12- Alasan Paling Utama
"Kau memiliki dua pilihan, lari dari masa lalu atau belajar dari masa lalu."
Catatan Movie : The Lion King -1994
-
Kilasan masa lalu.
"Kak, masih lama aksi galau-nya?" sindir Lea langsung saat memasuki kamar. Wajah Lea dibuat kesal karena mendapat pemandangan nelangsa suaminya sedang duduk di tempat tidur sambil terus menatap beberapa lembar foto wanita pujaan di tangan. Benar-benar keterlaluan. Itu bukan foto Lea.
Harlan segera berdiri kikuk. Seperti tertangkap basah. Bukan karena takut, tapi Harlan memilih menghindari memancing emosi labil istrinya. Tapi kali ini dia kebablasan. Dia salah memperhitungkan waktu kedatangan Lea. Biasanya jam segini Lea masih betah duduk di taman. Apalagi dia belum menghampiri. Tapi Lea datang lebih cepat.
"Anak kamu lapar. Mau makan di luar," sembur Lea langsung. Harlan lalu merapikan foto-foto lalu mendekati Lea.
"Ayo, mau makan apa?" tanya Harlan pelan. Tak mau mencari masalah dengan Lea. Akhir-akhir ini Lea mudah marah.
"Mau di rumah saja, tapi liat Mama malah susah telan makanan. Di luar aja, yah? Ada bakso di dekat rumah aku. Enak." Harlan langsung menggeleng. "Terlalu sering kamu makan bakso."
Lea mengerucut lucu. "Atau yang lain, deh. Tapi di luar! Malas liat Mama.." Harlan mengangguk lalu berjalan ke luar dalam diam. Lea merangkul tangan Harlan dengan ceria.
"Makan sate boleh, nggak?"
"Nggak. Jangan yang bakar-bakaran."
"Makan mie ayam?"
"Tidak boleh."
"Piza?"
"Minggu kemarin piza."
"Semua nggak boleh."
"Makan yang sehat, Lea. Nggak dengar apa kata dokter?" sindir Harlan yang sedang mengemudikan mobil. Lea masih berisik di sampingnya.
"Kali ini pilihan makan dari Kakak. Boleh, kan?" ajak Harlan agar Lea luluh. "Pasti kamu suka."
Lea diam sejenak. Lalu mengangguk polos. Dia mudah marah, tapi cara Harlan yang tenang bisa meluluhkan emosi Lea. Apalagi Harlan sering mengelus perut besarnya. Rasanya tenang. Dimensi dunia Lea terasa bertambah. Ada dunia Harlan secara pelan-pelan telah bermukim di hatinya. Semarah apapun Lea, Harlan bisa menguasai emosinya. Membuat Lea mau tak mau takluk.
Lea dan Harlan menikmati makan malam dengan tenang. Harlan mengajaknya makan dengan menu pilihan aman untuk ibu hamil. Setidaknya seimbang untuk asupan ibu hamil. Berbeda dengan Lea yang lebih menyukai jajanan asal.
"Sop Iga sama Cah Daging Brokoli? Aku nggak suka sayuran." Harlan tetap memaksa Lea memakan menu pilihannya. Harlan bahkan tak malu menyuapi Lea.
"Jangan kayak anak kecil! Sebentar lagi mau punya anak juga," sindir Harlan sambil menyuapi Lea.
"Tapi, kan, sebentar lagi bebas. Nggak punya anak." Harlan diam saja mendengar ucapan tanda pisah Lea. Harlan sadar keinginan Lea itu. Mereka akan berpisah.
"Habiskan, Lea!" ancam Harlan saat Lea menyisihkan brokoli di piringnya. Lea menurut kembali. Menelan dengan perasaan kesal.
"Suapin!" rajuk Lea. Harlan menggerutu pelan tapi tetap menuruti permintaan Lea. "Berantakan!" Harlan mengusap pipi Lea.
"Kakak kecepetan suapinnya."
Makan malam telah selesai. Saat ini tujuan selanjutnya adalah pilihan Lea. Ada saat-saat di mana Lea meminta Harlan pergi ke suatu tempat. Harlan selalu menuruti.
"Tunggu sebentar lagi boleh?" pinta Lea pelan. Bahasa tubuh Lea saat sudah sampai di tempat yang diminta pasti akan berubah. Lebih murung dan syarat kerinduan. Harlan memaklumi.
Mereka sekarang berada di dekat rumah orangtua Lea. Hanya memperhatikan dari dalam tanpa berniat keluar. Lea tak akan berani memperlihatkan sosoknya yang sekarang. Sedang berbadan dua. Apa kata tetangga? Ayahnya masih tabu memikirkan omongan orang.
"Itu Ayah dan Ibu!" seru Lea sambil menahan gejolak rasa. Lea memperhatikan sosok kedua orangtuanya. Baru turun dari mobil dan ingin memasuki rumah. Lea menahan deru napasnya. Memperhatikan dengan seksama cara jalan orangtuanya. Dia rindu memeluk mereka. Rindu dimarahi sayang oleh ayahnya karena Lea selalu kabur dari jam sekolah. Rindu dilindungi sang ibu karena ayahnya selalu tegas dengannya.
Lea rindu kehidupan dia sebelum menikah.
"Ibu, Lea kangen." Harlan melihat tetesan air mata Lea. Biar bagaimanapun, Lea masih remaja. Memikul beban paling berat yang tak bisa dihapus kembali. "Ayah kurusan."
Harlan menggenggam tangan Lea penuh perlindungan. Mencoba berada di sisi Lea semampunya. Saat seperti ini hanya menemani Lea yang dia bisa lakukan.
"Mau ke dalam? Biar Kakak temani?" tawar Harlan, Lea menggeleng lemah. "Ayah akan marah besar. Nanti saja." Lea mengusap perutnya pelan. Harlan tahu, Lea menginginkan semuanya cepat berakhir.
Cukup lama mereka duduk diam di sana. Hingga akhirnya Harlan berinisiatif pulang. Lea hanya diam, tak protes. Dia menyandarkan tubuhnya lemah sambil menatap penampakan rumahnya hingga hilang dari pandangan.
"Mau beli ice cream?" tawar Harlan. Lea menggeleng lemah. Tangannya tak lepas dari genggaman tangan Harlan. Dia sedang butuh kehangatan. Saat ini, hanya Harlan yang dia miliki. Walaupun Lea sadar, keadaan yang membuat Harlan berada di sampingnya. Kisah mereka tak seindah seperti pasangan yang lain. Bahkan mereka tak ingin memiliki kisah.
"Tidurlah!" ucap Harlan saat sudah memasuki kamar. Lea sudah merebahkan diri di tempat tidur.
"Temani! Jangan pergi!" rajuk Lea manja. Biasanya Harlan akan duduk di meja belajar sibuk dengan tugas-tugas yang menurut Lea hanya alasan lama. Lea tahu Harlan menjaga jarak dengannya.
"Di sini, Kak!" Melihat wajah manja dan memaksa Lea, mau tak mau Harlan setuju. Tidak mau semakin meluas aksi marah Lea.
"Ayo, tidur." Harlan ikut tidur.
"Usapin!" Lea menunjuk keningnya. Sedikit memiringkan tubuhnya, Harlan tak menolak diperintah Lea. Tangannya secara spontan mengusap kening Lea. Senyum manis langsung terbit dari wajah suram Lea.
Perlahan kesedihan itu memudar. Dan Harlan suka melihat pemandangan yang tersaji. Lea sangat cantik jika sedang tersenyum. Harlan terus memperhatikan senyum manis Lea dari jarak paling dekat. Apalagi Lea menutup mata. Harlan jadi lebih bebas memindai pandangan. Bibir mungil itu sungguh menggemaskan. Pipi lembut Lea juga tak luput dari pandangan.
Perlahan tapi pasti, Harlan memajukan wajahnya. Nalurinya bergerak sendiri. Dia mau menyentuh bibir mungil Lea. Bibir itu sering bertindak sesuka hati kepadanya. Mulai dari suara sampai kelembutan, sering Harlan dapati.
"Eh," Lea terkejut saat bibir Harlan menyentuh pelan bibirnya. Dan kabut mata Harlan menjadi pemandangan paling intim selama mereka berumah tangga. Lea memang polos, tapi dia cukup mengerti tatapan mata itu bertujuan apa. Apalagi tangan Harlan sudah berpindah sopan ke bagian tubuhnya yang lain. Belum lagi deru napas Harlan yang mengisyaratkan tak ingin ditolak.
Lea seakan tersihir oleh kekuasaan mata Harlan. Dia masih pasangan sah Harlan. Sudah seharusnya menuruti permintaan intim Harlan.
Dan mereka terbuai oleh rasa asing yang semakin meluap. Mereka tak sadar sama-sama bergairah. Meluapkan segala macam emosi di hati masing-masing. Lea menikmati setiap tindakan sopan Harlan hingga kenikmatan dia rasakan. Tak dia hiraukan lagi tubuh polosnya terbuka tanpa tahu malu. Harlan pun sama. Kegiatan ini menjadi menyenangkan untuk menutup malam panjang mereka.
Tidak ada kecanggungan ataupun rasa takut. Keduanya seolah terbuai oleh suhu yang mereka ciptakan sendiri. Terasa sejuk. Sejuk dari keadaan yang terkadang panas memusuhi perasaan.
Sambil mengusap perut besar Lea dari belakang. Harlan memasuki Lea dengan pelan. Ternyata benar, jika sudah menikah, masih banyak cara melupakan seluruh kegelisahan berdua. Mungkin ini salah satunya. Pikir Lea sedikit tersenyum malu. Dia merasa sudah dewasa sekarang.
"Tidurlah." Harlan masih setia memeluk Lea dari belakang. Harlan menarik selimut dan kembali memeluk Lea dari belakang. Mengecup pundak polos itu dengan lembut. Baik Harlan maupun Lea juga sama-sama lelah. Setelah bermain mesra tanpa penolakan masing-masing. Awal mereka saling mengenal juga seperti ini. Terjerat oleh alasan berbeda menciptakan keintiman terlarang. Itu dulu, sekarang mereka sah bisa melakukannya di setiap waktu.
"Aku mencintai kamu," bisik Harlan lemah sambil berusaha menutup mata. "Cinta kamu, Yasmin."
Lea melebarkan mata dalam diam. Menggigit bibirnya, menahan rasa sakit teramat dalam. Tetesan air mata itu turun begitu saja dari pelupuk mata, dalam keadaan dirinya yang paling lemah. Rasanya sungguh terhina.
***
Saat ini.
"Paaaa, kenapa baru pulang?" Nadya langsung memeluk Harlan yang baru pulang dari luar rumah. Bisa dibilang Harlan memang tak pernah lembur di luar rumah sampai larut malam. Tapi kali ini dia banyak urusan yang tak bisa ditunda.
"Papa ke mana aja, sih?" Nadya menarik tangan Harlan duduk sambil menonton televisi. Di sana juga ada Ibu Nani yang sedang duduk menyaksikan layar televisi.
"Nggak biasanya kamu pulang jam segini?" tegur Ibu Nani. Tak biasanya putranya pulang lebih di atas pukul delapan malam.
"Ada urusan mendadak, Ma. Tadi aku sudah mengabari Lea. Dia nggak bilang?" Sekarang Harlan memang sedikit lebih tenang meninggalkan putrinya di rumah. Ada Lea yang bisa diandalkan. Terbukti, seharian ini dia tak mendapat teguran dari sang mama.
Sebelumnya, sang mama akan terus menghubungi Harlan karena tak sanggup mengasuh Nadya. Begitupun dengan Nadya. Putrinya akan protes semalaman karena ditinggalkan. Tapi sekarang berbeda. Ada sosok Lea di rumah. Harlan merasa sedikit aman dengan keberadaan Lea.
"Lea mana, Ma?"
"Daritadi lagi hancurin dapur Mama." Harlan melirik arah dapur.
"Pa, aku lapar. Tapi Tante bilang tunggu. Belum selesai masak." Nadya juga menggerutu lucu.
"Awas aja sampai makanannya nggak enak. Mending kamu siap-siap pesan makanan! Mama juga sudah lapar." Harlan berdiri ingin melangkah mendekati arah dapur. Tapi segera terhenti karena sosok yang ditunggu sudah muncul.
"Wah, kebetulan Kakak sudah pulang. Aku sudah siapin masakan spesial buat semuanya." Harlan melihat ekspresi ceria Lea. Lelahnya sirna. Lea menambah energi positif di sekitar.
Nadya menarik tangan Harlan. "Yang sekarang enak nggak, Pa? Pesan makanan aja, deh!" bisik Nadya tapi bisa didengar Lea. Seisi rumah sudah tahu kualitas memasak Lea tak bisa diandalkan. Lea tetap tak jera mencoba.
"Iya, Mama nggak mau makan masakan dia. Kapok." Ibu Nani juga ikut menyahut.
"Tenang aja. Tidak mengecewakan. Aku udah coba." bela Lea percaya diri. Mau tak mau Harlan mencoba percaya. Harlan yang selalu memberikan kesempatan untuk Lea mencoba peruntungan di dapur.
"Ayo Mantan Mertua, kita makan malam." Ibu Nani menepis tangan Lea yang ingin membantunya berjalan. Kesehatannya juga sudah cukup membaik.
"Duh, mau dibantu malah ditolak. Dosa, lho, nolak bantuan dari hati. Jatuh lagi, kan, bisa bikin repot." Lea memang tak mau mengambil perasaan segala macam tingkah mantan mertuanya. Sejauh ini masih dalam batas yang wajar. Mungkin karena sudah semakin tua. Semakin lemah. Pikir Lea sambil terkikik.
"Pa, benar, nih, kita makan masakan Tante? Kalau nggak enak aku boleh muntahin, yah?" Lea terkikik mendengar kejujuran Nadya.
"Harus dimakan! Kalo nggak, besok ditunda buat slime," ledek Lea sambil berjalan mengambil alih tangan Nadya dari Harlan.
"Ah, Tante mainnya anceman."
"Makanya dimakan! Udah dimasakin juga."
"Kalau nggak enak? Masa mau dimakan?"
"Kamu pasti suka. Janji, yah! Habiskan."
"Aku pikir-pikir dulu."
Hilang sudah rasa lelah Harlan dari luar. Dia seperti memiliki rumah tangga sesungguhnya. Tidak akur, tapi tanpa mereka sadari penuh kehangatan.
"Ayo dicoba semuanya!" Lea menunjuk menu makanan yang baru saja dibuat susah payah.
"Huuft," desah Ibu Nani mencoba pasrah menelan masakan Lea.
"Enaak," balas Nadya ceria. Masakan yang dibuat Lea ternyata tidak semengerikan yang dia kira.
"Paling Nisa yang buat. Kamu hanya sibuk berantakin dapur aja." Ibu Nani juga memberikan komentar. Pedas, tapi Lea tak peduli. Apalagi melihat Ibu Nani tak satu kali menelan makanan di dalam piringnya. Masakan dia diterima.
"Enak nggak, Kak?" tanya Lea. Harlan tersenyum sambil menikmati makan malamnya.
"Oh, iya, Mantan Mertua udah minum obat belum?" tanya Lea santai. Ibu Nani menggeleng dan sadar dia lupa minum obat sebelum makan.
"Biar aku saja yang ambil," ucap Lea berdiri mengambil kotak obat di meja dekat televisi. Dia tahu kotak obat itu milik mantan ibu mertua.
Harlan memperhatikan. Lea memang sedang berusaha diterima tidak hanya oleh Nadya, tapi juga sang mama. Lalu dirinya? Lea masih menutup diri.
Harlan menikmati makan malam dengan tenang. Menghalau rasa tanya yang masih diam pendam. Mungkin belum saatnya sisi manja yang Lea miliki dulu kembali dia terima.
Setelah makan, Harlan memang izin masuk ke kamar lebih dulu. Dia masih mau menyelesaikan urusan kerjaan. Nadya sendiri lebih memilih menyaksikan acara televisi bersama Lea. Serta sang nenek yang masih memasang wajah diam tak bersahabat, tapi tetap mau ikut bergabung dengan Lea dan Nadya. Tak jarang kritikan dan aneka ledekan terjadi di ruangan itu. Tapi tak terlalu mencekam. Hanya terasa lebih hidup. Harlan tak terlalu khawatir.
"Anak kamu itu banyak kutunya. Obati!" suruh Ibu Nani menatap Lea.
"Nadya nular dari siapa, yah?" tanya Lea asal.
"Bukan dari saya." Ibu Nani merasa tersindir. Lea hanya terkikik. "Aku nggak nuduh, kok."
Mereka kembali menyaksikan layar televisi. Sambil tertawa karena Nadya dan Lea saling meledek, lalu Ibu Nani kembali geram karena terganggu. Tak pernah sepi dari saling sahut-menyahut.
"Pa, Dy boleh ditidurkan sama Tante?" Harlan yang sedang duduk di sofa kamar terlonjak kaget saat pintu terbuka, sosok putrinya sedang berdiri menggandeng Lea di belakangnya.
"Nadya sama Papa saja," ujar Lea tak enak. Mereka kira Harlan ada di ruang kerja.
"Nggak apa-apa. Kamu tidurkan saja Nadya. Aku masih ada kerjaan." Harlan memang masih sibuk memeriksa email dengan laptopnya. Dia sengaja mengerjakan di dalam kamar, karena takut Nadya protes dengannya. Tapi ternyata Nadya punya rencana lain malam ini.
"Tuh, nggak apa-apa." Nadya menarik tangan Lea masuk ke dalam kamar. "Ayo, masuk."
"Sudah sikat gigi?" tanya Harlan. Nadya menggeleng. Lea lalu menggiring putrinya ke dalam kamar mandi. Harlan hanya melirik penasaran, sepertinya di dalam sana terdengar berisik. Lea dan Nadya selalu ramai dalam segal hal.
"Oh, iya, Mama belikan kamu cream penghilang kutu. Dipakai, yah!"
"Ah, kutu lagi, kutu lagi. Kasih Nenek aja." Nadya mencibir kesal. Lea sempat keluar sebentar membawa cream dan minyak rambut untuk Nadya. Lea juga meletakan handuk di bantal Nadya.
"Ayo, sini. Mama pakaikan obatnya. Besok pagi pasti mati semua perumahan kutu di kepala kamu, Cantik." Harlan memperhatikan. Cara Lea mengurus putrinya. Hal-hal seperti ini tak bisa dia lakukan. Dan Nadya memang butuh sosok ibu kandungnya.
"Pelan-pelan," gerutu Nadya yang patuh rambutnya dibaluri racikan pembasmi kutu. Setelah dibalur, disisir dengan rapi lalu diikat.
"Selesai, sekarang tidur, Cantik." Lea menyelimuti Nadya sampai dada.
"Tante duduk di sini dulu sampai aku tertidur," suruh Nadya manja sambil menepuk tempat di sebelahnya. "Biasanya setiap mau tidur, Papa selalu usapin kepala aku."
Lea sempat diam menatap putrinya. Sekilas melirik Harlan yang terlihat fokus pada laptop. Lea tahu, Harlan dengar ucapan putrinya.
Perlahan Lea duduk di sebelah Nadya. Mengusap sayang kening kepala Nadya. Mencoba menolak kenangan pahit yang pernah Lea rasakan dulu. Lea teringat kenangan pahit dengan kondisi awal seperti ini. Tapi senyuman manis Nadya membuat segala kenangan buruk pupus.
Mata terpejam, dan senyum surga tanpa dosa Nadya membuat semangat Lea kian bangkit. Dia mau selalu ada untuk Nadya. Sekarang dan selamanya. Lalu lupakan kenangan pahit itu tak bersisa. Sulit, tapi harus dia usahakan berhasil. "Tidur, Cantik." Lea mengecup lembut kening Nadya yang sudah asyik memejamkan mata.
Harlan sendiri juga mencuri tatapan. Dia ingat saat dulu. Indahnya kenangan satu malam bersama Lea. Malam bergairah yang membawanya pada perubahan Lea selanjutnya. Setelah itu, Lea menarik diri darinya begitu terasa. Tak ada lagi Lea yang manja dan pandai merajuk setiap mereka berdua. Lea berubah sampai waktu yang mereka tentukan. Lea pergi meninggalkan dirinya dan Nadya.
"Kak, aku permisi." Lea sudah berdiri di dekatnya. Memohon izin untuk keluar. Harlan melihat di tempat tidur, Nadya sudah tertidur pulas sambil tersenyum..
Harlan langsung berdiri. "Kalau kamu mau, kamu tidur saja di sini dengan Nadya." tawar Harlan. Lea tersenyum manis. "Aku bisa di luar."
"Jangan, tadi permintaan Nadya hanya menidurkan saja. Dia belum meminta aku tidur bersama dengannya." Harlan terus memperhatikan senyum manis Lea.
"Kamu berubah, Lea." Harlan tak takut lagi menatap Lea. Dia sudah bisa mengatasi kegugupan setiap kali mata mereka bertemu. Dia mau berusaha nyaman kembali setiap Lea menatap wajahnya. "Kamu bukan Lea yang dulu."
"Pengalaman mengajarkan aku arti sebuah penyesalan."
Harlan mengerutkan keningnya. Apa Lea mulai mau membagi kisahnya?
"Ayah dan Ibu kamu apa kabar?" Lea langsung mengangguk. "Baik, mereka baik-baik saja."
"Kenapa kamu kembali, Lea? Jangan bilang sudah kamu pikirkan dari jauh hari! Aku tidak percaya, Lea." Harlan akhirnya tak sanggup diam mencari jawaban sendiri. Dia butuh alasan masuk akal perihal kemunculan Lea sekarang.
"Karena aku mau punya keluarga bahagia," jawab Lea cepat tanpa ragu.
"Kenapa baru sekarang, Lea?"
Lea diam dulu sejenak. Lalu menatap kembali wajah Harlan dengan berani. "Ada saat dimana rasa tak pantas membuat seseorang mundur untuk berjuang."
"Lalu sekarang, apa kamu merasa sudah pantas?"
"Sekarang aku berjuang karena merasa takut."
"Maksudnya?" tanya Harlan bingung. Mereka masih berdiri saling bertatapan.
"Aku takut kehilangan lagi." Setelah itu Lea melewati Harlan, hendak keluar kamar. Lea sedikit tersentak saat tangan Harlan menahan pelan tangannya. Jari tangan Harlan menahan sebagian jari tangan Lea.
Langkah Lea kembali berhenti. Lea menoleh bingung. "Apa kamu selalu mengingat aku?" tanya Harlan pelan.
Lea melepaskan sentuhan tangan mereka. "Apa Kakak juga selalu mengingat aku?" tanya balik Lea. Harlan hanya diam. Dan Lea tersenyum meledek seolah tahu jawaban Harlan. Dia tak akan pernah dirindukan Harlan. Karena hati Harlan sejak dulu bukan untuknya. Lea sadar diri dan berusaha tak peduli kenyataan pahit itu. Fokusnya sekarang berbeda. Lea akan berjuang demi kebahagiaan Nadya.
"Selamat malam, Kak." Harlan hanya mengangguk melihat kepergian Lea dari kamarnya. "Semoga mulai bisa ingat aku." Pintu tertutup dan Harlan masih belum bisa menjawab pertanyaan Lea.
Sambil melangkah ke tempat tidur. Harlan duduk di samping putri tersayang. Harlan mengusap kening Nadya dan mengecup lama. "Setiap melihat putri kita, aku selalu melihat kamu. Bagaimana mungkin aku bisa melupakan kamu, Lea," bisik Harlan sambil memperhatikan senyum polos Nadya.
Nadya jelmaan Lea yang selalu Harlan ingat di setiap malam sepi.
***
Rujuk?
Jumat, 11 Agustus 2017
Mounalizza
Dulu part ini update awal hari Jumat juga ternyata..😍 ,2017 boooo... 5 tahun yg lalu..
4 hari ke depan aku ga pegang laptop. Dan ga akan sempat buka Wattpad. Jadi Minggu ini cukup sampai di sini.. mari kita cekek Harlan bersama2 apa ibu Nani🤣.. Hahahah.. happy February 2022..😘
Btw, kalo cerita ini dibukukan self publish, kira2 ada yg mau ga? Pastinya tambahan ekstra part akan ada, banyak? Oh sudah pasti. Harlan akan memperlihatkan kaku ala2 gimana gitu .. Mungkin Nadya story' akan ada. 😘😁
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro