Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13 | Rumaisha

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ   

***

Aisyah menghampiri Rumaisha ketika gadis itu baru saja selesai dari ujian iqro' yang diuji oleh Dzah Iyah.

Setiap kenaikan dari iqro sebelum ke tingkatan berikutnya memang diadakan ujian terlebih dahulu. Seperti ujian lisan maupun ujian tulis atau imla', yaitu muridnya akan menulis apa yang didiktekan pengujinya. Untuk yang baru belajar iqro' seperti Rumaisha, tentu saja imla'nya hanya seputar huruf-huruf hijaiyah yang sudah ia pelajari. Dalam satu kalimat masih terdiri tidak lebih dari tiga sampai empat kata.

"Mai, kamu tau kan kalau sebaiknya kalian tidak mengulur waktu pernikahan? Terlebih hampir tiap hari abang dan kamu bertemu walau hanya saling lihat sekilas."

Rumaisha terdiam dan menunduk. "Ai, kamu tau sendiri aku masih takut untuk—"

"Abang membatalkan pernikahannya dengan Kinan dan tak lama kemudian melamarmu. Apa kamu tidak kasihan dengan abang karena harus menunggu sampai kamu siap memberi tahu orang tua angkatmu? Sampai kapan, Mai?"

Sungguh, Aisyah sama sekali tidak bermaksud untuk mengungkit batalnya pernikahan Azzam dengan Kinan. Namun ia juga tidak mau membiarkan abangnya terlarut dalam zina hati karena rasa cintanya yang belum halal untuk seorang Rumaisha.

Melihat Rumaisha yang tampak merasa bersalah membuat Aisyah tidak enak hati. Bagaimana pun mereka adalah teman yang tidak lama lagi akan menjadi ipar.

"Maaf, Mai. Aku sama sekali nggak bermaksud—"

"Mai paham, Ai. Apa yang tadi Ai sampaikan memang benar. Tapi Mai takut, Ai, nenek Mary akan memaksa untuk menikah dengan Gilang serta meminta restu papa Bayu yang sudah bahagia dengan keluarganya. Bagaimana bisa Mai lihat mama Laura dan papa Bayu berada dalam satu barisan keluarga nanti ketika kami menikah. Itu sama saja menyakiti hati mama Laura. Mai nggak ingin hal itu terjadi. Apalagi Mai hanya anak angkat. Mai tidak perlu mereka untuk—"

"Astaghfirullahal'adzim. Istighfar, Rumai. Istighfar. Kamu memang nggak terlahir dari rahim mama Laura, tapi mereka orangtuamu. Walau nanti yang menjabat tangan abang adalah wali hakim, mereka berhak tahu dan menyaksikan pernikahan kalian."

Rumaisha terdiam.

"Mai. Luruskan niat. Kamu kembali menemui mereka bukan hanya memberitahukan niat baik bang Azzam. Tapi kamu juga memberi kabar sekaligus membantu mendo'akan supaya kamu tetap istiqamah di jalan hijrahmu."

Jemari mungil Rumaisha menyentuh perlahan telapak tangan temannya, "bantu Mai, ya, Ai."

"Tenang aja, Mai. Bukan aku, tetapi Allah yang ikut membantu serta menguatkanmu, hambaNya, dalam menyelesaikan permasalahan. Ingat, Mai. Allah tidak akan memberikan ujian melainkan ia yakin hambaNya itu mampu," ujar Ai bijak dan tersenyum, lantas memeluk Rumaisha setelahnya yang sudah menangis.

***

Sebuah mobil telah dipersiapkan untuk kepergian keluarga besar Azzam menuju tempat di mana Rumaisha tinggal. Abah duduk di sebelah putranya yang menjadi pengemudi saat ini. Sementara Rumaisha duduk diapit oleh Aisyah dan umi Ratna di belakang kemudi.

"Nggak sempit, kan, mi? Atau abah bawa mobil sendiri?"

"Nggak, abah. Anak dan calon mantumu kurus-kurus," jawab Ratna disusul kekehan setelahnya.

"Sebelum berangkat, kita sama-sama berdo'a dulu. Semoga Allah memperlancar niat baik kita pada hari ini."

Do'a dipimpin langsung oleh abah, sementara yang lainnya menelengkupkan kedua tangan dan mengucap 'aamiin' ketika do'a selesai.

"Abang masih ingat daerah di mana Ai menemukanmu saat itu, Mai. Apa rumah kamu tidak jauh dari situ?"

Rumaisha menggeleng. "Saat kabur, Mai sengaja memilih tempat yang jauh dari rumah," ringisnya ketika mengingat kesalahan yang ia lakukan dahulu, kabur ke tempat sarangnya maksiat dilakukan, kelab malam.

"Itu hanya masa lalu, Mai." Ratna mengusap lengan gadis itu yang sepertinya merasa menyesal. "Lihat saja ke depan. Di sana ada masa depanmu."

"Umi, bisa aja godain anaknya, hahaha."

Abah dan Aisyah tertawa mendengar ucapan umi Ratna, sementara yang digoda hanya terdiam menahan malu.

Mereka berdua sama sekali tidak ada yang saling lirik. Azzam berdehem untuk mengalihkan suasana dan Rumaisha menunduk dengan senyum malunya.

Dalam hatinya, Azzam mengucap hamdalah. Di awal mungkin uminya terlihat tidak begitu menyukai Rumaisha, namun kini, melihat uminya yang bahkan sudah menggoda gadis itu, Azzam yakin umi telah sepenuhnya merestui niat baik mereka berdua.

***

Rumah besar tersebut tampak suram seperti tidak terurus dan terasa hampa. Dua orang manusia dewasa yang tinggal di dalamnya pun juga jarang saling tegur sapa.

Bayu dengan usahanya merawat Laura—yang terkadang dibantu Ratu—tidak pernah mendapat tanggapan lebih dari satu kata ketika ia bertanya. Hanya ada kata 'ya', 'tidak', serta isyarat seperti gelengan, anggukan, atau kedua bahu yang terangkat sebagai respon.

Pria itu menyadari, memang tidak pernah ada kesempatan untuknya menebus kesalahan pada wanita yang sampai saat ini masih ia cintai.

Yang terpenting, Tuhan sudah begitu baiknya memberi ia kesempatan untuk berada di dekat Laura meskipun dekat karena kejadian yang menimpa putri mereka.

"Om Bayu!" panggil Ratu dengan suara khasnya yang begitu cempreng, kini semakin memekakkan telinga karena nadanya naik, khas orang sedang bahagia.

"Ssst, kecilkan suaramu. Ada apa?"

Bayu yang baru selesai menyuapi mantan istrinya makan hingga kini ia tertidur lelap sudah beranjak dari kursi.

"Ada Rum—"

"Pa—pa?" suara Rumaisha tercekat begitu ia menghampiri sahabatnya yang sedang mengobrol dengan pria tua. Terkejut karena yang ia lihat pertama kali adalah papanya, bukan sang mama.

"Rumaisha?"

Tidak kalah terkejutnya, Bayu menatap penampilan Rumaisha yang begitu berbeda dengan mata berkaca. Belum sempat tangannya merengkuh tubuh putrinya untuk melepas rindu dan mengucap maaf, serombongan keluarga Azzam datang dan tersenyum.

"Assalamu'alaikum Pak Hartono."

Tergagap, mulut Bayu yang lebih sering membalas sapaan 'selamat pagi, siang, sore, ataupun malam' kini mengucap "wa—wa'alaikumsalam."

"Boleh saya dan keluarga berbicara sebentar dengan bapak?"

Bayu yang merasa tidak asing dengan wajah pemuda di hadapannya mengangguk kaku. "Si—silakan. Mari kita ke ruang tamu."

***

Rumaisha menemani Laura yang tampak lebih kurus dari terakhir kali ia lihat. Ratu pun menemani di sebelahnya.

"Gue nggak nyangka, Mai."

"Apa?"

Sahabatnya menatap lekat mata Mai. "Sikap, tutur kata, bahkan penampilan lo. Semuanya berubah. Di sebelah lo, gue jadi merasa hina banget."

"Hush, kamu ngomong apa sih, Ra?"

"Tuh kan. Gue ... gue jadi sungkan. Kayak gue itu penuh dosa banget loh, Mai. Lihat baju gue yang masih kebuka kayak gini. Berbanding terbalik sama errr—apa sih namanya?"

"Gamis."

"Iya, gamis. Gimana reaksi Gilang dan si nenek lampir kalau lihat lo kayak gini?"

Rumaisha terdiam. "Lupakan Gilang, apalagi ibunya papa. Aku nggak ingin mengungkit nama mereka lagi, Ra. Mereka ... menakutkan. Seperti berambisi untuk menggapai semua keinginannya."

"Tapi dari yang gue lihat beberapa hari ini, Gilang sepertinya emang tulus sama lo, Mai. Cuman cara dia aja yang salah dengan mengikuti permainan nenek lampir kesayangan bokap lo. Gue rasa, dia benar-benar jatuh cinta dan merasa bersalah sama lo. Dia sampai nyari-nyariin kabar mengenai keberadaan lo, Mai."

"Tapi ... aku nggak bisa, Ra. Aku akan maafkan dia, tapi bagaimana pun Gilang pernah menyakiti aku dibalik rasa sayangnya. Dia sama kayak bokap, mau dijadikan alat oleh nenek tua itu. Dari awal dia sudah mengawali dengan kebohongan yaitu pura-pura tidak mengenaliku. Sedang ternyata itu hanyalah kerjaan seorang Mary Hartono. Bagaimana aku harus melanjutkan benang merah sedang diawal saja sudah ada kebohongan dan ambisi dalam hubungan ini?"

Ratu terdiam.

"Ra, aku nggak mau lagi jalani hubungan seperti itu. Dan aku bersyukur, dalam perjalanan hijrahku ini, ada seseorang yang bersedia membimbingku. Dia memberi aku kepastian melalui cara yang baik, berbeda dengannya. Dan ia langsung memintaku untuk bertemu dengan bokap, meskipun dalam keadaan aku yang kabur dari rumah."

Rumaisha tersenyum dan memeluk Ratu.

"Kamu cantik, Ra. Lebih cantik lagi kalau rambut serta tubuh indahmu dibalut kerudung serta baju panjang."

"Rumai, gue masih—"

"Selagi Allah masih mengizinkanmu bernapas di dunia, maka terbentanglah pintu taubat bagi hambaNya. Hijrah bareng-bareng, Ra, biar kita jadi sahabat nggak hanya di dunia ini, tetapi juga di akhiratnya nanti, insyaaAllah."

"Rumaaai, gue malu."

Isak tangis tidak lagi dapat dibendung Ratu ketika mendapat siraman rohani dari sahabatnya. "Pelarian itu membuat lo kembali ke jalan Tuhan yang lurus. Mendengar perkataan lo tadi, gue malu karena bisa-bisanya gue sempat berpikir karena perubahan itu membuat kita nggak lagi sama." Ratu mengusap sudut matanya. "Berubah banyak lo, ya. Curang. Ajarin gue ya, Mai. Supaya Tuhan mau nyatuin kita bareng-bareng di surga nanti."

***

الْحَمْدُ للَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْن

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro