Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11 | Rumaisha

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

***

Azzam seperti merasa disidang tatkala ia duduk di hadapan kedua orang tuanya. Sedang Ai, ia hanya diam-diam mendengarkan percakapan mereka dari luar ruangan.

"Jadi apa kamu tahu Rumaisha ini siapa, bang?" tanya abi langsung, tanpa basa-basi.

"Rumaisha adalah teman kecil abang, bi. Dia dari panti yang sama sebagaimana dulu abang tinggal dan sudah seperti adik sendiri."

Umi Ratna menghela nafas berat. Ketika berbicara mengenai panti, rasanya ia ingin kembali mengulang waktu untuk menebus kelalaiannya dahulu.

"Tapi, bagaimana bisa ia menjadi teman Ai kalau dia merupakan temanmu yang di panti dulu? Abang, adikmu bahkan baru menemui setelah 15 tahun kalian berpisah."

"Rumai pernah menolong Ai saat itu, mi. Mungkin dari situlah awal mereka bertemu hingga dekat seperti saat ini."

"Menolong Ai? Apa yang terjadi sama adikmu saat itu?" tanya umi Ratna khawatir. "Kenapa umi tidak tahu apapun?"

Pria itu menghela nafasnya pelan sebelum bercerita pada Ratna mengenai Ai yang dikira teroris dan hampir mendapat perlakuan kekerasan serta dipaksa untuk membuka kerudung serta cadarnya.

"Ai bilang, saat itu ada seorang gadis yang menolongnya dan meyakinkan bahwa Ai dan Habibah bukanlah teroris. Maaf baru abang jelaskan, mi. Karena abang dan Ai sepakat tidak bercerita karena tidak ingin umi dan abi khawatir."

"Dari ceritamu, ia terlihat seperti gadis yang kuat dan pemberani, bang. Apa yang membuat ia sampai seperti ini? Abi rasa, ia memiliki masalah di dalam keluarganya."

Azzam menggeleng. "Abang juga tidak tahu. Ketika Rumaisha diadopsi oleh keluarga Hartono, abang lihat sendiri bagaimana wajah mereka yang terlihat tulus menyayangi Mai dan menganggap seperti anak sendiri. Yang abang tahu, Mai hanya memiliki masalah dengan pengganti dari ibu panti yang merupakan kakaknya serta tidak ada anak panti yang ingin bermain dengan dia," jelasnya.

"Umi rasa Mai memang perlu banyak bimbingan, bi. Dari yang umi lihat, sepertinya saat itu keluarganya tidak begitu mengajarkan mengenai ilmu keagamaan. Ia terlihat hampa dan ketika ada masalah menghampiri, hatinya tidak tenang karena ia hanya mengadu pada manusia."

Kepala pria itu mengangguk membenarkan.

"Gadis itu memang perlu bimbingan. Tapi apakah perlu kita mengorbankan pernikahan Azzam dan Kinan, mi? Abi rasa tidak," tegas pria yang sudah memasuki kepala 6 itu. "Apa yang akan abi katakan pada keluarga Haji Ramli kalau sampai kita membatalkan pernikahan mereka yang tinggal satu minggu lagi, mi."

"Abi, umi tidak bermaksud untuk membatalkan pernikahan mereka. Umi hanya sampaikan kalau Rumaisha perlu seseorang yang dapat membimbingnya."

"Tapi tadi umi cerita kalau Rumai ingin dibimbing oleh anak kita?"

Azzam berdehem pelan, memecah keributan kecil orang tuanya membuat Ratna dan suami terdiam.

"Boleh Azzam bicara, mi, bi?"

Mereka mengangguk. "Silakan, bang."

"Pernikahan abang dengan Kinan insyaaAllah akan tetap lanjut. Dan mengenai Rumaisha, abang bisa bantu bimbing walaupun tidak secara intens dengannya. Bagaimana pun, Mai sudah seperti adik abang sendiri. Abang sayang dengannya karena Allah, sejak dulu. Sejak Mai masih dikucilkan di panti hingga abang bertemu lagi saat ini. Mungkin Allah mempertemukan kami kembali supaya abang turut membantu dalam perjalanan hijrah Mai dan menuntunnya menemukan kebahagiaan yang hakiki. Kebahagiaan ketika ia dapat mengenal dan mencintai agama serta penciptanya."

Pimpinan pondok pesantren itu menghela nafasnya dan menatap sang putra. "Kamu betul Azzam. Tapi kalau seperti itu, apa tidak sekalian saja kamu nikahi dia? Membimbing seseorang yang bukan mahram akan sulit meskipun seperti yang kamu katakan tadi, tidak secara intens."

"Abi—"

"Cobalah istikharah, Zam. Dan abi yakin Kinan sampai saat ini pun masih terus istikharah sampai hari pernikahannya. Meskipun abi tetap ingin berbesan dengan sahabat terdekat abi, namun bukankah Allah tahu mana yang terbaik untukmu dan Kinan?"

***

"Kamu tidak perlu menungguiku terus menerus. Kaella dan anak-anakmu butuh kehadiranmu di rumah."

Laura berbicara tanpa menatap wajah Bayu sama sekali yang kala itu baru selesai mandi.

"Aku akan tetap di sini. Keadaanmu masih belum membaik, Ara."

Wanita itu menggeram ketika Bayu masih berani memanggilnya dengan panggilan kesayangan Bayu untuknya dulu. "Aku bukanlah Ara, tapi Laura. Sejak kamu menjatuhkan cerai. Sejak ibu kesayanganmu mengusirku dan Mai pergi dari kehidupan kalian."

Kakinya memilih untuk melangkah pergi ke dalam kamar Rumaisha dan mengunci pintunya. Diambilnya bingkai foto yang rupanya masih disimpan anaknya, foto pertama mereka bertiga usai dirinya dan Bayu resmi mengadopsi Mai.

"Ara ... tolong buka pintunya. Ada yang ingin aku katakan padamu."

Suara Bayu terdengar diiringi dengan ketukan pintu beberapa kali namun Laura tetap mengacuhkannya. Ia tidak ingin mendengar kalimat apapun dari Bayu, karena ia takut. Takut jika bunga dalam hatinya yang tadi sudah layu—atau bahkan telah mati—kini tumbuh kembali.

"Ara, maafkan ibuku dan aku terutama, Sayang. Sampai saat ini pun Kaella masih belum bisa menghapus bayang-bayangmu. Aku bersumpah, Ara. Tolong bukakan pintu ini terlebih dahulu dan aku akan menjelaskan semuanya."

Laura memejamkan matanya dan menangis.

Rumai, pulanglah, nak. Tolong kuatkan mama untuk berdamai dan menutup pintu hati dengan papamu.

***

Aisyah mengusap pergelangan tangan Rumaisha lembut yang kini sedang dikelilingi oleh ustadzah Iyah dan teman-temannya.

"Rumaisha masih semangat untuk belajar, kan?" tanya dzah Iyah.

Kepalanya mengangguk pelan.

"Kalau begitu, ayo bangkit, Sayang. Allah tidak suka melihat hambaNya berputus asa seperti ini sedang Dia merupakan penolong segala masalah. Setelah Rumaisha sehat, sama-sama kita belajar kembali mengenalNya serta agama ini, ya."

"Mai ingin dibimbing juga oleh bang Wildan. Apakah boleh, ustadzah?"

Dzah Iyah terdiam. Ia tidak mengenal Wildan, namun setelah diberi kode oleh Ai bahwa Wildan yang dimaksud adalah kakaknya, ustadzah Iyah tersenyum.

"Boleh, shalihah. Rumaisha boleh dibimbing oleh bang Wildan namun tetap ditemani oleh ustadzah, Ai, dan teman-teman barumu, ya. Seperti yang ustadzah katakan tadi, kita belajar bersama-sama."

Tok tok tok

Pembicaraan terhenti ketika pintu diketuk beberapa kali.

"Assalamu'alaikum, Ai. Abang masuk, ya?"

"Wa'alaikumsalam. Eh, tunggu-tunggu jangan dulu, bang."

Ai memberi waktu sebentar untuk teman-temannya memakai kembali kerudung serta cadar mereka. Ustadzah Iyah pun juga turut memakaikan dengan perlahan pashmina untuk menutupi rambut legam Rumaisha.

"Sudah, bang."

Pintu terbuka tidak lama setelah perkataan Aisyah yang mempersilakan masuk abangnya. Ustadzah Iyah serta teman-temannya menyapa Azzam lebih dulu sebelum sedikit menyingkir untuk memberi ruang bagi abang dan adik tersebut serta Rumaisha berbicara.

Azzam tampak menarik nafas dalam sebelum akhirnya suaranya yang lembut memecah keheningan. "Bismillahirrahmanirrahim. Apakah Mai mau menikah dengan abang?"

***

الْحَمْدُ للَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْن

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro