Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11- Siang Yang Indah

"Rahasia adalah keamanan. Keamanan adalah kemenangan."
Catatan Movie : Snowden -2016

-

"Kita mau ke mana, sih? Kok, Papa ikut jemput?" tanya Nadya duduk di pangkuan Lea. Nadya baru saja dijemput pulang sekolah oleh Harlan dan Lea. Awalnya Lea ingin berangkat sendiri, tapi tiba-tiba Harlan muncul dari ruang kerjanya. Lea pikir, Harlan lupa ucapannya semalam, ternyata masih ingat. Harlan mau mengajak Lea membeli ponsel baru.

"Mau ke Mall," jawab Harlan. Nadya langsung menepuk tangan kegirangan. "Beli mainan buat aku?"

Harlan menggeleng. "Beli ponsel buat..." Harlan tak melanjutkan pembicaraan. Dia memilih menunjuk dengan arahan kepala ke belakang Nadya. Lea.

Lea yang sedang menikmati  tugasnya mengusap rambut Nadya langsung tersenyum saat Nadya menoleh ke arahnya.

"Tante mau beli ponsel?" tanya Nadya penasaran. Lea hanya tersenyum manggut-manggut. Nadya kembali melirik Harlan.

"Papa beliin?" Harlan mengangguk pelan.

"Kok, aku nggak dibeliin?" Nadya mulai menggerutu.

"Kamu masih kecil, nggak perlu ponsel. Eh, kan, Papa belikan kamu Tab. Lupa?" Harlan memicingkan matanya. Nadya tetap memasang wajah kesal. Dia iri. Mau juga dibelikan ponsel.

"Mainan juga aku nggak dibelikan, nih?" tanya Nadya mulai menepis tangan Lea yang sedang mengusapnya. Lea terkikik melihat tingkah iri Nadya.

Lea melirik Harlan sekilas. Salah Harlan juga, jujur kepada Nadya. Anak kecil mudah terprovokasi. Apa yang dia lihat, itu yang dia rasakan.

"Cantik mau beli apa, sih? Mau Mama yang belikan?" bisik Lea mengambil hati Nadya. Lea menarik mundur tubuh putrinya agar bisa bersandar di dadanya. Tangannya dia lingkarkan ke pinggang Nadya. Memerangkap sayang. Nadya masih menggerutu. Dia mulai tersisihkan kalau sang papa membagi rasa sayangnya.

"Mau kayak Tante. Tante dibeliin hp," sewot Nadya tapi tak menolak dipeluk Lea. Nadya memalingkan wajah, tak mau dilihat oleh ayahnya yang sedang terkikik melihat tingkah manjanya.

"Dasar tukang ngambek." Harlan mencubit pipi Nadya. Tak menghiraukan aksi marah Nadya. Sementara Lea berpikir berbeda, dia takut kemajuan hubungan dengan Nadya mundur lagi. Hasil yang dia dapat kemarin, akan dia belikan hadiah untuk Nadya. Masih cukup banyak. Lagipula dia sedang tak butuh pengeluaran banyak. Jatah Nadya sudah dia sisihkan.

"Beli mainan aja, Mama mau kasih hadiah buat kamu. Mau?" Lea bebas mengecup pipi lembut Nadya. Rasanya begitu tenang dan isi kepalanya mendadak hilang penat. Benar yang dikatakan Harlan. Mungkin jalan hidup terasa berat, tapi kehadiran buah hati adalah anugerah yang tak bisa digantikan dengan yang lain. Bahkan dengan materi.

"Jangan marah, Cantik. Kita beli mainan nanti. Mau, kan?" rayu Lea lagi.

"Lihat aja nanti. Aku pikir-pikir dulu," jujur Nadya dengan gaya khasnya. Lea semakin tertawa dan memeluk erat tubuh Nadya.

"Haduh, jangan dipeluk gini. Nggak tahu orang lagi marah, apa?" ucap Nadya keras pada Lea, tapi lirikannya jelas menyindir sang ayah. Baik Harlan dan Lea kembali tertawa.

"Tau, ah," sewot Nadya lagi yang kesal karena ditertawakan. Menyebalkan, saat sang ayah mencubit kembali pipinya. Menyenangkan, saat pipinya dicium lembut kembali oleh wanita yang memeluknya. Nadya kembali bersandar di dada Lea lalu memalingkan wajah. Dia tetap memasang wajah masam.

"Ayo, kita sudah sampai," Lea memberitahukan Nadya yang masih asyik bersandar di dada Lea. Rupanya Nadya menikmati pelukan hangat Lea, tanpa sadar. Usapan dan gerakan lembut Lea memang tak disadari Nadya begitu menenangkan.

"Kok, masih cemberut?" tanya Harlan saat mereka sudah keluar dari mobil. Berjalan beriringan. Nadya tak mau dipegangi. Harlan tahu, Nadya sedang memasang aksi kepadanya.

Lea yang memperhatikan tiba-tiba merasa takut. Dia takut Nadya kembali tak menerimanya.

"Kak, kita nggak usah beli hand phone, beli mainan aja buat Nadya," usul Lea. Harlan menggeleng santai.

"Nadya memang seperti itu. Nanti cepat lupanya." Harlan melewati Lea. Dia langsung menggandeng tangan Nadya. "Ayo, jangan pasang muka gitu. Kayak saus tomat aja, manis kecut."

Lea melihat dari belakang. Dia benar-benar tak mau usaha mendekati Nadya sia-sia hanya karena dibelikan ponsel oleh Harlan. Lebih baik dia membeli sendiri dengan pilihan sederhana. Senyuman Nadya lebih indah dari apapun.

"Ayo," panggil Harlan menoleh ke belakang. Saat ini Harlan sudah dalam posisi menggendong Nadya. Wajah Nadya masih cemberut, tapi tidak menolak. Apalagi saat Harlan berbisik lembut pada Nadya. Lea sampai takjub, perubahan wajah Nadya membuatnya iri. Apa yang dikatakan Harlan?

Nadya begitu patuh dan dekat dengan Harlan. Ikatan mereka berbeda. Lea berharap dia akan mengikuti jejak Harlan, diterima Nadya dengan baik.

"Ayo, cepat, Tante! Lelet amat jalannya," ajak Nadya gemas. Sudah tidak marah, tapi Lea melihat nada tak sabaran di sana. Lea tak tersinggung.

Harlan kembali membisikan sesuatu di telinga Nadya. Lea kembali melihat tatapan berubah Nadya. Apalagi saat Nadya menatap mata Lea. Kerutan di kening Nadya membuat Lea menduga lebih jauh. Apa yang sudah diucapkan Harlan pada Nadya?

"Ayo, Tante yang katanya Cantik. Kan, mau dibeliin hand phone sama Papa. Nanti, aku boleh pinjam, yah?" Nada bicaranya terdengar lucu. Lea mau tak mau tertawa lega. Harlan memang bisa menenangkan putrinya.

Lea berjalan di belakang mereka. Begitu sampai di tempat tujuan, Harlan menurunkan Nadya dari gendongan. Sementara Lea memperhatikan berbagai macam ponsel. Sebenarnya dia sudah tak sabar memiliki ponsel. Hanya satu alasan dia yang begitu berharap untuk memiliki smartphone, Lea mau mengabadikan foto putrinya di layar ponsel.

Sebagian sisi hati Lea masih belum yakin Harlan akan menerimanya kembali. Dia mau memiliki kenangan bersama Nadya. Lea yakin, kenangan itu bisa menemani hidup sepinya. Nanti, jika dia benar-benar tak berhasil rujuk. Walaupun sekarang Lea yakin setelah ini, hidupnya akan sangat berbeda tanpa kehadiran Nadya di dekatnya. Setidaknya dia sedang berusaha menjadi lebih baik.

"Tante, yang ini aja, kayak Papa." Lea tersentak dari lamunan. Harlan menyenggol lengannya pelan. Memerintah Lea mendekati Nadya untuk memilih jenis ponsel.

Lea menoleh ke arah Harlan lagi. "Kak, Nadya aja yang Kakak belikan ponsel. Aku nggak usah. Lagian, aku bisa beli sendiri, kok," tolak Lea, Harlan menahan tangan Lea.

"Aku mau kasih hadiah buat kamu. Jangan membantah!"

Lea menggeleng. "Aku susah payah cari perhatian ke Nadya. Dan nggak mau mundur lagi hanya karena nafsu sesaat. Aku mau Nadya menerima sosok ibu kandungnya tanpa paksaan." Harlan melihat kilatan serius di diri Lea. Bisa berpikir ke depan dan tidak egois memikirkan diri sendiri. Lea semakin dewasa.

"Nadya tidak membenci kamu. Hanya belum menerima lebih jauh," ucap Harlan.

"Tapiii," bingung Lea membalas tatapan Harlan.

"Lama, ih," gerutu Nadya di dekat mereka. "Tante mau pilih hand phone nggak, sih? Aku ambil, nih," ancam Nadya di dekat Lea. Gadis kecil itu menarik tangan Lea untuk melihat bersama aneka ponsel.

Lea berlutut di depan Nadya. "Cantik, Papa yang mau beliin kamu hand phone. Mama nggak jadi." Nadya melirik bingung wajah Lea dan Harlan bergantian. Sebenarnya siapa yang mau dibelikan?

"Ayo, Mama bantu kamu pilih." Saat Lea ingin menarik Nadya, Harlan menahannya. Harlan kembali menggendong Nadya. Membuat Nadya bingung karena digiring bergantian.

"Kali ini Papa belikan ponsel buat Mama. Kalau Dy, nanti, yah. Kan, Tab masih bagus. Dy juga suka ambil ponsel Papa. Papa kenal Dy, kamu cepat bosenan." Lea sedikit ingin protes dengan ketegasan Harlan. Dia takut Nadya kembali memasang wajah masam untuknya. Lea tak mau.

"Dy jangan marah sama Mama. Kan, yang butuh ponsel sekarang Mama. Bukan Dy. Jangan cemburu, yah?!" nasihat Harlan pelan. Harlan bisa yakin putrinya tak akan marah, dia mengenal Nadya lebih dalam.

"Oke?" tanya Harlan lagi memastikan reaksi Nadya.

"Iya, Dy tahu. Cerewet banget." Lea bernapas lega. Ketakutannya memang beralasan. Ada rasa rendah diri melihat Harlan bisa begitu mudah mengambil hati Nadya.

"Ayo Tante, piliiih," gerutu Nadya yang melihat Lea masih saja diam. Lea mengangguk setuju. Mengikuti langkah Harlan dan Nadya.

"Mbak, tipe yang ini ada warna apa saja selain biru? Untuk wanita lebih bagus warna apa?" Harlan langsung menunjuk keluaran ponsel terbaru. Lebih bagus dari miliknya.

"Kamu mau warna apa?" Lea langsung menggeleng. Ponsel pilihan Harlan memang keluaran paling baru. Harganya saja tiga kali lipat dari yang dia inginkan sebelumnya.

"Aku bantu pilihin." Nadya langsung meminta turun kembali.

Lea kembali menggeleng menatap Harlan. Tidak, Lea tidak mau menerima begitu saja. Harlan belum berhak menafkahi dia dengan jumlah uang banyak.

"Kak, mungkin kalau untuk keperluan Nadya aku akan mau menghabiskan uang Kakak. Tapi kalau untuk ini, sebaiknya jangan. Kakak nggak wajib," jujur Lea. Harlan tersenyum melihat sikap berbeda dari Lea sekarang.

"Ini hadiah, Lea. Jangan membantah! Ayo, cepat pilih," bisik Harlan sebelum mendekati Nadya dan salah satu pelayan.

"Tante, ini aja!" teriak Nadya. Lea tersenyum singkat. Dia merasa tak berhak menghamburkan uang Harlan.

"Semalam kamu kelihatan senang, kenapa sekarang berubah?" bisik Harlan saat Lea ikut mendekati ke arahnya dan Nadya.

"Reaksi Nadya yang sedikit cemburu membuat aku sadar. Aku takut, Kak. Takut kehilangan lagi." Lea langsung memalingkan wajah. Tapi Harlan bisa melihat cairan bening keluar dari pelupuk mata Lea.

Setakut itukah Lea sekarang? Lalu sebelum ini dia kemana? Tidak takut kehilangan? Harlan masih berbincang sendiri di hatinya.

"Tante aku pilihkan warnanya, yah? Warna pink ini? Mau, nggak?" Lea mendekati Nadya. Raut wajah Nadya berubah antusias. Tidak ada lagi kekesalan atau iri. Mungkin Lea yang masih belum tahu cara anak kecil meluapkan kekesalan. Bersifat sementara. Lea harus lebih banyak belajar.

"Cantik aja yang pilihin, nanti setiap hari Cantik yang pakai ponsel ini." Mendengar itu, Nadya semakin antusias. "Yeay, nanti kalau aku udah besar, aku mau beli juga. Papa nggak aku kasih pinjam. Pelit, sih." Lea bernapas lega. Reaksi Nadya tak seburuk yang dia kira.

"Apa kamu bilang?" Harlan tahu, putrinya sedang menyindir dirinya.

"Nggak bilang apa-apa. Aku lagi ngomong sama tembok. Iya, kan, Tante?" Lea menurut saja saat diperintah mengangguk oleh Nadya. Demi Tuhan, Nadya mirip sekali dengannya.

"Nakal," ledek Harlan sambil mengacak rambut Nadya.

"Berantakan, Papa! Kan, udah rapi."

Mereka kembali saling bercanda sambil menunggu pesanan ponsel. Lea juga dipersilahkan Harlan untuk belajar cara memakai ponselnya di sana. Harlan dan Nadya setia menunggu.

"Terima kasih, Kak. Kalau ada uang, aku bayar." Harlan hanya tersenyum sekilas. Lea penuh tanda tanya. Dia masih perlu waktu untuk menggali lebih dalam.

"Tante janji mau belikan aku mainan? Manaa?" tegur Nadya saat ketiganya sudah keluar membeli ponsel. Memasang kartu dan sudah membeli berbagai perlengkapan. Harlan membelikan dengan hati senang.

Semalam dia berpikir kalau hari ini memang mau membelikan Lea ponsel. Mendengar Lea berjuang mencari uang hanya untuk membeli lebih layak rasanya sangat asing. Aneh jika sebelumnya mengenal kelakuan Lea yang manja dan egois. Lea yang sekarang berbeda. Ceria dan ramai masih sama, tapi ada saat-saat dimana Lea paham cara menjaga jarak. Harlan sadar, bahkan sampai hari ini Lea tak pernah berdekatan dengan dia lebih jauh. Hanya satu kali Lea menyentuh lengannya. Saat kedatangan Ibu Diva di rumahnya. Lalu setelah itu, bisa dibilang tidak pernah.

Tidak ada pelukan manja atau kecupan malu-malu ala Lea di kening atau di pipi yang dulu biasa Lea lakukan. Lea jelas masih membatasi dirinya. Lea tahu status mereka belum pasti. Membuat Harlan semakin berbeda menempatkan Lea di hatinya.

"Jadi beli, nggak? Kok, Tante sama Papa jadi diem-dieman!" Harlan mulai sadar saat tangannya ditarik oleh Nadya.

"Ayo, kita cari yang Cantik mau." Mereka berjalan cepat meninggalkan Harlan. Lea menuruti kemauan Nadya. Membelikan mainan sebagai ganti dia tak jadi membeli ponsel dari uang sendiri.

Harlan memperhatikan. Bagaimana cara Lea menarik perhatian Nadya. Kadang dengan meledek, menggoda emosi Nadya. Tapi juga tangan Lea tak pernah berhenti untuk menyentuh Nadya secara sayang. Jelas terlihat seperti luapan balas dendam dengan waktu yang pernah dia sia-siakan. Lalu dengannya? Kenapa tak Lea lakukan? Mungkin bertahap. Tapi jika mau kembali, bukankah Lea harus bisa juga meluluhkan hatinya?

Harlan kembali menggeleng. Heran dengan isi kepalanya yang seperti remaja labil sedang kasmaran. Mungkin karena sebelumnya Harlan tak mau membuka diri. Siapapun tak Harlan izinkan masuk kembali ke hatinya. Dan sekarang Lea datang kembali menerobos hatinya.

"Sudah dapat hadiah?" tanya Harlan yang hanya duduk di kursi tunggu toko mainan. Dia hanya memperhatikan gerak aktif Nadya di sekitarnya.

"Aku dibeliin ini sama Tante," tunjuk Nadya memamerkan mainan barunya. Satu perangkat alat lukis dengan pensil ajaib. Warnanya akan hidup terang saat kondisi ruangan gelap.

"Wah, Papa boleh pinjam, dong?" Nadya langsung menggeleng angkuh. "No,Papa pelit. Aku nggak dibeliin hand phone." Rupanya masih ingat perihal ponsel. Harlan langsung menggendong Nadya. Sementara Lea mengikuti langkah dari belakang.

"Lea, ayo jalan!" Saat Lea sudah berada di hadapan Harlan, wajah Nadya mendekati wajah Lea. Tak diduga, Nadya mengecup pipi kanan Lea cepat.

"Makasih, Tante. Aku suka." Lea diam tak bergerak mendapat serangan penuh kelembutan itu. Harlan sendiri juga terkejut. Nadya termasuk cepat mau beradaptasi dengan Lea.

"Ayo, jalan, Pa! Laper."

"Mau makan siang? Kita belum makan siang." Harlan berjalan lebih dulu bersama Nadya. Sekilas, Harlan  menoleh ke belakang. Memperhatikan Lea yang masih tak bergerak, Lea sedang menyentuh pipinya penuh haru.

"Ayo, Lea!"

"Iya, Tante lama! Perutku udah bunyi ini." Lea langsung berjalan cepat mengejar mereka.

"Haduh," gerutu Nadya karena pipinya dicubit Lea. "Nanti aku tarik lagi ciuman dariku, yah?" Ancaman Nadya semakin membuat Lea tertawa bahagia.

"Emang bisa?" Lea kembali ceria.

"Bisa, sini pipinya! Aku hapus." Lea mencibir lucu membalas ancaman Nadya. Bahkan Lea kembali mencubit pelan pipi di sebelahnya.

"Papaaaa, cubit Tante!" Harlan hanya tersenyum tak mengikuti kemauan Nadya. Dia masih menghormati cara Lea membatasi diri dengannya.

"Papa nggak berani cubit Tante?" Harlan jadi salah tingkah ditanya seperti itu. Terlebih Lea terlihat santai. Lea bahkan tak menatap wajahnya. Lea lebih memilih tertawa menatap Nadya.

"Nggak aku kasih pinjam hand phone, lho," ejek Lea.

"Aku bisa pinjam punya Papa," bangga Nadya.

"Punya Papa nggak ada game, tadi Mama dapat banyak game seru." Nadya hanya mencebikan bibirnya. Dan Lea kembali mencubit gemas pipi Nadya.

"Papaaaa," adu Nadya merajuk. "Nanti nggak aku kasih pinjam lilin."

"Kan, Mama bisa buat sendiri!"

"Aku juga mau buat!" Nadya memang mudah terpancing. "Aku ikut, yah?" Kepolosan Nadya membuat Lea dan Harlan tertawa. Nadya lupa sedang marah.

"Aku ikut buat lilin, dong!" paksa Nadya.

"Aku pikir-pikir dulu, yah, Cantik."

"Papaaaa," adu Nadya lagi. Menggerutu lucu. "Papa cubit Tante, dong!"

"Jangan bercanda terus! Kita jadi mau makan, nggak?" tanya Harlan di tengah keributan tak penting di sekitarnya.

Perjalanan mencari makanan terasa ramai sambil mendengarkan ledekan Nadya dan Lea. Rasanya berisik dan tampak hidup. Harlan memiliki kehidupan lebih berwarna.

"Di situ aja, Pa! Aku mau main juga." Nadya langsung minta turun dan langsung berlari menembus arena bermain yang tersedia di tempat restoran cepat saji itu.

"Mau makan apa?" tanya Harlan saat sudah duduk di dekat arena bermain. Memudahkan Lea memantau Nadya.

"Ayam pakai nasi aja." Harlan hanya mengangguk lalu segera memesan makanan. Sesekali dia melirik Lea yang tertawa memperhatikan Nadya. Tawanya begitu lepas. Tawa penuh cinta. Membuat Harlan perlu berpikir lebih dalam alasan Lea meninggalkan mereka dan sekarang secara mendadak kembali. Bahkan meminta rujuk.

"Hati-hati, Cantik," tegur Lea kepada Nadya yang masih asyik main. Lea bahkan sudah bisa mengabadikan berbagai gaya Nadya di ponsel terbarunya.

"Dy, ayo makan dulu," ajak Harlan sudah duduk di hadapan Lea yang masih setia memperhatikan Nadya bermain sambil terus mengambil gambar.

"Lea, ini makanannya." Lea juga ikut duduk sambil menyiapkan makanan pesanan. Wajahnya terlihat berseri.

"Tadi mainan Nadya berapa harganya. Biar aku ganti," ucap Harlan pelan. Lea mengerutkan keningnya. Wajahnya mendadak berubah.

"Aku emang mau kasih Nadya hadiah." Harlan mengangguk. Sadar kalau Lea tersinggung.

"Aku juga punya duit, kok, tapi nggak sebanyak punya Kakak," ucap Lea tersinggung. Sama mirip dengan Nadya kalau sedang merajuk.

"Maksud aku baik, Lea. Aku kepala rumah tangga. Kebutuhan Nadya adalah tanggung jawab aku." Harlan berharap Lea bisa menerima jalan pikirannya.

"Iya, tapi aku juga mau membelikan dia hadiah. Dari hasil jerih payahku sendiri. Kan, aku bilang, kalau aku nggak sanggup memenuhi permintaan Nadya, aku minta tambahan dari Kakak." Harlan mengangguk. Mungkin saat ini Lea memang mau dari isi tabungannya.

"Baiklah. Terserah kamu." Harlan melambai menatap Nadya. Memanggil putrinya untuk duduk makan. Tapi sayang, Nadya masih mau menikmati permainan.

"Makasih, Kak. Ponselnya." Lea memperlihatkan ponselnya. Ada foto Nadya sedang tertawa di layar.

"Gimana? Kamu suka sama ponselnya?" Lea tersenyum penuh haru menatap ponselnya.

"Suka banget, Kak. Malam ini aku bisa puas tatap wajah Nadya." Lea sampai tak sadar mengecup layar ponselnya.

"Nadya kapan panggil aku Mama, yah?" ucap Lea pelan.

"Yang penting hati kamu selalu yakin. Kalau kamu tulus mau berubah, Nadya pasti mau terima kamu lagi. Sekarang aja udah terlihat." Lea langsung menatap Harlan. Dia berbicara apa, Harlan menjawab lebih luas.

"Masa, sih?" yakin Lea lagi. Harlan mengangguk. Menambah rasa bahagia Lea semakin tinggi. "Nah, kalau Kakak? Apa masih sayang sama Lea?"

Harlan langsung diam mendengar ledekan Lea. Apalagi Lea terkikik lucu. Lea bahkan dengan berani mengabadikan ekspresi Harlan yang kikuk. "Kakak jadi salah tingkah gitu? Nggak pernah digombalin, yah?"

"Berisik kamu," tolak Harlan tak suka dengan ledekan usil Lea.

"Cieee, gugup," ledek Lea lagi sambil merekam. Harlan menepis tangan Lea yang tetap mengabadikan ekspresi gugupnya.

"Papaaaa, ngapain becanda sama Tante. Aku udah teriak-teriak dari atas." Nadya langsung duduk di samping Harlan.

Harlan bisa bernapas lega, dia tertolong oleh kehadiran Nadya. Mengalihkan rasa gugup serta debaran jantung kembali meningkat yang sedang terjadi. Lea berhasil membuatnya salah tingkah.

"Foto bertiga, yah!" Lea membidik dengan senang. Lea berada di posisi paling depan, sementara Harlan dan Nadya berbeda posisi di belakang meja. Belum dengan posisi saling dekat, tapi Lea sudah cukup bersyukur.

"Cantik, foto berdua sama Mama, mau?"

"Aku pikir-pikir dulu," ucap Nadya sambil menikmati kentang gorengnya. Lea memasang wajah menggerutu. "Jahat kamu, Cantik," rajuk Lea berpura-pura sedih pada Nadya.

"Aku lapar, Tanteeee."

Harlan bergantian melirik tingkah Lea dan Nadya. Selalu mirip dalam segala hal. Dan dia semakin merasa hidup. Keluarga kecilnya semakin sempurna.

***

Rujuk?
Kamis, 10 Agustus 2017
Mounalizza

Nulis itu pake proses, klo langsung ketauan alasan mereka pisah mah ga seru. Diracik dulu emosi yg baca, baru dibuka sebabnya.. dicerita ini aku ga hanya membangun chemistry harlan dan Lea, tapi juga lea dan nadya. Bahkan nanti lea dan ibu mertua..

Jadi jgn langsung tanya ini abis nya sampai brp part? Masih lama yah? Tau nggak, itu pertanyaan paling nggak sopan bagi penulis. Seolah membatasi penulis meluapkan ide cerita. Kadang bikin ilang mood, untung pertanyaan kayak gitu ga terlalu aku ladenin.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro