Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tristan

"Kau tidak ingat." Suara Rey memecah lamunanku. Aku hanya menatapnya bingung untuk beberapa saat, sebelum teringat rencana kami hari ini.

"Oh, Tuhan!" Tanganku refleks menepuk dahi. Menunduk ke bawah, mataku disambut sleeper bulu yang menutupi kakiku, kemudian short abu-abu hingga tangtop putih yang kukenakan untuk tidur semalam. Aku bahkan tak ingin membayangkan seberantakan apa rambutku sekarang. Aku menatap Rey dengan perasaan tak enak. "Aku betul-betul lupa, maaf." Rey tertawa dan menggeleng pelan.

"Tidak apa-apa, lagi pula, sepertinya aku yang datang terlalu cepat."

"Nara? Siapa yang di luar? Kok gak disuruh masuk?" Aku menoleh ke arah Om Hendrik.

"Oh ... ini Rey, dia dan kakeknya merupakan pengurus gereja St. Andrew. Dan, Rey, kenalin ini Om Hendrik."

"Senang bertemu dengan Anda." Rey menjabat tangan Om Hendrik.

"Rick, panggil aku Rick. Masuklah," ajak Om Hendrik.

"Kau bisa menunggu di dalam selagi aku bersiap-siap," usulku saat Rey terlihat seolah akan menolak tawaran Om Hendrik. Rey tersenyum dan masuk ke dalam.

"Sepuluh menit saja," ucapku sebelum berlari ke atas.

Aku berlarian ke kamar mandi setelah terlebih dahulu menyambar baju yang akan aku kenakan dari lemari. Segera mencuci muka dan membersihkan diri sekenanya, mataku melihat memar di pergelangan tanganku.

Aku mematung beberapa menit menatap memar yang terlihat seperti seorang mencengkeram tanganku begitu kencang. Berarti apa yang terjadi tadi itu bukan mimpi. Perasaanku seketika menjadi tidak enak dan aku langsung buru-buru bersiap-siap dan bergegas turun ke bawah.

---

"Siapa menyangka kota kecil seperti Greenwood memiliki tempat seindah ini," ucapku pelan. Mataku tak beralih dari keindahan air terjun di depan, di sini terasa begitu tenang.

"Greenwood selalu dikenal dengan keindahan alamnya," jawab Rey, "ada banyak tempat yang ingin kutunjukkan padamu." Lanjutnya.

"Aku tidak sabar."

"Hei ... kenapa wajahmu?" tanya Rey tiba-tiba.

Aku menyentuh pelipis kiri yang memar akibat terjatuh kemarin. "Aku terjatuh saat pergi ke rumah tua itu," akuku.

"Rumah tua ...."

"Oh kau tau, rumah milik keluarga Dewitt."

"Apa? Apa kau gila? kau tau sudah berapa lama rumah itu ditinggalkan? bagaimana kalau bangunannya roboh dan menimpamu saat berada di dalamnya?" Aku sedikit terkejut mendengar omelan Rey.

"Ya Tuhan, kau terdengar seperti Darrell." Tawaku. "Anak itu juga mengatakan hal yang sama."

"Dan kau seharusnya bisa lebih dewasa dibanding Darrell." Rey memutar bola mata, sebelum ekspresi wajahnya berubah. "Anak itu jauh berbeda sejak terakhir aku melihatnya," ucapnya tiba-tiba.

"Siapa?"

"Adikmu, Darrell." Aku mengerjap, Rey pernah bertemu Darrell?

"Kau pernah bertemu Darrell?" tanyaku bingung. "Tapi dia baru pertama kali ke sini."

"Yang lain mungkin, tapi Darrell dan Tuan Dirk menghabiskan beberapa waktu di sini empat tahun lalu." Rey terlihat seolah sedang mengingat-ingat. "Tapi Darrell yang dulu betul-betul berbeda, sangat ceria dan suka berbicara, dia sangat suka berbaur dengan orang-orang baru." Rey menggeleng. "Karena itu aku sedikit bingung saat melihatnya lagi, dia seperti orang yang berbeda."

Kepalaku dipenuhi begitu banyak pertanyaan, apa yang sebenarnya disembunyikan Darrell?

---

Saat pulang, hanya ada mama di rumah, sedang Om Hendrik dan yang lainnya sedang berada di gereja. Aku melirik jam yang sudah menunjukkan pukul lima sore. Mengintip ke belakang, mama terlihat begitu asik menciumi bunga mawar yang bermekaran, sejak kapan mama suka mawar?

Aku dikejutkan oleh suara benda jatuh di atas, yang diikuti dengan hentakan kaki. Jantungku berdebar hebat, menatap ke arah tangga, aku berharap siapapun itu akan tetap berada di atas. Langkahnya terdengar semakin keras, beriringan dengan suara benda berjatuhan.

Aku terkesiap saat suara pintu terbuka menjangkau telinga. Langkah kaki itu terdengar menjauh. Melangkah perlahan menaiki tangga, aku mengikuti arah langkah kaki tersebut, berusaha keras mengendalikan jantung yang semakin menggila. Suara itu terdengar di dalam kamarku.

Bisa kurasakan keringat dingin membasahi kedua tangan, napasku mulai tak beraturan, siapa yang berada di kamar?

Tanganku meraih gagang pintu, menarik napas beberapa kali, aku memberanikan diri membuka pintu dengan cepat.

Seketika semua suara menghilang, tak ada keanehan apapun yang ada di dalam kamarku. Semua terlihat rapi sebagaimana aku tinggalkan pagi tadi. Tuhan ... apa yang sebenarnya terjadi?

Aku menjerit saat sebuah tangan mendarat di bahuku.

"Nara!" panggil mama, wajahnya menampakkan kekhawatiran. Aku menatapnya ketakutan, apa dia benar-benar mama? "Ada apa, Nara?" tanyanya lagi.

Aku menggeleng, melangkah mundur berusaha menjauhinya. Entah kenapa aku tidak bisa mempercayai mama.

Mama menyeringai, berjalan perlahan ke arahku. "Apa kau takut padaku?" tanyanya, dengan suara yang berbeda, seakan dua orang yang berbicara secara bersamaan.

Air mataku jatuh, aku menatap mama ketakutan. "Tidak perlu takut padaku," katanya lagi. Aku terus melangkah mundur, hingga tubuhku mengenai dinding yang membuatku tak bisa kemana-mana lagi.

Mama berhenti tepat di depanku, dengan senyum menyeringai, tangannya hendak meraih tubuhku.

"Aaah ...!" aku tersentak bangun, melihat mama yang berada di depan menatap khawatir padaku, membuatku semakin ketakutan dan menghambur menjauh.

"Pergi! pergi!" teriakku saat tubuhku terjatuh ke lantai.

"Nara ... Nara ... kamu kenapa?" tanya mama khawatir. Aku menatap bingung, menyadari kalau aku berada di ruang tamu.

"Apa ... apa yang terjadi?" tanyaku lemah.

"Nara ketiduran di sofa setelah Rey mengantar Nara pulang tadi, mama dengar Nara nangis jadi mama bangunkan," jelas mama, masih terlihat cemas. Aku menghela napas, jadi semua cuma mimpi?

---

Februari, 1753

Sepasang mata abu-abu itu menatap penasaran pada kerumunan di depannya. Grace tidak pernah mengunjungi market seumur hidupnya. Namun kali ini, dia diizinkan pergi bersama Lucy setelah memohon pada ayahnya. Begitu banyak kios yang menjual berbagai barang yang berbeda.

"Nona, sebelah sini." Perhatiannya teralih saat mendengar suara Lucy. Grace mengikuti pelayan wanitanya itu menuju sebuah kios penjual tekstil.

"Ini kain dengan kualitas terbaik, liahatlah warnanya, kau tidak akan mendapatkannya di tempat lain," seorang wanita berambut hitam, menjelaskan pada orang yang melihat-lihat produknya.

Grace menatap dengan penuh ketertarikan, dia tidak pernah melihat kain dengan corak seperti itu. Lucy terlihat memasuki kios tersebut. Namun sesuatu yang lain mengalihkan gadis enam belas tahun itu. Sebuah kios yang menjual berbagai macam perhiasan menarik perhatiannya.

Berjalan mendekat, Grace melihat sebuah gelang sederhana terbuat dari sejenis kristal, dengan ukiran-ukiran aneh di sekelilingnya. Grace meraih dan mengamati gelang cantik tersebut.

"Itu adalah gelang milik Lady Adaline, menurut orang-orang, benda itu terkutuk." Sebuah suara mengejutkan Grace, membuat gadis itu tanpa sengaja menjatuhkan gelang ditangannya.

Dia berbalik mendapati seorang pemuda menatapnya dengan mata membulat. "Oh tidak ... bagaimana ini." Grace menyadari kalau pemuda itu membicarakan gelang yang sekarang telah patah menjadi dua bagian tergeletak di dekat kakinya.

Pemuda itu membungkuk dan meraih kedua patahan gelang itu."I ...."

"Oh tidak ... lihat apa yang sudah kau lakukan?" teriakan seorang wanita paruh baya menghentikan pembicaraan sang pemuda. "Apa kau tau berapa harga gelang tersebut?" dia membentak pemuda malang tersebut. "Bahkan lebih mahal dari nyawamu!" lanjutnya dengan nada keras.

Pemuda itu baru hendak membuka mulutnya namun kembali dipotong oleh wanita berbadan subur tersebut.

"Dasar tidak berguna! Aku akan bicara pada tuanmu, i ...."

"Kau sudah selesai?" potong Grace yang sudah mulai kesal.

Wanita itu menatapnya terkejut, berani sekali bocah ini berbicara seperti itu padanya!

"Berapa kerugianmu?" tanya Grace mengeluarkan bungkusan kecil yang terikat pada bagian pinggang gaunnya. Grace mengeluarkan beberapa keping koin emas dan meletakkannya pada tangan wanita itu.

Kalau saja dia tidak sedang kesal, mungkin Grace akan tertawa melihat ekspresi wanita itu yang terlihat seperti ikan yang terdampar di daratan.

"Aku yakin itu cukup untuk menutupi kerugianmu." Gadis itu berlalu.

"Nona." Langkahnya terhenti saat sebuah suara memanggil. "Terimakasih," ucap pemuda itu.

"Siapa namamu?" tanya Grace.

"Tristan."

"Tristan siapa? Apa nama keluargamu?" Tristan tertawa mendengar pertanyaan sang nona muda, entah apa yang dianggapnya lucu, tapi Grace merasa begitu kesal dengan sikapnya.

Menyadari ekspresi kesal Grace, tawa Tristan terhenti. "Anda serius?" tanyanya. Grace memutar bola mata.

"Apa kau melihatku tertawa?"

"Oh Nona, Anda tentu sadar siapa saya." Grace tidak menjawab dan Tristan melanjutkan. "Saya adalah seorang budak, kami tidak berhak memiliki nama keluarga."

Jawaban Tristan membuat mata Grace membulat. Orang bodoh mana yang membuat peraturan konyol seperti itu?

"Nona ... Nona, oh ternyata Anda di situ, saya sudah mencari Anda ke mana mana." Grace menoleh pada Lucy yang setengah berlari ke arahnya. "Anda ke mana saja?" tanya Lucy khawatir.

Grace menoleh ke arah Tristan, tapi pemuda tadi sudah menghilang di balik keramaian.

"Apa kau sudah selesai?" tanyanya.

"Saya sudah selesai, Nona. Sebaiknya kita segera kembali."

Grace mengangguk, mengikuti Lucy menuju kereta mereka.

Matanya kembali menoleh ke belakang, namun pemuda tadi sudah tidak lagi terlihat.

A/N: sorry spam update, wkwkwk abisnya kemarin2 gagal terus tiap mau post, itung2 ini balas dendam hahaha

Oke ini update an terakhir, jangan lupa vote dan komen, thank you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro