Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Darrell's Story

Tanganku spontan menyembunyikan semua buku di tangan ke bawah comforter saat seorang mengetuk pintu kamar, pintu terbuka dan mama tersenyum ke arahku dari luar.

"Nara sedang apa? seharian di kamar aja, tadi pagi juga gak ikut sarapan?" tanyanya lembut.

"Ga apa-apa, Ma, tadi temen Ara datang, dia baru juga pulang."

"Oh? Kok gak diajak makan siang di sini sekalian." Mama melangkah masuk sebelum duduk di dekatku di atas tempat tidur.

"Mungkin lain kali, tadi Rey sedikit buru-buru," jelasku, tak sepenuhnya berbohong.

"Hmm baiklah, jangan di kamar saja, sebentar lagi makan siang siap, Nara cepet turun." Netraku menatap jam yang sudah hampir mengarah ke pukul dua belas. Wow ... waktu memang cepat berlalu. Batinku.

"Iya, Ma."

Setelah mama menutup kembali pintu kamar, aku segera menyimpan jurnal Grace bersama buku milik Rey ke dalam lemari dan menguncinya. Berlari ke lantai bawah, aku mendapati Issac duduk sendirian di sofa ruang tamu sedang melihat rekaman dari kameranya.

"Hei, Issac." Dia menoleh ke arahku. "Kau tau di mana Darrell?" tanyaku.

"Dia di kamar," gerutunya, "dia mengusirku ke luar, katanya Darrell sedang tidak ingin diganggu," jelasnya, sebelum wajahnya terlihat lesu dan sedikit khawatir. "Apa aku sangat menyebalkan, Kak Nara?" tanyanya sedih.

Aku mengangkat sebelah alis, melihat bocah di depanku yang menanti sabar akan jawabanku. Wajahnya terlihat seolah dia memikul seluruh beban di dunia.

"Err ... tidak," kataku ragu, aku bisa melihat perasaan sedihnya sedikit berkurang dan wajahnya tampak penuh harap. "Kadang seorang cuma butuh waktu untuk sendiri dan kita harus menghormati itu." Kenapa aku berusaha menghibur anak ini? Permasalahannya dengan Darrell bukan urusanku.

Issac tampak mencerna perkataan ku sebelum mengangguk cepat.

"Itu artinya Darrell tidak sedang marah padaku? Dia akan bermain denganku lagi, kan?" tanyanya penuh harap.

"Tentu saja, aku yakin dia hanya butuh waktu untuk berpikir," ucapku sekenanya. "Lagi pula, kalian saudara, kalian terjebak dengan satu sama lain." Aku memutar bola mata dan berlalu meninggalkan Issac dan bergegas menuju ke kamar yang ia tempati bersama Darrell, tanganku mengetuk pelan dan menunggu jawaban.

"Kubilang tinggalkan aku sendiri, Issac!" bentaknya, aku sedikit terkejut dengan nada bicara Darrell, karena sepanjang pengetahuanku, dia tidak pernah dengan sengaja meninggikan suaranya pada Issac. Pantas saja saudaranya itu terlihat begitu sedih.

Aku membuka pintunya dan masuk.

"Apa kau tidak mengerti?" Darrell terdiam begitu melihatku. "Aku sedang tidak ingin bertemu siapapun," cetusnya.

Aku memutar bola mata. "Ya ... ya, Issac sudah mengatakan hal yang sama."

"Bagus, kalau begitu keluarlah." Dasar bocah tidak tau sopan santun!

Aku menarik napas, berusaha bersikap tenang dan tidak terpancing oleh sikap menyebalkan Darrell.

"Kamu sudah pernah datang ke sini sebelumnya," ucapku tanpa basa basi. Darrell mengernyitkan dahi dan mengangkat tubuhnya hingga posisi duduk.

"Siapa yang beritahu?"

"Tidak penting, jadi benar kamu pernah ke sini?" Aku berjalan mendekat dan berhenti tepat di sisi tempat tidurnya dengan tangan menyilang di dada.

Darrell menatapku datar, sama sekali tak terpengaruh oleh sikapku.

"Lalu? apa yang menjadikan ini urusan kak Nara?" tanyanya menantang. Aku mendengkus, berusaha keras untuk sabar menghadapi bocah sepuluh tahun yang layak mendapat award sebagai anak paling menyebalkan.

"Ara mau kamu jujur tentang apa yang kau tahu tentang keanehan-keanehan yang ada di sini." Dia menatap sinis padaku.

"Keluar, Kak Nara." Aku terkejut oleh nada dinginnya.

"Ayolah Darrell, Ara tau kamu tau sesuatu." Aku menarik napas, memikirkan kalimat yang tepat yang mungkin dapat membuatnya mau membuka mulut. "Apa kau tidak mau mengakhiri semua ini?" tanyaku pelan mengambil tempat duduk di sebelahnya. Darrell hanya melihatku, begitu banyak emosi yang melintas di dalam matanya. Apa aku begitu acuh selama ini, hingga tak menyadari beban yang disandang oleh adikku sendiri?

Apa yang kupikirkan? Dia bukan adikku! gerutuku dalam hati.

"Tidak ada yang terjadi," ucap Darrell setelah beberapa saat. "Tidak ada yang terjadi, aku tidak melihat apapun."

"Darre--"

"Aku tidak gila!" bentaknya membuat mataku membulat.

Wajah yang selama ini selalu menunjukkan ekspresi tenang, kali ini tampak dipenuhi terror, matanya terlihat memerah seakan dia akan menangis. Oh Tuhan ... apa yang sebenarnya terjadi pada Darrell waktu itu?

"Tentu saja, Ara tidak pernah berpikir kalau kau gila." Aku meraih dan memeluknya, Darrell membiarkanku, tangannya tak memeluk balik padaku tapi dia tak mendorongku. Kalau kupikir, ini adalah pertama kali aku melakukan kontak fisik dengannya.

Sejak pertama dipertemukan, aku selalu berusaha menjauhi mereka. Tidak pernah sekalipun aku menganggap Darrell, Issac ataupun Millie sebagai adik, mereka tak lebih dari parasit yang merebut mama dariku. Namun hari ini, aku seolah melihat hal berbeda. Tanganku memeluknya lebih kencang.

"Maafkan Ara," bisikku, aku bisa merasa ketegangan di tubuhnya perlahan menghilang. Aku melepas pelukanku dan menatapnya lekat-lekat. Darrell membuang muka dan mengusap kasar pada matanya.

Aku meninggalkannya untuk mengunci pintu, sebelum kembali duduk bersamanya di atas tempat tidur.

"Dia membenciku," lirihnya tiba-tiba.

"Dia?"

"Hantu itu." Darrell melihatku, seakan menungguku mentertawakannya. Aku diam dan menunggu dia meneruskan. "Ayah membawaku ke sini saat usiaku lima tahun, empat bulan sebelum ulangtahunku yang ke enam." Matanya menatap nanar ke depan, seakan mencoba mengingat-ingat kejadian itu.

"Aku tidak mengerti apa yang terjadi, kenapa mama pergi bersama Issac dan meninggalkanku dengan ayah." Dia mendesah pelan. "Aku sama sekali tidak mengerti yang terjadi saat itu."

"Apa maksudmu mama pergi bersama Issac?" tanyaku tidak sabar.

Darrell menggeleng pelan.

"Mereka selalu bertengkar waktu itu, aku dan Issac biasanya akan bersembunyi di kamar dan mendengar mereka melempar cacian satu sama lain." Aku seakan tak percaya kata-katanya, tidak pernah terbayangkan olehku kalau hubungan mama dan Om Hendrik pernah melalui masa-masa sulit.

"Suatu hari mama pergi begitu saja, dia membawa Issac bersamanya." Darrell diam beberapa saat sebelum matanya bertemu mataku. "Kalau aku mengingat kembali, aku senang Issac yang bersama mama."

Aku hanya diam, tidak tau bagaimana harus merespon.

"Ayah membawaku ke sini dua minggu setelah kepergian mama, hidup berjalan cukup normal, sampai ...." Darrell menelan saliva, menarik napas gemetar. "Awalnya aku fikir itu hanyalah halusinasiku saja, tapi semakin lama ... semua semakin nyata."

"Grace?" tanyaku.

"Tidak ... aku tidak tau siapa dia, seorang laki-laki, tubuhnya kurus dengan kulit yang begitu kering hingga seolah akan mengelupas. Dia terus-menerus mengancam dan berusaha mencelakaiku." Darrell menatapku, wajahnya menunjukkan kesedihan yang begitu dalam.

"Aku mencoba memberitahu ayah, tapi dia tidak percaya, menurutnya aku hanya bertingkah karena merindukan mama dan Issac." Dia terkekeh, tapi tak ada humor di wajahnya. "Sungguh pernyataan yang bodoh, tentu saja aku merindukan mereka, tapi tidak pada titik di mana aku akan mengarang cerita hanya untuk mencari perhatian." Aku menatap kasihan padanya, di usia yang begitu muda, Darrell harus mengalami begitu banyak hal.

"Apa yang terjadi kemudian?" tanyaku pelan.

"Ayah membawaku ke psikiater." Dia menggeleng. "Hal itu sama sekali tidak membantu, hanya memperburuk keadaanku, obat yang mereka berikan membuatku semakin sering melihat mereka ..., hingga ayah harus meninggalkanku ke tempat itu ...." Jantungku berdesir, jangan katakan kalau ....

"Tempat ... tempat apa?" tanyaku, walau aku sudah tau kemungkinan jawabannya.

"Aku tidak ingin membahas itu ... tidak sekarang."

Aku mengangguk, mencoba mengerti perasaannya.

"Apa kau tau siapa laki-laki itu?" tanyaku lagi.

Darrell menggeleng. "Tidak ... aku hanya tau dia sangat membenciku." Darrell menatapku. "Dan aku takut kalau dia akan mencelakakan Issac juga, aku bisa merasakannya ... sesuatu yang buruk akan terjadi." Napasku tercekat mendengar urgensi dalam suaranya. "Kita harus segera pergi dari sini."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro