Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

06- Kenangan Ringan

"Semua hal baik selalu datang kepada orang yang mau menunggu."
Catatan Movie : Tangled (2010)

***
Kilasan masa lalu.

"Lea, bangun! Kita periksa ke dokter." Lea merenggangkan tangannya malas. Dia sudah bangun sejak suara pintu terbuka tadi. Suara-suara suaminya meletakan barang dan gemericik air di kamar mandi. Lea sudah bangun, tapi rasanya malas ingin bergerak. Tidur siangnya benar-benar nyenyak. Lea tahu, sore ini Harlan mengajaknya ke dokter. Memeriksa kandungan yang sudah memasuki bulan ke empat.

"Ayo, bangun. Kakak bantu." Lea duduk sambil mengucek mata. Wajah lelah Harlan menjadi pemandangan menyebalkan bagi Lea. Perasaan ibu hamil sensitif, dan Lea sedang mengalaminya berlebih.

"Jangan pasang wajah kayak gitu di depan aku. Perutku mual jadinya." Mendengar itu, mau tak mau Harlan memaksakan diri tersenyum. Daripada melihat Lea merajuk berkepanjangan. Dia sudah lelah.

"Sudah puas?" tanya Harlan setelah tersenyum sekilas menatap Lea.

"Udah," ucap Lea jujur sambil membalas senyuman. Mau tak mau Harlan menggeleng. Istrinya memang sering bertingkah aneh. "Ayo, cepat siap-siap. Aku udah mandi duluan tadi waktu kamu tidur."

"Aku nggak mau mandi. Tadi jam sebelas baru mandi. Ganti baju aja," beritahu Lea santai perlahan bangkit.

"Kak, Mama udah pulang, belum? Kita makan malam di luar, yuk?" ajak Lea yang mulai membuka kancing baju menuju lemari pakaian. Sementara Harlan gantian merebahkan diri.

Sambil memejamkan mata sejenak, Harlan menjawab pelan. "Dia bilang mau pergi ke Bandung. Ada acara gathering reuni."

"Yes, telinga aku bisa istirahat dari ceramah pagi hari." Harlan memijat pelan kepalanya. Tak menghiraukan ucapan jujur Lea. Isi kepalanya sedang sibuk memikirkan urusan kuliahnya yang masih belum selesai.

"Kak, kita kencan, yuk? Mumpung Mama nggak ada." Harlan mencoba memejamkan mata terus tanpa mau melihat Lea. Dia tak mau duduk walau sekedar menatap Lea. Tidak, Harlan tahu Lea sekarang sedang melakukan apa.

Lea seolah tak malu membuka pakaian di hadapan Harlan. Entah memancing atau memang polos, Harlan tak mau terbawa suasana. Ini sudah sering dia hadapi. Dia pria muda, dan harus bisa membatasi diri. Sekali pun Lea, wanita yang sudah halal untuknya.

"Kak?" gerutu Lea. Kehamilan membuat Lea mudah sensitif. Saat sedang berbicara, Lea maunya saling menatap.

"Kamu sudah selesai ganti baju?" tanya Harlan masih dengan posisi rebahan. Tepukan di sekitar perut, membuat Harlan terlonjak kaget. Ternyata Lea sudah duduk manis di sampingnya.

"Leaa,"  tegur Harlan kesal. Lea memberikan tawa riang manisnya. "Lagian, takut banget sama aku. Kan, aku istri Kakak. Udah pernah dipake lagi," cibir Lea asal.

Harlan kembali duduk. Lea memperhatikan. "Kakak lagi banyak masalah, yah?" Harlan hanya mengangguk. Dia tak pernah berbagi keluh kesah dengan Lea. Tak mau dan tak pernah terpikirkan. Lea yang labil dan selalu mengeluh, bisa-bisa isi kepala Harlan tambah pusing.

Cup.

Lea mengecup pipi Harlan sekilas. "Tuh, udah aku kasih obat mujarab. Jangan sedih lagi, yah! Kalau Kakak kesal karena keberadaanku, tenang saja. Setelah ini aku akan pergi. Aku juga mau melanjutkan sekolah yang tertinggal. Belum lagi balasan maaf dari Papa belum aku dapat. Semangat, Kak."

Lea berdiri tenang meninggalkan Harlan yang masih terpekur duduk di tempat tidur. Dia baru saja mendapatkan kecupan manis dari gadis yang masa depannya sudah dia renggut.

"Kalau masih murung, lihat senyum aku aja, Kak. Pasti hilang rasa kesalnya." Lea mengedipkan matanya sebelum tubuhnya hilang dari balik pintu. Satu sifat yang Harlan suka dari Lea, dia tak pernah memperlihatkan masalah hatinya pada siapapun, entah tak peduli atau memang tak perlu. Terkadang Harlan iri dengan sifat masa bodoh Lea.

••••••••••••••••••••••••

Saat ini.

"Tok-tok, ada orang nggak?" Kepala Lea menyembul di daun pintu ruang kerja Harlan. Belum satu jam dari waktu yang dijanjikan, Lea sudah muncul kembali di hadapan Harlan.

Lea masuk tanpa peduli diizinkan atau tidak. Harlan yang sedang duduk bersandar di kursi kerja tak memedulikan. Dia lebih memilih menutup mata. Nalurinya ingin menutup mata saat Lea kembali muncul di dekatnya.

"Ayo, Kak! Katanya mau jemput Nadya," ajak Lea riang. Lea duduk di hadapan Harlan. Mantan suaminya sedang sibuk menutup mata sambil memegang beberapa lembar kertas dan laptop yang menyala di meja.

"Kak?"

"Aku bilang satu jam, ini baru setengah jam, Lea!" tegur Harlan pelan.

"Berarti aku cepat, dong! Bukannya senang, malah marah." Harlan mendengus kesal masih menutup mata. Dia sedang butuh istirahat sejenak, tetapi Lea datang.

"Kakak lagi ada masalah, yah? Lihat wajah aku aja, Kak! Hilang pasti stres nya." Lea terkikik sendiri mengucapkan itu. Harlan kembali dilempar ke masalalu.

Harlan jelas ingat ucapan itu sering dia dapati dulu saat isi kepalanya benar-benar dibuat pusing oleh keadaan. Dan Lea selalu bisa menenangkan dengan cara santainya. Belum lagi kecupan yang dilayangkan Lea. Harlan ingat, kecupan demi kecupan dia terima dari bibir mungil Lea. Pertama di pipi, lebih sering di kening dan pernah di bibirnya. Semua Lea lakukan dengan wajah malu-malunya. Wajah menggemaskan dengan perut besar dan aura kecantikan ibu hamil. Harlan tak bisa melupakan kenangan manis itu.

"Tapi kalau sekarang aku nggak bisa cium Kakak lagi. Sori, bukan kewajibanku." Harlan membuka matanya. Menatap jengkel Lea. Wanita itu memang ahlinya merusak suasana. Tapi rasa jengkel Harlan hanya sebentar, senyuman manis Lea lagi-lagi membuat jiwa Harlan seolah berbeda.

"Kamu sudah rapikan kamar?" alih Harlan cepat. Dia kembali duduk tegak, menatap layar laptop serius.

"Udah, aku nggak terlalu kesulitan, kok. Tadi mau minta bantuan Mbak Nisa, eh, ada yang teriak minta bantuan di kamarnya. Jadi nggak jadi, deh," cerita Lea.

"Kak, Mama masih aja cerewet, yah? Kirain berubah. Sama Nadya akur, nggak? Nanti bantu aku, yah! Aku mau tahu kesukaan Nadya apa aja." Harlan mendengarkan saja. Rasanya sudah lama dia tak punya teman berceloteh disaat dia sedang sendiri seperti ini. Nadya memang menemani, tapi ada disaat-saat tertentu tak bisa.

"Lea, sebaiknya dua puluh menit lagi kembali ke sini. Aku masih menunggu email balasan. Lagipula, Nadya masih satu jam lagi keluar kelas. Ibu Diva mengabari aku, kalau Nadya ada latihan menari." Lea mencerna kalimat akhir yang diucapkan Harlan.

"Kak, nanti segala kebutuhan Lea biar aku yang tangani. Termasuk urusan sekolah. Kalau bisa guru Nadya suruh kabari ke aku aja. Jangan ke Kakak lagi." Harlan menatap Lea, wajah tak suka Lea terlihat nyata. Tak ditutupi.

"Genit amat kabarinnya ke Kakak," cibir Lea jujur.

"Karena hanya aku yang mereka tahu sebagai wali murid." Lea menahan kekesalan mendengar sindiran Harlan.

"Iya, karena itu nanti Kakak kasih tahu." Lea tetap angkuh dengan idenya. Harlan hanya diam lalu kembali menatap layar laptopnya.

"Masih ada keperluan lagi? Aku bilang tunggu di luar, Lea." Harlan tak bisa konsentrasi kalau Lea masih betah duduk di hadapannya. Dia masih belajar adaptasi.

"Sebenarnya aku mau minta izin, aku belum bilang perihal izin waktu libur aku," jujur Lea. Harlan tak mengerti ucapan Lea.

"Setiap hari selasa, rabu, kamis, dari jam dua siang sampai sore aku ada urusan. Udah, cuma itu aja. Selebihnya aku selalu ada di sini."

"Berarti kamu nggak serius mau mencoba memperbaiki kesalahan?" Harlan sendiri tak mengerti kenapa bisa mengucapkan kalimat pedas seperti ini. Tapi bukankah Lea sendiri yang menawarkan waktu satu bulannya untuk dites?

Lea tersenyum pelan. "Aku kerja, Kak. Itu aja udah minta kurangin khusus satu bulan ini. Terus aku mau dapat uang darimana kalau nggak kerja? Emang dari Kakak? Cuma mantan suami." Harlan diam tak bisa melanjutkan balasan. Lea memang selalu bisa membuat Harlan kalah memberikan penjelasan.

"Aku nggak akan lama. Aku jadi guru les renang. Bahkan kalau Kakak nggak keberatan aku akan ajak Nadya setiap aku ngajar les renang. Boleh?"

Isi kepala Harlan penuh aneka pertanyaan. Lea bekerja? Sudah lulus kuliah, kah? Renang? Lalu orangtuanya tak memberi dia nafkah?

"Kak, kenapa diam? Boleh, nggak?" Harlan bingung ingin mengucapkan apa.

"Nanti dilihat jadwal Nadya. Kamu bisa pakai sopir untuk pergi." Lea menepuk tangan sendiri. "Bagus, deh. Bisa hemat ongkos." Lagi-lagi Harlan ingin bertanya perihal hidup Lea. Tetapi sisi gengsi Harlan menguasai. Bisa saja Lea berpura-pura mengambil simpati.

"Kamu butuh uang jajan? Mau berapa?" Harlan merutuki kebodohan mengucapkan pertanyaan itu. Sejak tadi dia memang tak bisa berpikir dengan tenang.

"Nggak perlu, Kak. Bukan kewajiban Kakak. Tapi nanti kalau Nadya minta sesuatu dari aku dan aku nggak sanggup, aku boleh, yah, minta sama Kakak. Tabunganku nggak terlalu banyak." Lea berdiri lalu menunduk sebagai ungkapan permisi.

"Aku mau kenalan sama Mbak Nisa lagi di dapur. Nanti panggil aku aja kalau Kakak udah siap.  Rasanya udah kangen nggak hancurin dapur Mama." Harlan dengar suara cekikikan Lea.

"Les renang?" ucap Harlan bingung. Apa yang terjadi sama Lea selama ini?

"Bunga Azalea," ucap Harlan menutup mata.

Ini visual dr aku yah.. ga terlalu ganteng, dan ga cantik bgt.. seleraa sih yah.. hahaa

Rujuk?
Rabu, 02 Agustus 2017
Mounalizza

Cepetan kak, ga sabar..
Iya-iya ikutin aja.. haha
Klo tiba2 masalah trus selesai, kagak seru. Dinikmati aja dulu rasa penasarannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro