Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

48


by sirhayani

part of  zhkansas

48

Setelah menonton film di bioskop, Kalila dan yang lain memutuskan untuk ke sebuah tempat karaoke. Anggini yang menyarankan ide itu karena katanya dia ingin memperdengarkan suara emasnya sekaligus mentraktir semuanya sekali lagi setelah sebelumnya mentraktir tiket bioskop beserta camilan-camilan.

Mereka berenam sejak awal. Kalila, Trey, Kala, Fritzi, Anggini, dan Emily. Tadinya Anggini hanya mengajak orang-orang yang pernah datang ke rumahnya di tahun baru untuk menebus kesalahannya dalam memilih film—kali ini film action yang sedang ramai dan tak akan membuat mengantuk—, tetapi Jiro tak bisa datang. Justru Emily yang datang. Meskipun Anggini sempat tidak setuju karena tahu Kalila dan Emily pernah bermusuhan juga karena skandal Emily yang membuat Anggini terlihat enggan untuk mengajak cewek itu bicara. Namun, pada akhirnya Anggini menerima kehadiran Emily karena Kalila.

"Karena Emily yang enggak ikut malam itu, nih, lo dapat tempat spesial untuk giliran pertama nyanyi!" Anggini berseru dengan senyum iblisnya di ruangan dengan cahaya minim sembari menyodorkan sebuah mik. "Nih. Nih. Ambil."

"Emily! Emily! Emily!" seru Kalila sambil bertepuk tangan. Trey dan Kala yang duduk di antara Kalila juga ikut-ikutan menyebut nama Emily sambil bertepuk tangan. Sementara Fritzi hanya duduk sopan di ujung sofa, tepat di samping Kala.

Emily terlihat ragu saat mengambil mikrofon. Anggini tersenyum lebar saat mikrofon itu telah berpindah di tangan Emily yang kaku. Kalila hanya bisa meringis karena Anggini terlihat sekali ingin mengerjai Emily dan memberi Emily pelajaran. Bukannya Kalila mendukung Anggini, tetapi Kalila ingin mendengarkan Emily secara positif. Meskipun Kalila belum pernah mendengar Emily bernyanyi, tetapi Kalila merasa Emily memiliki suara yang merdu.

Emily memilih lagu tanpa banyak protes, tetapi wajahnya terlihat tegang. Bahkan tangannya begitu erat menggenggam pegangan mikrofon. Cewek itu membuka mulut sembari mendekatkan mikrofon ke depan bibirnya. "Hooooghw...."

Crack!

Kala dan Trey menahan tawa. Sementara Anggini terbahak-bahak sambil berbaring di sofa. Emily menoleh dengan wajah kesal pada Anggini yang masih tertawa. Kalila hanya bisa menggigit bibir, menahan senyum, setelah shock karena suara nyanyian Emily di luar ekspektasinya.

"Gue sakit tenggorokan! Sekarang giliran lo!" Emily hampir melempar mikrofon itu kepada Anggini.

"Lo kan belum nyanyi! Baru huwo huwo doang," balas Anggini.

"Berisik," gumam Emily saat dia duduk di sofa sambil bersedekap. Dia tak menyembunyikan ekspresi kesalnya karena Anggini terang-terangan memperlihatkan ekspresi mengejek.

"Dengerin gue nyanyi." Anggini mengalihkan perhatiannya dari Emily, lalu meneruskan lagu pilihan Emily. Matanya memejam, lalu mulai menyanyikan lagi tanpa melihat liriknya.

Tak disangka-sangka... suara Anggini jauh lebih parah daripada Emily. Semua orang menutup telinga selain Anggini yang sedang meresapi lagu. Satu kelebihan Anggini dalam bernyanyi, yaitu percaya diri. Namun, rasa percaya dirinya merugikan pendengaran yang lain.

Anggini membuka matanya dengan senyum merekah setelah menyelesaikan sebuah lagu. Dia lalu menatap yang lain. "Gimana suara nyanyian gue? Mau dengerin gue nyanyi satu lagu lagi?"

"ENGGAK!" seru semuanya. Kalila menatap Anggini, curiga. "Heh, lo pasti sengaja jelekin suara lo, kan? Gue yakin pernah denger lo nyanyi dan enggak sejelek ini!"

Anggini memegang pipinya sendiri dan memasang tampang sok imut. "Suara gue yang sekarang adalah suara gue yang terbaik, loh. Enggak mungkin gue nyanyi dengan suara jelek di depan Trey."

Semua lalu menatap Trey, tetapi Trey menatap Anggini dengan ekspresi marah. "Jangan bawa-bawa nama gue lo!"

"Aduh, kenapa sih marah-marah mulu? Lucu, deh," goda Anggini, lalu cewek tak tahu malu itu mengedipkan sebelah matanya pada Trey.

Kalila hanya bisa tertawa. Entah ada kejadian apa di antara mereka, tetapi Kalila sadar Anggini tiba-tiba menjadi sering mengoda Trey. Trey juga selalu memasang ekspresi galak pada cewek itu.

"Nah, sekarang, yang nyangi giliran ... Kalila!" seru Anggini girang.

Kalila langsung pucat pasi. "ENGGAK MAU! SUARA GUE LEBIH JELEK LAGI!"

"Makanya nyanyi dulu biar gue nilai jelek atau enggaknya!" Anggini menarik paksa Kalila yang tak mau bangun dari sofa.

"Pokoknya enggak mauuu!" seru Kalila, tetapi semua orang di ruangan itu, bahkan Fritzi, bertepuk tangan sambil menyebut namanya berulang kali.

***

Di antara enam remaja itu, hanya Fritzi yang memiliki suara merdu. Kalila langsung lelah setelah menyelesaikan paksa sebuah lagu pilihan Anggini. Dia keluar sebentar dari ruangan itu setelah Fritzi selesai bernyanyi. Anggini menambah satu lagu lagi untuk dia nyanyikan dan sekarang dia sedang bersenang-senang di dalam sana bersama yang lain.

Tak ada lagi suara berisik. Kalila bisa bernapas. Menyanyi di ruangan kecil bersama beberapa orang hanya akan membuatnya lelah, tetapi sepertinya Anggini menikmati suasana itu. Dibanding Kalila, justru Fritzi lah yang ekspresinya terlihat ingin pulang sejak awal memasuki ruangan itu. Namun, sepertinya Fritzi menikmati waktu bersenang-senangnya yang tak biasa meski yang dia lakukan hanya duduk berpangku tangan sambil melihat Anggini yang asyik sendiri.

Para cowok, Kala dan Trey, keluar untuk ke kamar mandi sesaat sebelum Kalila keluar dari ruangan itu. Kini, Kalila sendirian di depan sebuah tempat karaoke sambil bersedekap. Lengan dan sisi kanan kepalanya dia sandarkan ke dinding smbari memandang kendaraan yang tak henti lewat.

"Ngapain lo sendirian di sini?" tanya Kala yang berdiri di jarak satu meter dari tempatnya berdiri.

"Pengin aja." Kalila menoleh. "Lo sendiri ngapain di sini?"

Kala menatapnya. "Nyamperin lo."

Kalila memandang jalanan lagi. "Ngapain nyamperin gue?"

"Gue mau pamit."

Kalila menatap Kala lagi sambil menaikkan alis. "Pamit...?"

"Gue bakalan pindah sekolah."

"T—tiba-tiba...?" Setelah bertanya, Kala mengangguk dan tak mengatakan apa-apa lagi. Kalila pun sama. Bukankah Kala belum lama pindah ke sekolah mereka?

Siswa yang sering pindah sekolah memanglah bukan hal yang baru Kalila ketahui karena terkadang, mereka mengikuti orang tuanya yang pindah domisili kerja. Namun, Kala saja katanya hanya tinggal sendiri di kosan. Meski penasaran, Kalila memutuskan untuk tidak bertanya mengapa Kala pindah sekolah lagi secepat ini. Kalila khawatir pertanyaannya bisa saja melukai perasaan Kala yang mungkin saja berhubungan dengan keluarganya. Selama ini, Kalila hanya tahu bahwa Kala belum pernah bertemu papanya. Mungkin saja Kala akan pulang ke rumah ibunya atau keluarganya yang lain.

Setelah hening selama dua menit, Kala kembali bersuara. "Gue udah enggak hadir di sekolah mulai besok."

Kalila menunduk. "Sehat terus, ya," katanya. Dia tak mampu mengucap banyak hal padahal di kepalanya ada banyak kalimat yang ingin dia ucapkan. Kalila menoleh kembali pada Kala. "Oh, iya, yang lain udah tahu?"

"Lo yang pertama." Kala tersenyum tipis. "Habis ini gue pulang bareng Fritzi dan gue bakalan ngasih tahu dia. Yang lain, mungkin besok aja. Kak Jiro di mana?"

Kalila mengerjap. "Di rumah."

"Salam buat Kak Jiro, ya? Gue enggak sempat pamit langsung sama dia."

Kalila mengangguk, lalu mendongak pada langit yang gelap.

"Kal?" panggil Kala.

"Hm?"

"Suatu saat kita ketemu lagi," kata Kala. "Dalam versi imut gue."

Kalila mengernyit dan menoleh. "Imut?" Cewek itu menyunggingkan senyum tipis. Dia tak tahu candaan apa yang Kala lemparkan, tetapi pilihan katanya terlalu lucu. "Versi imut gimana? Waktu itu terus maju. Ngapain gue bakalan lihat lo dalam versi imut? Harusnya dalam versi lo yang sudah jadi orang dewasa, kan?"

Kala mengangkat bahu. "Pokoknya gue imut dari dulu sampai sekarang."

"Iya, deh, yang paling imut sedunia."

"Dulu Ibu selalu bilang gue anak yang imut." Kala menahan senyum saat menatap langit. Dia menghela napas panjang dengan mata yang berkaca-kaca. "Sayangnya, gue udah lama enggak dengar Ibu bilang kayak gitu lagi."

"Karena lo udah tumbuh jadi remaja," celutuk Kalila. "Mungkin...."

"... Benar juga, sih." Kala mengangkat tangannya, menaruhnya di puncak kepala Kalila, lalu mengacak-acak rambut Kalila hingga Kalila berusaha menjauh dengan sedikit mengomel.

***

Ketika Nenek mengetahui anak maupun cucunya memiliki sebuah bakat maupun keterampilan khusus, maka Nenek akan mendukung seratus persen dan memberikan sebuah hak istimewa. Termasuk Jiro yang dihadiahkan sebuah rumah dan segala furniturnya.

Jiro pecinta dunia cyber. Nenek yang sudah lama berkecimpung di dunia teknologi mengakuinya sampai memberikan rumah agar Jiro bisa lebih tenang dalam menjelajahi dunia yang dia sukai dalam hal positif. Namun, sehebat-hebatnya dia dalam keterampilan pemrograman sampai pernah meretas sebuah situs pemerintah di usianya yang masih 13 tahun—yang menjadi awal mula Nenek mengetahui kemampuannya dan mulai mengawasinya—, tetapi teknologi hologram sentuh itu baru muncul di hadapannya secara langsung.

Saat dia mencoba untuk mengutak-atik liontin yang mengeluarkan hologram tersebut karena merupakan sesuatu yang baru baginya, hologram itu menghilang dan tak bisa muncul lagi.

Setelah hologram itu menghilang, Jiro membuka liontin itu sebanyak dua kali dan gagal memunculkan hologram. Kali ini, percobaan ketiga kalinya dan Jiro hanya bisa menghela napas karena liontin itu tak memunculkan apa pun.

Seolah ada yang mengetahui aktivitasnya dan memblokir aksesnya dari tempat lain.

Jiro menaruh kalung liontin itu di atas mejanya, lalu memegang pelipisnya yang berdenyut pelan. Bagaimana Kalila bisa menemukan benda itu? Ah, benar. Liontin itu adalah satu-satunya peninggalan orang tua Kalila.

Dari informasi yang pernah Jiro telusuri saat mencari tahu keberadaan keluarga kandung Kalila, dulu Kalila ditemukan dengan plasenta yang masih menyatu. Kata dokter, kelahiran Kalila dan Trey bedanya kemungkinan hanya beberapa menit. Jika mereka satu rahim, maka mereka adalah anak kembar. Akan tetapi, faktanya Ibu hanya melahirkan Trey saat itu dan Kalila ditemukan di depan pintu oleh asisten rumah tangga yang ingin membuang sampah. Mustahil mamanya Kalila menghilang begitu saja. Tak ada jejak yang mama Kalila tinggalkan selain Kalila di teras beserta bekas-bekas darah yang terlihat habis dibersihkan secara asal-asalan.

Ke mana mama Kalila pergi? Bagaimana mungkin mama Kalila yang baru saja melahirkan itu bisa berjalan tanpa meninggalkan jejak darah di jalanan?

Itu adalah cerita yang masih menjadi tanda tanya hingga detik ini dan Jiro tak berhasil menemukan keluarga kandung Kalila. Lalu, liontin ini memunculkan hologram seolah situasi ini adalah serpihan puzzle yang sudah terkumpul setengahnya.

Hologram sentuh adalah sesuatu yang belum ada hingga detik ini. Jiro mendengkus pada sebuah pemikiran yang muncul. Apakah keluarga kandung Kalila berasal dari masa depan dan mamanya meninggalkan liontin itu sebagai alat komunikasi mereka? Dulu, nenek bahkan berpikir bahwa Kalila seolah malaikat yang diturunkan dari langit karena Nenek tak bisa menemukan keluarga kandung Kalila.

Bisa saja memang benar bahwa orang tua kandung Kalila benar-benar berasal dari masa depan karena teknologi semakin maju seiring berjalannya waktu. Tidak ada kata mustahil tentang mesin waktu apalagi hanya sekadar hologram sentuh yang bisa membuat Kalila berkomunikasi dengan orang tua kandungnya di masa depan.

Semua dugaannya ini membuat Jiro tidak tenang.

Apa yang harus dia lakukan?

Ketakutannya semakin membesar ketika menarik kesimpulan akhir bahwa mama Kalila kembali ke masa depan setelah melahirkan Kalila dan tak membawa Kalila karena suatu keadaan, lalu meninggalkan liontin yang menjadi alat komunikasi mereka.

Dan mungkin saja, suatu saat nanti, Kalila akan pergi meninggalkannya untuk pulang ke rumah Kalila yang sebenarnya.

Jiro tak akan membiarkan hal itu terjadi. Benar tidaknya tentang kesimpulan yang dia dapatkan saat ini, yang jelas, Jiro tak akan membiarkan Kalila pergi dari di hidupnya. Cowok itu menarik liontin itu kembali dan memasukkannya dengan baik ke sebuah kotak miliknya.

Dia lalu keluar dari ruangan tersebut untuk segera pulang ke rumah Ibu.

Apa yang terpenting bagi Jiro sekarang adalah Kalila tetap tinggal di sisinya dengan nyaman. Dia tidak akan memaksa Kalila mengatakan rahasianya. Karena jika Kalila ingin mengatakannya, maka Kalila akan mengatakannya. Namun, bahkan detik sekarang, Kalila tetap diam dan tak terbuka padanya tentang liontin itu sejak dulu. Itu artiya Kalila tak ingin siapa pun tahu.

Jauh sebelum saat ini, Jiro memiliki sebuah rencana kotor. Jika Ibu dan Bapak atau bahkan keluarganya yang lain tak ada satu pun yang merestui hubungan mereka, maka Jiro akan menghamili Kalila. Toh, dengan begitu tak akan ada yang bisa memisahkan mereka, kan?

Namun, semakin berjalannya waktu, Jiro menyesal karena pernah memikirkan rencana bejatnya. Sekarang, Jiro semakin membuang jauh-jauh pikiran tersebut. Dia ingin membuat Kalila aman dan nyaman di sampingnya. Menghamili Kalila demi membuat Ibu dan Bapak tak bisa memisahkan mereka adalah sebuah pemikiran yang buruk. Jiro tak ingin mengambil masa muda Kalila demi keegoisannya.

Jiro akan membuat Kalila selalu merasa aman dan nyaman. Agar Kalila tak memilih untuk pergi darinya.

***

Ketika Kalila menutup pintu kamar, dia langsung merebahkan diri di atas tempat tidur. Dia pulang terlalu malam. Syukurlah, sebelumnya dia sudah memberitahukan Ibu bahwa dia pulang terlambat. Anggini juga mengantarnya sampai depan rumah. Katanya sebagai bentuk pertanggungjawabannya. Setelah acara karaoke, Angini memang khusus mengajak pergi Kalila ke sebuah salon dan hanya berdua.

Kalila segera bangun karena teringat Mama. Cewek itu membuka lemari dan mengambil brankas bukunya. Duduk bersila di atas tempat tidur, lalu Kalila membuka kunci. Lubang kunci brankasnya terasa aneh, tetapi Kalila tak memikirkan lebih jauh. Dia segera membuka liontin, tetapi tak hologram yang muncul...

Jantung Kalila berdegup kencang. Kondisi ini adalah sebuah pertanda buruk. Mama pernah mengatakan bahwa Mama akan memutuskan koneksi mereka jika menemukan aktivitas tak biasa. Dan jika Kalila menemukan liontinnya ada di situasi tersebut, maka Kalila harus menekan lama sebuah tombol sampai hologram muncul. Tombol itu terlihat rata sampai orang lain tak akan menyadari ada tombol di sana. Letaknya ada di bagian dalam liontin. Alasan mengapa Mama melarangnya menekan tombol terlalu sering adalah karena Mama khawatir tombol itu rusak karena katanya, dulu papa tidak maksimal dalam membuat fisiknya.

Kalila menekan tombol itu cukup lama sampai akhirnya hologram kembali muncul dan Mama mengirimkannya sebuah pesan.

Mama: apa kamu sempat kehilangan liontin kamu?

me: enggak ma!

Mama: kalau kamu simpan dengan baik, berarti ada yang ambil dan membuka liontin itu. mama sebelumnya sudah memblokir aksesnya karena sepertinya dia berusaha mencari tahu tentang teknologi ini

Mama: ingat, sayang, jangan sampai orang lain tahu kalau kamu enggak mau mereka enggak bisa merelakan kepergian kamu suatu saat nanti

Kalila seakan dihantam keras oleh fakta itu. Kepergiannya suatu saat nanti adalah sesuatu yang telah ditentukan demi kebaikan Kalila dan orang-orang di sekitarnya saat ini.

me: maa, aku hubungi nanti, ya! I love you

Mama: I love you too, kalila

Kalila menggigit bibir. Dia menutup liontin itu dengan perasaan yang campur aduk. Siapa yang telah membuka liontinnya? Meski tak ingin menuduh Jiro, tetapi satu-satunya yang ada di benak Kalila adalah Jiro.

Jiro mungkin telah melihat wajah Mama dan penasaran dengan hal itu, mengingat Kalila berusaha menyembunyikan apa yang sudah terlanjur dilihat oleh Jiro secara langsung. Namun, meskipun Jiro telah melihat hal yang berusaha Kalila sembunyikan tersebut, tetapi Kalila tetap tak ingin terbuka mengenai kebenaran tentangnya.

Setelah menyimpan kembali liontin, kali ini di tempat berbeda, Kalila segera keluar dari kamarnya. Dia memasuki kamar Jiro. Cowok itu belum tidur. Dia hanya duduk di sofa dan bahkan tak mengatakan apa-apa saat melihat Kalila seolah baru saja dia sedang berpikir serius sampai membuatnya lambat dalam menyapa.

"Kak...?" panggil Kalila dengan suara pelan ketika dia berhenti di dekat Jiro. "Kak Jiro sempat masuk ke kamar gue waktu gue pergi?"

Jiro menurunkan remote televisi dari pangkuannya. Bahkan sejak Kalila memasuki kamar itu, televisi tak menyala. Apa yang Jiro sedang pikirkan sampai membuat cowok itu menatapnya dengan sendu?

"Iya," balas Jiro. "Apa sekarang lo pengin bahas liontin peninggalan orang tua kandung lo?"

Kalila menggigit bibir. "Jadi, bener Kak Jiro yang buka brankas kecil gue?"

Jiro mengangguk dengan cepat.

"Kenapa lo buka barang gue tanpa seizin gue? Apa karena lo pikir gue adalah cewek lo, lo jadi bebas untuk ngelakuin apa pun terkait gue?" Meski bertanya dengan marah, tetapi Kalila tetap mengecilkan suara. Dia tak mau membangunkan semua orang hanya karena pertengkaran kecil mereka.

Kalila juga tak menyangka dia semarah ini. Mungkin, karena dia takut ketahuan bahwa dia sejatinya berasal dari masa depan. Seperti kata Mama, akan sulit jika orang lain tahu kebenarannya. Kalila menggigit bibir, menahan tangis yang akan tumpah. Jiro menggenggam kedua tangannya tanpa kata dan masih duduk di sofa sambil menatapnya lekat-lekat.

Kalila yang paling merasa bermasalah diri sini karena tahu jelas bahwa suatu saat dirinya akan pergi meninggalkan semua orang, tetapi malah tetap menerima perasaan Jiro dan bertahan pada hubungan rumit itu hingga detik ini.

Bahkan, Kalia tak bisa mengucap kata putus. Padahal bisa saja, sejak dulu, dia memutuskan hubungan mereka agar semuanya tak semakin menyakitkan. Lihat sekarang? Papa belum juga menemukan jalan terbaik selain tetap pulang.

"Maaf," bisik Jiro, menarik pelan punggung Kalila.

"Jangan ngambil barang gue sembarangan karena itu pemberian orang tua kandung gue," balas Kalila, pelan. "Gue takut liontin itu hilang."

Meski benar, tetapi alasannya tak sepenuhnya mengarah ke sana. Cewek itu hanya bisa menangis terisak karena memikirkan pesan mama bahwa suatu saat dia akan pergi.

Jiro berdiri dan mendekapnya erat. Kali ini, Jiro tak banyak bicara. Entah apa yang Jiro pikirkan sampai membuatnya seperti ini, tetapi Kalila menduga bahwa Jiro sedang memikirkan liontin aneh itu.

Kalila tak ingin membahas apa pun tentang apa yang Jiro sempat lihat dan dia tak akan menjawab jujur jika Jiro bertanya perihal tersebut.

"Maaf," bisik Jiro lagi.

Kalila memejamkan matanya.

Hal paling rumit bukanlah restu Ibu dan Bapak, tetapi waktu.

***




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro