Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. Usaha Meninggalkan Rumah

Reki memundurkan langkah, seiring dengan Arum yang bergerak mendekat padanya.

"Kamu kenapa, Reki? Kamu sakit?" tanya Arum khawatir.

Pertanyaan itu tidak dijawab oleh Reki. Sang empu lebih memilih memperhatikan Arum dari ujung kepala, sampai ujung kaki kemudian melihat pada pantulan bayangan Arum pada bingkai kaca yang ada di belakangnya.

"Gue harus pulang sekarang," ucap Reki tiba-tiba lalu pergi begitu saja. Ia terlihat terburu-buru.

Arum menatap heran kepergian Reki. Pasalnya, cowok itu tidak pernah pergi dengan terburu-buru seperti itu. Bahkan terkadang, Reki menolak jika Arum memintanya untuk pulang ke rumahnya.

"Kenapa Reki terburu-buru? Gak seperti biasanya," gumam Arum pada dirinya sendiri.

***

Sejak hari itu, Reki tidak pernah lagi berkunjung ke rumah Arum. Terhitung sudah tiga hari semenjak Reki pergi dari rumahnya secara terburu-buru dan dengan wajah pucat. Hal tersebut membuat Arum khawatir. Ia memang merasa terganggu dengan keberadaan Reki, tetapi ia tidak menampik jika Reki merupakan teman dan tetangga yang baik.

"Kenapa Reki gak pernah datang lagi, ya? Apa dia sakit?" Arum bertanya penasaran pada dirinya sendiri. Kehadiran Reki sebagai teman mampu membuatnya melupakan sejenak rasa kecewa dan kesalnya terhadap sang mama yang membatalkan liburan mereka.

"Hampir setiap hari Reki datang ke sini. Aku gak pernah ingat untuk bertukar nomor telepon dengan dia. Sekarang aku jadi menyesal sendiri. Sekarang aku harus gimana? Datang ke rumahnya pun, belum tentu dia ada di rumah," ucap Arum pada dirinya sendiri.

Rasa penasaran dan khawatir tidak dapat ditampik oleh Arum. Pasalnya, Reki tidak pernah absen untuk datang ke rumahnya. Meskipun tujuannya hanya datang untuk mengganggu, tetapi ia tetap datang. Namun, tidak dengan kali ini. Sudah tiga hari Reki tidak pernah datang berkunjung ke rumah Arum dan duduk bersantai pada jendela besar yang katanya nyaman itu.

Arum menghela napas panjang. "Gak ada gunanya bertanya-tanya pada diri sendiri. Toh, gak akan ada jawaban yang ditemukan. Aku harus pergi ke rumah Reki. Rumahnya hanya berada di sebelah rumahku. Jangan takut, Arum. Gak masalah jika Reki gak ada di rumah. Setidaknya, aku udah berusaha," ucap Arum menyemangati diri sendiri. Ia lalu beranjak dari tempat duduknya lalu berjalan menuju pintu.

"Rasanya asing melihat pintu ini. Udah lama aku gak keluar rumah. Karena semua kebutuhan ada di rumah, aku jadi betah dan melupakan dunia luar. Mungkin Reki benar. Aku gak seharusnya mengurung diri di rumah, hanya karena kesal dengan mama." Monolog Arum.

Telapak tangan itu diletakkan pada gagang pintu lalu ditekan dan ditarik. Udara dan hangatnya sinar matahari langsung menyambut Arum. Mereka seakan rindu dengan cewek berambut hitam legam yang sudah sangat lama berdiam diri di rumahnya itu.

"Aku jadi deg-degan," kata Arum lagi. Ia mulai melangkahkan kakinya ke luar rumah. Namun, ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa menggerakkan kaki itu lebih dari sekadar menginjakkan satu kaki di teras.

"Kenapa kakiku terasa berat? Badanku juga. Seakan menolak meninggalkan rumah ini. Aku gak bisa menggerakkan kakiku sendiri." Arum berucap panik. Baik kaki atau pun tubuhnya terasa sangat berat untuk digerakkan.

Berulang kali Arum mencoba keluar dari rumahnya. Namun, usaha itu sia-sia. Ia merasa ada sebuah tembok tidak terlihat yang menahannya agar tidak pergi meninggalkan rumah itu.

"Kenapa rasanya ada yang menahanku pergi dari rumah ini? Seperti ada tembok atau pintu terkunci yang menghalangi jalanku." Arum berucap panik. Ia kembali mencoba menembus penghalang itu, tetapi semua usahanya berakhir sia-sia. Ia tidak bisa pergi meninggalkan rumah itu.

Lelah, Arum duduk bersandar pada pintu. Air matanya mulai luruh tanpa bisa ditahan. Rasanya begitu menyakitkan. Mengapa ia tidak bisa keluar dari rumahnya sendiri? Jangankan untuk pergi, untuk sampai di teras saja ia tidak bisa.

"Rumah ini kenapa? Kenapa aku gak bisa keluar dari rumah ini? Apa karena ucapanku sendiri? Aku mengatakan bahwa aku akan berada di rumah ini, sampai mama pulang? Apa karena itu? Aku cuma ingin pergi menemui Reki dan mengetahui kabarnya," ucap Arum lagi. Ia sama sekali tidak mengerti mengapa ia tidak bisa keluar dari rumah itu.

Arum mengarahkan netranya pada halaman rumah yang luas. Selama ini, ia memang tidak pernah meninggalkan rumah itu. Tanaman mamanya saja disirami oleh Reki. Tentunya tanpa paksaan. Reki melakukan itu dengan sukarela dan senang hati.

"Aku harus bisa keluar dari sini." Arum menyemangati diri sendiri. Tangannya dikepal erat sambil menggerakkan kaki menuju pintu yang terbuka lebar. Lagi-lagi ia tidak bisa menerobos pertahanan tidak terlihat yang ada di hadapannya.

"Kenapa aku gak bisa keluar, hah?!" teriak Arum frustrasi sambil melempar sandal yang dikenakannya. Sandal itu terlempar ke luar sampai ke halaman, tetapi tidak dengan dirinya.

Tangis itu semakin menjadi-jadi. Arum mengacak rambutnya kasar. Kenyataan bahwa dirinya tidak bisa meninggalkan rumah itu sangat tidak masuk akal.

"Usaha lo hanya akan berakhir sia-sia."

Ucapan dari seseorang membuat Arum mencari si pemilik suara. Ia bangkit dari posisi duduknya sambil menghapus air mata yang terus jatuh membasahi pipi.

"Maksudnya apa jika usahaku sia-sia?" tanyanya heran pada sang pemilik suara.

"Lo udah meninggal, Arum. Sampai kapan pun lo gak akan bisa meninggalkan rumah itu."

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro