Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

08- Cara Lea

"Karena yang menyayangi kita takkan pernah benar-benar meninggalkan kita."
Catatan Movie: Finding Dory (2016)

***

Kilasan masa lalu.

"Harlan..."

"Harlaaaaan..."

"Bangun..."

Harlan langsung duduk dari tidurnya yang terganggu. Suara teriakan dan ketukan pintu di depan kamar membuat gendang telinga sedikit sakit.

Itu suara sang mama.

Harlan melirik sekilas arah tempat tidur sampingnya. Kosong. Pasti Lea berulah lagi, pikir Harlan sambil mencoba berdiri.

Sekarang hari sabtu, Harlan ingin menikmati waktu luangnya dengan tidur. Dia butuh istirahat yang banyak. Sejak kemarin waktunya tersita mengurus persiapan sidang akhir kuliah. Belum lagi tanggung jawabnya pada perusahaan kecil milik mendiang ayahnya. Sang mama sudah meminta Harlan terjun langsung sambil belajar. Karena pada akhirnya Harlan yang akan memikul tanggung jawab itu.

"Iya, Ma," Harlan membuka pintu kamar. Wajah sang mama menatap kesal.

"Lihat tuh, istri kamu! Dapur Mama hancur karena dia. Semua berantakan karena dia memasak. Bisanya apa, sih, dia? Ayo suruh dia keluar dari dapur!" Harlan menggaruk kepalanya. Sejak kemarin Lea memang selalu bangun pagi. Dan dapur adalah tujuannya. Lea seperti melampiaskan rasa kesepiannya di dapur. Wilayah kekuasaan sang mama.

"Iya, Ma. Harlan akan kasih tahu." Tanpa merapikan wajah atau sekedar membersihkan diri sejenak, tak Harlan lakukan. Dia sudah mencium bau hangus dari bawah. Lea pasti lalai melihat masakannya. Istrinya itu selalu ceroboh.

"Leaaaa," panggil Harlan saat masuk ke wilayah dapur. Berantakan dan bau hangus sangat terasa.

"Heeeee," cengir Lea sambil memegang piring dengan tampilan roti bakar yang benar-benar terbakar habis.

"Aku lupa panggang roti di teflon, terus aku lagi siapin bahan-bahan untuk buat sup. Tapi lupa," cerita Lea santai. Harlan geleng-geleng kepala. Mengambil piring dari tangan Lea, dan mendorong pelan Lea keluar. "Sebaiknya kamu di kamar saja. Nggak perlu masak. Percuma, nggak ada yang bisa dimakan."

Lea menahan tangan Harlan. "Ko, gitu? Aku, kan, lagi belajar masak buat Kakak.." manja Lea tak tahu malu. Sambil memegang perut yang sudah mulai terlihat, Lea melirik manja wajah Harlan. "Dia maunya aktif. Nggak mau tidur. Kalau tidur, kepalaku pusing."

"Olahraga saja, jangan hancurkan dapur Mama." Lea mencibir mendengar ucapan Harlan. Tenang, tapi terasa pedas. Dan itu menyakitkan.

"Tau, ah!" Lea berbalik meninggalkan Harlan. Suara dengusan tetap didengar Harlan, tetapi sengaja tak dihiraukan. Harlan mau menyelesaikan kericuhan di dapur sang mama lebih dulu.

"Mbak, kalau Lea mau masak, tolong ditemani. Dia masih nggak ngerti urus dapur." Harlan langsung menegur asisten rumahnya.

"Saya mau bantu Nona Lea, tapi nggak boleh sama Ibu. Saya disuruh rapikan taman dan halaman, Mas. Maaf." Harlan hanya mengangguk seolah tahu arah penjelasan itu. Ada andil sang mama yang menolak kehadiran Lea di rumah. Jadi, apapun yang Lea lakukan selalu salah.

"Rapikan, Mbak!"

"Mas, Nona Lea itu belum makan dari bangun tadi," beritahu pembantu rumah tangga. Harlan melirik arah meja makan. Kepingan roti itu sudah tak layak untuk dinikmati. Apalagi Lea sedang mengandung.

"Mama sudah makan?"

"Udah, Mas. Tadi dia minta belikan nasi kuning di depan." Harlan lagi-lagi harus menekan sejuta rasa kecewa. Kenapa sang mama sulit sekali untuk menerima Lea di rumah? Lea sedang mengandung darah dagingnya. Suka tidak suka harus diterima.

"Nanti saya belikan Lea sarapan." Harlan melirik sekilas kamar sang mama. Rasanya malas dia masuk ke sana untuk minta maaf. Hatinya sedang tak tenang kalau Lea di atas merajuk. Apalagi belum sarapan pagi. Baru memasuki bulan ini kondisi Lea setiap pagi sudah kuat. Fase mual-mual sudah selesai. Harlan baru bisa bernapas lega.

"Lea," sapa Harlan saat masuk ke dalam kamarnya. Tebakannya tak meleset, Lea sedang duduk bersandar di tempat tidur dengan wajah masam. Jelas Lea sedang merajuk.

"Sarapan di luar, yuk!" ajak Harlan menghampiri Lea. Istrinya semakin cemberut. Memalingkan wajah.

"Nggak, Kakak aja sana! Aku makan makanan gosong yang tadi."

"Nggak boleh! Lagi hamil jangan makan yang aneh-aneh."

"Iya, makananku emang aneh," ketus Lea merasa tersinggung. Harlan tak heran. Lea super sensitif, ditambah manja terlalu.

Harlan duduk di pinggir tempat tidur. Tangannya terulur menyentuh perut Lea yang mulai kelihatan. Harlan mengusap pelan tanpa ragu. "Makan bubur ayam, mau?" ajak Harlan lembut. Lea masih diam, walaupun tak menolak sentuhan tangan Harlan.

"Atau kamu yang pilih, deh, mau sarapan di mana." Lea melirik Harlan.

"Bubur ayam di dekat rumahku boleh, nggak?" tanya Lea akhirnya. Harlan mengangguk. Asal Lea mau mengisi perutnya dengan asupan makanan, Harlan akan menuruti.

"Tunggu Kakak bersihin muka sebentar, yah?!" Lea mengangguk ceria. Wajah masamnya sudah berganti dengan keceriaan khas Lea. Harlan suka wajah ceria Lea. Penuh semangat, dan bisa menularkan semangat positif bagi Harlan.

"Kalau kamu mau, kita mampir ke rumah kamu?" tawar Harlan sekali lagi berbaik hati. Dia tahu, Lea merindukan rumah. Terutama sosok sang ibu. Lea masih membutuhkan kelembutan sang ibu. Belum lagi pengalaman minim dalam menjalani kehamilan. Lea butuh teman bicara yang bisa dia mengerti.

"Sekalian mampir mau?" ajak Harlan lagi. Lea langsung menggeleng takut.

"Jangan, Kak. Aku telepon aja, Ayah marah sama Ibu. Apalagi datang. Perut aku udah kelihatan. Bisa-bisa diusir." Harlan melihat raut wajah kecewa mendalam di wajah Lea. Dia yang mendengar saja merasa tak tega. Apalagi Lea, pasti kecewa teramat dalam.

Rasa bersalah kembali hadir. Dia merusak masa depan anak gadis polos tanpa berpikir panjang. Semua karena alasan pikirannya yang sedang kacau dan sakit hati, membuat Harlan berbuat nekat dalam satu malam. Dan Lea menjadi pelampiasan tak sengaja dirinya.

"Setelah ini, semoga kamu bahagia, Lea." Setelah mengatakan itu, Harlan langsung masuk ke dalam kamar mandi. Dia juga merasa tak enak jika Lea terus merasakan kecewa. Semua sudah terjadi, dan kehamilan Lea harus dijaga dengan baik. Sampai melahirkan. Harlan janji, akan memberikan kebebasan yang Lea inginkan.

"Kakak janji, yah, akan mengurusi perceraian kita?" Harlan tak menjawab pertanyaan Lea dari luar kamar mandi.

***
Saat ini.

"Ma, kenapa makan di sini?" Harlan yang baru turun dari kamar bersama Nadya, heran melihat sang mama yang sedang duduk menikmati sarapan paginya di ruang televisi. Wajahnya masam dan terlihat kesal.

"Malas, di dapur ada pengganggu," ketus Ibu Nani. Harlan dan Nadya yang sedang bergandengan hanya bisa memperhatikan dengan wajah bingung. Terutama Harlan. Dia tahu siapa pengganggu itu. Pasti Lea.

Harlan teringat masa lalu. Lea suka sekali mengacaukan dapur kesayangan mama, tanpa peduli kemurkaan sang pemilik. Mungkin dulu Lea masih remaja dan tak paham. Tapi sekarang berbeda. Usia membuat Lea semakin matang. Siapa tahu Lea bisa menguasai dapur.

"Pa, lapar," gerutu Nadya menarik tangan Harlan.

"Sana, minta sama mama kamu! Cocok kalian bersama." Harlan melebarkan mata mendengar suara galak sang mama.

"Ma," tegur Harlan.

"Hah, terserah! Pusing." Ibu Nani tak peduli dengan teguran Harlan.

"Pa, aku mau susu cokelat hangat." Harlan menggiring Nadya ke arah ruang makan. Berharap Lea bisa mempersembahkan sarapan spesial untuk Nadya, dan lebih bagus lagi untuknya juga disiapkan.

"Kak, jangan ke sini dulu!" Belum sampai ke arah meja makan, suara Lea sudah mengintrupsi kencang dari arah dapur.

Wajah Lea menyembul lucu dari arah pintu belakang. Dapur paling belakang. Harlan mengerutkan keningnya. Kenapa Lea membuat sarapan di sana. Itu dapur kotor.

Seolah tahu kebingungan Harlan. Lea mencibir lucu. "Nyonya rumah nggak kasih aku buat sarapan di dalam. Mungkin nanti kalau Ratu Inggris datang, baru diizinkan," jujur Lea sambil menggerutu.

"Aku belum selesai buat sarapan spesialnya. Tunggu, yah!" pinta Lea.

Nadya menarik tangan Harlan. "Pa, Dy lapar. Beli bubur ayam, yuk!" rengek Nadya tak peduli permintaan menunggu Lea.

"Yah, tahan, dong!" ucap Lea ikut campur. "Cantik, makannya nanti aja. Makanan spesialnya belum selesai dibuat, tunggu sebentar lagi," rayu Lea mendekati Nadya dan Harlan. Penampilan Lea sudah terlihat rapi. Jelas Lea sudah mandi dan membersihkan diri.

"Aku nggak mau makan yang spesial. Aku mau bubur ayam," ketus Nadya memalingkan wajah. Apalagi Lea berlutut menghadap Nadya. Merapikan rambut asal Nadya. Putrinya memiliki rambut panjang ikal.

"Nggak mau nasi goreng spesial?" pinta Lea pelan. "Kan, Mama udah buat daritadi." Lea bertingkah seolah kecewa. Jika kemarin dia mengawali dekat dengan Nadya sambil meledek, sekarang dia mau sedikit manja juga.

"Nggak kasihan sama Mama yang udah bangun dari pagi?" Nadya dengan polosnya menggeleng. Harlan terkikik.

"Makan buatan Mama aja, yah! Lagipula Papa juga mau makan nasi goreng." Harlan mau membantu komunikasi ibu dan anak.

"Ayo," ajak Lea mengambil alih gandengan tangan. Beruntung sekarang hari sabtu, jadi mereka punya waktu bebas untuk bercengkrama. Nadya tidak pergi ke sekolah taman kanak-kanak. Sedangkan Harlan bisa melakukan pekerjaan penting dari rumah.

Harlan dan Nadya setia menunggu di meja makan. Mendengar suara berisik dari arah belakang. Tetapi mereka hiraukan. Lea meminta mereka duduk manis di ruang makan. Tak lama dua piring nasi goreng dihidangkan Lea.

"Nah, ayo disantap." Nadya melirik piringnya. Tersaji lucu dengan bentuk beruang di selimuti telur dadar. Sedangkan milik Harlan terlihat biasa saja.

"Ini spesial buat kamu, Cantik." Lea mengelus pipi Nadya. "Ayo dicoba." Nadya duduk di tengah sambil melirik kanan kiri bergantian.

"Ayo, Dy, katanya lapar." Harlan mengambil sendok dan mencoba. Begitu juga Nadya, menurut saja. Dan keduanya langsung memberikan reaksi aneh saat menelan satu suapan.

"Nggak enak! Rasanya aneh. Aku nggak suka, Pa. makan bubur ayam aja, yuk!" sembur Nadya jujur sambil memuntahkan makanan yang baru dimasukan ke dalam mulut.

"Kamu nggak rasakan dulu tadi?" tanya Harlan kepada Lea. Lea mengambil sendok baru dan mencoba dari piring Harlan. Wajahnya juga memberikan penilaian yang sama. Rasanya tidak enak. Dan tidak layak dimakan.

"Yah, tadi aku kira enak. Mana tahu rasanya amburadul gini." Harlan minum sambil menahan kekesalan. Lea masih tak pandai masak ternyata. Membuat hal mudah seperti ini saja tidak bisa. Bagaimana selanjutnya?

"Ayo, Pa. Aku lapar." Nadya sendiri sudah berdiri di samping Harlan. Menarik paksa ayahnya untuk berdiri.

"Yah, jadi nggak diabisin? Telan aja sampai habis. Pura-pura enak." Lea ikut berdiri memegang tangan Harlan juga.

"Nggak mau. Nggak enak! Tante aneh. Mau buat aku sakit mual, yah?" Lea mengerucut lucu mendengar sindiran putrinya.

"Ayo, Pa." Harlan dan Nadya pergi meninggalkan ruangan makan. Meninggalkan Lea sendiri menatap dua piring makanan hasil buatannya. Sambil memasang wajah masam, Lea membawa kembali ke arah dapur belakang.

"Buang aja, Mbak. Rasanya nggak enak." Lea lalu kembali lagi ke dalam. Dia juga lapar sebenarnya. Tapi mau bagaimana lagi, dia masih belum pandai memasak.

"Eh," ucap Lea terkejut karena ada tangan mungil memegang jari-jarinya. Baru saja dia mau naik ke atas kamar.

"Ayo ikut! Diajak Papa!" ketus Nadya menarik tangan Lea ke depan.

"Oh, Papa? Bukan kamu, Cantik?" ledek Lea ikut berjalan dan tak berusaha melepas tarikan tangan Nadya. Sedikit kasar, tapi Lea menikmati.

"Ih, enak aja. Ini aku dipaksa Papa," cibir Nadya.

"Bohong, kali?" ledek Lea.

"Tau, ah." Nadya tak peduli. Tugasnya hanya menarik tangan Lea untuk ikut mereka mencari sarapan.

"Aku duduk di depan!" Nadya langsung berlari saat sudah berada di luar. Harlan memang sudah menunggu mereka di dalam mobil. Lea hanya tersenyum manis saat memasuki mobil. Saat ini dia tak akan mengajak bertengkar Nadya perihal posisi duduk. Hatinya sedang senang karena Harlan mengajaknya sarapan lagi.

Lea duduk bersandar tenang saat mobil sudah berjalan pelan meninggalkan rumah. Suara lucu Nadya berbicara dengan Harlan seperti alunan indah di pagi hari. Dia tak pernah merasakan situasi seperti ini sebelumnya. Utuh berada dekat dengan orang-orang spesial.

Dulu, saat Nadya masih berada di dalam dirinya, Harlan selalu sabar meladeni dia kemana pun.

Harlan melirik dari arah kaca kecil di tengah. Harlan melihat senyuman manis Lea sambil menghadap arah kiri jalanan. Dengan nekat, Harlan menoleh ke kebelakang. Penasaran melihat Lea secara utuh. Ternyata Lea sedang mengusap perut ratanya sambil tersenyum manis.

Harlan ingat, dulu, biasanya saat masuk ke dalam mobil, satu tangannya selalu diminta Lea mengusap bagian tubuh Lea itu.

"Pa," tegur Nadya kesal karena tahu sang ayah memperhatikan arah belakang lama. Satu tangan Nadya menarik tangan kiri Harlan untuk dia genggam. Harlan tersenyum kepada Nadya dan menggenggam tangan Nadya sambil mengemudikan mobil kembali.

"Eh, Cantik, nanti pulangnya Mama di depan." Suara Lea memecah suasana manis yang baru saja tercipta.

"Ah, nggak mau. Aku yang tetap duduk di depan. Iya, kan, Pa?" Nadya langsung berteriak kesal meminta pembelaan kepada Harlan.

"Nggak bisa. Kamu harus gantian." Lea duduk di tengah dan melirik ke arah Nadya dengan tatapan meledek. Harlan hanya bisa geleng-geleng kepala melihat pertengkaran dua wanita yang memiliki sifat sangat mirip.

"Nggak mau. Siapa suruh ikut."

"Lha, tadi siapa yang tarik tangan Mama ke luar?"

"Aku disuruh Papa."

"Bohong."

"Benar."

"Pokoknya nanti di belakang!"

"Nggak mau, aku kalau abis makan bubur suka mual. Jadi lebih baik di depan."

"Apalagi, lebih bagus di belakang, Cantik. Atau kita sama-sama di belakang. Jadi kalau mulai mual, Mama bantu kamu."

"Enak aja. Aku maunya sama Papa. Wlee.."

"Kalau masih berisik Papa putar balik. Kita pulang!"

Keduanya kembali diam. Duduk manis di posisi masing-masing. Harlan melirik Nadya, putrinya sedang duduk dengan tatapan cemberut lucu. Lea memang bisa mengacaukan emosi putrinya. Lebih tepatnya langsung membuat Nadya akrab dengan caranya. Cara yang unik untuk mengambil hati anak kecil.

Sedangkan Lea, Harlan melihat dari kaca kecil. Lea sedang tersenyum manis penuh kebahagiaan. Entah karena berhasil membuat putrinya kesal atau karena situasi yang baru saja dia buat terlihat akrab. Yang pasti, Harlan menyukai senyuman manis itu.

"Pa, nanti pulangnya aku mau beli Play Doh, yah?"

"Belum buka, Dy, masih pagi."

"Ada yang udah buka. Aku tau."

"Jajan mulu. Boros, ih." sembur Lea ikut nimbrung.

"Biarin. Aku selalu dibeliin Papa. Wleee."

"Daripada boros, mending buat sendiri. Mama tahu cara buat adonan itu."

"Emang bisa?" tanya Nadya ketus tapi penasaran.

"Ya, bisalah. Gampang." Lea sedikit menyembulkan kepalanya dekat ke arah Nadya. "Kalau mau, nanti Mama ajarkan. Tapi, nanti pulangnya Mama duduk di depan, yah?"

Mendengar itu, Nadya melebarkan matanya. Langsung menggerutu menatap Harlan. "Papaaaa, aku mau duduk di depan."

Dan adu mulut kembali terjadi. Harlan menikmatinya sampai ke tempat tujuan sampai. Hidupnya semakin penuh warna mulai sekarang.

"Kak, nanti pulangnya kita ke mini market beli bahan buat adonan lilin," pinta Lea pada Harlan.

"Tapi aku tetap duduk di depan!" sembur Nadya cepat.

"Siapa cepat, dia duluan." ledek Lea.

"Papaaaa."

***
Rujuk?
Minggu, 06-Agustus 2017
Mounalizza

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro