Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 4 - LEBAR - AN

Bab terakhir ya guys.
Semoga next judul bisa lebih menghibur


---------------------------------------------------------------------

Merasa bersalah setelah mendapatkan pertanyaan dari Abel saat dimobil tadi. Walau jawabanku hanya mengangguk saja, namun sepertinya dia tahu aku tidak menyiapkan apapun untuk ibunya, selain kue hampers yang sudah kupersiapkan dari hari kemarin.

Akh, rasanya kalau tahu begini aku tidak akan menambahkan THR apapun untuk mamaku. Tapi kan masalahnya, kalau ingin memperdebatkan ini, kedua anakku, Agil dan Phyra, setiap harinya berada di rumah orangtuaku. Yah, walau di rumah itu, mama dan papaku dibantu oleh bibi yang membantu membersihkan rumah, dan memasak, namun tetap saja kedua orangtuaku mencurahkan semua perhatiannya untuk menjaga dan mengawasi ke 7 cucunya. Walau memang tidak hanya anakku saja yang mereka jaga, namun jika dibandingkan dengan mama mertuaku, dia tidak melakukan apapun untuk kedua anakku setiap harinya. Jadi harusnya wajar saja jika aku tidak memberikan THR lebih kepadanya.

Akan tetapi, saat turun dimobil, dan melihat dia menyambut kedatangan kami, terutama kedua cucunya, rasa bersalah seketika muncul dihatiku. Walau memang dia tidak menjaga anak-anakku setiap harinya, tetapi dia tetap nenek dari mereka.

Dan bukan mau mama mertuaku tidak menjaga kedua cucunya setiap hari di rumah, akan tetapi aku yang tidak mempercayai anak-anakku dirawat olehnya.

Jadi kupikir, dia tidak salah sedikitpun. Aku yang memang sejak awal membatasi interaksi kedua anakku dengan dia. Bahkan jarak rumah kami yang tidak sampai 30 menit sampai saja, masih bisa kuhitung dengan jari, berapa kali kunjungan kami dalam setahun ke rumah ini.

Hanya bisa tersenyum pahit, aku mengutuk sikapku sendiri. Nyatanya kalau dipikir-pikir banyak sekali kesalahan yang kulakukan kepada mama mertuaku. Padahal aku yakin dia mengharapkan perhatian lebih dari aku, satu-satunya menantu perempuan untuk dia, serta dari kedua cucunya. Terutama Agil. Karena dia masih menjadi satu-satunya cucu laki-laki di keluarga Abel.

Ya, anak yang Elin lahirnya dari mantan suaminya itu adalah seorang anak perempuan. Dengan bentuk wajah dan postur tubuh mirip sekali dengan suami baru Elin, aku masih curiga bila anak yang Elin kandung adalah hasil dari suaminya yang kedua.

Alah, mak! Jika mengingat kejadian kurang lebih 3 sampai 4 tahun lalu, rasa kesalku tidak akan mungkin hilang untuk adik iparku itu.

"Kamu masih mau di dalam mobil?" tegur Abel setelah membukakan pintu mobil untuk aku bisa leluasa turun.

Ketahuan sedang melamun, aku hanya bisa meringis. Namun sebelum turun, aku sengaja membuka tas tangan hitam yang sejak tadi kusandang dan berisikan THR Phyra serta Agil di dalamnya.

Karena tidak memiliki amplop lagi, aku sengaja meraih salah satu amplop. Kebetulan tidak ada nama Agil atau Phyra pada amplop tersebut yang berisi 100 ribu rupiah, lalu tanpa berlama-lama, dari pada membuat Abel bertanya-tanya, aku keluarkan sejumlah uang cash dari dalam amplop cokelat yang masih kumiliki.

Sesuai jumlahnya, yang menurutku cukup adil, aku tutup kembali amplop lebaran itu yang kuniatkan untuk diberikan kepada mama mertuaku. Yah, walau isinya tidak sama dengan nominal yang diterima oleh kedua orangtuaku tadi, namun setidaknya kali ini aku tidak membedakan semua orangtua yang masih kumiliki.

"Lama banget, ngapain deh?" tegur Abel, menatapku dengan ekspresi bingung.

Membawa tas kue yang memang sudah kusiapkan, Abel melangkah masuk lebih dulu. Lalu setelahnya kususul langkah Abel, sampai aku mendengar suara bi Ida di dalam rumah ini, aku mendadak lupa, masih ada satu nenek itu yang belum aku siapkan amplop THRnya.

SIAL! Kenapa aku lupa dia ada di sini?

"Ghe ... udah makan belum? Itu bi Ida masak soto Bandung. Pasti mama kamu enggak masak ini, kan? Sok, makan dulu. Terus ada balendrang juga. Sebenarnya enggak niat bikin balendrang, tapi karena masak sayur tupatnya dari kemarin pagi, terus pas lebaran gini kuahnya udah habis, jadi bi Ida buatin jadi balendrang aja. Dimakan sama soto bandung. Wah, nikmat banget deh."

Menawarkan dengan sangat ramah, aku mendadak jadi serba salah melihat wajah ceria bi Ida. Dia jelas sudah masak banyak sekali untuk lebaran tahun ini. Sesuai mandat yang dikatakan bi Wis, kehadiran bi Ida di rumah ini terasa lebih berwarna.

"Eh, malah bengong. Dimakan sana. Ambilin buat si aa juga."

"Iya, Bi. Makasih."

Mencari-cari di mana Abel, aku menemukannya di dalam kamar dia dulu sudah meringkuk, seperti kelelahan, seolah dia baru saja melakukan perjalanan jauh dari rumah mamaku ke rumah ini. Padahal kalau dihitung-hitung jaraknya tidak sampai 15KM.

"Kamu mau makan, Yang? Tadi bi Ida nawarin, katanya ada soto Bandung. Terus sama apa gitu, aku enggak ngerti. Bandeng, gendeng? Akh, enggak tahu. Tapi katanya sayur ketupat gitu. Kamu mau makan lagi, atau nanti aja? Tadi di rumah mama udah makan, kan?"

Sambil membuka matanya, Abel menatapku malas. "Aku tidur dulu deh. Capek banget. Nanti setengah jam lagi bangunin aku."

"Yaudah, tidur dulu sana."

"Hm."

Tidak sampai 5 menit, kudengar Abel sudah mendengkur dengan nyamannya. Padahal aku masih belum bergerak dari kamar ini, tetapi Abel terlihat amat sangat tidak peduli.

Karena tahu akan lama di rumah ini, aku sengaja membuka hijabku, menaruh tas hitamku di atas meja kayu, lalu mengeluarkan amplop yang tadi kusiapkan.

Saat mengingat betapa semangatnya bi Ida menawarkan aku makan masakannya, tanpa bisa dicegah, kedua sudut bibirku terangkat tinggi. Mana tega aku mengabaikan kebaikan kecil yang ditunjukkan olehnya. Setidaknya, walau sedikit, dia harus merasakan THR dariku.

Karena itulah, uang THR dari Abel dalam bentuk cash, aku ambil kembali beberapa lembar untuk kuberikan kepada bi Ida, dan juga Winda. Tentu saja tidak akan aku lupakan, Ayla. Keponakan Abel yang terlahir dari sepupunya itu.

Sudah menyiapkan semua yang kubutuhkan, segera aku keluar dari kamar ini, dan langsung menemukan mama mertuaku tengah memberikan amplop-amplop lebaran untuk kedua cucunya. Walau mereka jarang sekali bertemu, tetapi dari gestur tubuh kedua anakku, mereka jelas tidak ada penolakan sedikitpun dari semua perhatian dan kasih sayang yang diberikan oleh nenek mereka.

"Makasih, Nek."

"Sama-sama, aa. Aa sama Phyra hari ini nginep di rumah nenek, kan?"

"Enggak nginep, Nek. Besok ... besok, papa udah janji sama Phyra, sama aa, mau ajak jalan-jalan. Mau lihat ikan gede buangeeettt."

"Wih, Nek Ida ikut boleh, enggak?"

"Ayo. Ikut aja. Masih muat kok dimobil papa. Papaku kan banyak uang. Jadi semua bisa ikut," jawab Phyra, membanggakan Abel sampai aku mengangak tidak percaya.

Ternyata yang menjebloskan aku ke dalam lubang penderitaan ini berasal dari darah dagingku sendiri, yakni Phyra dan Agil.

Walah, RUGI DONG AKU!!!

***

"Makasih loh, Yang."

Aku mengerutkan kening disaat kami sudah sama-sama berbaring setelah melalui serangkaian kejadian panjang diedisi lebaran tahun ini.

"Makasih? Untuk?" tanyaku mengingat-ingat hal apa yang sudah kulakukan sampai Abel mengucapkan terima kasih kepadaku.

"Untuk semuanya. Untuk menjadi istri yang baik, ibu yang baik untuk anak-anak, dan untuk menjadi menantu yang baik. Tadi sebelum pulang, mama, bi Ida, bi Wis yang bahkan baru datang, terus mang Ari juga, pada ngomong semuanya sama aku."

"Akh? Ngomong apa mereka? Kok aku enggak tahu?"

"Iya, tadi kamu lagi sibuk bersihin Phyra abis eek. Mereka ngomong sama aku di dapur. Dan bilang makasih karena kebaikan kamu."

"Ah?" Seperti sedang membangunkan seekor siput, aku meng- ah, hoh, ah, hoh saja dari tadi. Karena jujur saja, otakku tidak merasa terhubung dengan kalimat yang Abel ucapkan.

Memangnya aku habis melakukan kebaikan apa?

"Ah, elah. Susah banget ajak kamu ngomong."

"Dih, bukannya susah. Emang aku enggak nyambung. Ini konteksnya apa?" tanyaku sambil menatap wajahnya.

Di antara kami masih ada Phyra, sudah tertidur pulas karena kelelahan. Sedangkan Agil, sejak 2 tahun lalu, sudah kami pisahkan tidur di kamar belakang. Tentu saja setelah kamar itu kami rombak total sampai menghabiskan uang hingga 30 juta.

Karena itulah, sekarang rasanya kasur besar yang kami tempati benar-benar menciptakan jarak antara kami yang berbaring di atasnya.

"Tuh kah, malah diem. Ini kamu lagi ngomongin apa sih?"

"THR, yang."

"THR?"

"Hm. Mama bilang makasih banyak. Katanya dia enggak nyangka banget dapat tambahan THR dari kamu. Enggak tahu aku dengarnya dia bahagia banget sih. Terus bi Ida juga. Wah, dia mah ngomongnya nyerocos banget. Dia doain kamu biar makin banyak rezekinya. Supaya kalau jalan-jalan keluar negeri, kamu bisa ajak dia. Kalau bi Wis sama mang Ari sih lebih ke terharu. Karena dulu, mereka dapat THR cuma dari papa aja. Tapi ... setelah papa meninggal kurang lebih 10 tahun lalu, mereka udah enggak pernah dapat THR lagi. Dan tadi, waktu kamu kasih ke mereka, mereka terharu dan kayak nostalgia gitu. Dari semua kejadian itu, aku benar-benar mau bilang makasih banyak sama kamu. Makasih enggak melupakan keluargaku."

Tersenyum malu-malu, aku memiringkan tubuhku ini agar lebih puas menatap wajah Abel. Walau dia tidak melihat ke arahku saat ini, tetapi kulit putih wajahnya, hidungnya yang terlihat bintik-bintik komedo karena aku belum ada waktu untuk membantu Abel membersihkan, selain itu ada garis bekas luka di dekat alis hitamnya itu.

"Sama-sama, Yang. Aku yang enggak nyangka malah waktu mereka bilang makasih sama kamu."

"Emang kamu kasih berapa aja ke mereka?"

"Dikit kok, enggak banyak. Tapi setidaknya mereka bisa ngerasain THR dari aku. Yang penting kan adil. Dan adil enggak mesti sama rata, apalagi untuk nominal. Jadi yah, aku bagi sedikit seorang, supaya mereka bisa merasakan THR dari aku. Kalau mama kamu kan tahu, 2 juta yang aku transfer itu asalnya dari kamu. Jadi tadi pas aku kasih lagi ke mama, dia juga kaget banget. Dan pastinya enggak nyangka aku kasih dia THR setelah 11 tahun kita nikah. Yah, anggap aja aku ada sedikit rezeki buat dia. Minimal dia bisa ngerasain jajan dari uang aku yang enggak seberapa ini."

Ikut miring, dengan keadaan kami saling berhadapan, dengan Phyra ditengah-tengah kami, Abel menatapku penuh kebahagiaan dan rasa syukur. Dia tahu aku benar-benar sigap untuk belajar dari pertanyaan singkatnya tadi sewaktu kami menuju dokter. Padahal dia hanya bertanya padaku, singkat, dan tidak memaksaku untuk memberikan sama rata kepadanya.

Namun karena aku anaknya perasa sekali, ditanya sedikit saja langsung tidak enak hati, apalagi sudah diperlakukan dengan sangat baik oleh bi Ida tadi, dari dalam lubuk hatiku tidak ingin membuat kondisi menjadi berat sebelah dari kedua belah pihak keluarga yang kumiliki makanya langsung saja aku berikan THR kepada mereka semua. Setidaknya dari ketulusan yang kuberikan, menimbulkan kebahagiaan baru yang sebelumnya tidak pernah mereka rasakan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro