15- Tak Pernah Terjadi
Cerita ini mungkin minim kata-kata indah atau diksi macam ahli memberi nasihat. Aku hanya ingin memperlihatkan cara sederhana seorang ibu berjuang mendapatkan hati anak dan suaminya. Berusaha se alami mungkin..
Ga ada istilah bekas ibu, atau bekas ayah. Mereka selamanya selalu ada. Lain sama mantan istri, mantan suami apalagi mantan pacar. Ngampar dimana mana.. hahah
***
Aku tidak berusaha menyakitimu.
Aku hanya sangat lelah mengecewakanmu.
Catatan Movie : The Vow - 2012
-
Kilasan Masa Lalu.
"Huftt.." desah Lea gelisah sambil mencoba berbalik badan membelakangi Harlan yang sejak tadi mencoba menutup mata.
Waktu sudah mendekati pertengahan malam dan Lea belum saja tenang pergi ke alam mimpi. Harlan sendiri sudah satu jam pulang ke rumah, setelah hari ini menyelesaikan urusan kuliah.
Saat sampai di kamar, seperti biasa suasana diam dan kaku menyambut. Lea berubah menjadi pendiam dan berusaha tak bergantung dengan Harlan. Sejak malam paling mengecewakan bagi Lea.
Bahkan saat menjelang tidur tidak ada lagi usapan manja atau pelukan yang selalu diminta Lea. Harlan juga tak bisa berbuat apa-apa. Dia sendiri yang memaksa untuk tidur satu kamar hingga proses melahirkan. Hingga akhirnya Lea pergi dari rumah. Meninggalkan dia dan calon putri tak berdosa.
Usia kandungan Lea sudah memasuki bulan ke delapan. Perutnya sudah semakin membesar dan ruang gerak Lea semakin sulit. Lea mudah lelah.
Harlan melirik Lea yang kembali menghadap langit kamar. Malam ini Lea terlihat sangat gelisah. Tak seperti biasanya. Dan Harlan tahu apa penyebabnya.
Tadi, sebelum memasuki kamar, Harlan bertanya kepada asisten rumah tangga. Hari ini Lea pergi keluar rumah. Harlan tahu, Lea pergi kesuatu tempat. Lea pasti mengunjungi rumah orangtuanya sendiri. Hanya duduk di dalam mobil sambil menatap rumahnya dalam diam. Harlan yakin hari ini dia melihat sosok orangtuanya.
"Hufft," desah Lea lagi. Sejak Lea berubah, Lea melarang Harlan menyentuhnya. Bahkan memegang jari tangan, Lea menolak. Lea membatasi bagian tengah tempat tidur dengan guling. Menghindari kontak fisik berlebih. Harlan menuruti keinginan Lea.
Namun kali ini Harlan ingin berontak. Dengan berani Harlan melempar guling itu ke bawah tempat tidur. Lea sadar, dan dengan pelan Lea kembali memunggungi Harlan. Bahkan Lea sudah malas marah-marah untuk sekedar meluapkan emosi. Semua tak dilakukan Lea. Membuat Harlan merasakan rindu akan sikap kekanakan nan manja Lea.
Harlan mau Lea seperti sebelumnya. Hidup Harlan penuh warna karena kehadiran Lea. Lambat laun, Lea punya tempat tersendiri di hati Harlan. Apalagi Lea tengah mengandung darah dagingnya. Lea mau bertahan untuk melahirkan buah hatinya.
"Lepas," ketus Lea saat Harlan berani menempelkan tubuhnya dari belakang. Harlan juga mengusap sekilas perut besar Lea, lalu menggenggam erat satu tangan Lea.
"Tidur, Lea!" tegas Harlan. Lea bertahan di belakangnya. Sejak tadi dia menahan emosi sendiri karena rasa kecewa bertemu dengan sang ayah di luar sana.
"Mau makan?" tawar Harlan pelan merapikan posisi kepala Lea dalam dekapan Harlan. Satu tangan Harlan dijadikan bantalan kepala Lea.
Harlan tahu Lea terisak. Lea terkadang tak sanggup bertahan menjadi kuat. Harlan berusaha mengimbangi emosi Lea yang selalu berubah-ubah. Dan saat ini adalah keadaan Lea paling rapuh yang pernah Harlan hadapi.
"Mau Kakak ambilkan sesuatu?" bisik Harlan dekat di telinga. Lea tak bergeming. Lelehan air mata itu terus keluar tanpa bisa dicegah. Teringat saat tadi. Dia tak peduli lagi jika Harlan melihatnya menangis. Kejadian tadi lebih menyakitkan untuk diingat.
Saat dirinya duduk termenung di dalam mobil taksi menatap rumahnya. Tiba-tiba kedatangan sang ayah membuat Lea tak bisa berkata-kata. Rupanya sang ayah tahu Lea yang berada di dalam mobil mencurigakan. Dia di usir.
Pengusiran itu masih terngiang di telinga Lea.
"Jangan ke sini sampai kamu sudah melahirkan!"
"Teman-teman kamu juga banyak yang mencari kamu. Ingat, jangan memberitahukan kepada siapapun!"
Lea benci dengan keadaanya sekarang. Kenapa dia harus berbadan dua? Kenapa takdirnya seperti ini? Seharusnya dia sedang menikmati masa mudanya dengan tenang. Bukan seperti sekarang. Tak punya siapa pun yang mengerti dirinya. Lea benar-benar mengasingkan diri dari kehidupan lamanya. Menjauhi teman-teman, tak bisa lagi bercanda bersama. Hidupnya seperti sebuah kotak diam tanpa alasan yang jelas. Isinya milik orang lain dan tugasnya hanya sementara di tempati. Dia benci semuanya.
"Hiks," tangis Lea memikirkan nasibnya. Merindukan orangtua, merindukan teman-teman.
"Kakak buat salah lagi? Kakak minta maaf, yah?" Lea mengatur napas tenang. Tak memedulikan suara di belakangnya yang begitu lembut. Harlan adalah salah satu orang yang sekuat tenaga ingin dia jauhi. Walaupun mereka masih berbagi tempat, sekuat tenaga Lea tak mau terhanyut. Tidak akan.
"Lea?" panggil Harlan lagi. Bahkan tangan Harlan sudah berada di sekitar pelipis mengusap lembut. Sebenarnya cukup berpengaruh bagi ketenangan Lea malam ini. Tapi tidak, Lea tak mau terpesona kembali oleh keadaan.
"Aku mau tidur," lirih Lea pelan melepas pelukan dan semua sentuhan Harlan. Lea kembali mengambil jarak dari Harlan. Tekadnya sudah bulat. Melahirkan, lalu pergi dan berlutut memohon maaf oleh kedua orangtuanya. Khususnya sang ayah. Raut wajah murka bercampur kecewa masih bisa Lea rasakan tadi dari wajah sang ayah.
"Tidurlah, Kakak ada di sini." Itu suara Harlan di belakangnya. Tak berusaha kembali menyentuhnya. Hanya ada di sekitarnya. Menemaninya sampai tertidur.
***
Saat ini.
"Aw," ringis Lea masih memejamkan mata. Tangannya langsung mengusap hidungnya yang baru saja ditepuk oleh sebuah tangan.
Perlahan Lea membuka mata. Saat mengusap hidung, tangan kecil jelas terasa masih di sekitar wajahnya. Lea melihat sebuah tangan kecil nyata di atas wajahnya.
Lea menoleh ke arah sebelahnya, sambil menggenggam jari tangan itu. Rasanya dia tak percaya akan dugaannya.
"Hah?" bisiknya sendiri meyakinkan fakta indah menyambut pagi harinya.
Putrinya tidur nyenyak di samping dirinya? Ada Nadya di tempat tidurnya?
Bukankah semalam dia sudah meninggalkan kamar Nadya? Lalu kenapa gadis kecil ini bisa ada di kamarnya? Tidak mungkin Harlan memindahkan Nadya. Atau jangan-jangan Nadya memang mendatangi kamarnya sendiri? Lea memiringkan tubuhnya ke arah Nadya. Semakin menarik tubuh Nadya dalam dekapan. Nadya sendiri menyambut pelukan Lea dengan tingkah manja.
"Cantiknya anakku," bisik Lea tak hentinya mengecup kening Nadya. Memperhatikan dengan serius penampakan manis gadis kecil yang mulai menjadi alasan utama dirinya bangkit dari hidup sepi. Dari kesendirian yang tak bisa dia utarakan selama ini.
Nadya masih asyik memejamkan mata. Walaupun beberapa kali Lea lihat kerutan tak suka dari Nadya. Lea terus mengganggu tidur Nadya. Merapikan rambut ikal panjang Nadya. Sekarang sudah bisa dirawat dengan baik. Lea harus memberikan perawatan rambut sejak dini.
"Syukurlah sudah nggak panas," ucap Lea sendiri. Dia lalu bangkit duduk untuk kembali menatap cara tidur Nadya. Sambil tersenyum bahagia, Lea bergegas ke kamar mandi. Membersihkan wajah sejenak lalu kembali bergabung di tempat tidur. Cara tidur Nadya menggemaskan. Menguasai seisi tempat tidur sesuka hati.
Lea mau saat Nadya membuka mata menatap wajahnya pertama kali.
"Emmmm," ucap Nadya malas saat Lea kembali menggodanya. Lea mengecupi pipi Nadya.
"Papa, aku masih ngantuk. Aku nggak mau sekolah. Masih sakit! Pegang, deh! Panas, kan?" ucap Nadya polos masih menutup mata. Lea terkikik. Jelas-jelas suhu tubuhnya sudah membaik. Hangat sedikit, tetapi setahu Lea itu biasa. Apalagi baru bangun tidur.
"Cantik tukang bohong!" bisik Lea meledek. Mendengar suara asing di pagi harinya, Nadya membuka mata lebar. Senyuman Lea menyambutnya.
"Tante ngapain di sini?" tanyanya polos. Lea menaikkan alisnya.
"Emangnya ini kamar siapa?" tanya balik Lea dengan nada sombong. Nadya mengerucut lucu sambil mencoba duduk. Rambutnya berantakan khas Nadya. Sambil memeriksa keadaan sekeliling. Akhirnya Nadya menyadari satu hal, ini bukan kamarnya. Ini kamar kosong yang sekarang dihuni wanita yang masih tersenyum meledek di hadapannya.
"Tante pasti culik aku ke kamar ini?" tuduh Nadya tanpa dosa. Lea terkikik. Mengacak rambut Nadya.
"Apa jangan-jangan Kuntilanak yang bawa kamu ke sini?" Mendengar itu, Nadya tanpa sadar memeluk Lea. Dia takut hal-hal berbau makhluk halus.
"Aku bilangin Papa, nih, Tante takutin aku!" ancam Nadya masih asyik memeluk Lea.
"Lho, Mama cuma tanya. Kalau salah, yah, maaf." Nadya kembali melepas pelukan.
"Ayo, mandi. Sekolah." Nadya langsung menggeleng.
"Aku masih sakit. Capek." Lea mencubit kedua pipi Nadya. "Malas," ledek Lea.
"Oaaammm.." Nadya menguap lebar. Sudah tidak mengantuk, tapi rasanya malas bergerak.
"Dy, sudah bangun?" Suara Harlan terdengar dari luar pintu. Nadya langsung berdiri mendadak. Terhuyung, tapi tetap ingin melesat pergi.
Lea menahan tangan Nadya. "Mandi sama Mama, mau?" Nadya memasang wajah angkuh, lalu menggeleng. Lea tahu, putrinya masih tak mau mengakui jika keberadaan dirinya di dalam kamar atas kemauan sendiri. Pikir Lea, Nadya masih malu, dan dia memaklumi. Sifat Nadya sama seperti dirinya. Jadi dia sudah bisa mulai memahami.
"Aku masih marah, karena Tante culik aku malam-malam." Lea tak memedulikan ucapan Nadya. Membiarkan Nadya melangkah keluar kamar.
"Besok kalau mau tidur di sini lagi bilang, yah?! Jadi Mama bisa siap-siap." Lea berjalan juga di belakang Nadya. Merapikan rambut Nadya.
"Mau, kan, tidur di sini lagi sama Mama?"
"Aku pikir-pikir dulu, Tante." Lea mencubit pipi Nadya lalu berjalan mendahului Nadya yang sedang protes karena pipinya dicubit seenaknya.
"Aku aduin Papaaaa," teriak Nadya tak dihiraukan Lea. Lea malah tertawa kencang.
"Oups." Lea berhenti tertawa saat keluar pintu dikagetkan oleh kehadiran Harlan. Senyumnya berubah menjadi wajah tak enak melihat Harlan.
"Paaaaa, Tante cubit pipi aku." Harlan mengangkat Nadya dalam gendongan. Sambil memeriksa suhu tubuh Nadya di sekitar leher. Harlan cukup tenang melihat wajah cerah putrinya. Cemberut, tapi terlihat baik-baik saja.
"Pa, aku nggak mau sekolah. Masih sakit," alasan Nadya. Harlan memang tak mau memaksa Nadya hari ini masuk sekolah. Dia akan meminta Nadya istirahat saja hari ini.
"Iya, sekarang Dy mandi." Nadya mengangguk sambil bersandar di dada Harlan. Lea mengusap rambut ikal Nadya.
"Mama tunggu di bawah. Sarapan spesial siap dihidangkan." Mendengar itu, Nadya berbisik di telinga Harlan.
"Kalau nggak enak gimana, Pa?"
"Tetap harus dimakan!" Lea yang menjawab bisikan untuk Harlan. Lea menjawil hidung Nadya lalu melewati putrinya dan Harlan. Setelah kejadian kemarin, Lea merasa tak enak dengan Harlan. Sudah minta maaf, tapi tetap asing. Karena itu, biarkan Lea mengatasi kecanggungan dengan tak ikut berdampingan. Setidaknya pagi ini.
"Dy ke kamar dulu. Nanti Papa nyusul." Lea mendengar itu, dia tetap berjalan ke bawah. Tapi langkahnya terhenti saat suara Harlan memanggilnya.
"Lea!" panggil Harlan cepat.
"Iya," jawab Lea sopan menoleh hati-hati. Wajah Harlan kaku menatap wajahnya.
"Semalam dia sendiri yang mencari kamu." Walaupun Harlan mengucapkannya dengan nada biasa. Tapi Lea perlu membalas dengan senyuman. Lega juga karena sepertinya Harlan sudah memaafkan sikap kekanakan dirinya kemarin.
"Iya, Kak. Rasanya bahagia banget. Sulit diutarakan." Melihat senyuman Lea yang begitu indah. Mau tak mau Harlan ikut tersenyum.
**
"Dy? Kenapa main di sini sendiri? Mama kamu mana?" Harlan mendekati Nadya yang sedang bermain slime sendiri di lantai atas. Di depan kamar Lea dan dirinya.
"Kamu wangi banget," goda Harlan sambil mencium pipi Nadya. Putrinya baru saja mandi sepertinya. Segar dengan wangi bunga pilihan. Sejak ada Lea, putrinya semakin manis terlihat. Terawat dengan pilihan ala wanita. Tidak asal saat dirinya merawat Nadya.
"Kamu sendiri daritadi?"
"Tante lagi mandi. Daritadi pegangin perut mulu. Lagi sakit kayaknya." Nadya sibuk memainkan slime-nya.
"Sakit apa?"
"Datang bulan katanya. Pa, emang bulan bisa datang, yah? Kalau matahari?" tanya Nadya polos. Harlan diam mencerna penjelasan Nadya.
"Nanti kamu juga seperti itu." Harlan mengacak rambut Nadya.
"Aku nggak mau, Pa. Takut kalau didatangin bulan." Nadya tak lagi menghiraukan slime di tangan. Membayangkan bulan akan datang seperti bayangannya.
"Lho, kenapa takut. Setiap wanita pasti dapat datang bulan." Lea sudah keluar dari kamar dengan wajah segarnya. Wangi tubuhnya tak beda jauh seperti Nadya.
"Kamu sakit?" tanya Harlan langsung saat Lea ikut duduk di antara mereka.
"Datang bulan, biasa. Tapi udah enakan," jawab Lea menatap sejenak wajah Harlan.
"Pa, besok aku nggak mau sekolah lagi, deh. Kayaknya aku mau datang bulan." Harlan menyipitkan matanya ke arah Nadya.
"Masih kecil sudah belajar berbohong. Masi lama kamu kedatangan tamu bulanan." Harlan menggelitiki perut Nadya.
"Emang kapan? Nanti siapa yang tahu kalau aku kedatangan bulan, Pa?" Pertanyaan super polos itu mungkin terdengar biasa saja bagi yang mendengar. Tapi berat dijawab oleh Harlan.
Sampai sekarang Harlan hanya menjalani kewajiban sambil jalan. Tapi proses menemani Nadya di saat-saat seperti itu belum dia pikirkan.
Dia tak punya pengalaman perihal tamu bulanan wanita. Nadya pasti akan melewatinya, tapi bagaimana cara menanggulangi, dia tak tahu. Harlan benar-benar baru menyadari. Ada hal-hal yang tak bisa diatasi sendiri ketika menjadi seorang ayah dan ibu bersamaan.
"Nanti bilang sama Mama. Ini urusan sesama wanita. Rahasia kita berdua. Oke?" sambung Lea mengedipkan matanya kepada Nadya.
"Papa nggak boleh tahu?" tanya Nadya pelan. Lea mengangguk seolah memberikan tanda rahasia antara mereka berdua. Harlan hanya diam memperhatikan.
"Papa mandi dulu, kamu di sini saja." Setelah mengusap kepala Nadya. Harlan melangkah ke dalam kamar.
"Kapan aku kedatangan bulan? Nanti kamarnya di mana? Aku tidur sama dia?" tanya Nadya tak mengerti.
"Nanti Mama jelaskan, sekarang kita ke bawah, yuk! Mama mau cari makanan."
"Tapi, nanti kalo bulannya datang lebih cepat gimana? Tante waktu itu gimana waktu kedatangan bulan?"
"Nangis, tapi Ibunya Mama yang selalu kasih tahu dan menemani. Beliau mengajarkan, kalau kita sudah harus punya tanggung jawab."
"Aku nggak ngerti."
"Cantik kebanyakan mikir, sih. Jadi nggak ngerti."
Harlan menunggu sampai keduanya benar-benar turun dari tangga, baru dia masuk ke dalam kamar. Harlan mendengarkan percakapan sederhana Lea dan Nadya. Rasanya isi kepalanya kembali berpikir. Banyak alasan dia tidak bisa menolak kembali Lea.
Tidak hanya Nadya yang membutuhkan Lea. Dia juga membutuhkan Lea menemaninya merawat putri mereka. Nadya membutuhkan sosok ibu penyayang yang bisa memberitahukan perihal masalah-masalah wanita. Nadya membutuhkannya. Benarkah hanya karena Nadya?
"Lea," bisik Harlan menggelengkan kepala. Lebih baik dia menjernihkan pikiran dengan siraman air dingin.
Setelah membersihkan diri, Harlan tak langsung keluar kamar. Dia mau memeriksa pekerjaan di laptop sejenak. Tanpa sadar, waktu sudah menunjukan pukul tujuh malam. Nadya sendiri sudah masuk ke dalam kamar.
Gadis kecil itu izin mau tidur sejenak. Nadya bilang sang mama sedang izin ke kamar mandi. Harlan menemani Nadya di tempat tidur. Nadya meminta mengusap kepalanya. Dan tak lama kemudian, gadis kecil itu tertidur. Nadya juga bilang sudah makan malam bersama Lea dan sang nenek.
Harlan mengerutkan mata, kenapa dia tidak dipanggil ke bawah sejak tadi? Setelah melihat Nadya tidur pulas. Harlan bergegas keluar kamar. Suasana sudah sepi. Padahal masih terbilang awal untuk istirahat ke kamar masing-masing.
"Tadi Ibu Lea sedang menyiapkan makan malam, tapi baik Non Nadya dan Nyonya, keduanya ikut bergabung juga. Jadinya mereka makan lebih cepat. Tadi saya disuruh panggil Bapak. Tapi sepertinya Bapak masih di kamar mandi." Harlan hanya mengangguk mendengarnya. Dia memang cukup lama berada di dalam kamar mandi tadi.
"Mau saya siapkan makan malam?" Harlan hanya menggeleng. Lalu melangkah lagi ke atas. Langkahnya pelan menuju kamar yang ditempati Lea.
Harlan mengetuk pelan. Tak berlangsung lama, Lea membuka pintu.
"Iya, Kak?" sapa Lea ceria.
Harlan diam dulu, dia juga bingung kenapa berkeinginan mengetuk pintu kamar Lea.
"Kak?" tegur Lea lagi.
"Dy sudah tidur," ucap Harlan cepat.
Lea mengangguk. "Sudah aku duga. Dia memang tadi mengantuk. Tadi waktu aku ke kamar mandi, dia izin keluar. Eh, nggak balik lagi." Lea berbicara sambil terkikik.
"Baiklah," ujar Harlan lalu berbalik badan. Melangkah kembali ke kamarnya. Langkah Harlan kembali berhenti, menoleh kembali ke arah belakang. Pintu kamar Lea sudah tertutup.
Harlan kembali melangkah ke arah pintu kamar Lea. Mengetuk kembali pelan. Lalu pintu kembali terbuka. Lea tersenyum sambil memegang ponselnya. Harlan melirik arah ponsel Lea. Sepertinya Lea sedang sibuk dengan aplikasi ubah gambar. Di layar terpampang foto Lea bersama Nadya sedang memanyunkan bibir. Sepertinya menyenangkan. Akhirnya Lea punya kesibukan dengan ponselnya sesuai tujuan dia memiliki ponsel. Memang untuk mengabadikan gambar Nadya, putrinya.
"Iya, Kak?" panggil Lea berani menatap Harlan.
"Kalian sudah makan malam, yah?"
"Ah, iya. Tadi mendadak makan cepat. Nadya kelaparan, terus Mama kamu malah ikut duduk sama kita," cerita Lea jujur. Harlan sendiri sebenarnya sudah tahu. Hanya mencari pembicaraan.
"Kakak sudah makan?" tanya Lea, Harlan menggeleng.
"Mau aku siapkan?" tawar Lea ceria. Harlan kembali menggeleng.
"Belum lapar." Harlan kembali mundur lalu melangkah menuju kamarnya. Lea mengerutkan kening. Aneh sekali melihat tingkah mantan suaminya. "Selamat malam, Kak."
Setelah Harlan masuk kamar, dia hanya berdiri sambil bersandar di daun pintu. Memperhatikan wajah damai Nadya dalam tidurnya.
Lagi-lagi pikiran Harlan berkelana pada berbagai kenyataan. Keberadaan Lea membuat intensitas gerutuan sang mama sedikit berkurang. Harlan juga bisa tenang meninggalkan rumah dengan Lea.
"Hufft," desah Harlan kembali keluar kamar. Tujuannya kembali sama. Mengetuk pintu kamar Lea.
"Ada apa lagi, Mantan Suami?" tanya Lea sedikit meledek saat membukakan pintu kamar. Wajah Harlan kembali berdiri di depannya.
Harlan mengatur napas sejenak. "Temani aku makan di luar, yuk!" Lea melebarkan mata mendengar ucapan cepat Harlan. Dia tidak sedang bermimpi, kan?
"Cepat ganti baju! Aku akan panggilkan Mbak Nisa untuk menjaga Dy di kamar." Lea hanya terkikik melihat tingkah gugup Harlan. Padahal dia belum memberikan jawaban mau atau tidak. Tapi Harlan sudah pergi melangkah ke bawah.
"Bilang aja mau ajak jalan keluar. Ah, ini jadi kayak kencan, yah?" ucap Lea antusias di dalam kamar sambil mencari baju layak pakai keluar rumah.
Kalau dulu mereka pergi makan keluar rumah karena keinginan Lea yang tengah hamil, sekarang sepertinya berbeda. Tadi kemauan pribadi Harlan. Mendadak wajah Lea memerah membayangkan setelah ini. Harlan mau mengajaknya kemana?
***
Rujuk?
Sabtu, 19 Agustus 2017
Mounalizza
Silentreader jgn cuma ngumpet dong, kasih tanggapan dong ttg cerita ini. Vote and coment..
Yang mau kenal aku lebih dekat, add Instagram aku. mounalizza
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro