peluang para lelaki untuk mengotori izzah kita, Rumaisha. Maaf ya jika jawabanku terlalu panjang."

"Eh?" Rumaisha mengangguk kaku. "Iya tidak apa. Terima kasih atas jawabannya. Kalau begitu umm ... aku pulang dulu deh, Ai."

"Loh? Nggak mau diantar aja? Aku bisa bilang sama Mba Kinan. Lagi pula ini udah semakin malam."

Kepala Rumaisha menggeleng sebagai jawaban. Gadis itu juga tersenyum untuk meredakan kekhawatiran Aisyah. "Rumah aku udah nggak begitu jauh dari sini. Orang komplek yang ngeronda juga pasti bakal jagain cewek cantik kayak aku lah," guraunya sedikit membuat Aisyah tertawa.

"Hati-hati."

"Selamat malam," salamnya yang dibalas dengan perkataan serupa. Namun ditengah jalan Rumaisha merutuki kebodohannya karena seharusnya ia mengucap 'assalamu'alaikum' bukan 'selamat malam' sebagaimana sesama muslim pada umumnya.

Gadis itu merasa seperti baru belajar agama yang dianutnya saja. Ia bahkan tidak terbiasa menggunakan salam yang dilakukan agamanya itu.

***

الْحَمْدُ للَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْن    

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro