13- Sebenarnya Merasa Bersalah
"Ini hanya sementara. Hidupmu akan berubah, jika kau mau bertahan satu menit saja."
Catatan Movie :
Before I Fall - 2017
-
"Tanteeeee," teriak Nadya mendekati Lea yang masih duduk di pinggir kolam renang. Sebenarnya sudah hampir petang, tapi Lea masih saja betah duduk diam sambil membasahi sebagian tubuhnya di dalam air.
Lea tak percaya mendengar teriakan dari arah kanan. Nadya sedang berjalan cepat dan Harlan berjalan santai di belakangnya.
"Cantik ngapain ke sini?" Lea berdiri tak percaya. Sambil memegang handuk pada tubuhnya. Lea menutupi tubuhnya yang masih basah. Lea masih memakai pakaian renang sopan, hanya saja lekuk tubuhnya semakin terlihat. Lea mendadak gugup jika ditatap Harlan terlalu lama. Beberapa hari ini, Harlan sering memerhatikan dirinya lebih lama. Lea jadi serba salah. Kalau ditegur, Harlan memalingkan wajah, tapi tak jarang sering mencuri pandang. Lea tahu itu.
"Mau beli bekal buat besok. Terus Papa bilang sekalian jemput Tante. Ayo Tante kita pergi!" Lea melirik Harlan di sebelahnya.
"Bekal apa?"
"Dy besok ada acara di sekolah. Jalan-jalan ke tempat pemadam kebakaran." Lea tidak tahu. Tidak ada yang memberi kabar.
Harlan mengerti kebingungan Lea. "Ibu Diva tadi mengabari aku," ujar Harlan tak ditanya. Lea hanya mengangguk.
"Mama bilas dulu, Cantik sama Papa di sini, yah!" Nadya mengangguk lalu digiring Lea duduk di tempat yang disediakan. Harlan juga ikut duduk.
Melihat langkah Lea meninggalkan tempat.
"Pa, Tante kenapa kerja? Emang Papa nggak kasih uang jajan kayak aku?" Harlan tak tahu harus menjawab apa. Nadya suka sekali bertanya kritis. Dan tak semua jawaban bisa diterima dengan jujur. Harlan masih sulit merangkai kata agar Nadya bisa mengerti.
"Tante jadi nggak bisa temani aku jam segini. Kalo ada Tante, Nenek nggak terlalu galak sama aku. Tante bela aku." Harlan mengacak rambut Nadya. "Dasar manja."
"Ah, Papa. Rambut aku jadi berantakan," protes Nadya sambil merapikan tatanan rambutnya.
"Mentang-mentang udah nggak punya kutu," ledek Harlan. Nadya mengangkat wajahnya angkuh. Mirip sekali dengan Lea kalau sedang menyombongkan diri. Harlan tak akan lupa ekspresi ini.
"Kan, Mama yang obatin," ucap Nadya lalu menutup mulutnya. "Eh, Tante," ralatnya kembali.
"Kenapa nggak panggil Mama? Kan, dia memang mama kamu." Nadya diam berpikir dengan gaya mirip orang dewasa.
"Aku pikir-pikir dulu." Harlan kembali tertawa lalu mengacak kembali rambut Nadya. Lea seharusnya mendengar ucapan tak sengaja Nadya. Tapi dia mau Nadya sadar sendiri. Pasti Lea senang.
"Ayo, Cantik! Kita berangkat." Nadya menghampiri Lea yang sudah rapi dengan pakaian sederhananya. Tetap cantik dan Harlan akui, dia mulai terbiasa Lea ada di sekitar. Harapnya ini benar. Benar jika Lea mau bersamanya.
"Ayo, Kak!" Harlan mengikuti Lea dan Nadya yang asyik bergandengan tangan. Lalu Nadya mengajak Harlan berdampingan memegang tangannya. Melihat wajah bahagia Nadya, Harlan terus berpikir keputusannya untuk kembali bersama Lea.
"Pa, minta duit, dong! Aku mau beli itu." Nadya menujuk gerobak jualan aneka roti.
"Ayo, sama Mama aja!" tawar Lea menarik tangan Nadya.
"Jangan! Biar Dy sendiri yang ke sana. Kita pantau dari sini," suruh Harlan sambil memberikan uang saku. Lea terlihat bingung. Apalagi saat tangan Harlan menarik tangannya duduk di kursi di dekat mereka.
"Aku mau bicara," jujur Harlan langsung. Lea menuruti. Sedikit mencuri pandang Nadya di dekat mereka juga. Nadya terlihat bingung memilih roti pilihannya. Tapi sepertinya aman. Lea tak jadi khawatir. Lagipula Harlan tak mungkin membebaskan pengawasan Nadya kalau dia tak yakin.
"Dy harus dibiasakan bisa beradaptasi. Jadi kita hanya memantau. Bukan berarti melepaskan." Lea hanya mengangguk pelan. Harlan lebih pengalaman dibandingkan dengan dirinya.
"Besok Dy pulang lebih siang. Ibu Diva juga izin sama aku mau ajak Dy main ke rumahnya." Lea langsung mengerucutkan bibirnya. Sejak tadi dia menahan rasa kecewa karena wanita itu tak memberi kabar dirinya perihal kegiatan Nadya. Lalu sekarang meminta izin pergi hanya kepada Harlan?
"Aku udah bilang sama wanita itu. Segala sesuatu yang berhubungan dengan Nadya, hubungi aku. Tapi mungkin dia kangen sama Kakak." Lea langsung tak bisa menutupi kekesalan.
"Kamu cemburu?" ucap Harlan sambil terus menatap reaksi Lea. Harlan mau tahu jawaban Lea.
"Kalau iya, apa Kakak akan marah? Atau Kakak berharap aku tak peduli? Aku sadar diri, Kak. Kapasitas ku di hati Kakak sejak dulu selalu sama. Hanya sebentuk tanggung jawab. Tapi kali ini aku memang mau kembali egois memiliki Kakak. Diterima di hati atau tidak, bagi aku tidak masalah. Yang penting aku ada di dekat kalian." Harlan tak mengerti jalan pikiran Lea. Mau ada di dekatnya? Kenapa baru sekarang?
"Apa alasan sebenarnya kamu mau kembali, Lea?" Harlan kembali bertanya alasan paling awal kehadiran Lea sekarang. Masih tak percaya dengan alasan sederhana Lea.
"Aku mau kembali ke keluarga kecil yang pernah aku tinggalkan." Harlan sendiri tahu jawaban itu yang akan diucapkan Lea. Tapi rasanya dia masih ragu. Mereka berpisah cukup lama, Lea pasti punya kehidupan lain yang sudah dia lalui. Buktinya dia mampu, masih bisa melangkah bersama keceriaan.
"Jangan bohong! Apa yang terjadi sama kamu sebelumnya?" Lea menatap mata Harlan. Tak ada keraguan untuk memalingkan wajah.
"Aku hanya mempermudah hubungan kita, Kak. Mungkin memang harus aku yang maju lebih dulu. Bukan Kakak." Dengan kata lain, Lea menuduhnya tak jantan? Harlan mencoba menahan emosinya.
Lea tidak tahu kenyataan yang sebenarnya. Dia menunggu, membaca tulisan Lea setiap malam. Memerintah menunggu dan memberikan ucapan cinta, lalu pergi tanpa pernah kembali.
Ya, Harlan memang egois. Hanya menunggu tanpa berniat mencari tahu keberadaan. Tapi bisakah Lea sekali saja berpikir, bahwa berada di posisi Harlan itu tidak mudah. Dia mengambil alih semuanya sendiri. Tak satu pun mengerti isi hati Harlan. Tidak ada siapa pun yang mengerti. Dia hanya robot yang biasanya dipermainkan. Mungkin sekarang Lea baru merasakan tujuan hidup saat ini sama seperti Harlan. Hanya mau melihat kebahagiaan Nadya. Hanya Nadya tanpa peduli hati yang lain. Apalagi hati sendiri. Seolah tidak utama.
"Kamu mau bersamaku, setelah kisah kita sudah seperti ini. Kenapa kamu tidak bertanya kenapa aku tidak mencari kamu selama ini?" desak Harlan gemas.
"Jawaban itu hanya Kakak yang bisa menjawabnya. Aku tidak tahu." Lea menaikkan bahunya santai. Harlan terus mencari jawaban dari sifat aneh Lea. Harlan tak percaya jika emosi Lea tak bisa dia pancing. Kisah mereka cukup berat. Tak pantas diatasi seolah ringan tanpa bekas.
"Tapi aku bisa tebak sesuai pemikiran sendiri." Lea kembali memasang wajah santainya.
"Apa itu?" Harlan menunggu jawaban.
"Seperti yang sudah aku bilang, apa Kakak pernah mengingat aku?" Lea tertawa remeh. Seolah tahu jawaban Harlan adalah tidak ingat.
"Kakak tenang saja. Kalau Kakak memang tidak bisa menerima aku, dengan lapang dada aku tidak akan memaksa. Hanya saja, aku sudah terlanjur menikmati kedekatan aku dengan Nadya. Sudah hampir dua minggu. Izinkan aku menikmati masa indah ini, Kak!"
Dan dalam satu tarikan tangan, Harlan menarik wajah Lea mendekat ke arah wajahnya. "Mau kamu apa, Lea?" Lea tak bisa menolak jarak mereka yang terlalu dekat. Kedua tangan Harlan menahan pundak Lea. Memaksa untuk saling menatap jarak sangat dekat.
Lea menelan ludahnya. "Aku hanya mau kembali kepada keluarga kecil yang hampir aku miliki, Kak. Hanya itu." Harlan menggeram. Dia masih belum bisa menerima alasan itu.
"Kamu nggak marah selama ini aku tidak pernah mencari kamu?" Harlan masih mau memancing emosi Lea. Tapi pengendalian emosi Lea sangat kuat. Harlan bahkan gemas saat Lea menggeleng pelan.
Sebenarnya Harlan merasa bersalah. Tapi kenapa Lea seakan tak peduli. Membuat Harlan semakin tak yakin kalau Lea ingin serius kembali. Hati kecil Harlan masih takut Lea akan pergi kembali tanpa peduli nasib hatinya.
Pengecut? Harlan sudah tak peduli dinobatkan sebagai pria pengecut. Dia terlalu sibuk mengurusi kebahagiaan untuk putrinya daripada yang lain. Harlan tak membutuhkan cibiran orang tentang pasifnya dia akan perasaan. Ditinggalkan sepihak membuatnya beku hati.
"Kamu nggak marah?" Lea berhasil melepas tarikan tangan Harlan. Sedikit menjaga jarak bisa membuat Lea bernapas lega.
"Mungkin aku memang tak pantas dicari, Kak. Ibu mana yang tega meninggalkan bayinya sendiri." Lea menunduk saat mengucapkan itu.
"Tapi aku masih merasa, aku pantas memperbaiki diri. Boleh, kan?"
Harlan memijat pelipisnya. Terlalu rumit mencari tahu isi kepala Lea yang bisa dibilang sulit dia pecahkan. Tapi satu hal yang akan Harlan lakukan, lagipula dia masih punya harga diri dan rasa bersalah.
"Aku minta maaf kalau selama ini tak pernah mencari kamu, Lea. Aku minta maaf. Hidup aku sudah penuh dengan tanggung jawab yang lain." Lea menoleh ke arah Harlan, dengan keberanian pelan, Lea menggenggam tangan Harlan.
"Kita sama-sama salah, Kak. Tapi Kakak tenang saja, aku sadar diri kalau Kakak masih belum bisa menyisipkan aku di hati Kakak. Semua keputusan ada di tangan Kakak. Asal jangan pisahkan aku dengan Nadya."
"Sisipkan?" Kenapa cara bicara Lea seolah paling tahu isi hatinya. "Maksud kamu apa?"
Lea mengangguk polos. "Cinta Kakak untuk wanita lain. Bahkan Kakak mengutarakannya setelah kita berhubungan intim. Kakak tahu rasanya? Sakit, Kak. Saat Kakak mengucapkan 'Aku mencintai kamu, Yasmin.' Kasihan bener gue."" Harlan langsung duduk tegak menghadap Lea. Apa yang sedang Lea bicarakan?
"Maksud kamu?"
"Ah, sudahlah. Masa lalu jangan terlalu diungkit. Jalani aja sekarang." Lea langsung bangkit pergi ke arah Nadya. Harlan semakin bingung.
"Tapi, kalau Kakak mau cari wanita lain, jangan Ibu Diva. Kelihatan cari mukanya, Kak. Nggak alami." Lea tertawa setelah mengatakan itu. Seolah rasa sudah tak terlalu utama ada di hatinya.
Perasaan untuk Lea sudah tidak terlalu penting untuk diperjuangkan. Harlan bisa menebak itu, karena dirinya juga sama seperti Lea. Cinta seolah pupus untuk hatinya. Cinta hanya untuk putrinya.
"Aku pernah sebut cinta di depan Lea? Setelah berhubungan?" lirih Harlan sendiri. Lama berpikir, Harlan akhirnya ingat. Setelah mereka memadu kasih pada satu malam istimewa, segalanya memang berubah. Perubahan itu benar-benar membawa dirinya menjadi seperti sekarang.
Sendiri dan selalu merasa kesepian tanpa pasangan hidup.
***
Kilasan masa lalu.
"Ini Mas, cincinnya sudah selesai." Harlan tersenyum lega karena proses menunggunya sejak tadi berakhir. Setelah pulang dari kampus, Harlan sempat mampir ke salah satu pusat perbelanjaan. Sejak bangun tidur tadi pagi, hatinya merasa bahagia. Dia baru saja melalui malam indah yang tak pernah dia bayangkan akan terjadi.
Entah karena keadaan atau memang baru sekarang lagi Harlan merasakan kebahagiaan. Memeluk Lea tidur itu seperti kembali pulang. Mampu menghilangkan kenangannya bersama mantan kekasih. Tak dipungkiri Harlan, Yasmin masih ada di hati. Tapi saat terbangun tadi pagi, Harlan mulai merasakan rasa baru pada sosok manis di sebelahnya.
Harlan tersenyum sambil memegang cincin yang baru saja dia beli. Di dalam lingkaran dalam, terukir tulisan sesuai permintaan Harlan sendiri.
L, My Wife.
Harlan segera memasukan lagi cincin dalam kotak. Melangkah keluar dengan perasaan tak sabar menuju rumah. Tadi pagi, dia langsung pergi tanpa membangunkan Lea terlebih dahulu. Mungkin Lea lelah karena aktivitas mereka semalam. Biar bagaimanapun, semalam adalah malam pertama mereka setelah menikah. Saat pulang, Harlan mau mengajak Lea hidup bersama. Selamanya.
Harlan terus tersenyum saat mengingat kejadian tadi pagi. Saat matanya terbuka dan wajah manis Lea berada dekat di tubuhnya. Harlan sendiri bingung dia tak langsung bangun. Harlan menikmati puas wajah terpejam Lea. Bahkan berkali-kali Harlan mengecupi seluruh bagian wajah tembam Lea. Semakin terkikik, karena Lea tak kunjung bangun. Ekspresi wajahnya bahkan menggerutu lucu. Lea tak sadar dan Harlan suka menggoda Lea dalam kondisi ini. Karena jika sudah bangun, Lea mampu menguasai situasi. Harlan akan sulit bertindak. Dia kikuk menghadapi Lea.
"Bunga Azalea," bisik Harlan sambil mengemudikan mobil. Berharap keputusannya benar, membuka hati untuk istrinya.
"Mama mana Mbak?" tanya Harlan saat memasuki rumahnya. Sepi menyambut. Aneh, padahal masih sore.
"Ibu bilang mau pulang malam. Ada acara pernikahan."
"Lea mana?" Harlan bahkan tersenyum bahagia saat mengucapkan nama istrinya.
"Ada di kamar, tadi habis makan. Hari ini Nona Lea makan banyak. Tidak manja seperti biasanya." Harlan langsung segera bergegas ke atas ingin menemui Lea. Sepertinya hari ini dia benar-benar diberikan anugerah. Lea yang mau berubah perihal menjaga kesehatan termasuk salah satunya.
"Lea," sapa Harlan saat memasuki kamar. Lea yang sedang berdiri menatap jendela mengerutkan keningnya.
"Hari ini kamu makan banyak kata Mbak?" tanya Harlan langsung mendekati Lea. Harlan ingin memeluk Lea, tapi Lea segera mundur dan menggeleng yakin.
"Jangan dekat-dekat!"
"Kenapa? Kamu mual? Mau aku mandi dulu?" tanya Harlan sambil memeriksa kondisi tubuhnya. Sepertinya dia tidak terlalu berkeringat hari ini.
"Sebaiknya kita mulai jaga jarak. Beberapa minggu lagi aku akan melahirkan, dan setelah itu aku mau pisah. Kakak nggak lupa, kan, sama perjanjian kita?" ucap Lea lugas tanpa takut. Tatapan Lea benar-benar serius. Harlan tahu itu.
Harlan masih diam memperhatikan. Satu tangannya mengepal menahan segala rasa kecewa. Bukan seperti ini yang dia harapkan.
"Seandainya disuruh pilih, sudah pasti aku gugurkan kandungan ini. Tapi aku masih bertahan karena Kakak yang meminta. Aku mau kembali hidup normal, Kak. Tanpa Kakak dan juga dia." Lea menyentuh perut besarnya. Tidak ada kesedihan di mata Lea. Harlan lihat kilatan emosi berbeda di sana.
"Kita pisah kamar aja. Kakak sejak awal mau pisah kamar, kan?" Harlan masih diam. Lea berjalan pelan ke tempat tidur. Duduk di sana.
"Bukankah kamar sebelah sudah mulai bisa dipakai. Kakak tidur di sana saja. Sampai bayi ini lahir, aku akan pergi." Harlan mengatur napas lelah. Berbalik untuk mendekati Lea.
"Kamu benar mau pisah?"
"Iya, dari awal memang kemauan aku pisah. Kakak dan dia hanya penghalang jalan hidup aku," tegas Lea berani menatap wajah bingung Harlan.
Harlan mengangguk. Tersenyum remeh. "Kalian sama saja." Setelah mengatakan itu Harlan segera beranjak ke luar kamar. Masih di dekat daun pintu, Harlan kembali menoleh. Lea tetap duduk diam tanpa ekspresi di tempat tidur.
"Kita tetap sekamar sampai kamu melahirkan. Tidak ada bantahan!" Setelah itu Harlan menutup pintu dengan kencang. Lea berjengkit kaget mendengat suara kencangnya.
Menangis? Tidak, Lea tidak menangis. Mulai hari ini dia harus kuat sampai waktu berpisah tiba. Kembali pada keluarga dan memulai kembali cita-cita yang sempat tertunda.
"Cepat keluar! Aku benci kalian berdua," lirih Lea sambil mengusap perutnya.
---
Rujuk?
Senin, 14 Agustus 2017
Mounalizza
Harlan jalan pikirannya aneh.. haha iya aneh. Karena ga semua pria berani ungkapin rasa dgn gamblang.
Selamat pagi menjelang siang.... Feb 2022
Duhh, Harlan ini masih inget aja sama Mbak Yasmin...
Jangan diingat, karena Mbak Yasmin sudah pindah ke lain hati di pelukan Mas Juna... 😍
Eits, tapi tidak semudah itu. Setelah menikah dengan Arjuna, Yasmin tidak semudah itu diterima sama Arjuna. Karena Arjuna merasa masih ada bayang-bayang Harlan di hati Yasmin. Apalagi Yasmin juga pernah punya kisah sama Harlan.
Buah cinta Harlan dan Yasmin yang sengaja digugurkan.. Makanya Harlan punya trauma sama yang namanya wanita. Yasmin dan Lea, menurut Harlan sama saja, suka mempermainkan hatinya. Itu dari sudut pandang Harlan. Beda lagi dari sisi Lea, apalagi Yasmin..
Semudah itukah niat gugurkan kandungan? Eh, sengaja gak? Kisah itu ga dibahas di sini.
Heheheh
Kisah Yasmin dan Arjuna juga gak kalah baper dari kisah Harlan Lea.
Mau baca? Cuss, di lapak sebelah.
Let it Flow.. (setelah menikah)
Ada cuplikan sampai 7 bab. Kalau mau tahu kelanjutannya, kisah Yasmin dan Arjuna sebentar lagi terbit.. Yeay..😍 bisa dibeli di toko buku awal Maret 2022..
Ini kayak di bawah ini :
Oiya, yang mau ikut PO sama aku juga bisa. Free Suvernir pernikahanan Mas Juna dan Mbak Yasmin..
Terus bisa juga dapat 'Oleh-oleh Honeymoon' dari Mas Juna.. limited sih ini . Heheheh
Cusss yang mau order .
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro