Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kakak Manis Siapa yang Punya pt.2 [JM]

a/n: Tembus 3k semoga kalian nggak bosen bacanya :')

Para anggota dance crew tiba di lokasi yang akan menjadi tempat mereka menginap selama tiga hari dua malam itu sore hari. Ketika turun dari bus mereka bisa langsung merasakan sejuknya udara Puncak sore itu. Panitia mempersilahkan para anggota baru mereka untuk duduk dan beristirahat sambil menikmati teh hangat dan ubi rebus yang disediakan oleh pekerja villa. Selagi para anggota baru beristirahat, beberapa panitia sibuk mengecek kamar yang akan ditempati para anggota. Beberapa lagi sibuk membawa bahan makanan mereka dari bus ke villa. Meskipun pihak villa menyediakan makanan selama mereka menginap di sana, panitia menyiapkan kegiatan masak bersama untuk saling mengakrabkan diri.

Seperti Nayla yang sedang membawa kantung berisi sayur-sayuran. Ia tidak menyangka kantung yang ia bawa cukup berat, terlebih lagi dengan tubuhnya yang mungil ia kesulitan berjalan di atas jalan berundak yang hanya terlapis tanah. Akses masuk dari parkiran bus ke villa mereka memang cukup jauh sehingga para panitia agak kerepotan membawa bawaan tersebut ke dalam.

Hal itu semakin menyusahkan Nayla ketika salah satu plastiknya robek dan beberapa buah kol menggelinding di tanah. "Yaaah!" Nayla berseru dongkol. Melihat sekeliling dan tidak menemukan teman-teman sesama panitia karena mereka sudah berjalan lebih dulu.

Seperti kebetulan di film-film romantis, seharusnya Jimin muncul dan membantu Nayla lalu mereka berdua berjalan bersisian melewati kebun ditemani latar belakang senja di belakangnya. Sayangnya itu hanya ada dalam angan Nayla karena gadis itu harus membawa seluruh bawaannya sendirian—dengan dipeluk—sampai ke villa. Ketika Nayla sampai ke villa, semua peserta sudah bubar ke kamar masing-masing untuk bersiap-siap sebelum kegiatan pertama mereka dimulai nanti malam. Kini para panitia yang terlihat sedang beristirahat sambil menikmati teh.

"Nay, lo darimana?"

"Diem deh, kalian tuh tadi ninggalin gue tau! Kantong kreseknya bolong isinya gelindingan semua di jalan, harus gue pungut satu-satu." Nayla menggerutu sambil duduk di samping Ridho, teman sepanitianya.

"Adududu, capek ya Nayla pasti. Minum dulu gih minum!"

Nayla mendengus lalu berjalan ke arah tempat teh. Sayangnya dia tidak menemukan tumpukan gelas plastik seperti yang digunakan teman-temannya. "Yah, gelasnya abis?"

"Pake ini aja, La."

Nayla tersentak ketika suara Jimin muncul sangat dekat di belakangnya. Selangkah saja lagi Nayla mundur, punggungnya akan bertabrakan dengan dada Jimin. "Eh—kak? Ini gelas kakak?"

"Baru kok, La, nggak usah takut. Kebetulan tadi kakak ngambil gelasnya keduaan pas mau dibalikin eh ternyata kamu yang keabisan." Jimin tersenyum. Seharian ini Nayla begitu sibuk dengan persiapan acara sampai-sampai tidak sempat menyapa Jimin. Ini adalah senyum pertama Jimin yang Nayla lihat hari ini. Nayla menghela napas, cobaan banget suka sama kakak senior yang suka nebar senyum dan baik hati.

Selesai mengambil teh, Nayla melirik wadah ubi rebus yang sudah bersih tidak bersisa. Benar-benar deh teman-teman panitianya ini nggak ada yang peka sama sekali atau peduli kalau teman mereka ada yang belum kebagian. Nayla kembali ke tempat duduk. Dia pun tadi nggak sempat bawa bekal roti atau snack selama di perjalanan. Makan malam juga masih beberapa jam lagi dan itu berarti Nayla harus kuat menahan lapar sampai nanti.

Sampai akhirnya Anisa, salah satu teman panitia Nayla memberinya sepotong ubi. "Nih Nay, lo belom kebagian ya?"

"Ya Allah, Niiis! Tau banget sih gue laper!" Nayla menerima ubi tersebut dengan mata berbinar. Benar-benar seperti orang belum makan dari kemarin. "Kirain udah abis semua!"

"Emang udah abis. Anak-anak kayaknya pada kelaperan di jalan karena macet makanya satu anak tadi gue izinin ambil dua, pikiran gue panitia sisaan aja lah berbagi. Eh tapi pada egois ternyata. Ini aja gue dikasih kak Jimin."

Tuhkan, kak Jimin memang baik sama semua orang. Nayla tidak kaget lagi mendengarnya. Tidak cemburu juga karena ya memangnya dia siapa? Lagian memang itu sudah sifatnya kak Jimin. Nayla justru tambah mengagumi kakak seniornya itu. Seperti sadar sedang dibicarakan, Jimin yang sedang berdiri cukup jauh dari tempat Nayla dan Anisa berada menoleh ke arah mereka. Tatapannya langsung bertubrukan dengan milik Nayla. Dan di saat yang sama Nayla sedang menggigit besar-besar ubi rebusnya. Di tengah keabsurdan suasana itu, Jimin malah melemparkan senyum kepada Nayla sebelum mengalihkan tatapannya kembali ke lawan bicaranya.

"Pasti muka gue jelek banget tadi lagi mangap!" Nayla merutuki diri sendiri dengan pipi yang bersemu merah.

Tidak tau kalau di sebelah sana, Jimin juga sedang senyum-senyum sendiri karena justru menganggap Nayla menggemaskan.

***

Keesokan harinya, kegiatan diisi dengan pembagian kelompok dan unjuk bakat. Karena mereka adalah anggota UKM dance, mereka pun menunjukkan kebolehan tarian mereka secara kelompok. Koreografi pun diciptakan hanya dalam waktu lima belas menit saja. Kegiatan itu berlanjut sampai makan siang. Seusai makan siang, mereka lanjut kegiatan outbond ke sungai.

Akses menuju sungai cukup sulit karena mereka harus melalui turunan curam dengan keadaan tanah yang lembab dan licin. Di sinilah kekompakkan tim diasah. Panitia mengadakan kegiatan ini bertujuan untuk melihat seberapa kompak para anggota. Di tahap ini, setiap ketua kelompok memimpin dan melindungi kelompoknya dengan cukup baik sampai semua kelompok sampai dengan selamat di tepi sungai.

Nayla sebagai panitia tentunya sudah pernah mengalami fase ini saat pertama kali bergabung ke dalam dance crew. Melihat para adik tingkatnya yang tampak kesulitan tetapi sebisa mungkin bekerja sama membuat Nayla jadi flashback ke masa-masa itu. Saking asiknya mengingat kenangan di masa lalu, Nayla tidak sadar kalau di depannya ada lubang cukup dalam dan hampir saja ia terperosok ke dalamnya kalau tidak ada Ridho di belakangnya yang memegangi.

"Nay! Duh fokus dong, ini bahaya gila. Lo kalau jatuh minimal patah tulang, mau?"

Nayla dan Ridho yang memang bertugas berjaga di kelompok terakhir maka hanya ada mereka berdua di sana. Untungnya, di belakang mereka ada seorang kakak yang bertanggung jawab untuk kegiatan outbond yang datang bersama Jimin.

Melihat Ridho dan Nayla yang sedang berjongkok di tengah jalan membuat keduanya menghampiri dengan khawatir. "La, Dho, kalian kenapa?"

Jimin menghampiri dan berjongkok untuk memeriksa keadaan dua juniornya tersebut.

"Nggak apa-apa kok kak, ini tadi Nayla hampir jatuh jadi agak shock." Ridho menjelaskan sedangkan Nayla masih terduduk mengatur napas. "Duh, tapi kelompok terakhir nggak ada yang jaga lagi udah jalan duluan takut salah ngambil jalan."

Jimin menatap Ridho dan Nayla bergantian. "Dho, kamu mending ikutin kelompok terakhir bareng Mas Adi. Biar Nayla sama kakak."

Nayla yang sebetulnya diam saja karena menahan ngilu di pergelangan kakinya akhirnya bersuara. "Nggak apa-apa kak, aku bisa lanjut kok. Dho lo duluan gue nyusul di belakang lo."

Ridho mengangguk dan berjalan cepat untuk mengejar kelompok yang menjadi tanggungannya bersama Mas Adi.

Sedangkan Jimin kini berusaha membantu Nayla berdiri. "La, kamu mau balik ke villa aja?" tanya Jimin khawatir. Tentunya disertai tatapan yang begitu teduh. Teduhnya bahkan mengalahkan pohon pinus di sekitar mereka.

Nayla menggeleng. "Nggak kak, masih sanggup kok. Tadi tuh Cuma kaget aja sama sedikit terkilir. Tapi bisa kok."

Jimin mengangguk dan tentu saja tidak akan memaksa. Lagipula Nayla sendiri tidak menunjukkan tanda sakit meskipun sebetulnya Jimin masih sedikit khawatir. "Yaudah pelan-pelan, kamu jalan di depan biar kakak di belakang kamu."

Nayla berbalik badan sambil menggigit kecil bibir bawahnya. Kalau begini caranya bagaimana bisa Nayla move on atau berhenti naksir. Orang takdirnya saja sengaja kok menjebak Nayla untuk selalu memiliki moment bersama Jimin. Sebel!

Mereka akhirnya sampai di tepi sungai. Nayla sudah siap melepaskan sepatu dan kaos kakinya saat Jimin menyentuh pundaknya. "La, kamu nggak usah turun ke sungai. Jalan di tepinya aja."

Naya menggeleng. "Nanggung kak, udah sampai sini." Gadis itu pun lalu menggulung celana trainingnya meskipun yakin nanti seluruh celananya akan tetap basah.

"Nggak apa-apa La, kan udah banyak panitia yang turun." Jimin masih menahan gadis itu. "Udah jalan sampai sini juga udah menuhin tanggung jawab kamu, kok."

"Bukan soal tanggung jawab kok kak. Aku udah lama nggak main di sungai, lagian kapan lagi ada kesempatan main di sungai kayak gini? Jadi pengen aja turun." Nayla terkekeh untuk mengurangi kekhawatiran Jimin. Gadis itu lalu mengalungkan sepatunya yang sudah diikat jadi satu. "Kak Jimin mau ikut, nggak?"

Jimin hanya tertawa sebelum akhirnya menyusul Nayla untuk menyusuri sungai.

Teriakan para anggota baru bergema. Bagi para panitia, ini sudah pengalaman mereka yang ke sekian kali menyusuri sungai berbatu. Karena kegiatan ini selalu diadakan setiap tahunnya. Sedangkan untuk para anggota baru mungkin ini hal yang baru pertama kali mereka rasakan. Menginjak batu ada yang menjerit kesakitan, ada yang menjerit karena nyaris terpeleset, ada juga yang menjerit karena sepatu yang mereka kalungkan malah tercebur ke sungai.

Di sini lagi-lagi kekompakkan diuji. Mereka yang semula hanya bekerja sama dalam satu kelompok kini bergabung menjadi satu. Setiap kelompok membantu kelompok lain. Para ketua kelompok yang semuanya laki-laki bahkan berjaga di sisi sungai di bagian-bagian yang curam, dalam atau licin untuk membantu memegangi tangan anggota perempuan.

Beberapa kali Nayla hampir terpeleset karena licin. Kakinya juga sempat mengkerut nyaris kram karena air sungai yang dingin. Tetapi lebih daripada itu, Nayla sangat senang dan puas. Melupakan sejenak tugas-tugasnya sebagai mahasiswa di Jakarta. Acara ini benar-benar jadi sarana refreshing untuknya.

Nayla berpegangan pada batu besar. Ia harus berjalan ke area yang lebih dalam dan di sana airnya cukup deras. Tubuh kecilnya bisa-bisa hanyut terbawa arus kalau dia tidak berpegangan.

Jimin yang sejak tadi berjalan tidak jauh di belakang Nayla dengan sigap memegangi siku gadis itu, menjadi penopang agar tubuh gadis mungil itu tidak terbawa arus. "La sebentar, kamu pegangan di sini dulu biar kak Jimin yang lewat duluan." Jimin mengarahkan tangan Nayla berpegangan pada bagian batu sungai yang tidak licin. Lalu lelaki manis itu melangkah perlahan dan hati-hati melewati Nayla. Air mencapai pinggang Jimin ketika lelaki itu berhasil turun.

Nayla menatap Jimin khawatir. "Waduh...kok dalem banget di situ kak?" Seingat Nayla sungai itu tidak sedalam itu setahun yang lalu.

"Nggak apa-apa kok, di sini ada batunya stabil." Jimin lalu mengulurkan tangan kepada Nayla. "Tapi agak licin jadi kamu pegangan sama kakak ya?"

Nayla mengumpat dalam hati. Ya ampun sampai kapan cobaan ini? Dengan jantung berdebar tak karuan, Nayla meraih tangan Jimin dan lututnya nyaris lemas saat tangan itu menggenggam miliknya dengan erat.

Nayla hanya berharap suara detak jantungnya teredam suara aliran sungai yang deras. Nayla berharap Jimin tidak menyadari semu di pipinya disebabkan oleh tangan mereka yang tertaut selama menyusuri aliran sungai.

***

Malamnya kegiatan berlanjut dengan acara api unggun. Seperti malam-malam keakraban pada umumnya, di moment ini digunakan untuk saling mengenal masing-masing. Baik panitia dan juga anggota baru. Beberapa sesi dilakukan dengan lancar hingga sampai ke acara bebas.

Panitia sudah menyiapkan indomie dan teh hangat untuk semua anggota. Ada juga yang membakar jagung di api unggun sambil menikmati alunan musik dari petikan gitar yang dimainkan Angga, salah satu anggota baru yang ternyata jago main musik.

Nayla yang tadi membantu dalam proses pembuatan indomie kini duduk di salah satu kursi yang kosong sambil menikmati teh hangat. Ternyata cukup melelahkan juga memasak mie instan untuk kurang lebih tiga puluh orang. Nayla merapatkan sweaternya saat sadar baju itu tidak cukup menghangatkan tubuhnya.

"Nay, duduk di depan api unggun yuk?" Anisa merangkul Nayla untuk berbagi sedikit kehangatan. Dia juga sepertinya kedinginan padahal sudah menggunakan hoodie bertudung. Sepertinya karena udara di sana memang sangat dingin malam itu. "Dingin banget ya, padahal tahun lalu kayaknya nggak sedingin ini?"

"Mungkin karena sekarang musim ujan juga." Nayla dan Anisa akhirnya duduk tidak jauh dari api unggun. Di sebrang tempat mereka duduk, Jimin sedang mengobrol dengan beberapa anggota baru yang semuanya perempuan. Entahlah, hal itu bukan pemandangan yang asing bagi Nayla. Jimin selalu ramah dengan siapapun lawan bicara. Bahkan karena sikap terlalu baik dan ramahnya itu, orang-orang kesulitan untuk mendeteksi siapa yang sebenarnya betul-betul dekat dengan Jimin.

Atau mungkin orang itu memang tidak satu kampus sehingga tidak terdeteksi. Entahlah. Nayla tidak pernah memikirkan sampai ke sana. Toh awalnya rasa ini hanya sekedar naksir biasa. Kalau lama-lama perasaan itu kian membesar, itu di luar kendalinya.

"Nay, tadi kata Ridho lo turun ke bawahnya berdua sama kak Jimin, ya?" Anisa tiba-tiba mengalihkan perhatian Nayla dari Jimin. Nayla bahkan tidak sadar sudah memperhatikan Jimin terlalu lama.

"Hah? Iya, soalnya Ridho kan harus ngurus kelompok terakhir."

"Tapi Nay, lo masih suka sama kak Jimin nggak sih?" tanya Anisa yang membuat Nayla dengan panik membekap mulut temannya itu. Waktu awal Nayla naksir Jimin, dia memang cerita kepada Anisa. "Ihhh Nay, tangan lo bau minyak indomie tau gak!"

Nayla mendengus. "Makanya lo tuh jangan keras-keras dong! Kalau orangnya denger gimana?"

"Lo nggak ada rencana mau nyatain perasaan?"

Nayla menggeleng. Ia memeluk lututnya dan menumpukan dagunya di sana. "Egois nggak sih, gue tuh nggak mau sakit hati dulu karena ditolak, Nis. Gue mau nikmatin moment jatuh cinta ini lebih lama."

Anisa mengangguk paham. "Tapi apa lo nggak mau ambil kesempatan? Siapa tau kan ada peluang buat lo? Lagian kalau dilihat-lihat, kak Jimin juga deket sama lo."

Nayla terkekeh. Ia menunjuk ke arah Jimin dengan dagunya. "Tuh lo nggak lihat? Sama anak-anak baru aja deketnya kayak udah kenal dari zaman dulu. Gue nyadar diri kali, Nis."

"Beda, Nay, gue dan yang lain bisa ngerasain kok."

"Ngerasain apa?"

"Tatapan kak Jimin ke lo dan ke yang lain nggak sama."

Nayla kembali menumpukan dagunya di atas lutut. Kata-kata Anisa sedikit membuat Nayla berharap. Berharap dari kecilnya kemungkinan kalau memang ada peluang untuknya. Tetapi secepat harapan itu datang, secepat itu pula harapan itu lenyap saat ia melihat Jimin memberikan jaketnya kepada salah satu junior yang mungkin kedinginan.

"Tuh liat sendiri, Nis!"

Anisa tidak berkata apa-apa lagi sampai akhirnya kegiatan malam itu berakhir dan semua orang kembali ke kamar masing-masing. Para panitia perempuan berbagi satu kamar yang sama yang dihuni sepuluh orang. Karena hanya ada satu toilet dalam kamar, maka terpaksa mereka harus bergantian atau ke toilet yang ada di luar. Ah iya villa yang mereka tempati ini terpisah ke dalam tiga bangunan. Satu bangunan utama yang tingkat ditempati para anggota dan panitia laki-laki. Bangunan kedua yang berukuran sedang yang terbagi menjadi empat kamar besar ditempati oleh para anggota perempuan dan satu bangunan berisi satu kamar besar diisi oleh para panitia perempuan. Posisi toilet bersama ada di sebelah bangunan kamar panitia perempuan dan untuk ke sana sama dengan harus menerjang udara malam yang dingin.

Nayla baru selesai mencuci muka dan sikat gigi saat ia berpapasan dengan Jimin. Lelaki itu kini mengenakan hoodie hitam karena menurut dugaan Nayla, jaket varsitynya masih ada di junior tadi. "Lho kak Jimin mau kemana?"

Jimin menggaruk tengkuk. Sepertinya dia tidak menyangka akan berpapasan dengan Nayla di depan toilet. "Ini...mau nganter selimut."

Nayla menatap selimut hijau di tangan Jimin. "Ke mana kak?" Selimut itu berbahan bulu-bulu tebal sehingga pasti sangat hangat apabila digunakan. Berbeda dengan selimut yang sudah ada di kamar yang tipis.

"Ke kamar panitia perempuan." Jimin menyerahkan selimut itu ke tangan Nayla. Nayla berkedip bingung. "Nih, lumayan anget. Tapi Cuma ada satu."

"Nggak apa-apa kak, makasih banyak!" Nayla memeluk selimut hijau itu. "Iya anget kayak boneka beruang." Dan ada wangi kak Jimin nempel di sana. Tetapi untuk itu Nayla tidak menyatakannya keras-keras.

Mereka lalu berpisah setelah Anisa keluar dari toilet selesai bersih-bersih. Nayla menyelimuti dirinya dengan selimut yang Jimin berikan sambil berjalan kembali ke kamarnya. Saat mencapai pintu kamar, Nayla menyempatkan diri menoleh ke belakang. Ternyata Jimin masih ada di posisinya tadi, menatapnya di bawah temaram lampu di depan toilet, memastikan Nayla dan Anisa kembali ke kamar dengan selamat. Hati Nayla menghangat. Lewat tindakan kecil saja, ia lagi-lagi dibuat jatuh hati.

"Lho Nay, selimut darimana itu?" tanya Febi, salah satu teman panitianya begitu Nayla kembali ke kamar menggunakan selimut hijau di tubuhnya.

"Ini kayaknya selimut di rumahnya anak cowok deh. Soalnya dikasih kak Jimin tapi katanya tinggal sisa satu."

"Ih curang! Harusnya anak cowok ngasih kita dong masa dipake sendiri. Emang kak Jimin doang yang perhatian, heran deh!" Salah satu teman Nayla protes. "Minta sama orang villanya ada lagi nggak ya?"

"Iya nih selimut yang ini tipis banget, kaki gue masih dingin!"

Nayla sendiri memilih untuk merebahkan diri di tempatnya. Beruntung yang tidur di sebelah Nayla karena akan ikut merasakan hangatnya selimut hijau tersebut. Nayla juga merasa beruntung karena dialah yang bertemu Jimin di luar tadi. Saat Nayla bersiap untuk tidur, tiba-tiba saja Anisa menarik Nayla dan membisikkan sesuatu.

"Itu bukan selimut dari villa. Itu punya kak Jimin. Gue yang bawain itu turun dari bus karena ketinggalan."

Malam itu, Nayla tidak bisa tidur dengan nyenyak karena memikirkan perkataan Anisa.

***

Keesokan harinya, hanya ada kegiatan sampai makan siang karena setelah itu mereka akan pulang ke Jakarta. Kegiatan ituhanya diisi flying fox dan acara bebas. Para panitia juga sudah bebas dari pekerjaan mereka dan bergabung bersama para anggota untuk bermain bersama.

Nayla akhirnya memberanikan diri menghampiri Jimin saat acara bebas sambil membawa selimut hijau yang diberikan lelaki itu semalam. "Terima kasih ya, kak."

Jimin tersenyum. "Nyenyak tidurnya semalem?" tanyanya lembut.

Nayla mengangguk. Lalu setelah itu mereka diliputi keheningan. Sepertinya Jimin tau bahwa ada hal yang ingin Nayla sampaikan dan lelaki itu dengan sabar menunggu.

"Aku...suka sama kakak." Nayla memberanikan diri menatap Jimin langsung. Meskipun tangannya sudah keringat dingin dan jantungnya berdegup menggila. "Aku tau mungkin kakak udah bosen dengernya, ya?" Nayla mencoba tertawa untuk mengurangi kecanggungan.

Jimin masih tidak bersuara. Dan kalaupun akhirnya Jimin bicara, Nayla sudah bisa menebak jawaban apa yang akan diberikan Jimin atas pernyataan cintanya.

"La..."

"Kakak nggak perlu jawab! A—aku Cuma mau menyatakan aja kok. Nggak mengharap jawaban. Selama ini aku nikmatin perasaan ini, makanya aku pikir selamanya aku nggak akan nyatain karena memang aku bener-bener nggak punya maksud lain." Nayla mencoba memasang senyum terbaiknya. "Kak Jimin tuh baik. Baiiik banget sampai kadang aku suka salah paham sama kebaikan kakak. Ya emang dasarnya aku yang baperan—" Ucapan Nayla terpotong karena tiba-tiba tanpa diduga Jimin mencubit hidung Nayla membuat gadis itu langsung berhenti bicara saat itu juga.

"Kak Jimin boleh gantian ngomong nggak, La?" tanya Jimin dengan senyum kecil. Di jarak sedekat ini Nayla baru sadar kalau Jimin wangi baby cologne. Entah parfum apa yang dipakai hingga wanginya bisa selembut suara dan sikapnya.

"Bo—boleh..."

"Aku nggak sebaik yang kamu pikir kok, La. Ada saat di mana aku melakukan sesuatu untuk diriku sendiri. Saat dimana aku egois dan manfaatin orang lain demi kepentinganku sendiri. Mungkin kamu kebetulan belum lihat sisi aku yang itu."

Yang Jimin katakan bukanlah alasan yang dibuat-buat untuk menolak Nayla melainkan kenyataan. Kenyataan bahwa Jimin hanyalah manusia biasa yang juga punya sisi keegoisan dalam dirinya.

Seperti saat Jimin diam-diam mengambil ubi rebus lebih dulu sebelum para panitia lain mengambil jatah milik mereka, yang sengaja ia simpan untuk diberikan pada Nayla lewat Anisa. Atau saat Jimin mengambil selimut miliknya yang sedang dipakai Ridho untuk diberikan pada Nayla setelah tau bahwa selimut di kamar panitia perempuan tidak cukup hangat.

"La, mau denger satu fakta nggak?"

Nayla mengerutkan kening. "Fakta? Fakta apa?"

"Fakta kalau aku udah suka sama kamu sejak hari Sabtu."

"HAH?" Nayla refleks menutup mulutnya yang menganga. Dan hari ini adalah hari Minggu. Apa itu berarti kak Jimin suka padanya sejak kemarin? "Mak—maksud kakak kemarin?"

Jimin tersenyum. Lalu ia melayangkan tangannya untuk mengacak pelan rambut Nayla. Hal yang selalu ingin ia lakukan saat gadis itu melakukan sesuatu yang menggemaskan di matanya. "Sabtu setahun yang lalu, La. Saat pertama kali kita ketemu di ruang sekretariat UKM. Di hari pertama kali kamu perkenalin diri, di hari itu juga hatiku memilih."

Nayla tidak pernah menyangka bahwa sudah sejak lama, hati kakak manis ini tertambat padanya. Andai ia tidak takut untuk mencoba, mungkin sudah sejak lama mereka bisa bersama. Sejak lama juga Nayla tau dari pertanyaan kakak manis siapa yang punya. Dan jawabannya adalah dirinya sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro