Jurnal 0.1
Saat kami tiba di rumah, Om Hendrik, mama dan Millie masih belum kembali dari klinik. Kami pun bergegas membersihkan diri dan mengganti pakaian penuh debu tadi dengan yang baru. Tubuhku masih terasa sakit akibat terjatuh tadi, tapi aku menyembunyikannya karena tidak mau ada yang mulai mempertanyakan.
"Darrell, apa mama dan ayah masih lama?" terdengar suara halus Issac, bocah itu terlihat begitu kelelahan dan hampir tertidur.
"Entahlah, kau pergi tidur saja."
"Tapi sekarang masih sore," sanggah Issac, sebelum kemudian menguap.
"Lalu?" Darrell mengangkat alis ke arah saudara kembarnya yang ternyata sudah lebih dulu tertidur di bahunya. Darrell menggeleng sambil terkekeh, dia meletakkan bukunya ke atas meja sebelum membetulkan posisi Issac agar saudara kembarnya itu berbaring di sofa tempat mereka sekarang duduk. Setelah yakin Issac sudah nyaman, Darrell kembali mengambil bukunya dan melanjutkan membaca.
"Hmm ... sepertinya Ara juga mau istirahat," ucapku sambil merenggangkan tubuh. Darrell tak menjawab, hanya menatapku dingin ... seperti biasa.
Aku meninggalkan mereka dan beranjak ke kamar. Mengunci pintu, aku mengambil jurnal yang tadi ku sembunyikan di balik kasur. Apa yang kira-kira tertulis di dalamnya? pikirku penasaran.
Duduk bersandar di sudut tempat tidur, aku membuka sembarang jurnal tua tersebut. Keningku mengerut melihat tulisan kursif yang membuatku pusing hanya dengan melihatnya saja. Beberapa bagian terlihat memudar bahkan ada beberapa halaman yang sudah terkoyak. Aku melihat sebuah entry yang hanya terdiri dari satu kalimat singkat, tanggal yang tertera di atas adalah 23 September, 1752.
"Woah ... benda ini betul-betul tua," bisikku takjub.
'Those who live in a glass houses shouldn't throw stones.'
Alisku mengerut membaca kalimat tersebut, apa yang dimaksud? orang yang tinggal di rumah kaca tak seharusnya melempar batu? Perumpamaan bodoh apa yang dimaksud? Aku mengambil buku ini berharap bisa mendapat petunjuk, bukan untuk bermain Riddle, pikirku kesal. Tidak ingin pusing, aku membaca entry selanjutnya.
'Lady Annalise comes again this morning, she scolded me about daydreaming in the middle of her lesson, mother was not very happy either. She told me that I need to act according to my status, didn't she realise that I don't care about any of that? and what is this coming-of-age-party they kept talking about. I'll turn sixteen, nothing special about that!'
(Lady Annalise datang lagi pagi ini, dia memarahiku karena melamun di tengah-tengah pelajarannya, ibu juga tidak terlalu senang. Dia menyuruhku bersikap sesuai statusku. Tidakkah dia sadar kalau aku tidak peduli dengan semua itu? dan apa apaan dengan pesta coming-of-age yang terus mereka bicarakan? Aku akan memasuki usia enam belas tahun, tak ada yang spesial darinya!)
Aku menutup jurnal itu keras dan memutar bola mata.
Setelah membahayakan diriku dengan memasuki rumah kosong berhantu itu, yang kudapat hanya sebuah diary bodoh seorang remaja manja? pikirku kesal. Namun karena masih penasaran, tanganku kembali membuka acak jurnal tua tersebut.
___X___
Desember, 1752
Deretan lilin-lilin putih yang memenuhi kamar tidur bergaya khas kolonial belanda itu, menyajikan cahaya orange keemasan. Tampak seorang gadis muda keluar dari pintu yang berada di salah satu sisi-yang merupakan kamar mandi pribadi- dengan masih mengenakan jubah mandi. Tiga orang pelayan pribadi yang telah siap menunggu, segera menyambut sang nona muda dan membantunya bersiap.
Sebuah gain indah berwarna lilac dengan sentuhan sabuk berwarna gold telah siap di atas tempat tidur mewahnya. Hanya dengan melihatnya saja, orang dapat mengetahui bahwa gaun tersebut dibuat dengan menggunakan sutera terbaik di zaman itu. Bahkan detail bordir yang menghiasinya pun dikerjakan oleh pengrajin terbaik Greenwood.
Grace Olivia Dewitt, puteri tunggal dari keluarga Dewitt tersebut, menahan diri untuk tidak mengumpat saat Rachel, salah satu pelayannya mengikat korset yang ia kenakan terlalu kencang. Dia menarik napas, membiarkan kedua pelayannya memakaikan gaun mewah itu ke tubuhnya.
Grace menatap kaca, kulit putihnya terlihat berkilau di antara cahaya lilin. Tidak akan ada yang membantah kecantikan gadis enam belas tahun tersebut. Sebagaimana tidak ada yang tau tangisan hatinya yang ingin berontak, yang berharap dirinya memiliki sedikit keberanian untuk lari dari semua ini.
Ketiga pelayan itu mulai menghiasi Grace, gadis remaja itu seperti sebuah boneka, dia hanya membiarkan mereka menata rambutnya dan mengaplikasikan make up ke wajah cantiknya.
Netra abu-abunya menatap dingin pada kaca sekali lagi, ketiga pelayannya sudah selesai menata rambut cokelat keemasannya, sebuah ornamen dengan deretan mutiara berwarna senada dengan gaunnya diletakkan di sisi kepala sang gadis muda, menambah kesan mewah pada penampilannya.
Sebuah ketukan halus terdengar dari pintu, Lucy, satu dari tiga pelayan itu segera membuka dan memeriksa siapa yang datang. Grace bisa mendengar bisikan halus, walau ia tak menangkap pembicaraan Lucy dengan orang yang di luar.
"Nona, seorang datang membawakan sebuah hadiah untuk anda," suara gadis itu lembut saat dia berbicara. Grace menganggukkan kepala, mengisyaratkan bahwa dia mengizinkannya masuk.
Lucy kembali ke pintu untuk mempersilahkan utusan tersebut masuk. Seorang wanita muda dengan gaun linen berwarna putih, masuk dengan membawa sebuah nampan bertatakan garmen bermotif bunga, di atasnya, tampak sebuah kotak kecil berwarna merah dengan pita emas.
"Nona, sebuah hadiah untuk anda dari Tuan Arthur Nicolson Dirk." Ketiga pelayan tersebut seolah tak mampu menutupi keterkejutan mereka, ketiganya menatap dengan mata membulat dan napas tercekat pada utusan tersebut.
Grace dapat merasa dadanya berdesir mendengar nama tersebut, semua orang tau siapa keluarga Dirk dan pengaruh mereka di kota ini, dan untuk Grace menerima hadiah khusus dari mereka merupakan sebuah kejutan besar. Gadis itu berdiri dan menatap pada Aleida, wajah cantiknya tak menunjukkan sebuah reaksi apapun.
"Terimakasih, kau bisa berikan hadiah itu pada pelayanku, tolong sampaikan ucapan terimakasihku kepada tuan Dirk," ucapnya tenang.
Rachel menerima hadiah tersebut dengan mata yang dipenuhi rasa penasaran. Grace melihat Annelies menutup pintu saat Aleida keluar. Rachel membuka kotak tersebut setelah mendapat izin dari Grace dan ketiga pelayan itu hampir berteriak kegirangan.
"Oh, lihat betapa cantiknya ini, Nona."
"Anda pasti terlihat cantik mengenakannya."
"Ah, bahkan warnanya terlihat cocok dengan gaun yang anda kenakan."
Ketiganya terus melontarkan pendapat, Grace menatap kalung emas yang berada di dalam kotak tersebut. batu sapphire berbentuk lingkaran terletak ditengah dikelilingi emerald, diikat dengan emas, sapphire itu berwarna biru, dan sekelilingnya, menghambur berlian kecil berwarna putih menambah kesan mewah pada kalung indah tersebut.
Grace meraih kalung itu, mengambil dan mengamatinya. Kilatan cahaya dari lilin yang memantul dari deretan berliannya, seakan menyilaukan bagi gadis muda itu.
---
Aku menyimpan jurnal itu di dalam lemari, berharap tak akan ada yang menemukannya. Mengunci lemari, aku berbalik hendak kembali turun. Namun tersentak saat mendapati mama sudah berada tepat di hadapanku.
"Mama?" tanyaku bingung.
Bukankah tadi aku sudah mengunci pintunya sebelum mulai membaca jurnal itu? pikirku.
"Nara sedang apa?" tanya mama lembut.
"A ... ti, tidak sedang melakukan apa-apa." Bodoh! kenapa aku tergagap?
"Nara tidak habis melakukan hal aneh kan?" Suara mama begitu halus, sehingga membangunkan bulu halus di pundakku. Aku menggeleng, seolah lidahku tertahan tak mampu berkata-kata.
Mama tersenyum, tangannya mengusap rambutku dan menyelipkannya di belakang telinga.
"Bagus, Nara jangan bertindak bodoh." Dadaku berderup kencang, merasa sesuatu yang aneh dengan mama, sesuatu yang tidak bisa kujelaskan.
"Hey, kenapa wajahnya begitu?" tanya mama dengan nada bercanda. Aku menatap bingung pada mama yang tertawa padaku, apa tadi hanya perasaanku saja? "Jangan melamun, cepat turun, makan malam sudah siap." Aku berkedip sekali, dua kali, dan tiga kali, masih tidak mengerti perubahan sikap mama barusan.
Mama meninggalkanku yang masih dikuasai kebingungan, tidak tanpa mengingatkanku untuk segera turun dan makan bersama mereka.
Aku benar-benar tidak kuat tinggal di sini.
A/N: Those who live in glass houses shouldn't throw stones. merupakan sebuah idiom yang bermaksud antara lain: seorang yang moralnya masih dipertanyakan (seorang yang tidak sepenuhnya baik), tidak mempunyai hak untuk mengkritik orang lain.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro