Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

37

by sirhayani

part of zhkansas

37

Kalila hanya bisa bersedekap sambil bersandar di kursi dan menatap Kala yang makan dengan lelet. Sudah berapa jam mereka di rumah makan nasi padang ini? Entahlah. Sejak matahari masih ada dan sekarang yang tersisa di langit hanyalah gelap dan polusi. Lampu-lampu jalan dari yang tidak menyala sampai akhirnya menyala dan berjejeran. Dari lampu kendaraan-kendaraan yang tak terlihat sampai menyala dan menyinari jalanan kota.

Kala juga tak hanya meminta satu piring, tetapi sudah ada beberapa piring kosong yang menumpuk di meja. Jelas sekali, cowok itu sengaja. Makan lambat dan tambah berkali-kali. "Apa lo sengaja kayak gini?"

"Gue kan udah bilang. Enggak mau ditinggal sendirian sebelum gue selesai makan," balas Kala setelah menelan makanan yang telah dia kunyah puluhan kali. "Makanya, Kalila, lo harus makan juga. Laper, kan? Nah, makan. Biar lo yang bayar."

Sialan. Kalila berdecak dan memalingkan wajah. "Gue males makan."

Tadinya Kalila ingin pulang agar bisa langsung tidur karena suasana hatinya sedang buruk, tetapi tak ada salahnya menemani si anak baru yang sedang makan. Tak ada salahnya juga pulang sedikit malam. Kalila juga sudah menghubungi Ibu tadi dan mengatakan apa yang terjadi sebenarnya tentang Kala.

Kala menyandarkan punggungnya di kursi, lalu ikut bersedekap. Dia masih saja mengenakan kupluk hoodie-nya dan tak pernah melepasnya sejak bertemu Kalila. "Lo kelihatan murung dari tadi."

"Bukan urusan lo," balas Kalila dengan ketus.

"Apa karena lo nggak ikhlas ngasih gue makan?"

"Ikhlas. Makan aja sana." Kalila menatap piring Kala yang sudah kosong. "Mau tambah lagi?"

"Udah cukup. Udah kenyang." Kala menyipitkan mata. "Suasana hati lo... apa ada hubungannya dengan Kak Jiro?"

Kalila terdiam. Diliriknya Kala yang menatapnya dengan tatapan menyelidik. Apa yang Kala ketahui tentang dirinya dan Jiro? Tak mungkin kan Kala yang baru masuk ke hidupnya itu langsung bisa menebak bahwa hubungan Jiro dan Kalila adalah sebuah hubungan spesial?

"Ada hubungannya atau tidak, memangnya kenapa? Bukan urusan lo, kok." Kalila menghela napas. "Mau bungkus lagi?"

Kala menggeleng. "Enggak. Udah cukup, kok. Makasih banyak. Gue enggak bisa ganti."

Kalila mendengkus. "Anggap aja gue traktir."

"Bukan traktir, sih, tapi udah jadi kewajiban lo buat nafkahin gue."

Kalila mendelik tajam. "Kalau lo masih aja bicara omong kosong, enggak akan gue traktir lo lain kali."

Kala hanya diam dengan senyum kecil yang terbit. Ah, Kalila ingat dengan pemikirannya dulu bahwa ada aura Jiro pada Kala. Ternyata senyuman mereka dan gerak-gerik mereka yang sedikit mirip.

"Habis ini lo mau pulang?" tanya Kala, basa-basi. Kala mengangguk pelan. "Ya udah. Gue pulang duluan, ya?"

"Gue anter sampai rumah lo."

"Memangnya lo punya ongkos pulang?"

Kala menggeleng. "Kosan gue kan dekat sekolah."

"Nah." Kalila berdiri dan Kala ikut berdiri. Kalila membayar semua pesanan Kala di kasir. Kala tak minum sama sekali. Apalagi makan. Empat porsi nasi padang ditambah dua gelas air mineral adalah total dari pesanan Kala.

Kala terkekeh tanpa dosa di belakang Kalila. Dia memasukkan kedua tangannya di saku hoodie, lalu mengekor di belakang Kalila saat Kalila keluar dari rumah makan itu. Mereka berada di lokasi yang tak jauh dari sekolah sehingga Kala bisa langsung pulang.

"Apa enggak sakit perut lo? Habis makan banyak langsung jalan." Kalila menoleh. Kala tetap berjalan pelan, mengikuti langkah pendek Kalila.

"Enggak, kok. Tadi gue ngunyah lebih dari tiga puluh kali kunyahan setiap satu sendok makan." 

Mereka berjalan di trotoar. Kalila berhenti dan mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. "Gue mau pesen ojek online."

Tak jadi membuka aplikasi hijau itu karena sebuah pesan yang baru saja masuk.

kak jiro: gue pulang tengah malam. atau mungkin lewat tengah malam. jadi jangan tunggu, ya? tidur cepet. jangan sampai begadang. oke?

Kalila menggigit bibir. Kesal. Dia sudah mencoba untuk bersikap biasa, tetapi mendapatkan pesan seperti itu membuat pikirannya jadi tak bisa diam. Berbagai pertanyaan muncul. Untuk apa Jiro baru pulang tengah malam? Ke mana cowok itu pergi? Apakah Ashana sendirian di rumah sakit hingga Jiro harus menemani cewek itu hingga tertidur nyenyak di brangkarnya? Meski Kalila bisa bertanya langsung pada Jiro, tetapi Kalila sudah tak punya semangat untuk mengetikkan pertanyaan tanpa terbawa emosi.

Kalila sadar bahwa dirinya terlalu kekanakan. Semua muncul karena kekhawatiran berlebihannya tentang hubungan Ashana dan Jiro yang tak akan serumit hubungan Kalila dan Jiro.

"Ibu..., hiks...."

Kalila mengerjap dan menoleh. Kala menangis. Di kedua pipi cowok itu mengalir air mata yang deras. "Lo... lo kenapa?" Kalila masih bertanya padahal jelas di sampingnya Kala sedang terisak. "H—hei...?"

Kala mendekat dan menarik Kalila dalam pelukannya. Kalila hanya bisa membantu dengan kedua tangan terentang ke samping. Kala memeluknya erat dan Kalila tak terbiasa dengan pelukan dari orang asing.

Namun, entah kenapa Kalila tak menjauh. Meski dia bisa saja segera mendorong Kala atau berteriak agar cowok itu segera melepas pelukannya, tetapi Kalila tak melakukan hal itu. Suara tangis Kala menyayat hati Kalila dan memunculkan rasa empati yang membuat mata Kalila ikut berkaca-kaca. Tangisan dari cowok di depannya tak berhenti. Kala terus memanggil-manggil Ibu sambil memeluk Kalila dengan erat.

"Hiks, Ibu gue... Ibu...."

Kalila panik, tetapi cewek itu tak bisa mengucap sepatah kata. Baru kali ini dia melihat seorang laki-laki menangis sesenggukan. Masalahnya adalah mereka sedang di trotoar dan menjadi perhatian orang yang lewat. Kalila juga tak tega jika menyuruh Kala untuk menjauh. Apa yang Kala alami pasti berat hingga dia menangis seperti ini.

Kalila menghela napas. Dia tepuk-tepuk punggung Kala dengan canggung. Hanya itu yang bisa Kalila lakukan. Mungkin Kala benar-benar diusir dari rumah, atau keluarganya sedang berantakan dan membuatnya kabur dari rumah, atau mungkin kedua orang tuanya baru-baru ini meningal dan membuatnya jadi sebatang kara. Namun, Kalila tak bisa bertanya terlalu dalam. Khawatir jika pertanyaannya akan semakin melukai Kala.

Kata Ibu, pelukan bisa menenangkan seseorang dari masalah yang dihadapinya. Jadi, Kalila membiarkan Kala menjadikannya sebagai tempat untuk bersandar.

Kalila tak jadi marah pada Jiro karena memilih menemani Ashana. Situasi ini mengingatkan Kalila pada Jiro dan Ashana. Meski begitu, masih ada sedikit kesal yang mungkin saja bisa menghilang dalam semalam.

Kala menjauh dan memegang kedua pundak Kalila dengan mata sembab. Wajah cowok itu penuh dengan air mata. Kalila tak punya sapu tangan. Kaos yang dia gunakan juga berlengan pendek dan tak bisa untuk menghapus jejak basah di wajah cowok itu. Kalila benar-benar iba pada Kala, memikirkan hal-hal buruk apa yang telah menimpa cowok malang di depannya itu. Kalila hanya bisa mengusap pipi Kala dengan tangannya, yah, meski sedikit canggung

"Udah?" tanya Kalila pelan saat dia menarik tangannya dari pipi Callahan. "Katanya, enggak apa-apa kok kalau cowok nangis. Jangan malu karena udah nangis di depan cewek."

"Gue enggak malu, kok."

Kalila menepuk lengan Kala beberapa kali. "Apa pun yang terjadi, jangan pernah putus asa, oke? Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Walaupun kita belum lama kenal, tapi jangan ragu buat minta tolong ke gue kalau lo enggak punya tempat untuk curhat."

Kala terisak lagi dan membuat Kalila panik. Sungguh. Tak ada yang lebih membuatnya panik dari seorang cowok yang menangis di depannya. "Lo mau pulang, kan? Gue anter sampai kosan lo, mau?"

Kala menggeleng. "Gue di sini aja. Pengin mastiin lo naik ojek dengan baik."

Kalila baru akan memesan ojek onine, tetapi sebuah motor besar yang berhenti di dekat trotoar membuatnya berpaling dari ponselnya untuk melihat cowok yang baru saja membuka helm. Kalila membelalak. "Trey!"

"Kok lo bisa ada di sini?" Trey di masih duduk di atas motor yang entah milik siapa. "Ngapain lo di sini bareng cengunguk?"

"Yang heran tuh lo naik motor siapa lagiii?" tanya Kalila heran dan geregetan. "Dibilangin dari dulu kalau Bapak tahu bisa habis lo."

"Punya temen." Trey menarik tangan Kalila hingga Kalila berada di sisi motor dan cowok itu segera memakaikannya helm. "Cepetan naik."

Kalila berdecak. Dia segera naik ke atas motor itu. Trotoar membuat tubuh Kalila tak perlu kesusahan saat menginjak pijakan kaki pada motor.

"Lebih baik lo naik taksi aja daripada dibonceng sama dia. Sama aja cari mati," kata Kala. "Dia itu ugal-ugalan, loh."

Kalila melambaikan tangannya pada Kala dan tangannya itu langsung ditepis oleh Trey. "Ngapain lo malah dadah-dadah sama dia?"

"Ya terserah gue, dong." Kalila melambaikan tangannya pada Kala lagi. "Dah, hati-hati pulangnya! Gue duluan, ya!" Kalila berdecak saat menghadap ke depan. "Heh,  awas ya kalau lo ugal-ugalan. Gue pakai helm. Lo enggak. Singgah dulu beli helm."

"Enggak usah. Buru-buru gue. Nih motor dicari orangnya."

"Makanya, jangan suka minjem. Apalagi belum punya SIM. Sok-sokan naik motor. Jangan ugak-ugalan. Awas, ya?"

"Iyaaa, iya. Bawel," balas Trey.

***

Kala melihat kepergian Kalila dan Trey tanpa ekspresi yang jelas di wajahnya. Cowok itu melambaikan tangan pada sebuah taksi yang tak lama lagi melewatinya. Taksi itu menepi sebentar, lalu Kala langsung naik dengan buru-buru.

"Bisa ikutin motor yang depan, Pak? Yang ceweknya doang yang pakai helm."

Sopir itu mengangguk dan taksi pun mulai melaju. Kala menyandarkan sikunya pada pintu mobil dan bertopang pipi. Tatapannya tak lepas dari punggung Kalila.

"Jangan sampai jauh dari mereka, ya, Pak? Nanti saya kasih tip yang banyak," kata Kala lagi pada sopir yang langsung mengangguk semangat.

Kala hanya ingin memastikan bahwa Kalila sampai di rumah tanpa terluka sedikit pun.

***



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro