Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Rey

^ Picture of Rey

Aku terbangun saat merasa seorang bernapas tepat di wajahku, tanganku mendorongnya keras sebelum mencoba kembali tidur. Hanya beberapa detik berlalu, dan terpaan napas itu kembali mengenai wajahku.

"Millie jauhan dikit napa." Suaraku terdengar berat karena masih pengaruh tidur, Millie tampaknya tak mengindahkan omonganku karena napas dinginnya masih terasa.

Aku mengerang dan membalikkan badan, berharap bisa melanjutkan tidur. Bocah sialan itu malah bergeser mendekat, aku bisa merasakan tubuhnya menyentuh punggungku.

"Jauh dikit sana!" bentakku, tetap tak membuka mata.

Seseorang mengetuk pintu kamar. "Nara, cepat bangun, udah siang ini." Kudengar suara mama memanggil. Aku menarik napas, merasa jengkel karena terus-menerus diganggu. "Nara ...," panggilnya lagi sebelum terdengar suara pintu terbuka.

"Nara, sekarang sudah pukul sembilan, anak gadis kok bangunnya siang banget." Aku membuka mata, menatap lesu pada mama.

"Ngapain sih, Ma, Ara ngantuk." Aku mencoba menutup wajah dengan bantal, tapi mama sudah lebih dulu mendekat dan menyambar bantal itu dariku.

"Oh tidak ... tidak, kita mau jalan-jalan, semua sudah siap di bawah, jadi kalau Nara gak mau ditinggal sendirian sebaiknya cepat." Mama pergi setelahnya. Aku mengusap wajah, mengumpat kesal karena dipaksa bangun. Tapi aku juga tidak mau ditinggal sendiri di rumah tua ini.

Tunggu, kalau semua sudah turun ke bawah lantas siapa yang ada di sebelahku? Aku segera membalikkan badan, menatap tak percaya pada sisi ranjang kosong di sebelahku. Segera menghambur, aku berlari menyusul mama dan yang lainnya di bawah.

Mama menoleh saat aku tiba di dapur, dia tersenyum dan menyuruhku duduk. "Sarapan dulu sebelum siap-siap." Mama meletakkan dua potong roti isi di depanku, kemudian memberikan segelas susu hangat sebelum melanyiapkan sarapan untuknya.

Aku menatap Millie yang sedang asik menikmati sarapannya, dia sudah mandi dan berganti pakaian, jadi pasti Millie sudah bangun setidaknya satu jam lalu.

"Issac, apa yang mama bilang soal memainkan kamera di meja makan?" Suara mama membuyarkan lamunanku. Terlihat Issac meletakkan kameranya dari sudut mataku. Bocah itu seakan tidak bisa jauh dari benda perekam kecil yang selalu dia bawa kemana-mana itu.

Darrell meraih saputangan dan membersihkan diri sebelum beranjak meninggalkan meja makan. "Aku akan menunggu di luar." Bocah laki-laki itu tak menunggu jawaban, dan langsung berdiri membawa piring bekasnya ke tempat cuci piring sebelum berlalu, mataku memperhatikan bergantian antara Issac dan Darrell, penampilan mereka mungkin terlihat identik, namun karakter dan sifat yang ditunjukkan begitu berlawanan.

"Hati-hati dong, Sayang." Mataku melirik mama yang sibuk membersihkan wajah Millie yang belepotan selai kacang.

"Aku sudah selesai," teriak Issac, meraih kamera kesayangannya bocah itu berlari menyusul Darrell ke luar. Mama hanya menggeleng pasrah melihatnya. Bocah itu bahkan tak membereskan bekas makannya.

"Sebaiknya kamu cepat bersiap-siap." Aku melihat Om Hendrik dan menyadari kalau perkataan itu ditujukan padaku.

"Hmm ...." jawabku malas, "memangnya kita mau ke mana?"

Om Hendrik tersenyum ke arahku. "Lihat saja nanti, pokoknya kalian pasti suka," jawabnya. Aku tak melanjutkan bertanya dan segera bersiap-siap. Udara terlalu dingin untuk mandi, jadi kuputuskan untuk hanya cuci muka dan berganti pakaian saja.

Aku mengambil tas ransel di kamar dan memastikan kalau aku sudah mengunci jendela, sebelum menyusul yang lain ke bawah.

"Kita gak bawa mobil?" tanyaku saat mereka mulai berjalan, Om Hendrik menoleh dan mengangkat alis.

"Tempatnya tidak terlalu jauh, lagipula kamu butuh berolahraga," candanya. Aku hanya cemberut, apa aku tinggal saja? tapi tinggal di rumah mengerikan itu tidak akan menyenangkan.

"Wow ...." Aku menoleh Issac yang terlihat begitu antusias dan mengikuti arah pandangannya.

Terlihat sebuah gereja tua yang terlihat seolah keluar dari buku cerita horror. Aku hampir melompat saat seorang tiba-tiba merangkul bahuku dan melihat wajah tersenyum mama.

"Kau tau? Gereja ini bahkan sudah dibangun sejak leluhur Om Hendrik pertama pindah ke sini, menurut penduduk setempat, bangunan ini didirikan oleh seorang bernama Velden pada tahun 1732." Mama terlihat begitu antusias menceritakan sejarah bangunan tua itu.

Mataku kembali ke arah Gereja yang sudah kami lalui, bangunannya memang terlihat begitu tua dan gelap.

"Terlihat mengerikan," bisikku tanpa sadar.

"Benar-benar mengerikan," balas mama.

"Papa ... capek." Aku melihat bocah perempuan yang merengek di dekat kaki Om Hendrik, membuat laki-laki berbadan tegap itu tersenyum dan menggendongnya sebelum melanjutkan perjalanan.

"Sudah hampir sampai," ucapnya seraya menuju ke gerbang tinggi yang ditutupi rerumputan, dengan pintu kayu tua tanpa cat. Om Hendrik membunyikan lonceng yang berada pada sisi atas pintu gerbang tersebut dan menunggu beberapa saat, seorang wanita paruh baya membukakan pintu dan tersenyum.

"Anda tuan Dirk?" tanya wanita itu.

"Benar, saya sudah membuat reservasi untuk hari ini."

"Oh tentu, silahkan masuk." Wanita itu membuka gerbang lebih besar. "Selamat menikmati."

"Ayo," panggil Om Hendrik, aku membiarkan mama menuntunku ke dalam.

Melirik ke arah Issac, bocah bodoh itu masih juga sibuk merekam. Suatu hari dia bisa celaka dengan kecerobohannya.

"Ayo Darrell, cepat!" teriaknya sebelum berlari, membuat kembarannya itu menarik napas sebelum mengikutinya dengan terpaksa.

---

Tempat ini tidak buruk, kami menikmati pelayanan spa dan makan siang lezat di sini, bahkan ada pemandian air panas, yang tentu saja membuat tiga monster kecil itu terlalu bersemangat. Aku lebih memilih pergi ke taman bunga dan duduk menyendiri.

Menatap bosan pada layar handphon yang tidak juga mendapat sinyal, aku berpikir kira-kira ayah sedang apa? Kemarin kami hanya sempat mengobrol sebentar karena sinyal di sini sangat buruk.

"Apa kau bersama seseorang?" Sebuah suara terdengar di belakang. Aku menoleh dan mendapati remaja laki-laki menatapku.

"Iya?" tanyaku ragu, apa dia sedang bicara denganku?

"Aku tanya apa ada orang lain bersamamu?" tanyanya lagi.

"Oh .... ti--tidak, tidak ada." Aku memalingkan muka, merasa bodoh karena tergagap.

"Berarti tidak apa-apa kalau aku duduk di sini?"

Aku kembali melihat ke arahnya. "Kalau mau duduk ya duduk aja ngapain pake tanya."

Dia tertawa lalu duduk di sebelahku dan mengulurkan tangan. "Rey." Aku menatapnya bingung, lagi-lagi dia tertawa. "Namaku," jelasnya.

"Aku tidak ingat sudah bertanya."

"Ini seharusnya menjadi waktu di mana kamu memberitahu namamu."

Aku hanya menatap datar padanya. Jujur saja, anak ini cukup manis. Rambutnya sehitam bulu gagak, terlihat kontras dengan kulit putih dan mata cokelatnya. Wajahnya terlihat ceria, sebuah perasaan yang asing untukku.

"Kak Nara." Suara menyebalkan memanggilku. Aku melihat Issac dan mendengkus kesal. Bocah sial itu mengarahkan kameranya pada kami. "Kak Nara pacaran." Tawanya sebelum berlari.

"Nara?" Aku tersadar akan keberadaan Rey yang masih di sebelahku.

"Jangan panggil aku itu!" Rey mengangkat tangan sebagai gestur menyerah. Aku membuang napas dan mengucap singkat, "Ara."

"Kamu tinggal di mana? kalau kamu tak keberatan."

"Untuk seorang asing, kamu terlalu banyak bertanya." Dia terkekeh dengan jawabanku, kenapa bocah ini begitu bahagia? pikirku kesal.

"Aku tinggal tak jauh dari sini," tuturnya kemudian, "kau tentu menyadari sebuah gereja besar tak jauh dari sini, rumahku tepat berada di belakangnya." Aku menatapnya, mulai sedikit tertarik.

"Gereja tua itu? tempatku tinggal juga dekat  dari situ."

"Oh ya? di mana? mustahil aku tak pernah melihatmu, aku kenal semua orang di sini." Dia mengistirahatkan siku ke atas lututnya, menungguku menjawab.

"Aku tidak tinggal di sini, sebenarnya aku hanya ke sini untuk berlibur bersama keluargaku, kami tinggal di rumah omku." Aku berpikir sejenak lalu melanjutkan. "Kau tau keluarga Dirk?"

Dia menegapkan tubuhnya, melemparkan senyuman ke arahku. "Pantas saja adikmu tadi terlihat familiar." Aku mengerutkan alis.

"Issac juga bukan orang sini, tidak mungkin kau pernah melihatnya," balasku, "dan dia bukan adikku." Aku cepat menambahkan.

"Ya ... ya, bukan dia tentu saja, tapi kakek buyut kalian merupakan salah satu orang terpandang di sini, kau bisa lihat gambarnya yang masih terpajang di pelataran gereja, mereka betul-betul mirip." Dia terlihat jauh dalam pikirannya, sebelum tiba-tiba air mukanya berubah dan senyum yang sejak tadi menghiasi wajahnya lenyap. "Tunggu ... itu artinya kalian menempati rumah yang berada di sebelah bangunan milik keluarga Dewitt?" tanyanya, wajahnya menunjukkan rasa penasaran dan ... khawatir?

"Keluarga Dewitt siapa?" aku balik bertanya.

"Rumah tua yang tepat berada di sebelah Rumah milik keluarga Dirk," jelasnya singkat. Aku hanya diam beberapa saat, merasa bingung dengan apa yang dia maksud, sebelum teringat rumah aneh itu.

"Ada apa dengan rumah itu?"

Rey hendak membuka mulutnya, namun terhenti saat seorang pria tua memanggilnya. "Ah ... itu kakekku, aku harus pergi," ucapnya seraya berdiri.

"Kau belum menjawab pertanyaanku."

"O-oh ... lupakan saja," ucapnya sebelum berlalu pergi. Aku mengamati pemuda itu berbincang dengan kakeknya sambil berjalan, sampai mereka tak terlihat lagi.

Memangnya ada apa dengan rumah tua itu?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro