Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

09- Awal Dekat

"Setiap orang ingin diperjuangkan, tapi sayangnya tak semua orang menyadari dirinya sedang diperjuangkan."
Catatan movie : My Sussy Girl - 2008

"Nadyaaa... Kamu apain lantai ini?" Teriak Ibu Nani berdiri di pinggir pintu teras. Kakinya masih belum bisa berdiri dengan benar. Harus memegang sesuatu supaya bisa berdiri nyaman.

"Nadya?!" Nadya langsung berdiri bingung tertangkap basah mengotori lantai teras belakang rumah. Padahal sudah tersedia alas plastik, tetapi Nadya tak sadar menjatuhkan salah satu pewarna makanan yang tutup botolnya terbuka.

"Aku nggak tahu kalau bisa gini," cicit Nadya benar-benar ketakutan. Dia tak sadar pewarna makanan itu tumpah dan mengaliri lantai. Jelas sang nenek akan marah. Nadya benar-benar ketakutan kali ini.

"Main apa, sih, kamu? Bersihkan sekarang? Ambil di dapur sana!" Nadya berlari ke dalam. Langkah cepatnya terhenti saat hendak masuk ke dalam dapur. Kebetulan Lea memang hendak mengambil kain pembersih di sana.

"Kenapa ketakutan, Cantik?" tahan Lea bingung.

"Jangan ikut campur. Anak nakal ini harus tanggung jawab bersihin lantai!" Nadya langsung bersembunyi di balik tubuh Lea. Suara menggelegar sang nenek membuat Nadya benar ketakutan. Dia merasa bersalah untuk masalah ini.

"Bukan begini caranya menasehati anak kecil!" tegas Lea menatap berani mantan mertuanya. Dia boleh memarahi dirinya, tapi tidak untuk Nadya.

"Heh, jangan sok benar. Kamu kemana aja selama ini? Baru mau urus sekarang?" Lea tak menciut disindir pedas oleh wanita yang seharusnya dia hormati.

"Lihat! Lantai sampai penuh warna. Kamu ajak dia main apa?" Nadya tak sadar meremas tangan Lea yang memang berada di belakang. Lea menggenggam erat tangan putrinya. Lea memang mengajak Nadya membuat sendiri lilin mainan. Lebih aman, hemat biaya, dan mengajarkan anak kreatif. Selain itu pula, cara ini ampuh mengambil hati Nadya.  Buktinya Nadya tak menolak.

"Itu hanya pewarna makanan." Lea dan Nadya berjalan mengikuti arah yang ditunjuk Ibu Nani. Memang lantai sebagian terlumuri pewarna makanan. Tapi pewarna makanan itu sifatnya mudah dihapus. Tidak masalah. Lea bisa bersikap tenang. Bukan masalah besar.

"Dibersihkan juga hilang. Jangan terlalu membesarkan masalah. Nanti aku rapikan." Nadya tetap bersembunyi di belakang Lea. Dia masih ketakutan. Rasa bersalahnya mengalahkan sifat beraninya.

"Kamu sama dia sama saja." Ibu Nani langsung pergi perlahan meninggalkan mereka berdua. Dengan Nadya saja dia tak sanggup, apalagi ada Lea. Kepalanya bisa pecah.

"Nenek mau ikut? Main, yuk, bersama? Daripada marah-marah? Siapa tahu bisa hilang stres buat lilin?" ajak Lea santai tak peduli kemarahan Ibu Nani.

"Yah, dia pergi. Udahlah, terserah," ledek Lea ingin mendinginkan suasana.

"Kenapa masih gemetaran?" Lea berlutut melihat bahasa tubuh putrinya masih ketakutan.

"Nenek pasti ngadu ke Papa nanti kalau sudah pulang. Aku pasti diomelin." Nadya menunduk sambil sesekali melirik arah lantai yang sudah berubah warna.

Lea menarik Nadya kembali ke tempat asal mereka hendak membuat lilin. Sudah ada alas plastik lebar untuk mereka duduki. Bahan sudah tersedia, tinggal mereka mengaduk adonan. Lea sempat ke dapur, tapi sayang tak berlangsung lama, tutup botol salah satu pewarna makanan tumpah karena Nadya yang penasaran.

"Ayo, kita buat lilin." Nadya menggeleng. "Aku takut nggak hilang, Tante."

"Hilang, nih, buktinya." Lea mencoba membersihkan lantai dengan kain basah. "Nanti dicuci pakai sabun lebih kelihatan bersihnya." Lea mengusap pipi Nadya.

"Jangan takut, yah?" Nadya kembali mengangguk lemah.

"Tapi buat ini dulu, dibersihkannya setelah selesai. Ayo, mudah buatnya." Lea menyodorkan mangkuk besar yang masih kosong di dekat Nadya. Beberapa bahan adonan sudah disiapkan Lea di sebelah Nadya.

"Pertama, tepungnya masukan ke dalam mangkuk!" Lea memberikan tepung terigu ke tangan Nadya untuk dia tuang ke mangkuk. Nadya menuruti.

"Air garamnya?" Nadya mengambil air garam. Menuangkan ke dalam mangkuk juga untuk diolah. "Jangan lupa baby oil," ucap Lea lagi.

"Nadya aduk, yah! Pakai tangan aja, biar seru." Nadya tampak asik mengikuti arahan Lea di sebelahnya. Dia tak pernah diajak main seperti ini. Bahkan dengan sang papa.

"Nah, udah rata. Diamkan sejenak. Nunggu sampai rata. Siapkan tempat masing-masing. Kan, kita mau banyak warna. Nanti kamu bagi rata adonan awalnya, yah." Nadya mengangguk lagi. Dia menyukai permainan barunya.  Menyenangkan.

Lea membimbing terus Nadya. Mengambil sedikit adonan, lalu diberikan dua tetes pewarna makanan. "Ratakan sambil diaduk dengan tangan. Lalu jadilah satu lilin warna."
Penjelasan Lea membuat Nadya antusias. Biasanya, dia hanya membeli lilin mainan, sekarang dia tahu cara membuatnya. Lebih seru.

"Tangan aku kotor," ucap Nadya takut. Tangannya kotor dengan lumuran warna.

"Nanti dibersihkan, sekarang lagi main nggak masalah. Ayo, buat lagi warna lain. Mama mau ikutan." Lea juga mengambil adonan ke tangan. Meneteskan pewarna makanan, lalu bermain bersama Nadya membuat lilin.

"Mudah, kan? Daripada beli." Nadya mengangguk antusias. Rasa takut yang sebelumnya menguasai, langsung hilang. Dia sedang bahagia karena bisa membuat mainan kesukaan.  

"Kalau mau, nanti kita buat yang lainnya. Cantik suka slime, kan? Nanti kita buat. Atau apa aja, kita bisa buat apa lagi, Mama selalu ada membantu." Nadya melirik sekilas wajah Lea.

"Emang Tante nggak takut kalau aku diomelin Nenek?" tanya Nadya polos.

"Nggak, lah. Nenek tadi bukannya marah. Nenek nggak mau kamu bikin kotor sembarangan. Makanya, Cantik kalau habis main, dirapikan, yah." Nadya memasang wajah masam.

"Nenek selalu marah. Aku ketawa aja dia marah-marah." Lea menahan tawa mendengarnya. Sambil membuat lilin, mereka bisa akur sejenak. Nadya lupa untuk kesal dengan Lea. Nadya bahkan secara tak langsung berbagi keluh kesah dengan Lea.

"Kalau Nenek marah nggak jelas, Cantik bilang sama Mama, yah?"

"Emang Tante selalu ada di sini?"

"Kalau Cantik mau, Mama selalu ada di sini?" Nadya menatap wajah Lea sambil mengerutkan keningnya.

"Tapi kata Nenek, Tante jahat udah ninggalin aku sama Papa." Lea mengepalkan adonan lilin, menahan segala rasa emosi. Tak seharusnya Nadya diberitahu perihal masalah orang dewasa.

"Tapi Papa bilang, Tante sekolah? Benar?" Lea hanya mengangguk saja. Tak mau membahas lebih lanjut. Nadya belum bisa diberi penjelasan sebenarnya. Fokusnya sekarang bukan menjelaskan masa lalu. Lea mau mengambil perhatian dari Nadya dulu. Dia mau diakui sebagai orang tersayang Nadya. Bukan sekedar wanita yang biasa dipanggil 'Tante' oleh putrinya sendiri.

"Ayo, buat lagi. Kamu payah, Mama udah buat tiga warna, kamu masih satu aja ulenin itu," ledek Lea.

Nadya mencibir lalu kembali antusias mengambil adonan, Lea membantu meneteskan pewarna makanan. Mereka terlihat kompak dan serasi. Tanpa keributan menemani.

Harlan yang baru saja datang dari luar hanya bisa mengintip dari kejauhan. Tadi setelah sarapan bubur, mereka memang pergi ke mini market untuk membeli bahan membuat lilin mainan. Lalu Lea meminta Harlan untuk tidak mengganggu dirinya berdua dengan Nadya. Awalnya Harlan ragu, tapi melihat wajah memohon Lea membuat Harlan tak tega. Dia pun pergi mencuci mobil di luar rumah. Mencoba hal baru tanpa Nadya. Sulit, tapi harus dia biasakan. Lea juga berhak memiliki waktu berdua dengan putrinya. Dan Harlan harus belajar percaya.

Harlan terus memperhatikan tingkah mereka berdua. Sedang fokus dengan tangan masing-masing memegang adonan lilin. Mereka bagai miniatur yang tak beda. Sangat mirip dari segi manapun.

"Besok buat slime, yah, Tante?"

"Boleh, tapi Cantik janji, harus mandi yang bersih. Rambutnya disisir rapi. Kalau basah harus mau dikeringkan." Harlan mendengarkan permintaan Lea. Nadya memang suka membantah jika mengeringkan rambut. Dan Harlan masih tak mampu mengurusi urusan-urusan seperti itu. Biar bagaimanapun dia seorang pria. Ada saat-saat dia tak bisa mengatasi semuanya.

"Nggak mau, sibuk." Harlan tertawa mendengar balasan Nadya.

"Eh, nggak bisa gitu. Kan, rambut kamu panjang. Nanti jadi perumahan kutu di sini." Lea menunjuk kepala Nadya.

"Biarin, aku emang jelek. Banyak kutunya. Teman-teman aku juga suka ngatain," ketus Nadya marah.

"Makanya dibersihkan. Nanti Mama sisirin yang rapi kalau habis mandi. Mau nggak? Sama Papa bosen, nggak bisa main ala anak perempuan. Mau nggak? Seru, lho." Nadya hanya mencibir mendengar ledekan untuknya.

Lea menyenggol lengan Nadya. "Mau, ya?" paksa Lea pelan.

"Iya, nanti aku pikirin. Bawel banget." Lea terkikik mendengar jawaban putrinya. Sungguh Lea seperti sedang bercermin jika melihat Nadya. Mirip dengannya.

Harlan juga ikut tersenyum. Tak mau mengganggu, Harlan memilih masuk ke dalam ruang kerjanya. Lea dan Nadya memang butuh waktu berdua.

Di ruang kerja, Harlan duduk sambil mengingat interaksi dua wanita yang begitu mirip dalam berbagai sikap dan sifat. Bisakah rumah tangga dirinya dan Lea kembali terjalin? Banyak pertanyaan yang masih belum bisa ditanyakan dengan Lea. Harlan tak tahu kenapa pita suaranya seolah malas berkata.

"Aku juga salah, Lea." Harlan menutup mata. Mencoba istirahat sejenak.

"Aku salah tak pernah mencari kamu," bisik Harlan pelan.

***

"Papaaaaaaa," Harlan langsung membuka mata saat suara mimpinya terasa begitu nyata. Dia seperti mendengar suara teriakan Nadya. Biasanya setiap dia bekerja di ruang kerja rumah, Nadya selalu berteriak mencarinya. Entah karena bosan, rindu, atau habis dimarahi sang nenek. Harlan sudah terbiasa menghadapi situasi itu.

Harlan melirik arah jam. Sudah malam. Dia ketiduran cukup lama di ruang kerja.

"Nadya?" Harlan langsung segera bergegas keluar ruangan. Tidak biasanya Nadya tidak mencarinya. Harlan melirik arah teras yang semula menjadi tempat Nadya dan Lea membuat lilin. Sudah tidak ada. Sepi dan suasana malam semakin gelap.

"Darimana saja kamu?" Langkahnya terhenti untuk menaiki tangga. Sang mama sedang duduk kesal menatapnya.

"Di ruang kerja, Ma. Harlan ketiduran. Nadya mana, Ma?"

"Di atas, sama kembarannya." Ibu Nani langsung memalingkan wajah. Malas menyebut nama mantan menantunya. Harlan segera naik cepat ke atas. Dia mau lihat keadaan Nadya. Cukup lama ditinggal bersama Lea. Apa baik-baik saja?

Pintu kamar Nadya dan Harlan terbuka setengah. Harlan mengintip terlebih dahulu arah dalam. Tak berniat masuk. Dia masih mau melihat pemandangan yang sama sekali tak terpikirkan bisa terjadi.

Nadya sedang duduk tenang dengan wajah segar sehabis mandi. Rambutnya sedang disisir lembut oleh Lea di belakangnya. Harlan memutuskan tak jadi masuk dulu. Dia masih mau tahu interaksi yang terjalin. Ada peningkatan, kah?

"Nanti Mama kasih cream penghilang kutu, yah?"

"Kutu lagi, kutu lagi. Ngeledek bener, sih," gerutu Nadya kesal. Dia, kan, malu.

"Eh, biar hilang. Emangnya kamu mau temenan sama kutu selamanya? Cantik, rambut kamu itu bagus. Panjang, tapi nggak rapi." Lea merapikan rambut kusut putrinya dengan sabar.

"Mau, yah?"

"Iya-iya mau." Lea terkikik mendengar jawaban malas Nadya.

"Rambutnya bagus, tapi malas nyisir." Nadya menggoyangkan wajahnya kesal. Tak terima disindir terus.

"Mentang-mentang rambut Tante bagus." Lea terus menyisiri rambut putrinya.

"Terus, nih, Cantik harus belajar tidur sendiri. Punya kamar sendiri. Jadi bisa pajang mainan sama hasil kreasi kamu sendiri. Kalau sekarang nggak keren. Ada barang Papa." Nadya menoleh ke belakang. "Terus Papa tidur di mana?"

"Ya, sama Mama. Cantik mau, kan, Mama balik lagi selamanya di sini?" rayu Lea terselubung.

"Kok, Aku nggak tidur sama Papa?"

"Punya kamar sendiri, masa mau tidur sama Papa. Nggak enak. Nggak bebas hias kamarnya. Nggak seru." Nadya berpikir sejenak. Dia juga mau kamar sesuai kreasinya. Seperti kamar teman tetangga sebelah. Serba pink dan biru. Kamar princess. Nadya mau kamar seperti itu.

"Mau, nggak?" desak Lea.

"Aku pikir-pikir lagi, Tan." Mendengar jawaban sok tahu Nadya. Lea tak kuasa menahan tawa. Tangannya spontan menjawil telinga Nadya.

"Sakit," protes Nadya menatap garang Lea.

"Abis Mama bingung, kalau dicium kamu nolak. Ya, udah Mama jewer aja." Lea mengusap telinga Nadya pelan. Sambil terus terkikik. Hari ini dia sedang berbahagia. Menemani Nadya bermain, makan bersama dan terakhir Nadya bersedia dia mandikan. Dimandikan dengan bersih secara keseluruhan. Membayar setiap waktu yang terlupakan, untuk merawat putrinya selama ini.

"Aku mau cari Papa." Lea menahan lengan Nadya yang ingin beranjak pergi.

"Di sini aja! Cantik udah makan dan puas main, sekarang waktunya tidur. Nanti biar Mama yang panggilkan Papa. Tadi lihat sendiri, Papa tidur nyenyak di bawah." Lea mendorong tubuh Nadya untuk rebah. Nadya menuruti. Dia juga sudah mengantuk.

"Tunggu sini aja." Lea memang sengaja tak memaksa Nadya untuk mau dia temani sebelum tidur. Harus bertahap.

"Tante," panggil Nadya pelan. Rupanya Nadya duduk kembali.

"Cium di sini aja boleh." Nadya menunjuk satu pipinya. "Cium di sini aja. Satu kali. Nggak lebih, nggak kurang." Cara mengucapkannya pun membuat Lea tertawa bahagia. Lea langsung duduk menghampiri Nadya kembali. Mengecup pipi yang ditunjuk Nadya. Lalu tak sadar mengecupi semua bagian pipi putrinya antusias.

"Ah, Tante bohong." Lea tak peduli. Dia mau menikmati kelembutan wajah putrinya.

"Mama sayang kamu." Lea mengecup lagi pipi Nadya.

"Papaaaaa," Nadya langsung melepaskan keintiman yang masih berlangsung. Kehadiran Harlan membuat Nadya lupa akan keberadaan Lea.

Nadya berlari mendekati Harlan yang baru masuk ke dalam. Nadya memeluk erat Harlan penuh kerinduan. "Papa tidurnya lama amat. Dy ditinggalin sama Tante, deh."

"Papa di ruang kerja. Kamu juga lupa sama Papa." Harlan mencium pipi Nadya.

Lea mendekati mereka kikuk. "Tadi kita lihat Kakak tidur. Aku jadi kasihan mau banguninnya." Harlan hanya mengangguk.

"Dy udah makan malam?" tanya Harlan memilih menatap wajah putrinya.

"Udah sama Tante." Harlan merapikan rambut Nadya. Kali ini sudah tidak kusut lagi. Tangan Lea berbeda mungkin dengan tangannya. Wanita lebih mengerti caranya.

"Kakak udah makan?" tanya Lea masih berdiri di samping Harlan.

"Nanti saja," jawab Harlan singkat. Mau tak mau Lea mengangguk.

"Pa, aku mau tidur sama Papa," rengek Nadya manja.

"Ya udah, aku keluar, yah. Dah, Cantik." Lea langsung bergegas keluar. Biar bagaimanapun, itu juga kamar Harlan. Dia masih belum punya hak berlama-lama di sana jika ada Harlan. 

"Tante, besok bikin slime, yah?" Lea menoleh sekilas sebelum akhirnya keluar dari kamar.

"Iya, Cantik. Sekarang tidur dulu, yah." Lea langsung berjalan ke arah kamarnya. Dan sebelum masuk ke kamar, Lea memberanikan diri untuk menatap arah belakangnya. Ternyata pintu kamar Nadya dan Harlan sudah tertutup.

Lea tak boleh gentar. Hari ini harus dia tutup dengan kebahagiaan. Putrinya memberikan izin untuk mengecup pipi. Rasanya indah.

"Hiks." Lea luruh di lantai saat sudah memasuki kamar. Sambil tertawa, Lea menangis bahagia. Menyentuh bagian bibirnya dengan pelan. Kesedihannya sedikit terobati karena kecupan yang dia sarangkan untuk Nadya.

Lea yakin, waktu akan berbaik hati dengannya. Dia pasti mendapat waktu untuk tidur berpelukan bersama putrinya. Kelak, Lea yakin itu.

"Kuat.. Harus kuat." Lea menangis sambil duduk bersandar di daun pintu kamarnya. Kamarnya yang sepi.

***

Rujuk?
Senin, 07 Agustus 2017
Mounalizza

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro