Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Arsip Kota

Saat terbangun pagi ini, aku menyadari matahari sudah terang dan Millie sudah tidak ada di kamar bersamaku. Merenggangkan tubuh, aku berjalan malas ke kamar mandi dengan mata masih setengah tertutup. Saat melepas piyama, aku mematung saat menangkap bayanganku pada cermin.

Pada lengan kanan bagian atas terlihat memar--yang setelah ku perhatikan-- berbentuk seperti jari orang dewasa. Seolah seorang meremas lenganku dengan keras. Aku berjalan mendekat dan menyadari kalau memar yang sama juga ada pada lengan kiriku. Apa yang terjadi? aku tidak ingat kejadian apapun yang mungkin dapat menyebabkan memar ini.

Aku segera mandi untuk mengalihkan pikiran. Dua minggu lagi, dan aku akan terbebas dari tempat terkutuk ini, pikiran itu satu-satunya yang membuatku bertahan.

Aku baru saja selesai berpakaian dan sedang mengeringkan rambut dengan handuk saat seorang mengetuk pintu kamar.

"Iya?" panggilku sambil mengusap-usap rambut dengan handuk yang sudah setengah basah.

"Kak Nara ada orang di bawah," terdengar suara Issac berteriak. Tanganku berhenti, segera ku lihat jam yang masih menunjukkan pukul sembilan pagi.

"Siapa yang datang pagi-pagi begini," gumamku, "Ara segera turun," panggilku sebelum buru-buru menyisir rambut. Aku setengah berlari saat menuruni tangga dan berhenti saat mendapati Rey yang terlihat asik mengobrol dengan Issac yang memandangi pemuda itu dengan penuh kekaguman.

"Apa kakak pernah masuk ke sana?" Aku diam di tempatku dan mendengarkan obrolan mereka.

Rey terlihat mengangguk, dia berjongkok hingga sejajar dengan Issac. "Aku bisa membawamu ke sana kalau kau mau." Mendengar ucapan Rey itu, kedua mata Issac sontak membulat, dia menatap Rey seolah pemuda itu merupakan idolanya.

"Benarkah? benarkah? kau benar-benar akan membawaku? Ini bukan prank?" Rey tertawa mendengar deretan pertanyaan Isaac, dari ekspresinya, terlihat sekali kalau bocah itu berusaha begitu keras agar tidak melompat-lompat karena semangat. Tingkahnya tanpa sadar membuatku tersenyum.

"Tentu saja, kalau orang tuamu tidak keberatan, aku akan dengan senang hati mengajakmu, kita bisa melihat koleksi barang-barang bersejarah di sana." Kalau dia membuka lebih lebar lagi, aku hampir yakin kedua mata Issac akan melompat ke luar.

"Ehem," aku mendehem pelan, membuat mereka menyadari keberadaanku.

"Kak Nara, Kak Reivan bilang dia akan mengajak kita ke ruang rahasia di Gereja St Antonio!" Issac berlari ke arahku, meneriakkan kabar baiknya. Menggenggam tanganku sambil sedikit melompat. "Kak Nara tau kan? itu ruangan yang ada di sebelah timur gereja, yang pintunya selalu tertutup," jelasnya bersemangat.

Aku tak bisa menahan senyum yang keluar melihat wajah polosnya yang begitu ceria, sebelum mengalihkan perhatianku pada Rey yang sudah kembali berdiri dan membetulkan posisi ransel hitam yang menggantung di bahu kanannya.

"Hei ... emm ... maaf sudah membuatmu menunggu lama," kataku, Rey hanya tersenyum.

"Tidak apa-apa, Issac dan Darrell menemaniku tadi." Mataku melirik bocah yang duduk bosan di sofa tak jauh dari Rey, aku bahkan tak sadar kalau Darrell ada di sini. Matanya terlihat fokus pada smartphone di tangan.

Seolah menyadari tatapanku, Darrell mengangkat wajahnya dan menaikkan alis seakan bertanya "apa maumu?" Aku hanya memutar bola mata dan kembali fokus pada Rey.

"Oh, baguslah," responku seadanya. "Ayo ikut Ara," ajakku kemudian.

Aku mengarahkan Rey ke kamar, dia tak membuang waktu dan duduk di atas tempat tidur dan segera meletakkan ransel yang ia bawa di dekat kakinya setelah mengeluarkan beberapa buku tua dari dalam ransel tersebut.

"Wow ... apa itu semua?" tanyaku penasaran melihat buku-buku yang dibeberkannya di atas tempat tidurku. Tanganku meraih satu buku yang paling dekat dan mencoba membaca tulisan pada cover kulit berwarna cokelat itu.

"Ini beberapa catatan sejarah kota," jelas Rey, membuka satu buku berukuran besar.

"Wah ... kalian mencatat semua kejadian di sini?" tanyaku takjub, memperhatikan pemuda di depanku yang terlihat begitu serius membalik halaman demi halaman dari buku tua itu.

"Hmm ... masyarakat sini sangat menjunjung tinggi sejarah mereka." Matanya tak beralih dari halaman berwarna kekuningan di tangannya.

"Ngomong-ngomong bagaimana kamu bisa mendapatkan semua ini?" aku kembali bertanya, sangat penasaran dari mana Rey mendapatkan semua buku-buku tua ini. Semua ini terlihat seperti benda antik yang bisa kita temukan di museum.

"Oh, semua catatan penting tersimpan rapi di ruangan khusus di Gereja, Kakek yang bertugas menyimpan kuncinya," jelas Rey sekenanya, mataku membulat seakan mendapati harta karun berharga.

"Mereka membiarkanmu membawa ini semua?" Aku hampir tidak bisa menyembunyikan antusiasku.

"Oh aku tidak bilang." Dia mengangkat bahu seakan tidak menemukan masalah dari perbuatannya. Aku menatap tak percaya pada pemuda tampan yang dengan santainya membolak-balik buku ditangannya.

"Maksudmu ... kau mencuri semua ini?" Kali ini, Rey menatapku. Alisnya terangkat seakan bertanya 'apa maksudmu?'

"Tidak mencuri, hanya meminjam, setelah ini aku akan mengembalikan semua ke tempat semula." Aku membuka mulut dan menutupnya kembali, benar-benar tak tau harus berkata apa.

"Tanpa meminta izin ... Rey, ini namanya pencurian." Aku mencoba menjelaskan, seakan sedang berbicara pada seorang anak kecil.

"Kau mau lihat tidak? kalau kau begitu keberatan aku bisa mengembalikan semuanya sekarang." Dia mengambil buku yang masih ada di tanganku dan berniat memasukkannya kembali ke ransel hitam miliknya.

"Argh ... masa bodoh!" Aku menyambar bukunya dan duduk di dekat Rey, pemuda itu tersenyum penuh kemenangan.

"Aku tau kau pasti tidak akan melewatkan kesempatan ini," ucapnya, aku memutar bola mata. "Ini beberapa hal yang berhasil aku rangkum tentang nona misterius yang tinggal di sebelah rumahmu." Dia menyodorkan buku catatan kecil ke arahku, hal ini mengingatkanku pada sesuatu.

"Oh ... aku baru ingat!" Aku berlari ke arah pintu dan menguncinya, sebelum kemudian mengambil jurnal yang kusembunyikan di lemari.

"Apa itu?" tanya Rey.

"Ini jurnal milik Grace, aku menemukannya saat ke rumah itu tempo hari." Mata Rey membulat dan segera mengambil buku di tanganku.

"Tidak mungkin," gumamnya, "bagaimana mungkin buku ini bisa bertahan setelah ratusan tahun tanpa ada yang merawatnya." Dia menatapku dan melanjutkan. "Apalagi setelah banjir besar yang menelan kota ini dulu."

"Banjir?" tanyaku, aku tidak tau kalau pernah terjadi banjir di sini.

"Iya, sekitar akhir abad ke delapan belas," jelasnya.

"Hmm ... tapi aku menemukan ini di ruang bawah tanah rumah keluarga Dewitt." Rey menatapku dengan alis mengerut.

"Aneh sekali." Belum sempat dia melanjutkan, tiba-tiba angin kencang mengejutkan kami, membuat buku-buku membuka secara liar, dan beberapa halaman dari jurnal milik Grace terlepas dan berterbangan.

"Ada apa ini?" Jeritku menutupi wajah.

Rey berlari ke arah jendela, mungkin hendak menutupnya. Namun berhenti saat menyadari kalau jendelaku masih terkunci. Dia menatapku heran.

"Darimana anginnya masuk?" tanyanya tak mengerti.

Anginnya berhenti beberapa detik kemudian, meninggalkan kami dalam perasaan bingung.

"Kau benar, ada sesuatu yang tidak beres di sini," lirihnya. "Mungkin sebaiknya kita melanjutkan ini di tempat lain saja." Aku hanya mengangguk, tak mampu berkata-kata. "Bagaimana kalau besok?" tanyanya.

"Ha?" responku bingung.

"Bagaimana kalau kita bertemu besok?" jelasnya.

"O--oh ... besok waktu yang bagus, Om Hendrik selalu ke gereja tiap Minggu, aku bisa pergi bersamanya dan kita bisa bertemu di sana," usulku. Senyum tipis menghias bibirnya.

"Jadi kau mulai ke gereja lagi sekarang?" godanya. Aku tertawa kecil sebelum menjawab.

"Aku tidak keberatan bicara di belakang gereja." Kata-kataku membuat Rey tertawa.

"Same old ... same old."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro