Tentang Mas Seokjin pt. 2
Abel menatap pemandangan Jakarta dari balik kaca. Gadis yang baru saja pulang kuliah itu tengah mengunjungi perusahaan milik ayahnya, kebetulan Abel dan kedua orang tuanya punya janji untuk makan siang bersama hari itu.
"Gimana kuliah kamu, Bel?"
"Ya gitu, masih baru pengenalan-pengenalan aja." Abel menjawab masih dengan posisi menatap ke arah jendela. Abel sangat suka melihat pemandangan dari balik jendela kaca gedung pencakar langit. Melihat bangunan -bangunan lain jadi lebih kecil di bawahnya seperti miniatur.
Abel baru saja masuk kuliah. Sebelumnya gadis itu memiliki perdebatan panjang dengan ayahnya mengenai jurusan apa yang harus diambil. Di lain sisi sang ayah ingin putri satu-satunya itu mengambil jurusan ekonomi bisnis untuk bisa meneruskan perusahaannya, tapi di sisi lain Abel memiliki passionnya sendiri. Abel ingin mengambil jurusan yang dekat dengan hal yang ia sukai yaitu dunia fashion. Akhirnya diputuskanlah untuk Abel mengambil kuliah jurusan fashion business.
"Bel, kamu inget Seokjin?" Kini giliran sang ibu yang bertanya. Dan pertanyaan sang ibu sukses membuat Abel akhirnya bisa melepaskan atensinya dari pemandangan di balik kaca.
"Yang minggu kemarin itu? Inget."
Ibunya tersenyum penuh arti. Beliau tengah menyiapkan makanan untuk mereka makan siang. Karena suaminya ada rapat setelah makan siang, akan sangat terburu-buru kalau mereka makan di luar. Maka mereka memutuskan untuk memesan makanan ke kantor.
"Semalem ibunya Seokjin nelfon, katanya Seokjin mau ajak kamu makan malem besok. Kamu mau nggak?"
Abel duduk di ujung sofa. Tangannya langsung menggapai sepotong ebi furai dari bungkusan makanan yang baru saja dibuka oleh ibunya. "Seokjin atau ibunya?" tanya Abel dengan ekspresi malas. "Ini pasti rencana Mom sama temen Mom, deh?"
Ayah Abel ikut bergabung bersama istri dan anaknya di sofa. Lelaki berkepala lima itu mencubit pipi putri semata wayangnya. "Hey, kok kamu nuduh Mom kamu gitu, sih? Kalau beneran nak Seokjinnya yang mau ajak kamu makan malem gimana?"
"Aku nggak mau ya ada jodoh-jodohan, Mom, Dad."
"Memang kenapa? Nak Seokjinnya kelihatannya baik. Good manner dan pintar. Ganteng juga mirip Dad waktu masih muda dulu." Bela sang ibu.
Abel mendengus. "Ah gantengan Dad tuh! Iya nggak, Dad?" Abel meminta pembelaan sang ayah yang langsung mengundang gelak tawa.
"Gini deh, coba dulu sekali besok makan malam. Siapa tau memang Seokjinnya cuma mau temenan sama kamu. Nggak ada salahnya kan?"
Abel tidak menjawab. Kini ia memilih untuk mengambil sumpit dan siap menyantap menu makan siangnya. Karena jauh dalam lubuk hati Abel, ia tau kalau menolak atau tidak makan malam itu akan tetap terjadi.
Yah, kalau sudah ada ikut campur orang tua memangnya mana bisa Abel mengelak?
***
Seokjin meremas stir lebih erat dari biasanya. Ini adalah kencan pertamanya dengan Abel setelah makan malam mereka di rumahnya malam itu. Meskipun Seokjin bukan orang yang sulit bersosialisasi, tetap saja rasa gugup itu ada. Apalagi dengan Abel yang sepertinya pendiam.
"Jadi kamu baru masuk kuliah ya?" tanya Seokjin berusaha memecah keheningan yang mendera di antara mereka.
"Iya."
Seokjin mendadak ciut. Abel betul-betul nggak senang berbasa-basi. Ditanya apa ya jawab, tidak mau bertanya balik. Ini sih hanya ada dua kemungkinan. Antara Abel yang memang pendiam atau karena dirinya tidak senang berada di sana. Seokjin jadi kehilangan kepercayaan dirinya.
"Abel mau makan apa?" tanya Seokjin lagi, masih berusaha memancing percakapan. Karena rasanya sangat canggung jika perjalanan mereka ini hanya diisi keheningan. Tujuan Seokjin mengajak Abel makan malam kan karna dia ingin kenal gadis itu lebih dekat?
"Terserah." Dan begitu lagi jawaban Abel. Seokjin semakin merasa tidak enak. Mungkin memang Abel terpaksa menerima ajakan makan malamnya karena mengira semua ini hanya bagian dari rencana perjodohan orang tua mereka?
Seokjin menggeleng. Tidak dia tidak boleh menyerah. Sejak awal bertemu Abel di travel, gadis itu menebar aura 'dingin' yang menarik. Dan bagaimana gadis itu terlihat sangat casual saat bertemu di travel namun berubah jadi sama feminim ketika makan malam juga menarik Seokjin untuk ingin mengenalnya lebih jauh. Tetapi karena hubungan keluarga mereka yang dekat tentu saja hal-hal semacam perjodohan pasti yang terlintas pertama kali di pikirannya.
"Mas punya rekomendasi sih, kamu suka sushi nggak?"
"Suka." Abel membenarkan posisi duduknya, kepalanya yang sejak tadi menghadap ke jendela mobil kini berputar untuk menatap ke arah Seokjin. "Mmm by the way aku harus manggilnya pake 'Mas', ya?"
Seokjin bisa melihat melalui ekor matanya bahwa Abel kini tengah menatapnya. "Mmm nggak juga sih terserah kamu. Tapi Mas--eh aku kan darah Solo ya terus di keluarga aku, aku anak paling kecil jadi entah kenapa pingin aja dipanggil Mas. Tapi terserah Abel, sih nyamannya gimana."
"Jarang kan orang terutama yang tinggal lama di Jakarta seneng dipanggil Mas. Apalagi kan ka--Mas Seokjin masih muda banget, biasanya anak kuliahan paling bantar dipanggilnya kakak."
Seokjin tersenyum. Mungkin ini kalimat terpanjang pertama Abel hari ini. "Padahal sebutan Mas tuh kayak ganteng gitu, loh, Bel. Dibanding 'Bang' otak aku langsung asosiasiinnya sama 'pedagang'. Kalau 'Kak' hm, nggak spesial." Lalu Seokjin tertawa sendiri dengan cara berpikirnya yang agak aneh. Pasti Abel juga ikut mikir kalau dia nih agak-agak. Tapi yaudahlah yah Seokjin nggak mau menutup-nutupi dan ingin menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Karena memang itu kan tujuan makan malam ini.
"Oh gitu." Lalu keadaan kembali hening. Abel tidak banyak bicara lagi selain sesekali menimpali obrolan Seokjin dan untuknya tidak lama dari itu mereka sampai di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta tempat di mana mereka akan makan malam.
Seokjin sebetulnya sudah banyak memikirkan di mana sebaiknya dia mengajak Abel. Berbagai pilihan restaurant yang mungkin sering disambangi orang-orang seperti keluarganya dan Abel tentunya. Tetapi Seokjin akhirnya memutuskan untuk pergi ke salah satu pusat perbelanjaan dan makan restaurant yang yah... tidak terlalu fancy. Seokjin ingin pergi ke tempat yang sesuai dengan usia mereka. Mereka masih muda dan kencan di pusat perbelanjaan adalah hal yang paling lumrah dilakukan pasangan seusia mereka.
"Abis makan mau nonton dulu nggak, Bel?" Lalu Seokjin menepuk jidat. Lupa kalau mereka pergi sehabis magrib dan kalau harus nonton dulu mereka bisa pulang kemalaman.
"Lain kali aja ya, Mas."
Tunggu. Kok rasanya kayak ada kupu-kupu yang berterbangan di perut Seokjin? Padahal tadi di mobil Abel juga sudah mulai memanggilnya dengan sebutan 'Mas' tapi kok sekarang... beda?
Mereka masuk ke restaurant sushi yang tadi Seokjin rekomendasikan. Dan ternyata benar Abel belum pernah mencoba makan di restaurant tersebut.
Makan malam berjalan normal. Terlalu normal sehingga obrolan mereka ya hanya seputar kuliah dan ya pembicaraan standar lainnya. Mereka hanya makan malam dan bahkan tidak ada progress untuk pengenalan lebih lanjut karena Seokjin merasa Abel masih menjaga jarak.
"Bel, aku mau jujur." Seokjin memulai pembicaraan dengan nada serius begitu mobilnya berhenti di gerbang rumah Abel.
Meskipun Seokjin tidak ingin atmosfer di antara mereka yang sudah sedikit mencair harus kembali jadi canggung tetapi sejak tadi Seokjin ingin menyampaikannya. Hal yang seharusnya ia sampaikan sejak awal.
"Aku harusnya bilang ini sih dari awal. Makan malam ini sama sekali bukan bagian dari rencana orang tua kita. Sama sekali bukan. Ini murni aku yang mau ajak kamu makan malam."
Abel meremas tali slingbagnya. "Terus kenapa Mas nggak ngajak aku langsung tapi lewat Mom?"
"Soalnya kan biar bagaimana pun kita kenalnya lewat orang tua kita jadi kenapa aku izinnya sama Tante Adel." Seokjin menggaruk belakang telinganya yang tidak gatal melainkan karena gugup. "Terlepas soal perjodohan, Mas juga nggak akan maksa kalau Abel nggak mau. Tapi Mas memang mau kenal Abel lebih jauh. Kalaupun nggak lewat perjodohan ya Mas akan ambil jalan pdkt biasa, mungkin?"
Abel lalu terkekeh. Dan itu adalah pertama kalinya Seokjin mendengar tawa itu dari Abel malam ini.
"Perasaan Mas orangnya heboh deh kayak pas di travel waktu itu, kok sekarang kalem?"
"Loh, kamu inget kita pernah ketemu di travel waktu itu."
Abel mengangguk. Mana mungkin tidak ingat, itu kejadian canggung tapi lumayan berkesan untuknya juga. Jujur saja, Seokjin itu tampan. Sangat kalau bisa dibilang. Dan hal yang sangat wajar bagi Abel untuk mengingat Seokjin karena kelebihan yang dimilikinya itu tentu saja.
"Inget kok. Mas heboh banget soalnya pas panik waktu itu, matahin ekspetasi aku atau mungkin juga orang-orang lain soal Mas."
"Ekspetasi?" Seokjin mengernyitkan dahi. Ia menatap Abel bingung. "Ekspetasi apa?"
Ekspetasi kalau Seokjin adalah orang yang kalem dan pendiam tentu saja. Abel bahkan masih ingat bagaimana Seokjin menggumam panjang mirip cerocosan ibu-ibu saat panik karena salah mengambil tempat duduk waktu itu.
"Nggak, lupain aja." Abel lalu melepas seatbelt yang sejak tadi masih terpasang. "Kalau gitu...aku masuk ya Mas. Makasih buat malam ini."
Seokjin mengangguk tapi sebelumnya ia menyodorkan ponselnya kepada Abel. "Ka--kalau boleh mas mau minta kontak kamu, Bel. Line atau WA boleh."
Abel menatap ponsel Seokjin dan wajahnya bergantian sebelum akhirnya memberikan apa yang diminta lelaki itu.
Setidaknya Abel sudah tau kalau ajakan Seokjin untuk makan malam ini bukan berdasarkan rencana orang tua mereka tetapi murni karena lelaki itu ingin mengenalnya. Dan benar kata Mom soal Seokjin kalau lelaki itu memiliki manner yang bagus. Di samping Seokjin memang terlahir dari keluarga yang bisa dibilang sekalangan dengan keluarganya, lelaki itu juga tetap down to earth.
Makan malam itu berlanjut ke kencan-kencan berikutnya sampai akhirnya Seokjin menyatakan rencana keluarganya untuk menyatukan mereka dalam sebuah pertunangan.
"Bel, mungkin ini agak kecepetan. Aku juga maunya kita jalanin hubungan kayak orang-orang lain, pacaran dulu sebelum ke jenjang yang lebih serius." Abel ingat malam itu bagaimana Seokjin sangat serius tetapi juga gugup saat mengatakannya. "Tapi aku pikir nggak ada yang salah untuk mencoba. Mungkin ini salah satu rencana keluarga kita untuk jadi lebih dekat. Tapi untuk aku sendiri, lewat pertunangan ini bukan berarti mengikat, kita tetep kok bisa jalanin hubungan kayak orang pacaran lain. Tetapi aku cuma mau kamu tau kalau... aku serius. Gimana ke depannya, buat saat ini InsyaAllah sampai nanti, I know that you're the one."
Awalnya Abel ragu apakah mengganti sebuah hubungan 'pacaran' untuk melompat langsung ke jenjang pertunangan adalah sesuatu yang baik atau buruk. Apalagi usia mereka masih sangat muda. Mereka masih akan bertemu banyak orang lagi ke depannya. Bagaimana kalau perasaan mereka berubah? Akan ada dua keluarga yang ikut merasakan sakit kalau sampai hubungan mereka kandas di tengah jalan. Tetapi Abel tau keputusan ini diambil bukan untuk sesuatu yang bersifat main-main. Begitupun dengan keseriusan Seokjin. Maka Abel pun mempercayakan hatinya untuk memilih.
***
Kembali ke masa sekarang. Ke Seokjin yang sudah berusia dua puluh enam dan sudah delapan puluh persen siap maju ke jenjang berikutnya bersama Abel.
Dua puluh persennya lagi? Nanti kalau Abel sudah menerima lamarannya.
"Sayang, gimana fashion show di Bandungnya kemarin?" tanya Seokjin suatu malam saat mereka memutuskan untuk makan malam di apartemen Abel.
Abel baru saja pulang dari Bandung sore tadi setelah menghadiri pagelaran busana temannya sekaligus mengecek distro miliknya yang ada di Bandung. Abel memang bukan seorang fashion designer, tetapi Abel adalah pemilik dari beberapa clothing line terkenal di Indonesia. Distro miliknya sudah tersebar di beberapa kota di Indonesia meskipun pusatnya berada di Bandung. Pakaian-pakaiannya bahkan sudah mulai memasuki pasaran luar negeri. Abel juga bekerja sebagai fashion blogger yang cukup terkenal di dunia maya.
"Ya gitu, bagus sih konsepnya aku suka. Baju-bajunya Carol emang bagus-bagus. Elegant tapi tetep ada sisi cutenya gitu. Buat baju-baju prom cocok banget."
Seokjin yang sedang sibuk membumbui daging yang akan ia masak jadi steak mengangguk.
Mereka memang sering melaksanakan house date seperti malam ini. Di apartemen Abel tentunya karena Seokjin masih tinggal di Rumah Bangtan meskipun Seokjin sudah punya apartemen sendiri yang dia beli untuk investasi. Seokjin tidak suka tinggal sendiri dan sudah terlalu menyayangi ke enam housematenya sehingga enggan berpisah.
Seokjin akan memasak khusus untuk Abel kalau sedang tidak banyak kerjaan. Kalau sedang lelah ya mereka hanya pesan delivery. Setelah makan malam biasanya dilanjut dengan nonton film di netflix. Atau mereka hanya duduk berdua di sofa sambil mengobrol lalu Seokjin akan pulang ke Rumah Bangtan sebelum tengah malam.
Malam itu Seokjin memasang steak atas request Abel. Meskipun agak ribet dan sulit karena butuh kesabaran extra agar dagingnya bisa matang sempurna tanpa menghanguskan bagian luarnya, Seokjin ikhlas untuk tunangannya tercinta. Ya soalnya Seokjin juga sedang tidak banyak kerjaan. Bahkan Seokjin juga sempat membuat tiramissu sebelum Abel pulang dari Bandung untuk jadi dessert mereka setelah makan malam nanti.
"Bel, buto ijo sama genderuwo gedean mana coba?"
Garpu yang Abel gunakan untuk memotong steak berhenti bergerak. Hanya sebentar sebelum Abel melanjutkan gerakannya untuk menyantap steak nikmat buatan Seokjin. Tentu saja selama enam tahun ini Abel sudah lebih dari 'terbiasa' dengan jokes garing yang Seokjin lemparkan. Gombalan cringe yang sudah tidak berefek lagi karena terlalu sering dilontarkan atau tebak-tebakan random yang nantinya membuat Seokjin heboh tertawa sendiri seperti suara pembersih kaca. Dan Abel hanya akan mengangkat alis atau bersikap acuh karena ya dia sudah lebih dari terbiasa untuk semua kelakuan aneh Seokjin.
"Mana aku tau, Mas. Aku kan belum pernah liat dua-duanya?"
"Ah kamu mah. Coba tebak dulu!"
Abel mendengus sambil menyuap potongan dagingnya. "Genderuwo?"
"Salah! Gedean rasa cinta aku ke kamu, sih! Hulk aja kalah!"
Tuh kan. Abel tidak heran lagi sih. Seokjin sendiri sudah sibuk tertawa dengan gombalan recehnya.
Hiek hiek hiek. Ya gitu suaranya.
"Bel, tau bedanya Thomas Alva Edison sama Mas?"
Abel menyuapkan sepotong daging kepada Seokjin, usaha untuk membungkam Seokjin sepertinya. Tetapi biar begitu, gadis itu tetap mencoba menjawab lawakan atau tebakan Seokjin tersebut.
"Kalau Edison terlahir untuk menerangi dunia dengan penemuannya, kalau Mas...tercipta buat nerangin dunia aku?" Tentu saja Abel menebak dengan asal.
Seokjin menelan daging di mulutnya. "Wait... ohiya ya jawabannya bisa juga kayak gitu kok Mas nggak kepikiran?"
Abel hanya bisa memutar mata. "Emang harusnya jawab apa?" tanyanya sambil menumpuk piring bekas makan mereka karena semua makanan telah bersih tak bersisa.
"Nyerah ya berarti?"
"Hm."
Seokjin tersenyum penuh arti lalu merogoh sesuatu dari kantung celananya. "Kalau Edison menghabiskan hidupnya untuk menciptakan penemuan berguna bagi manusia. Kalau Mas menghabiskan hidup Mas bersama kamu dan keluarga kecil kita." Seokjin mengulurkan kotak beludru berwarna biru tua itu kepada Abel yang kini sedang menatapnya lurus. "Abel, meskipun Mas nggak sempurna, masih banyak ngeselinnya, suka gangguin kamu pakai jokes receh atau gombalan yang bikin kamu geli... Mas InsyaAllah udah siap buat jadi Imam kamu. Abel mau nggak jalanin rumah tangga sama Mas yang masih banyak kurangnya ini?"
Tentunya enam tahun belakangan ini membuat Abel tidak memiliki alasan untuk berkata tidak.
Seokjin memang terkadang terlihat silly dengan jokes-jokes garingnya. Tetapi itu adalah cara Seokjin untuk membuat orang-orang di sekitarnya tertawa. Seokjin juga tetap bisa dewasa dan menjadi sosok 'kakak' untuk Abel.
Mereka memang memulai hubungan mereka di usia yang muda. Sekarang pun demikian. Tetapi enam tahun ini membuktikan kalau mereka mampu bertahan dengan pilihan mereka.
Manusia berubah, perasaanpun juga bisa. Termasuk perasaan Abel. Kalau ditanya dulu, apakah dia mencintai Seokjin? Jawabannya iya. Sekarang? Lebih dari sekedar cinta, Abel menyayangi Seokjin dan Seokjin sudah menjadi bagian dalam hidupnya selama enam tahun belakangan. Dan Abel tidak masalah untuk menjadikan Seokjin bagian dalam hidupnya berpuluh-puluh tahun lagi.
***
Bonus, isi chat Mas Seokjin sama Abel pas masih tunangan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro