Tentang Mas Seokjin pt.1 [SJ]
A/n: Bisakah kalian memberikan banyak cinta untuk Mas Seokjin? Ayo coba mana... comment di sini.
Seperti judulnya. Kisah ini menceritakan tentang satu-satunya orang yang ingin dan boleh dipanggil 'Mas' di Bangtan. Dia yang tak lain dan tak bukan, Seokjin Ferdiansyah.
Ketika pertama kali datang ke bangtan, tidak ada yang mengira Seokjin adalah anak dari seorang CEO perusahaan elektronik terkenal. Siapa sih yang mengira orang dari keluarga sekaya itu akan datang untuk menyewa satu kamar kecil dari home sharing di belakang universitas.
Kesan pertama Namjoon saat menerima Seokjin menjadi penghuni kamar kosong di bangtan tentu saja Seokjin adalah pria tampan terpelajar. Padahal saat Seokjin bergabung, dia baru saja duduk semester enam kuliahnya.
Saat itu Namjoon belum menjadi 'kepala' di rumah Bangtan karena masih ada senior mereka yang belum lulus. Dan saat itu rumah kontrakan itu juga belum disebut sebagai rumah Bangtan. Melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan Seokjin membuat Namjoon mempertanyakan keputusan Seokjin untuk tinggal di rumah kontrakan murah itu. Padahal Namjoon yakin, Seokjin lebih dari sekedar mampu menyewa kost-kostan mahal atau bahkan menyewa apartment kalau mau.
Awal kenal, Seokjin bersikap sebagaimana imagenya yang terlihat. Kalem, dewasa dan sangat mengayomi. Tetapi hanya sampai Jungkook bergabung di rumah Bangtan. Seokjin seperti menemukan separuh jiwanya yang hilang. Mereka seperti adik-kakak kandung yang telah lama dipisahkan.
Pada saat itu Jungkook masih SMA. Dan Jungkook yang awalnya pemalu begitu akrab dengan Seokjin. Lalu mereka mulai menunjukkan sikap asli mereka di mana Seokjin ternyata tidak sekalem yang semua orang duga.
"Duh Mang Ujang... ini belanjaannya nggak dikasih diskon?" tanya Seokjin suatu pagi saat sedang nimbrung belanja di gerobak sayur keliling bersama beberapa ibu-ibu yang tinggal di daerah situ. Pemandangan ini sudah begitu akrab di mata mereka. Seokjin memang yang bertanggung jawab atas makanan anak-anak kontrakan selama dia tidak ada kelas pagi.
"Diskon apa lagi atuh A' kaseeep, segini teh udah yang paling murah atuh!" kata Mang Ujang si tukang sayur sambil sibuk merapikan sayuran yang berantakan akibat ulah tangan ibu-ibu. [Kasep=Ganteng]
"Diskon orang ganteng lah!" Lalu dia ketawa sendiri.
Mang Ujang hanya memutar mata. Untuk Seokjin tuh cuma bercanda dan tetap bayar belanjaannya sesuai harga. Kalau nggak, udah dikepret pake sawi kayaknya dari tadi. Tapi sebetulnya Mang Ujang juga bersyukur sih atas kehadiran Seokjin, biasanya gerobaknya disamperin lebih banyak ibu-ibu atau mbak-mbak ART. Bahkan anak-anak kostan putri sekitar situ yang nggak pernah kelihatan batang hidungnya selain kalau mau berangkat ke kampus mendadak ikut nimbrung di dekat gerobak sayur. Ujung-ujungnya beli masako doang sih, atau nggak beli tempe. Tapi lumayan. Seokjin tuh memang dambaan kaum hawa sekitar situ. Mulai dari ibu-ibu sampai anak muda naksir dia kayaknya. Abis udah ganteng humoris, jago masak pula.
Sebetulnya Seokjin nggak betulan humoris. Malah kata Jungkook, cewek-cewek tuh kenapa selalu ketawa setiap Seokjin ngelawak bukan karena lawakannya tapi karena suara ketawanya mirip alat pembersih kaca.
Hiek hiek hiek... Gitu.
Selain jago masak, ganteng dan suara ketawanya yang mirip pembersih kaca, Seokjin juga punya kelebihan lain. Tidak tau sih ini kelebihan atau bukan, tetapi menurut Hoseok sih iya. Seokjin sudah punya tunangan sejak dirinya berusia dua puluh tahun. Ayo tepuk tangan dulu.
Tunangannya sih karena campur tangan orang tua. Ya, perjodohan ala-ala yang biasa dilakukan di kalangan orang kaya atau bangsawan. Seokjin sih katanya masih ada keturunan darah biru memang, tetapi perjodohan ini bukan dalam bentuk paksaan seperti di film-film yang berujung jadi cinta. Bahkan bisa dibilang perjodohan ini tidak sepenuhnya rencana orang tuanya.
Sekarang Seokjin sudah menginjak usia 25 tahun. Usia pertunangannya sudah memasuki usia ke enam. Saat itu meskipun Seokjin bertunangan di usia dua puluh, ia meminta izin kedua orang tuanya dan orang tua calonnya untuk menikah di usia dua puluh lima atau enam. Saat Seokjin sudah menyelesaikan S2nya dan sudah siap secara finansial juga mental.
Seokjin masih ingat saat itu. Saat pertama kali ia bertemu dengan Issabelle alias Abel, tunangannya. Tepat di hari ulang tahunnya yang ke 20 di bulan Desember.
Saat itu hujan deras mengguyur Bandung. Seokjin sedang berkunjung ke rumah sepupunya sambil berlibur di daerah Surapati dan memutuskan pulang sore itu karena besok perkuliahan akan kembali di mulai.
Seokjin membuka keterangan di e-mailnya yang berisi onfirmasi pembayaran atas pemesanan tiket travel Bandung-Jakarta yang akan berangkat jam 5 sore nanti.
"Kamu yakin nggak mau dianter? Atau bawa mobilku aja, aku juga kan lusa ke Jakarta." Sepupu Seokjin bertanya untuk memastikan.
Seokjin menggeleng. "Nggak usah lah, Mbak, lagian enak kok naik Travel aku malah jadi ketagihan. Nggak secapek nyetir sendiri dan nggak sengebosenin kalau dianter supir soalnya di travel kan bisa ketemu orang baru."
Kakak sepupu Seokjin menghela napas. "Ya sudah kalau itu maunya kamu. Hati-hati ya di jalan, salam sama si Om dan Tante."
Seokjin tertawa. "Duh Mbak, udah kayak ke anak kecil. Aku nih udah gede kali." Seokjin lalu mengajak sepupunya itu tos lalu Seokjin menyandang ransel Eagernya dan menerjang gerimis untuk pergi ke pool travel yang kebetulan letaknya dekat dari rumah saudaranya tersebut.
Di sana sudah ramai oleh penumpang yang juga akan memakai jasa travel tersebut. Seokjin melakukan check in di counter dan duduk di kursi tunggu. Masih ada sepuluh menit lagi sebelum mini busnya datang.
"Tebet! Tebet! Tebet!" Seorang pegawai travel berteriak begitu sebuah mini bus memasuki pelataran. Seokjin bergegas berdiri karena bus itu memang yang akan ia naiki.
Seokjin waktu pertama kali naik travel duduk di depan, tetapi hari ini ia harus duduk di bagian belakang. Nomor kursinya sebelas. Dan Seokjin bingung harus dari mana ia menghitung. "Mas nomor berapa?" tanya pegawai travel karena melihat Seokjin yang celangak-celinguk dan bukannya naik.
"Sebelas."
Pegawai itu menunjuk kursi yang dempet dua. "Itu nomor sebelas dua belas, duduknya berdua." Di depan kursi itu memang isinya untuk tiga orang, di belakangnya pun sama. Hanya kursi itu yang dempet dua saja. Dan kursi satunya sudah diisi seorang perempuan muda.
"Oke." Seokjin pun mengucap permisi dan duduk di samping gadis itu yang sepertinya sudah beberapa kali mencuri lirik kepada Seokjin sejak ia berdiri canggung di pintu mencari kursi.
Di belakang Seokjin ada tiga perempuan yang sudah berisik sejak Seokjin masuk. Mereka meracau dengan bahasa sunda yang bisa Seokjin tangkap menyebut kata meuni kasep beberapa kali. Ya iya Seokjin tau kok dia ganteng tapi biasa aja teh, nggak usah ribut.
Mobil travel itu melaju lima menit setelah semua penumpang duduk. Namun di depan Seokjin, di kursi yang terisi tiga ternyata kosong satu. Mungkin orangnya batal berangkat atau tertinggal. Entahlah. Seokjin memasang headset dan berniat tidur di perjalanan. Lagipula tiga teteh-teteh hebring di belakang berisik sekali, serasa naik mobil pribadi saja. Tapi ya sudah, Seokjin tidak mau ambil pusing.
Seokjin baru saja memejamkan mata dan dua lagu sudah selesai terputar dari playlistnya saat mobil dirasakan berhenti. Seokjin membuka mata ketika mendengar suara pintu mobil dibuka dan suara keramaian dari luar terdengar.
Mata Seokjin bersitatap dengan seorang perempuan yang sore itu rambutnya dikuncir kuda dan mengenakan kemeja flannel kotak-kotak warna merah hitam. Gadis itu berdiri di bawah bentangan payung yang dipegang oleh seorang petugas berseragam travel.
"Tetehnya nomor berapa?" tanya petugas itu kepada si gadis berkemeja tersebut.
Gadis itu melihat kertas di tangannya. "Dua belas."
Seokjin mengernyit. Bukannya yang dua belas itu gadis di sebelahnya? Lalu Seokjin refleks melihat kertas miliknya. Dia sebelas. Duh, jangan-jangan Seokjin seharusnya duduk di depan bukan di tempatnya sekarang.
Petugas yang memegang payung itu melongokkan kepala ke dalam mobil. "Itu, Teh, dua belas." Dan benar saja, petugas itu menunjuk kursi Seokjin. "Eh tapi ada orang. Masnya kalau boleh tau nomor berapa?" tanya petugas itu pada Seokjin.
"Sebelas." Seokjin menggaruk belakang kepalanya salah tingkah. "Tadi saya dikasih tau petugasnya katanya ini sebelas. Salah, ya?"
"Iya, Mas, maaf. Ketuker sama teteh ini."
Seokjin pun berdiri, bersiap pindah tapi tubuh tinggi beserta ranselnya mempersulit gerakan Seokjin. Ditambah kalau Seokjin mau pindah berarti orang di sebelahnya dan juga yang di depannya harus turun dulu dari mobil. Ribet.
Melihat segala keribetan tersebut, gadis berkemeja flannel itu akhirnya menghela napas. "Nggak usah deh Mas kalau ribet. Saya duduk di kursi Masnya aja." Lalu dengan coolnya, gadis itu mengambil tempat di kursi kosong yang seharusnya menjadi tempat Seokjin.
Wow.
Tiga gadis di belakang semakin riweuh melihat kejadian barusan. Katanya mereka iri karena gadis berkemeja flannel itu bisa mengobrol dengan Seokjin.
Seokjin? Dia justru duduk canggung di tempatnya. Malu plus nggak enak juga dengan gadis berkemeja flannel yang kini duduk persis di depannya. Seokjin memutuskan dalam hati kalau ia harus minta maaf saat mereka berhenti di rest area nanti.
Mereka akhirnya berhenti di rest area. Seokjin buru-buru ingin turun karena kebelet buang air. Selesai dengan urusan toilet, Seokjin melihat penjaja makanan yang ada di rest area tersebut. Ah, omong-omong mini bus travel mereka bukan berhenti di rest area yang besar dan ada pom bensinnya. Hanya ada toilet, musholla dan tukang makanan saja di sana. Akhirnya Seokjin memutuskan membeli dua buah air minum dan dua tusuk sosis bakar, sekalian ingin diberikan kepada gadis berkemeja flannel barusan sebagai bentuk permintaan maaf.
Saat Seokjin membuka pintu mobil, hanya ada dua penumpang di dalamnya. Yaitu gadis yang duduk di sebelah Seokjin dan gadis berkemeja flannel. Seokjin menelan ludah melihat ekspresi tidak ramah yang ada pada gadis berkemeja flannel tersebut. Padahal gadis itu hanya sedang memainkan Ipad di tangannya tapi entah kenapa ekspresi yang ia tunjukkan terkesan seperti orang yang sedang kesal.
Seokjin menelan ludah. Lalu ia duduk di tempatnya. Makanan dan botol minuman yang niatnya ia berikan ke gadis itu masih ada di pangkuannya. Seokjin tidak enak untuk mengganggu gadis itu yang sepertinya sedang serius.
"Um..."
"Mas!" Seokjin tersentak ketika gadis di sebelahnya menepuk bahunya cukup keras.
"Iya?"
"Itu sosis bakarnya beli di mana? Kok aku ngga lihat ada tukang sosis bakar." Gadis itu menunjuk sosis di pangkuan Seokjin. "Kalau aku beli satu boleh nggak?" tanyanya dengan ekspresi penuh harap.
Seokjin tidak tega. Akhirnya ia menyodorkannya. "Ini Mbak, nggak apa-apa buat Mbaknya aja."
"Eh? Jangan lho, Mas, aku mau beli."
Seokjin lalu menyunggingkan senyum. "Nggak apa-apa kok. Saya belinya tadi kelebihan karena nggak ada kembalian," ujarnya berbohong. Akhirnya gadis itu mengambil sosis bakar Seokjin yang awalnya ingin ia berikan pada si gadis berkemeja flannel.
Sampai di pool, Seokjin masih tidak berani mengajak gadis itu bicara. Pun ketika gadis itu turun lebih dulu darinya dan menghilang entah ke mana karena sepertinya gadis itu sudah naik kendaraan lain, entahlah.
Akhirnya Seokjin pun pulang membawa kembali botol air mineral yang semula ingin ia berikan pada gadis itu.
***
Beberapa minggu setelah kepulangannya dari Bandung, Papi dan Mami Seokjin mengabarkan kalau akan ada makan malam bersama kolega bisnis mereka nanti di rumah. Seokjin diminta ikut serta karena kolega mereka juga akan turut serta membawa anaknya. Hal ini bukan hal pertama untuk Seokjin. Sebagai keluarga pengusaha, makan malam semacam ini tentunya sudah sering kali dilakukan. Baik itu di rumah mereka atau sebaliknya di rumah rekan bisnis keluarganya.
Hari itu Mami juga menjelaskan sedikit kalau anak dari kolega mereka malam itu perempuan, usianya di bawah Seokjin dua tahun dan itu berarti baru masuk kuliah.
"Anaknya cantik lho, Dek." Mami memberi info.
Seokjin tertawa. "Anak Mami juga ganteng, lho!" Balasnya yang membuat Mami mencubit gemas pinggangnya.
"Biarin toh kalau kamu ndak mau nanti Mami kenalinnya ke Masmu aja." Ahiya Seokjin ini anak ke dua dan dia punya kakak yang usianya hanya beda empat tahun darinya.
"Mi apaan sih emang masih zaman apa jodoh-jodohan, gitu?" tanya Seokjin setelah yakin penampilannya sempurna malam itu. Ia menatap Mami, Ibu yang melahirkannya. "Lagian aku tuh masih muda, Mi."
"Ya nggak apa-apa, dong? Kan kenalan sama berteman aja. Mami juga nggak bilang mau nikahin kalian, kok. Tapi siapa tau cocok, Mami kenal banget sama orang tuanya soalnya."
Seokjin mencium pipi sang Mami dengan cepat. "Sst, udah ah Mi. Yuk ke bawah nanti keburu tamunya dateng." Seokjin lalu menggandeng Maminya itu menuju lantai bawah.
Tidak lama kemudian, yang ditunggu pun datang. Dan saat itu, saat gadis bergaun merah itu muncul memasuki ruang tamunya, detik di jam seolah berhenti. Begitupun napas dan detak jantung Seokjin.
Seokjin mengenal wajah gadis itu meskipun mereka baru sekali bertemu. Iya, si gadis berkemeja flannel. Tetapi yang membuat jam seolah berhenti adalah penampilan gadis itu yang jauh berbeda dengan waktu mereka bertemu di travel.
Saat itu bahkan Seokjin yakin gadis itu sama sekali tidak pakai make up. Bajunya juga sangat kasual dan bisa dibilang agak tomboy. Tetapi malam ini gadis itu dibalut mini dress berwarna merah gelap. Wajahnya dipulas make up meskipun tipis dan tidak mencolok, pas dengan usianya. Rambutnya dibiarkan terurai di bawah bahu dan poninya dijepit dengan pita ke belakang.
Malam itu Seokjin ingat, ia menemui Mami setelah Abel dan keluarganya pulang. "Mi, Seokjin mau dijodohin sama Abel." Dan Seokjin masih ingat saat itu respon Mami adalah sebuah sentilan di dahi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro