Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9


by sirhayani

part of zhkansas

9

"Tuh, kan! Apa gue bilang. Lo sih nggak percaya kalau gue dapat info dari orang dalam!"

"Sial banget gue sekelas sama lo lagi. Padahal gue ngarep sekelas sama Anggini. Malah nggak terjadi." Kedua bahu Kalila lemas saat mengetahui dia dan Emily benar-benar satu kelas. Sesuai taruhan, dia harus duduk di samping Emily karena Kalila telah kalah telak setelah memilih pilihan bahwa dia dan Emily tak mungkin berada di kelas yang sama untuk yang kedua kalinya.

Dia dan Emily sudah sekelas saat berada di kelas X. Mereka berada di kelas yang sama dan Emily mengambil tempat kosong di samping Kalila satu tahun yang lalu dan membuat mereka jadi teman sebangku. Meskipun saat kecil mereka saling membenci, tetapi semakin berjalannya waktu Kalila sudah terbiasa dengan sifat Emily yang terkenal tak peduli dengan perasaan orang lain. Keadaan membuat mereka jadi dekat, tetapi sebenarnya Kalila bisa memilih untuk menjauh dari Emily jika saja Emily tidak berusaha mendekati Kalila terus-terusan.

Keadaan membawa mereka menjadi dekat dan berakhir semakin dekat sejak satu tahun lalu. Orang-orang bilang, mereka adalah sahabat yang tak bisa dipisahkan. Ketika mereka mendengar hal itu, mereka akan sama-sama ingin muntah.

"Ayo!" Emily menggenggam tangan Kalila, menariknya, lalu berlari menuju kelas baru. "Gue pengin ambil bagian belakang."

"KALILA!"

Teriakan dari suara yang Kalila kenali, membuat Kalila mengerem langkahnya secara mendadak dan membuat Emily hampir saja terjungkal. Ditatapnya Trey yang muncul tak jauh darinya. "Apa?"

"Lo di kelas mana?" tanya Trey yang berdiri di atas anak tangga.

"Yang jelas kita beda kelas!" balas Kalila sambil berteriak.

"Ah, ck. Pasti ada yang salah sama pembagian kelasnya!" teriak Trey, lalu berbalik pergi.

"Tuh anak nggak jelas," kata Emily. "Ayo cepetan! Keburu anak-anak cowok ngambil bangku belakang."

Di SMA ini, Kalila bisa bertemu dengan semua saudaranya. Adam, Trey, dan tentu saja Jiro. Harapan Kalila untuk lolos di sekolah ini terwujud bahkan lebih cepat dari yang dia duga. Kalila juga tak perlu menyembunyikan statusnya sebagai saudari satu-satunya dari tiga cowok yang terkenal tampan itu karena Kalila punya cara yang tegas untuk mengusir cewek-cewek yang ingin berteman dengannya hanya karena ingin dekat dengan mereka bertiga.

Pada akhirnya, para siswi yang ingin dekat dengan Adam, Jiro, atau Trey lebih memilih untuk mendekati salah satu dari ketiga cowok itu yang paling mereka sukai dibandng lewat Kalila. Namun, sayang, satu saja dari mereka tak ada yang tertarik untuk dekat dengan cewek-cewek itu.

"Duh! Pelan-pelan, dong!" seru Kalila. "Tali sepatu gue lepas."

Emily melepaskan genggamannya di tangan Kalila. "Ya udah. Gue duluan aja klaim! Dasar anak pungut lelet!"

"Ah, kucing!" teriak Kalila. Rasanya dia ingin mengejar Emily—yang langsung lari terbirit-birit setelah mengatainya sebagai anak pungut itu—dan menjambak rambutnya, tetapi sayangnya tali sepatu Kalila tak bisa diajak kerjasama.

Kalila berjongkok. Baru akan mengikat tali sepatunya yang sudah ke mana-mana, tiba-tiba saja sebuah sepatu milik orang lain menginjak tali sepatu Kalila yang ingin Kalila tarik.

"Ah! Kurang ajar!" seru Kalila sambil mendongak. Ditatapnya seorang cowok yang berhenti dan tak langsung pergi. Cowok yang memakai earphone di telinganya sambil memegang ponsel itu langsung menunduk. "Oi! Minggir!" teriak Kalila lagi.

Kalila berdecak, lalu menarik tali sepatunya dengan kencang hingga berhasil dia dapatkan. Tali sepatunya yang berwarna hitam itu kini ternoda oleh warna coklat dari debu di bawah sepatu cowok itu. Tali sepatunya juga jadi sedikit lebih panjang dari sebelumnya karena sedikit melar.

"Ngeselin banget." Kalila berdiri dan membelalak karena perbedaan tinggi mereka. Kalila lalu sedikit mendongak. "Bisa lihat jalan nggak, sih?"

Tiba-tiba saja cowok itu duduk beralaskan lantai koridor. Dia membuka kedua tali sepatunya yang juga berwarna hitam. Tanpa aba-aba, cowok itu juga membuka kedua tali sepatu Kalila yang masih melekat di sepatu yang Kalila pakai. Kalila jadi membisu berada di situasi yang tak biasa. Siswa-siswi yang lewat jadi melirik mereka berdua apalagi saat cowok itu memakaikan tali sepatu miliknya di sepatu Kalila.

"Aish, lo ngapain, sih?" tanya Kalila heran saat cowok itu selesai memasang tali sepatu milik Kalila di sepatunya. "Emang gue minta? Enggak, kan?"

"Besok aja tukeran lagi. Atau lusa. Pokoknya habis gue cuci punya lo dan beliin yang baru," kata cowok itu, lalu mulai melangkah.

Kalila berdecak sebal dan mulai berjalan ke kelasnya. "Cara lo balikin di mana? Emang tahu kelas gue?"

"Tahu." Cowok itu memelankan langkah hingga berjalan bersisian dengan Kalila. Earphone cowok itu juga sudah terlepas. "Kita sekelas."

"Haaah?"

"Lo Kalila, kan? Siapa yang nggak kenal adiknya Trey."

"Gue kakaknya!" seru Kalila tak terima.

"Ya, pokoknya saudari Trey lah," balas cowok itu.

"Lo temennya Trey?" tanya Kalila, heran. "Nggak pernah gue lihat. Kayaknya lo bukan anak basket juga."

"Teman sekelasnya waktu kelas X," balas cowok itu, lalu mengangkat kedua tangannya. "Kami nggak akrab. Kalian aja yang terlalu populer."

"OOOH!" seru Kalila bertepatan saat dia memasuki kelas barunya.

"Kemana aja lo?" Emily menyambutnya di dekat meja guru sambil berkacak pinggang, lalu Emily melirik cowok di belakang Kalila.

"Kepooo," balas Kalila.

Emily memeluknya dari belakang. "Itu siapa? Lirik lo dari tadi."

"Katanya temen sekelas Trey waktu kelas X," balas Kalila.

"Ganteng...," bisik Emily.

"Hei, cowok ganteng. Nama lo siapa?" tanya Kalila sambil menatap cowok itu dan Emily langsung mencubit pinggangnya.

"Arvin," balas cowok itu sambil tersenyum hanya pada Kalila.

***

Ketika melihat satpam sekolah menarik gerbang, Ashana langsung mempercepat larinya. "TUNGGU, PAK! PAK! BAPAK!"

"SAYA BUKAN BAPAK KAMU!" balas satpam bertubuh berisi dan berkumis tebal. "LIMA! EMPAT! TIGA! DUA!"

Sebelum satpam mengatakan satu, Ashana langsung melewati celah gerbang yang hampir tertutup dengan tubuh langsingnya. Dia langsung menumpu kedua tangannya di lutut sembari menoleh ke belakang dan melihat beberapa murid terlambat. Mereka memohon-mohon pada satpam agar dibiarkan masuk. Mau mereka memohon sampai bersujud pun, satpam sekolah ini tak akan mau memberikan sedikit toleransi. Mereka akan berakhir dihukum di hari pertama tahun pelajaran baru.

Ashana kembali berlari setelah istirahat sebentar. Dia telah mengetahui kelasnya dari Tasha. Ashana datang terlambat karena terlambat bangun. Tidak ada siapa pun orang di rumahnya. Kedua orang tuanya sedang dinas keluar kota dan dia tinggal sendiri selama dua hari ini. Masa liburnya dia habiskan dengan begadang membaca komik dan karena itu uga pola tidurnya jadi berantakan.

Ashana tiba di kelas dan dia beruntung guru yang mengajar di pelajaran pertama belum datang. Namun, tentu saja dia tidak bisa memilih akan duduk di mana. Semua bangku telah terisi kecuali satu bangku di sudut paling belakang.

Tepat di samping seorang cowok yang tak disangka-sangka oleh Ashana.

Jiro....

Dari sekian banyak murid di kelas ini, mengapa harus cowok yang dia sukai?

"Yaaah!" seru seorang siswi yang duduk di barisan kedua. "Jiro dari tadi ngusir anak-anak yang mau duduk bareng dia loh. Sekarang lo kayaknya harus cari bangku dan meja buat diri lo sendiri. Cari digudang ada, tuh."

Semua murid di kelas mengatakan hal yang sama.

Bagaimana ini? Dia tidak mungkin mencari bangku dan meja disaat masih ada satu bangku dan meja kosong di kelas ini. Masalahnya, dia dan Jiro tak pernah saling bicara meskipun mereka satu kelas selama kelas X.

Ah, ini bukan tentang dia dan Jiro yang akrab atau tidak, tetapi tentang dia yang menyukai Jiro secara diam-diam sejak SMP. Rasa sukanya pada Jiro bukannya menghilang, tetapi malah semakin besar setiap hari. Jika dia bicara dengan Jiro sekarang, maka Jiro pasti akan langsung tahu bahwa Ashana menyukai cowok itu.

"Nggak apa-apa, kok. Mau gimana lagi?" Jiro tiba-tiba bicara sambil mengangkat tangan. "Lo. Siapa namanya? Sini duduk di samping gue sebelum guru datang."

Semua cewek mengeluh kecewa tak bisa berada di samping Jiro dan para cowok tak terima karena lokasi idaman mereka untuk tidur di jam pelajaran direbut oleh siswi yang terlambat.

Ashana melangkah ragu. Tidak ada pilihan lain selain segera duduk sebelum guru datang. Dia tiba di samping Jiro dan duduk dengan perlahan di bangku itu.

"Gue nggak tahu ternyata masih ada satu orang." Jiro tiba-tiba bicara dan membuat Ashana sedikit tersentak kaget.

"Yah... haha. Satu lagi. Telat gue...," balas Ashana. Dia tidak bisa menyembunyikan reaksi tubuhnya yang gugup berat.

"Gue kira kelas ini muridnya ganjil. Semua orang gue usir. Ternyata masih ada satu lagi...." Jiro bertopang dagu, menatap Ashana dari samping. "Tapi, nggak apa, sih. Sepertinya menyenangkan sesekali bisa sebangku sama cewek."

***

 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro