7. Menerima Kenyataan
"Ternyata kamu benar. Aku memang sudah meninggal." Arum berucap pelan sambil memeluk kedua kakinya yang dirapatkan.
Reki yang menjadi lawan bicara Arum memperhatikan perempuan itu dengan tatapan kasihan. "Kapan gue pernah salah?"
Perkataan Reki membuat Arum menatap dengan sinis. Akan tetapi, ia tidak bisa marah dengan cowok itu. Reki memang benar. Pantas jika dia berbangga diri.
"Sekarang gimana? Lo akan terus tinggal di rumah ini?" Reki bertanya penasaran.
"Kenapa kamu bertanya? Aku saja gak tahu harus apa. Lagipula, kenapa kamu masih ada di sini? Kamu seharusnya pergi. Seperti saat terakhir kali kamu tahu bahwa aku bukan manusia. Kenapa malah ada di sini?" Arum balik bertanya pada Reki. Ekspresi ketakutan yang tergambar di wajah Reki cukup membuatnya yakin bahwa Reki tidak seharusnya berada bersamanya saat ini. Apalagi sampai mengobrol bersama.
Reki berdecih. "Siapa yang gak takut coba? Wajar kalau gue takut, tetapi berbeda dengan sekarang. Bukannya takut, gue malah merasa kasihan dengan lo."
Ucapan Reki membuat Arum menaikkan sebelah alisnya secara refleks. "Kasihan? Aku gak butuh belas kasihanmu. Percuma juga kasihan, kamu juga gak bisa melakukan apa pun untukku."
Reki menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal. Pernyataan Arum benar, tetapi ia terlalu malu untuk mengakui kebenaran itu.
"Memangnya gue bisa apa? Gue bukan dukun. Sekarang aja gue heran, kenapa gue bisa melihat lo. Padahal gue gak punya kemampuan khusus melihat makhluk yang gak terlihat," jelas Reki jujur. Ia sendiri bingung mengapa ia bisa melihat, bahkan berkomunikasi dengan Arum, di saat ia tidak memiliki kemampuan khusus apa pun yang berkaitan dengan dunia makhluk tidak kasat mata.
Arum mengembuskan napas berat. "Berbicara denganmu hanya membuatmu kesal," katanya lalu beranjak meninggalkan tempat duduknya.
"Tunggu. Lo mau ke mana?" Reki menarik tangan Arum agar sang empu mengurungkan niatnya untuk pergi. "Rum, kenapa gue gak bisa sentuh lo?" tanyanya lagi dengan bingung.
Langkah Arum berhenti. Ia lalu membalik tubuhnya. "Iya. Sekarang aku gak bisa menyentuh apa pun lagi. Mungkin, aku akan segera pergi," ucapnya.
Sebelah alis Reki terangkat. "Bagaimana caranya? Emangnya lo tahu apa yang harus lo lakukan?"
Arum mengendikkan bahu. "Entahlah. Aku bahkan gak tahu kapan dan kenapa aku bisa meninggal. Aku gak tahu bagaimana caranya pergi meninggalkan tempat ini. Aku juga gak tahu apa yang akan terjadi jika aku terus berada di sini. Satu hal yang pasti, aku menderita. Aku bisa melihat mama, tapi gak bisa menyentuh, atau memeluknya. Sakit saat melihat mama memasang raut wajah sedih. Semuanya karena aku."
Reki mengembuskan napas berat. "Lo yang punya masalah, eh, malah gue yang ikutan repot. Yah, gue rasa, alasan kenapa gue bisa melihat lo adalah untuk membantu lo. Kemungkinannya sih, iya, ya. Soalnya gak ada orang lain yang bisa lihat lo, selain gue."
"Kamu yakin ingin membantuku?" Arum bertanya ragu pada Reki.
"Wajah gue gak terlihat serius?" tanyanya. "Walaupun gak tahu harus melakukan apa, gue akan mencoba membantu. Sebagai teman dan tetangga yang baik, seharusnya gue membantu."
Arum mengangguk pelan. "Terima kasih, Reki. Kamu jadi ikutan repot karena aku."
"Sejak awal lo udah merepotkan. Jadi gak masalah juga buat gue," cetus Reki. Beberapa detik kemudian, ia menepuk jidatnya sendiri dengan spontan.
"Ada apa?" tanya Arum heran.
"Gue gak tahu harus melakukan apa untuk membantu lo, tetapi kita bisa cari informasi tentang roh, hantu atau sejenisnya. Kenapa lo lemot amat sih, Rum? Kenapa gak bilang ke gue mengenai itu?"
"Hah? Kenapa aku? Aku gak salah lo. Lagipula kamu juga lemot karena gak kepikiran untuk mencari informasi kaya gitu di internet. Aku, kan, gak bisa pegang HP. Kepikiran juga enggak."
Reki menghiraukan ucapan Arun lalu mengambil ponsel yang berada dalam saku celananya. Jari-jarinya mulai bergerak di atas benda pipih itu. Dengan penuh konsentrasi ia mencari informasi mengenai keadaan Arum. Meskipun tidak dapat dipercaya sepenuhnya, tetapi setidaknya, ia sudah berusaha.
"Ada informasi yang kamu dapat, Reki?" tanya Arum penasaran setelah lama menunggu Reki yang tidak kunjung juga selesai dengan ponselnya. "Atau malah gak ada informasi apa pun, mengingat apa yang terjadi padaku mustahil terjadi?"
Reki mengehentikan gerakan ibu jarinya yang sibuk menggulir layar ponsel. "Memang mustahil, tetapi terjadi pada lo. Itu artinya nyata," ucapnya serius. "Dari artikel yang gue baca, kemungkinan lo memiliki sesuatu yang harus lo selesaikan di dunia. Karena lo terjebak di rumah ini, itu artinya lo harus menyelesaikan sesuatu yang berhubungan rumah ini."
"Apa yang harus kuselesaikan di sini?"
Tanggapan yang diberikan Reki pada pertanyaan Arum hanya berupa kedua bahu yang diangkat. "Gue juga gak tahu. Tugas lo adalah mencari tahu apa yang harus lo selesaikan."
Arum terdiam di tempatnya. "Apa mungkin liburanku dengan mama? Sebelumnya rencana liburan kami batal karena mama harus pergi ke luar kota."
"Liburan? Bagaimana caranya? Ingat, lo gak bisa keluar dari rumah ini. Gimana mau liburan?"
"Liburan gak harus pergi keluar rumah, kok. Aku cuma ingin menghabiskan waktu bersama mama."
"Caranya? Keberadaan lo saja gak terlihat dan gak disadari. Jangan mengada-ada. Pikirkan hal lainnya. Gue yakin bukan itu alasan mengapa lo terjebak di rumah ini," cetus Reki yakin dengan pendapatnya.
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro