Part 16: Temptation
Langkahku melambat manakala kami mulai mendekati bangunan gereja tua itu. Aku berhenti saat tepat berada di pintu masuk gereja, membuat Millie yang masih memegang tanganku ikut terhenti dan menatap bingung padaku.
"Nara?" Om Hendrik menoleh, mengisyaratkan untuk mengikuti mereka ke dalam.
Mataku menatap ke belakangnya, merasa tidak nyaman dengan suasana yang tidak familiar ini. "A ... Ara tunggu di luar saja." Om Hendrik diam sesaat, sebelum tersenyum paham.
"Ya sudah, ayo sayang," dia melambai pada Millie, tapi bukannya mendekat ... Millie malah mengencangkan genggaman tangannya, membuatku menatapnya bingung.
"Millie, ayo, Sayang," panggil mama menghampiri kami dan mengambil Millie dariku. Entah kenapa, Millie seakan tidak mau melepas pegangannya, tapi dia tidak merengek saat mama membawanya ke dalam. Matanya terus menatapku, hingga mereka masuk ke dalam gereja dan tak terlihat lagi.
Aku melihat-lihat pelataran gereja, ada banyak foto berderet di sini, semua merupakan foto hitam putih yang mungkin usianya sudah puluhan tahun. Sebagian gambar yang terpajang merupakan lukisan. Aku berjalan mendekat dan mengagumi karya seni luar biasa itu.
"Semua ini merupakan para pendiri kota." Aku menjerit, dikejutkan oleh suara Rey yang entah kapan berada di belakangku. Aku menatapnya dengan mata membulat dan napas tersengal, tangan kanan memegang dada, bisa kurasakan jantung berderup begitu cepat.
"Rey!" ucapku kesal, bukannya merasa bersalah anak itu malah tertawa melihat keadaanku.
"Ya Tuhan, Ara, wajahmu ... hahaha."
Aku menatap tajam padanya, menunggu dia selesai mentertawakanku. Rey menutupi tawanya dengan batuk saat menyadari ekspresiku.
"Kamu sudah puas ngetawain Ara?" Rey terlihat menarik napas dan berusaha mengendalikan diri.
"Oke ... oke, aku akan berhenti," ucapnya terkekeh. Aku mengabaikannya dan kembali memperhatikan lukisan 'para pendiri kota'. Mataku menangkap satu lukisan, wajah di dalamnya terlihat begitu familiar.
"Siapa ini?" Suaraku tak lebih dari bisikan, mataku tak meninggalkan sorot mata hijau yang seakan menatap balik ke arahku.
"Gila bukan? aku sama herannya saat pertama melihat Darrell beberapa hari lalu." Rey mendekatiku. "Mereka betul-betul mirip."
Aku bahkan tak bisa menyangkal pernyataan itu. Pria dalam lukisan ini mungkin jauh lebih dewasa dibanding Darrel, ekspresinya terlihat lebih tegas ... lebih keras. Namun matanya, bentuk wajahnya, bahkan hampir keseluruhan terlihat begitu mirip dengan Darrell, dan itu benar-benar gila.
Issac dan Darrell memang mirip, tapi jika Darrell memiliki mata yang terlihat sendu, mata Issac terlihat bulat dan cerah. bentuk wajah Issac cenderung oval dan lembut saat Darrell memiliki garis wajah yang tegas.
"Kau tidak menjawab pertanyaanku," gumamku, tak mengalihkan pandangan dari wajah tersebut.
"Ini adalah lukisan dari Tuan Arthur Nicolas Dirk." Napasku tercekat, aku bahkan tak sadar mengambil langkah ke belakang. "Dia leluhur keluarga Dirk,
"Wow ... Ini, ini betul-betul ... wow." Aku bahkan tidak tau harus bicara apa. Menyadari telah membaca tentang pria ini dari jurnal milik Grace, dan tiba-tiba melihat lukisan wajahnya cukup mengejutkanku.
"Kau tidak apa-apa?" Rey bertanya khawatir.
"Ya, ya, Ara ga apa-apa." Aku mengembuskan napas pelan. "Sama sekali tidak apa-apa," gumamku melirik lukisan Arthur untuk terakhir kali.
"Aku sedikit khawatir tadi." Tawa Rey, tapi matanya masih terlihat khawatir. "Sekilas kau seolah habis melihat hantu, wajahmu benar-benar pucat tadi," jelasnya saat kami berjalan menuju sebuah pintu tersembunyi di sisi timur Gereja. Rey mempersilahkanku masuk terlebih dulu sebelum mengikuti
"Pheww ... maaf, Ara cuma gak nyangka bakal melihat gambar fisik Tuan Arthur." Aku tertawa. "Setelah membaca apa yang ditulis Grace tentang laki-laki itu, melihat gambarnya membuat Ara merasa aneh. Dan fakta kalau dia terlihat begitu mirip dengan Darrell juga tidak membantu." Aku kembali tertawa. "Wow," aku berdecak kagum saat menyadari ruangan ini. Rak-rak tinggi berderet, di dalamnya tersusun buku-buku tua yang membuatku takut untuk bahkan menyentuhnya.
"Grace mengenal Tuan Arthur?" tanya Rey begitu bingung.
"Iya, ada beberapa entri tentangnya dalam jurnal milik Grace, berdasarkan tulisannya, Ara pikir hubungan mereka cukup dekat." Rey mengernyitkan kening, seolah mengingat-ingat.
"Hmm ... aneh, tidak ada catatan tentang kedekatan mereka."
"Oh ya?" tanyaku sebelum teringat sesuatu. "Hei, Ara sudah berjanji akan mengajak Issac dan Darrell."
"Aku tau, aku menyuruh mereka menyusul nanti, Issac tau ruangan ini, aku sudah memberi tahunya." Seakan tau sedang dibicarakan, terdengar suara ketukan pintu dari luar, Rey segera membukakan dan mempersilakan Issac dan Darrell masuk.
"Woah ...." Adalah hal pertama yang keluar dari keduanya.
"Apa kau membawa jurnalnya?" tanya Rey tiba-tiba.
"Oh, iya." Aku membuka tas selempang dan mengeluarkan jurnal Grace bersama buku milik Rey yang tertinggal. "Kau meninggalkan ini kemarin." Rey bernapas lega.
"Kupikir aku menghilangkannya."
"Maaf, Ara lupa ngasi tau lewat pesan semalam," kataku, Rey menggeleng.
"Gak apa-apa, terimakasih." Dia menyelipkan buku itu ke dalam salah satu rak.
"Apa yang kalian lakukan?" tanyaku pada Issac dan Darrell yang terlihat asik berdua. Keduanya tak menjawab dan hanya cekikikan.
Rey kembali membawa sebuah buku tua dengan cover semacam kulit hewan.
"Di sini tertulis para budak melakukan pemberontakan besar-besaran pada akhir tahun 1758." Rey membuka beberapa halaman dengan hati-hati sebelum mendekatkan buku itu padaku. "Pemberontakan itu berlangsung selama beberapa bulan, tercatat banyak kematian terjadi selama waktu itu."
"Kak Rey apa kami boleh melihat-lihat?" tanya Issac, aku melihatnya bersama Darrell berdiri di depan sebuah rak.
"Tentu, tapi pastikan kalian berhati-hati dan kembalikan semua buku di tempatnya yang semula, oke?" pesan Rey.
"Oke, Kak, kami akan hati-hati."
Aku tidak terlalu memperhatikan mereka, mataku fokus membaca kata demi kata dari buku di tangan. Entah kenapa, seolah ada yang dihilangkan dari catatan ini, tidak disebutkan dengan jelas penyebab terjadinya pemberontakan saat itu. Hanya dituliskan para budak menyuarakan protes.
"Tch ...," aku berdecak, tidak menyukai rasa penasaran dari hal ini.
"Wow." Aku menoleh saat mendengar suara Rey, dia terlihat sedang membaca jurnal milik Grace. Aku mendekatinya dan melihat apa yang dibacanya.
Februari, 1754
Angin malam berdesir lembut membelai wajah putih Grace, musim dingin akhirnya berakhir, walau belum sepenuhnya. Manik abu-abu itu menatap pada lahan kosong dari jendela kamarnya. Terlihat beberapa pondasi yang telah terpasang, beberapa bagian mulai dikerjakan, sudah hampir dua minggu sejak para pekerja itu mulai pekerjaan mereka, dan harus Grace akui, mereka bekerja dengan cukup baik dalam waktu sesingkat ini.
"Belum tidur juga?" Suara Stephan mengagetkan gadis itu.
"Kau masih di sini?" tanya Grace, heran melihat sang kakak belum juga pulang mengingat hari sudah mulai malam.
"Apa? Kau tidak suka melihat kakakmu?" candanya. Grace tampak melewatkan humor dari suara kakaknya.
"Bukan seperti itu, kau tau aku suka bersamamu, tapi akan berbahaya kalau melakukan perjalanan terlalu malam," jelasnya, berharap kata-katanya tak menyinggung Stephan.
Stephan tertawa, merangkul adik kecilnya lembut. "Aku tau, Olivia, aku hanya bercanda." Dia menatap wajah Grace, siapapun yang menyaksikan tentu dapat melihat kasih sayang Stephan untuk Grace, oh apa yang tidak akan dia lakukan untuk adik kesayangannya ini? "ada yang mengganggu perasaanmu, Olivia?"
Grace menggeleng, memeluk sang kakak erat dan menyembunyikan wajahnya di dada Stephan.
"Jika kau ingin mengatakan sesuatu, kau tau kau selalu bisa bicara denganku bukan?" Grace mengangguk. Namun suaranya tetap tak keluar.
Bagaimana mungkin dia bercerita pada Stephan? Hal terakhir yang dia inginkan adalah melihat raut kekecewaan pada wajah kakak tertuanya itu.
Selama ini, Stephan merupakan satu-satunya orang yang menunjukkan kasih sayang kepada Grace, dan yang gadis itu inginkan hanyalah membuat sang kakak bangga.
"Beristirahatlah, aku ingin membawamu keluar besok." Grace menatap sang kakak penuh harap.
"Kemana?" tanyanya semangat.
"Ah ... mungkin kau akan tau besok." Stephan menjentik hidung Grace lembut.
Gadis itu cemberut, berharap Stephan akan memberitahunya saja, tapi tak dapat memungkiri bahwa dia sangat bersemangat menanti kejutannya besok.
Stephan meninggalkan kamar Grace setelah itu. Beberapa menit berlalu, dan Grace belum juga bisa memejamkan mata, saat dia mendengar suara dari luar jendelanya. Seolah seorang melempar benda kecil ke jendela.
Dia bangun dan mengintip keluar, senyumnya merekah saat melihat siapa yang berada di bawah.
"Tristan?" bisiknya, khawatir kalau ada yang mendengar. "Apa yang kau lakukan di sini?" Grace tak mengerti bagaimana Tristan bisa berada di sini tanpa ada yang mengetahui, jika dia ketahuan menyelinap kemari, bisa-bisa dia akan dihukum.
"Anda ingin keluar bersama saya?" tanya pemuda itu.
Sekarang? Apa pemuda ini sudah gila? pikir Grace.
"Tristan, ini sudah malam, dan apa yang kau lakukan di sini? Seorang mungkin bisa melihatmu."
Tristan mengangkat bahu seakan tak peduli.
"Anda mau ikut atau tidak?" tanyanya lagi.
Grace menoleh ke arah pintunya yang terkunci dan kembali ke arah Tristan. Dia tak seharusnya melakukan ini, tapi perasaannya menutupi semua logika. Grace mengangguk dan membuka lebar jendela kamarnya.
"Jangan biarkan aku jatuh," bisiknya sebelum memanjat ke luar.
"Tidak akan."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro