Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5. Alasan Sebenarnya

"Alasan kenapa lo gak bisa keluar dari rumah itu karena lo udah meninggal. Meskipun lo berusaha keras, lo gak akan bisa meninggalkan rumah itu. Tempat lo bukan lagi di sini," jelas Reki seraya melangkah mendekat pada Arum yang berdiri mematung di depan pintu.

Ucapan Reki membuat Arum membelalak kaget. Ia bahkan mematung di tempatnya tanpa bisa mengatakan sesuatu.

"Gue katakan sekali lagi, lo udah meninggal, Arum," kata Reki lagi.

Arum menggertakkan gigi kesal lalu mendorong Reki dengan keras. "Maksudnya apa, hah? Aku meninggal katamu?!" katanya emosi.

"Iya, lo udah meninggal. Berapa kali gue harus mengulang itu agar lo percaya?" balas Reki tenang. Berbanding terbalik dengan Arum yang menatapnya dengan penuh amarah.

"Aku masih hidup. Jangan menjadikan kematian sebagai candaan, Reki. Aku masih hidup!" Arum berucap tegas. Menjelaskan bahwa dirinya benar-benar masih hidup.

"Siapa yang bercanda, hah? Gue berkata jujur. Kalau memang lo masih hidup, kenapa lo gak bisa pergi meninggalkan rumah ini? Juga, kenapa wajah lo terlihat semakin pucat dari hari ke hari? Satu lagi, bisa lo jelaskan kenapa pantulan diri lo gak muncul pada bingkai kaca itu? Apakah lo bisa menjawab semua pertanyaan gue?"

Arum terdiam di tempatnya. "Jadi karena itu kamu pergi dengan terburu-buru waktu itu? Kamu takut denganku dan memutuskan untuk gak datang ke sini lagi? Akhirnya kamu memutuskan untuk gak berteman denganku lagi, ya?"

Reki mengangguk. "Iya. Tentu aja gue takut. Lo udah meninggal dan gue malah berteman dengan hantu kaya lo. Tentu aja gue takut dan memilih pergi," jawabnya enteng.

"Kenapa kamu selalu bilang kalau aku udah meninggal? Aku masih hidup, Reki. Kamu pembohong! Mana mungkin aku udah meninggal! Aku gak percaya dengan ucapanmu itu!" Arum berteriak histeris sambil terus memukul Reki dengan keras. Ucapan Reki jelas tidak masuk akal.

"Gue tahu ini mustahil, tetapi kenyataannya memang begitu, Arum. Kehidupan sejati lo bukan di sini lagi dan lo terkurung di rumah ini karena suatu alasan," tukas Reki yang sama sekali tidak didengar oleh Arum. Apa yang dapat didengar oleh cewek itu hanya suara dari tangisnya sendiri.

"Kenyataan memang menyakitkan, Arum. Gue harap lo menerima semua ini dengan ikhlas," kata Reki lagi.

Arum menghapus air matanya. "Aku benci kamu, Reki! Aku masih hidup, dan kamu tega mengatakan kalau aku udah meninggal. Kamu temanku bukan, sih?"

Reki menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. "Gue gak bohong, Rum. Saat gue pergi dari rumah lo dengan penuh ketakutan itu benar. Gue bertanya pada tetangga lain tentang lo. Tahu apa yang mereka jawab? Lo udah meninggal. Rumah itu gak berpenghuni. Sesuai dengan firasat saat pertama kali gue bertemu dengan lo, sebelum lo muncul. Awalnya gue masih gak percaya dengan itu, tetapi setelah memikirkan semuanya kembali, gue sadar kalau lo memang udah meninggal. Terkadang gue gak bisa melihat lo, Rum. Kalau memang lo masih hidup, pastinya lo selalu terlihat di mata gue, dan lo pun bisa meninggalkan rumah ini. Sayangnya enggak, 'kan? Mama lo juga gak pernah menghubungi lo karena memang lo udah gak ada. Mustahil untuk dihubungi."

Arum mendorong Reki agar menjauh darinya. "Kamu pergi dari sini! Aku gak percaya dengan semua omong kosong yang kamu katakan!" ucapnya sambil melempar beberapa barang pada Reki yang berusaha menghindar. Tanpa sadar Arum bahkan melemparkan vas bunga kecil pada Reki. Namun, Reki berhasil menghindari itu.

"Gue pergi. Semua ucapan tadi benar. Sama sekali gue gak punya niat untuk berbohong pada lo," ucap Reki lalu pergi.

Tangis yang sejak tadi telah pecah, kini makin parah. Air mata itu tidak lagi dapat dibendung. Arum menangis sesenggukan sambil meremas dadanya. Rasanya sangat sakit.

"Apa benar aku udah meninggal?" Arum bertanya pada dirinya sendiri. Ia mulai meragukan keyakinan dirinya. Ucapan Reki terlalu serius untuk dijadikan bahan candaan atau lelucon.

Sekali lagi, Arum berusaha melangkahkan kaki ke teras rumahnya. Tidak ada yang berubah. Arum masih dapat merasakan adanya tembok penghalang tidak terlihat di depannya. Tanpa bisa menembusnya.

"Benar aku meninggal?" tanya Arum lagi. Ia mulai menggerakkan kakinya memasuki rumah lebih dalam. Dengan langkah berat ia berjalan dan berhenti di depan cermin yang ada di kamarnya. Diamati pantulan diri sendiri pada cermin itu.

Arum menempelkan telapak tangannya pada cermin tersebut. "Sekarang aku sadar bahwa wajahku benar-benar pucat." Monolognya.

Kedua kaki itu digerakkan Arum menuju tempat tidur lalu mendudukkan diri di tepi ranjang. Sebuah ponsel yang terletak di atas meja belajar diambil olehnya. Jemarinya bergerak ke sana ke mari selama beberapa detik sebelum berhenti pada kontak telepon dengan nama mama.

"Sejak membatalkan liburan itu, mama gak pernah menghubungiku. Aku berpikir bahwa mama benar-benar sibuk sampai gak punya waktu untuk menghubungi atau sekadar menanyai kabar anaknya. Sekarang aku malah ragu. Apa benar mama gak menghubungi karena aku udah meninggal?"

Ucapan Reki membuat Arum berpikir lebih. Inginnya melupakan begitu saja, tetapi tidak bisa. Arum sendiri tidak dapat menampik jika dirinya penasaran dengan dirinya yang tidak bisa meninggalkan rumah itu. Namun, di sisi lain ia juga takut dengan kebenarannya. Bagaimana jika kebenaran itu hanya akan membuatnya terluka? Haruskah ia mencari tahu atau membiarkannya begitu saja? Membiarkan semua pertanyaan itu berputar di kepalanya?

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro