04- Bimbang
"Rasa cinta tidak seharusnya menjadi sebuah rahasia. Jika kau simpan perasaan cinta itu, maka kau akan merasa sakit."
Catatan Movie : The Amazing Spider-Man (2012)
***
"Mama nggak apa-apa?" Sore sudah menjelang, dan kedatangan sang mama dari acara jalan-jalannya kali ini berbeda situasi. Membuat Harlan panik dan cemas. Terang saja cemas, sang mama datang dalam keadaan kaki pincang. Dipapah oleh sang sopir duduk di sofa ruang tengah.
Harlan dan Nadya yang sedang duduk menikmati acara kartun dengan satu kotak piza pesanan dibuat kaget dengan suara geraman Ibu Nani dari arah pintu masuk.
"Mama tersandung sandal tadi di rumah Ibu Vero. Sakit," keluh Ibu Nani yang sudah berhasil duduk di sofa sendiri.
"Jatuh, Pak. Terkilir lebih tepatnya." Sopir ikut memberitahu sebelum mengangguk meninggalkan ruangan.
"Ma, Harlan sudah kasih tahu dari kemarin, tapi nggak didengar. Jangan pakai sandal yang itu. Licin, kan." Ibu Nani memalingkan wajah acuh. Tidak mau disalahkan.
"Nadya, suruh Mbak Nisa buatkan Nenek teh hangat!" Nadya langsung mencibir mendengar perintah sang nenek. Mengganggu kebahagiaan saja.
"Aku sibuk, sori." ucap Nadya yang sibuk melahap piza sambil fokus menatap layar televisi.
"Nadya! Cepat panggil Mbak Nisa!" bentak Ibu Nani menatap garang Nadya. Tak berlangsung lama, geraman Ibu Nani semakin kencang. Harlan yang ingin protes, segera teralihkan. Wajah kesakitan sang mama sepertinya cukup parah.
"Dy, panggil Mbak Nisa ke sini, yah! Acaranya, kan, sedang iklan." Harlan mengusap kepala Nadya sayang. Gadis kecil itu mengangguk dan segera beranjak meninggalkan ruang televisi.
"Ma, bisa, kan, bicara baik-baik sama Nadya?" tegur Harlan tak pernah bosan.
"Jangan bicara aneh-aneh, kaki Mama benar-benar sakit!" Harlan menghela napas pelan. Dia sadar, sang mama belum sepenuhnya menerima kehadiran Nadya sebagai cucu-nya. Nadya hadir tanpa persetujuan sang nenek.
Beruntung Harlan memiliki putri yang kuat menghadapi sang nenek. Nadya memang tertekan, tetapi selalu bisa dia lampiaskan tanpa dipendam. Harlan tidak terlalu khawatir walaupun terkadang tak tega. Biar bagaimanapun, gadis kecil itu belum mengerti apa-apa.
"Terima kasih, Sayang." Harlan menyambut Nadya yang sudah kembali datang bersama asisten rumah tangga. Lihat! Nadya sebenarnya patuh, hanya saja cara memintanya dengan sopan.
"Nis, buatkan saya teh. Setelah itu panggilkan Nenek Salimah, bilang saya minta dipijat. Kaki saya terkilir." Ibu Nani masih meringis merasakan sakit di kaki bagian kirinya. Asisten rumah tangga mengangguk lalu menuruti perintah sang nyonya besar.
"Mau ke dokter saja, Ma? Aku antarkan, yah?" tawar Harlan tak tega. Mendengar itu, Nadya mendekati sang ayah dan membisikan sesuatu. "Pa, kalau dibawa ke dokter nanti cepat sembuh."
Harlan menahan tawa mendengar bisikan lucu putrinya. Apalagi menatap ekspresi sang mama yang mendengar ucapan Nadya. "Lihat, kan! Bagaimana Mama nggak kesal sama anak kamu."
Harlan mengangguk saja, tak mau memperpanjang kemarahan sang mama. Dia mendekati sang mama lalu mengangkat tubuh sang mama. "Ayo, aku antar Mama ke kamar. Nisa, cepat panggilkan tukang pijat." Ibu Nani menuruti usul Harlan.
"Dy, Papa antar Nenek dulu, yah." Harlan tahu, Nadya sejak tadi memperhatikan, dan tatapan itu mengandung cemburu.
"Jangan lama-lama, Pa," celoteh Nadya tak takut mendapat tatapan kesal sang nenek.
"Mama istirahat, yah!" nasihat Harlan sambil menggendong.
"Mama nggak bisa jaga Nadya untuk sementara." Harlan merebahkan Ibu Nani pelan.
"Carikan dia pengasuh. Atau kalau perlu kamu sekolahkan dia di asrama." Harlan duduk di pinggir tempat tidur. Ide menyerahkan Nadya ke asrama bukan yang pertama kalinya. Rasanya sudah cukup jauh sang mama membenci gadis kecil kesayangan Harlan.
"Ma, kapan, sih, Mama bisa menerima Nadya?" Akhirnya Harlan tak bisa diam jika sang mama selalu memojokan
"Dia selalu kurang ajar sama Mama!" bela Ibu Nani. "Lihat, kan, tadi?"
"Nadya masih kecil, Ma."
"Dia mirip ibunya. Dan Mama benar-benar tak suka." Harlan langsung mengingat Lea. Sudah satu minggu berlalu, wanita itu datang dan hingga kini tak kembali.
Mungkinkah Lea berbohong untuk kembali? Harlan tak mau berharap.
"Semakin hari, Nadya mirip Lea. Mama benci." Harlan tak menghiraukan ucapan Ibu Nani. Pikirannya masih melayang mengingat kejadian satu minggu yang lalu. Saat matanya bertemu dengan mata Lea. Bahkan Harlan masih ingat sifat pemaksa mantan istrinya itu.
Seenaknya meminta rujuk? Yang benar saja.
"Mama mau istirahat. Carikan tukang pijat buat Mama." Harlan berdiri lalu melangkah keluar.
"Harlan, jika kamu menikah kembali. Sebaiknya kamu cari ibu kandung Nadya." Harlan berhenti melangkah. Menatap kembali sang mama. Tak mengerti dengan kalimat yang baru saja keluar dari lisan sang mana.
"Maksud, Mama?"
"Iya, cari mantan istri kamu itu, dan serahkan Nadya padanya. Kamu mulai hidup baru lagi dengan istri. Kamu berhak bahagia, Harlan. Tanpa kehadiran Nadya." Harlan mengepalkan tangannya. Sejak dulu dia selalu menahan amarahnya kepada sang mama. Harlan menghormati setiap titah sang mama. Tapi sekarang rasanya dia sudah tak kuat.
"Ma, hal yang buat aku bahagia sebenarnya mudah. Terima Nadya sebagai keturunan dariku. Itu sudah cukup." Harlan langsung melangkah keluar kamar. Jika terlalu lama dia yakin akan bertindak kurang ajar. Dia masih mau menghormati sang mama.
"Papa kenapa?" tanya Nadya saat Harlan menjatuhkan tubuhnya lelah di sampingny. Putrinya itu masih lahap menikmati piza dan acara kartun kesukaan. Harlan hanya mengangguk, lalu merapikan saus tomat yang menempel di sekitar pipi Nadya.
"Pa, Nenek udah sembuh?"
"Belum diobati, Sayang. Makanya kamu berdoa biar Nenek cepat sembuh." Nadya menggeleng polos.
"Ogah, ah. Enak Nenek lama di kamar. Dy jadi bebas." Harlan menggeleng.
"Dy harus sayang sama Nenek. Hormat apalagi."
"Nenek nggak sayang sama Dy. Tiap hari marah-marah," keluh Nadya jujur.
"Kamu juga tiap hari marah-marah sama Papa!" ledek Harlan mendinginkan suasana. Biar bagaimanapun Nadya tak boleh diajari kurang ajar dengan sang nenek.
"Kalo Papa harus aku awasi. Nanti pacaran." Seketika Harlan tertawa. Nadya dan ucapan polosnya memang bisa mengobati rasa kesal di hati. Nadya dan ungkapan sesuka hati memang mengingatkannya dengan Lea.
Ibu kandung Nadya.
Harlan kembali terdiam. Isi kepalanya kembali mengingat Lea. "Kemana perginya Lea? Dia kembali berbohong. Tidak kembali." Suara hati Harlan bergumam.
"Permisi, Pak. Ada tamu mau bertemu Bapak." Sang sopir mengagetkan lamunan Harlan.
"Siapa?"
"Ada Ibu Lea di ruang tamu." Harlan berdiri panik. Sedang dipikirkan, dan kembali datang. Sama seperti minggu lalu. Lea yang unik.
"Dy tunggu di sini. Papa ada tamu." Beruntung serial kartun kembali dimulai. Fokus Nadya teralihkan.
Harlan sendiri berusaha menetralkan pacu jantungnya. Sempat menatap kaca melihat penampilan. Rasa berdebar kembali hadir.
"Hufft," keluhnya tak sadar. Bingung, jalan pikirannya bisa kacau karena mendengar kehadiran Lea kembali datang ke rumah.
Dan kegugupan semakin dia rasakan, saat senyuman Lea menyambut langkahnya memasuki ruang tamu. "Sudah aku duga, Kakak pasti di rumah. Pasti Kakak tungguin aku selama satu minggu ini, yah?"
Rasa gugup Harlan sirna. Kicauan Lea membuat dirinya bisa kembali ke alam sadarnya. Harlan lupa sejenak perihal sifat menjengkelkan Lea. Masih tidak berubah.
"Sini, duduk di samping aku! Oh, iya Nadya mana?" Harlan duduk di sofa sebelah Lea. Masih diam menatap sosok Lea. Tetap cantik seperti minggu kemarin. Semakin menarik dan tidak memperlihatkan rasa bersalah karena menghilang kembali sesuka hati.
"Kak?"
"Nadya sedang nonton di dalam. Jangan diganggu. Seminggu ini dia sudah kembali tenang. Aku mohon! Emosinya masih belum bisa terkendali," bohong Harlan. Dia hanya belum siap membawa Nadya ke hadapan Lea. Apalagi ada sang mama dengan keadaan seperti sekarang. Harlan belum bisa mencari cara yang benar.
"Kak, jadi gimana rencana rujuk kita? Kapan aku mulai bisa tinggal di sini?" Harlan sampai dibuat tak percaya. Benarkah Lea yang mengucapkan kalimat santai itu?
Duduk saja dia belum sepenuhnya bisa tenang. Lea bisa dengan lancar mengungkapkan permintaan nekatnya.
"Kak?"
Harlan menatap lekat Lea. Tidak ada kebohongan di sana. Tatapan yakin itu benar diperlihatkan Lea. "Apa alasan kamu mau rujuk kembali, Lea?"
Lea tak takut membalas tatapan. "Aku nggak mau hidup sendiri lagi. Aku mau bersama Kakak dan juga Nadya seutuhnya." Harlan tak percaya dengan rasa percaya diri Lea.
"Aku mau tersenyum bersama Kakak dan Nadya. Seperti kemarin saat Kakak pergi berdua ke taman bersama Nadya. Kalian tersenyum bahagia tanpa mengajak aku. Aku cemburu. Iri." Harlan mengerutkan keningnya. Darimana Lea tahu kemarin dirinya dan Nadya pergi ke taman berdua?
"Kenapa baru sekarang, Lea? Aku kira kamu sudah pasrah dan tak mau kembali." Harlan memalingkan wajah lebih dulu. Wajah cantik Lea bisa mengalihkan isi kepalanya.
"Pasrah tidak hanya sekedar menunggu, tapi berjuang sesuai dengan kapasitas selagi mampu. Pasrah itu bangkit, Kak." Lea berdiri dan tanpa risih duduk di samping Harlan. Memaksa Harlan menatapnya. Lea memberanikan diri memegang tangan Harlan. Tangan penuh kehangatan itu dulu pernah ada menemaninya di setiap malam. Memeluk erat perut besarnya, atau sekedar mengusap punggung pegalnya.
"Kak, aku mau bangkit. Mau memperbaiki hubungan kita. Rujuk kembali, Kak. Kita menikah lagi." Lea memegang kedua tangan Harlan yang masih terdiam. Mencerna ajakan Lea.
Kembali membina rumah tangga?
"Papaaaaa." Teriakan Nadya lagi-lagi membuat keduanya terkejut. Mereka kembali berdiri canggung. Nadya berlari mendekat, menarik tangan Harlan agar bisa dia kuasai.
"Papa masih main sama dia?" Nadya memasang tatapan sebal ke arah Lea.
"Aku ini Mama asli kamu, Cantik. Hai," sapa Lea yang mulai berlutut memberikan senyuman manis kepada Nadya. Gadis kecil itu mengerutkan keningnya.
"Mama palsu, kali." Lea terkikik karena ucapan polos Nadya.
"Kak, kasih tahu, dong." Lea menatap Harlan. Nadya juga sama menunggu jawaban.
"Dy, dia ini memang Mama kamu. Mama Lea. Ayo kenalan!" Nadya melebarkan matanya menatap Lea yang dengan bangganya mengangguk. Kedua tangannya direntangkan. Menunggu pelukan Nadya. Sayang, Nadya mundur dan kembali melangkah masuk ke dalam rumah.
"Tapi Dy nggak mau punya Mama kayak dia. Udah, ah, Dy mau lanjut nonton." Lea menatap kepergian Nadya sambil tersenyum miris.
Dia ditolak oleh putri kandungnya sendiri. Lea terus tersenyum miris. Setidaknya Nadya hidup bahagia tanpa dirinya. Sehat dan berkembang baik. Lea bisa apa kalau putri kandungnya masih mau menjaga jarak dengannya?
Harlan memperhatikan. Tatapan kecewa itu terlihat jelas. Hanya satu yang Harlan mau benahi, putrinya tak boleh menyimpan dendam dengan ibu kandungnya. Sejak awal pun, Harlan tak pernah mengajak Nadya membenci Lea. Nadya memang pernah bertanya perihal keberadaan sang ibu, Harlan hanya menjawab sedang pergi belajar.
"Jangan bersedih. Dia hanya belum bisa menerima kamu. Nanti pasti bisa luluh. Sekarang saja sudah tidak terlalu emosi seperti kemarin," tenang Harlan. Lea mengangguk tersenyum menatap Harlan. Dia pria tersabar yang pernah dikenal Lea. Karena itu, niat ingin memiliki kembali semakin kuat.
"Jadi, kapan aku bisa rujuk sama kamu?" ajak Lea tak tahu diri. Harlan kembali geleng-geleng kepala. Apalagi Lea mulai berdiri dan tubuh mereka saling berhadapan. Dekat, mendekati intim.
"Yuk, rujuk!" ajak Lea polos. Harlan seperti kembali ke masa lalu. Hari-hari penuh warna dengan Lea akankah dia rasakan kembali.
"Pa, Nenek berisik teriak-teriak di kamar cariin Papa, tuh." Tanpa mereka sadari, Nadya mengintip dari pembatas dinding. Wajahnya cemberut menyaksikan dua orang dewasa saling bertatapan.
"Nenek mau Papa ke sana," tegas Nadya berani. Harlan mengangguk. Dua wanita dengan sifat sangat mirip ada di sekitarnya.
"Sea Hag itu masih hidup?" bisik Lea tak sengaja. Harlan bisa mendengar. Dan tatapan mata tajam Harlan berikan untuk Lea yang sedang menutupi bibirnya dengan kedua tangan.
Sambil terkekeh, Lea bersuara. "Sori, keceplosan." Harlan tahu, panggilan itu sebuah ledekan untuk sang mama. Dulu, Lea suka menyebut sang mama dengan panggilan itu.
"Sea Hag jahat banget sama aku, Kak."
"Papaaa, nanti Nenek marahin Dy lagi kalau Papa nggak ke kamar," desak Nadya mendekati Harlan lalu menarik tangannya.
"Tunggu, Dy di sini sama Mama Lea." Lea tersenyum melihat cara Harlan menguasai hati kecewanya. Dia memilah antara benci dan cara mendidik anak. Lea menyesal menyia-nyiakan rumah tangganya dulu.
"Tapi, Pa." Harlan menggeleng kuat. Nadya tak boleh menolak kembali Lea.
"Dia memang Mama kamu. Kan, Papa pernah bilang, Mama sibuk belajar dan sekarang ada waktu mau bertemu kamu." Nadya melirik Lea yang sedang menatapnya dengan senyuman.
"Datang ke sini kenapa nggak bawa hadiah?" sembur Nadya polos. Lea terperangah. Putrinya benar-benar mirip dengannya.
"Mama lupa, Sayang. Kan, Mama nggak tahu kamu suka apa." Lea berlutut agar lebih lebih nyaman berbicara dengan putrinya. Menatap dari dekat, dan sekuat tenaga menahan memeluk. Dia takut ditolak seperti tadi.
"Besok-besok Tante bawa tempat makan Rapunzel, yah!" perintah Nadya sambil mengerucut.
Harlan dan Lea terkejut. Besok-besok? Itu artinya Nadya mulai menerima. Hanya saja cara panggilannya masih tak diterima Lea. Tante?
"Aku mama kamu, jangan panggil Tante."
"Tapi aku nggak mau panggil mama, aku maunya Ibu Diva buat jadi mama aku," balas Nadya tak kalah berani.
"Dy," tegur Harlan, tetapi Nadya langsung berlari ke dalam lagi. Dia takut teguran sang ayah akan merecoki keteguhan hatinya.
"Dia masih kecil, dan memang inilah perjuangan kamu kalau mau mengambil hati Dy." Lea mengangguk saja. Dia harus terima risiko penolakan.
"Kakak mau ke mana?" tahan Lea saat Harlan ingin melangkah meninggalkannya.
"Mama sedang sakit, aku mau melihatnya sebentar. Kalau kamu sudah tidak ada keperluan, boleh pulang." Lea langsung menggeleng. "Aku masih butuh jawaban Kakak." Harlan sudah menduganya. Lea belum puas jika belum mendapat jawaban.
"Tunggu di sini." Lea duduk sendiri menunggu Harlan yang sedang memasuki ruangan dalam. Sebenarnya Lea ingin mencari putrinya, tapi dia sadar, masih ada waktu yang bisa dia gunakan nantinya untuk meluluhkan hati seorang gadis kecil.
Dan mengenai Harlan, mantan suaminya itu sepertinya masih tak percaya. Bimbang. Masuk akal, karena dia pernah meninggalkan tanpa memberi kabar. Apalagi dulu ide perceraian adalah buah pemikiran egoisnya. Tak heran kalau sekarang Harlan masih berpikir ulang.
Lalu mantan mertuanya? Lea sempat tak berpikir kalau ibu tua itu masih bernapas. Batu sandungan paling nyata untuk dirinya berjuang. Tapi Lea sudah bertekat untuk rujuk, bagaimana pun caranya. Akan dia hadapi.
Dia mau tersenyum dengan keluarga utuh. Bersama suami dan putrinya. Alasan sederhana dan begitu sulit dikabulkan. Tapi kali ini dia benar-benar berharap.
Lama berpikir dan melamun, Lea sampai tak sadar jika Harlan sudah duduk di sampingnya. Menatapnya penuh tanya.
"Kak," panggil Lea bingung. Wajah Harlan berubah. Terlihat gelisah dan Lea tahu Harlan sedang menahan emosi. Pasti ibu tua itu marah-marah. Lea sedikit ingat cara mantan mertuanya berprilaku setiap hari. Harlan termasuk anak penyabar. Lea tahu itu.
"Jadi, Kak, bagaimana?"
"Pulanglah! Aku tidak bisa berpikir berat sekarang. Maaf, banyak pertimbangan yang sudah aku pikirkan. Nanti akan aku selesaikan. Lea menggeleng.
"Aku mohon, Kak. Izinkan aku membuktikan, kalau aku bisa berubah."
"Aku tidak butuh istri, Lea. Aku bisa mencari sendiri."
"Tapi Nadya butuh seorang ibu yang sayang dengannya. Aku tidak bisa menjamin kalau nanti Kakak menikah, lalu cinta Kakak bisa terbagi dengan Nadya."
"Lalu kemarin kamu kemana saja? Tidak memikirkan perkembangan Nadya. Tidak memikirkan rasa cinta Nadya yang hanya bersumber dari aku?" Lea menerima ikhlas semburan isi hati Harlan. Dia memang salah.
"Karena itu, sekarang aku mau menyerahkan seluruh rasa cinta ini untuk Nadya. Mungkin juga Kakak, walaupun sejak dulu aku sadar, Kakak tidak pernah mencintaiku. Aku ikhlas, Kak. Aku mau menghabiskan sisa hidupku untuk Nadya dan Kakak. Aku mau rujuk." Harlan lagi-lagi kembali diam, balasan pertanyaannya pasti akan kalah oleh serentetan pernyataan Lea.
Lalu ucapan sang mama sebelumnya terngiang. Jika dia menikah, sang mama mau Nadya diserahkan kepada ibu kandungnya. Tidak, bukan begitu caranya. Harlan tak akan menerima ide konyol tersebut.
"Kak," panggil Lea. Harlan masih berpikir. Tidak semudah itu Lea bisa dia terima menjadi istri. Lea harus sadar, dia sudah membuat Harlan kecewa terlalu dalam.
"Atau begini saja, Kakak berikan aku waktu percobaan. Satu bulan aku akan mencoba mengurus Kakak dan Nadya. Kalau perlu Mama," usul Lea dengan semangat. Sambil menepuk tangannya antusias.
"Aku akan belajar menjadi istri, ibu dan menantu di rumah ini. Dan setelah satu bulan, Kakak bisa ambil keputusan. Apapun keputusan Kakak akan aku terima. Bagaimana?"
"Tinggal di sini?" tanya Harlan pelan. Lea mengangguk. "Iya, pisah kamar, Kak. Kan, belum resmi balik. Nanti kalau sudah.."
"Jangan bercanda, Lea!" potong Harlan sedikit kesal. Dia sedang bimbang. Sang mama sakit, dan Nadya akan selalu menjadi sasaran empuk luapan emosi. Sementara Nadya butuh kasih sayang sosok seorang ibu.
Dan ibu kandungnya menyodorkan diri ingin kembali? Walaupun Nadya masih menolak. Tetapi dia yakin, Nadya bisa menerima, lambat laun.
Lalu dirinya? Bisakah menerima Lea sebagai istri?
***
Rujuk?
Minggu, 30 Juli 2017
Mounalizza
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro